Anda di halaman 1dari 15

Akidah, Ikhtiar Menjawab Beberapa Pertanyaan

(Oleh : Ust. Abdullah Assegaf)

Siapakah yang lebih baik perkataannya


daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata,
‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri.
Fushshilat: 33

MANUSIA merupakan sosok ciptaan (makhluk) yang memiliki kesempurnaan dibanding

yang lainnya. Sebab, hanya dirinyalah yang dianugerahi akal oleh Allah Swt. Keberadaan akal

itu memampukan manusia untuk meraih pelbagai kemashlahatan (keberuntungan dan

sebagainya) serta mengelakkan segenap kemudharatan (penderitaan, kerugian, dan seterusnya)

dalam arung kehidupan ini.

Namun, keadaan serta bentuk kehidupan semacam itu pada hakikatnya tidak

berurusan dengan masalah kesempurnaan (baik-buruk) diri manusia. Kecuali hanya

mempersoalkan untung-rugi yang mungkin diperoleh dalam kehidupan ini. Dengan kata lain,

manusia semacam ini (yang melulu hidupnya diorientasikan pada nilai kemashlahatan dan

kemudharatan) hanya berkutat dalam pelbagai persoalan taktis maupun strategis kehidupan.

Seorang pedagang, misalnya, hanya mengarahkan konsentrasi pikiran dan aktivitasnya pada

berbagai hal yang memungkinkan dirinya meraup keuntungan, seraya menghindari seminimal

mungkin kerugian yang mungkin bakal menimpanya (menentukan mitra usaha yang tepat dan

terpercaya, memilih barang dagangan yang laku-jual, mencari tempat usaha yang laik dan

strategis, dan seterusnya).

 Page 1
Berdasarkan itu, bisa dikatakan bahwa manusia yang hidup berdasarkan hitungan

mashlahat-mudharat pada dasarnya hanya mengurusi dirinya sendiri, lingkungan sekitar, serta

hubungan mutualistis (saling menguntungkan secara optimal) yang harus dijalin di antara

keduanya. Dengan demikian, ciri menonjol dari kehidupan yang hanya memperhitungkan

kemashlahatan-kemudharatan adalah keduniawiannya. Maksudnya, manusia yang

berpedoman pada nilai untung-rugi pada hakikatnya hanya memikirkan dan mementingkan

pelbagai aspek kehidupan duniawi semata. Tidak lebih, namun bisa kurang!

Kontras dengan semua itu, nilai-nilai kesempurnaan justru berpijak di atas landas-

bangun nilai-nilai kebaikan-keburukan (etika). Selain tentunya berporos pada nilai benar-salah

(logika). Dalam seluruh aspeknya, nilai-nilai etis dan logis mencerminkan kualitas

kemanusiaan seseorang. Dengan kata-kata yang lebih sederhana lagi, semua itu menentukan

apakah seseorang memiliki karakter yang manusiawi ataukah hewani, atau bahkan nabati

(tumbuh-tumbuhan belaka). Dikarenakan eksistensinya disempurnakan dengan anugerah akal

(sehingga disebut sebagai manusia-makhluk-sempurna), maka prioritas kehidupannya harus

berorientasi pada nilai-nilai yang berkenaan dengannya (akal), yang tak lain dari nilai-nilai

etis-logis itu sendiri.

Dengan demikian, tak bisa dipungkiri lagi bahwasannya nilai-nilai etis (baik buruk)

dan logis (benar-salah) menjadi jauh lebih penting ketimbang nilai-nilai ekonomis (untung-

rugi, mashlahat-mudharat). Ini sebagaimana ungkapan sebuah hadis, “Kullil haq walau kaana

muuron (katakan yang benar walaupun itu pahit).” Secara itung-itungan ekonomi, mungkin

kita dirugikan oleh ikhtiar mengungkapkan kebenaran. Namun, kalau mengacu pada nilai etis-

logis, maka kerugian itu tiada artinya dan harus dikesampingkan jauh-jauh.

 Page 2
Hal lain yang membedakan nilai kesempurnaan dengan nilai kemashlahatan secara

kontras adalah sifatnya yang tidak terbatas pada ihwal keduniawian. Nilai kesempurnaan

bersifat mutlak dan menjangkau realitas tanpa batas. Mungkin, inilah yang dimaksudkan

Imam Husain alaihissalam dalam seruannya, “Allah ingin melihatku terbunuh dan

keluargaku tertawan.”

Kalau diilustrasikan, maka lingkaran nilai kesempurnaan lebih luas cakupannya

ketimbang lingkaran nilai kemashlahatan. Rumusan pertanyaan tentang nilai-nilai

kesempurnaan tidak hanya mempersoalkan “di mana saya” (hal mana yang justru menjadi

persoalan inti bagi pengejaran nilai-nilai kemashlahatan). Tetapi juga “dari mana asal-usul

saya” dan “kemanakah kelak diri saya akan pergi”.

Segenap pertanyaan tersebut sesungguhnya bersumber dari dorongan fitrah idraqiyah

(fitrah keingintahuan, curiousity) yang bersemayam dalam diri manusia. Adapun jawaban

terhadap rangkaian pertanyaan itulah yang disebut dengan aqidah.

Dengan demikian, problematika akidah mencakup tiga hal:

a. Dari mana asal-usul manusia? Persoalan ini pada tahap berikutnya akan

memunculkan problem ketuhanan.

b. Kemanakah kelak manusia akan pergi? Persoalan ini kemudian akan melahirkan

problem al-ma’ad (hari akhir).

c. Di mana diri manusia sekarang? Persoalan ini melazimkan timbulnya problem

kenabian yang dalam hal ini bertindak sebagai penghubung antara kedua persoalan pada poin

(1) dan (2) di atas.[]

 Page 3
Kemestian Logis Berakidah

SALAH SATU substansi dari keberadaan (maujud) manusia adalah jiwa (al-nafs) yang

nampak dalam pelbagai gejolak perasaan internal (rasa cinta, rindu, benci, dendam, gusar,

takut, cemas, dan sebagainya) yang didorong oleh suatu keinginan akan, maupun

penghindaran diri dari, sesuatu. Dengan begitu, bisa dipastikan bahwa dalam mengarungi

kehidupannya, manusia akan mengejar terwujudnya keinginan terhadap sesuatu atau bahkan

lari menghindarinya.

Kenyataan ini pada dasarnya bersumber dari sifat dasar manusia yang disebut dengan

fitrah syu’uriyah (perasaan), di mana setiap individu manusia dituntut untuk memberi

kepuasaan terhadapnya. Dan keberadaan serta tuntutan fitrah ini juga tak bisa ditolak,

ditampik, atau diabaikan seorang pun.

Dikarenakan unsur fitrah syu’uriyah inilah, setiap manusia pada umumnya membenci

kekeliruan sekaligus menolak dipersalahkan. Semua itu mencerminkan bahwa secara hakiki

manusia hanya cenderung pada kebaikan hidup nan benar. Disebabkan itu pula, pada

gilirannya fitrah syu’uriyah akan melahirkan dorongan untuk bergantung pada ‘sesuatu’ yang

dapat membantu dan menolongnya menggapai serta mewujudkan kebaikan dan kebenaran itu

sendiri.

Bertolak dari rumusan di atas, maka bisa disimpulkan bahwasannya antara konsepsi

benar-salah dengan baik-buruk mustahil dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, benar dan

 Page 4
salah merupakan unsur utama dalam ideologi, sementara baik-buruk tak lain dari komponen

dasar sebuah pandangan dunia. Dan yang menjadi landas-tumpu sebuah ideologi adalah

pandangan dunia itu sendiri!

Setiap manusia tentu baru mengalami ketenangan serta ketenteraman hidup kalau

meyakini secara mantap bahwa pandangan dunianya benar dan logis. Karena itu, selama

seseorang belum yakin betul terhadap pandangan dunia yang melandasi bangunan

ideologinya, selama itu pula dirinya belum merasa tenang dan damai.

Dalam pada itu, hukum akal menyatakan bahwa ketidaktenteraman hidup

mengindikasikan bahwa jiwa manusia dalam keadaan sakit. Namun perlu digarisbawahi

bahwa penyakit jiwa semacam ini bisa disembuhkan. Buktinya, sesuai dengan hukum

kesempurnaan, akal mewajibkan manusia (yang mengidapnya) untuk menyembuhkan diri dari

gangguan penyakit tersebut (kalau tidak demikian, berarti penyakit itu mustahil disembuhkan).

Dan kesembuhan diri baru akan dicapai apabila manusia memperoleh pemahaman yang benar

dan keyakinan yang mantap perihal pandangan dunia tertentu. Inilah kewajiban logis manusia

untuk menganut dan meyakini pandangan dunia (akidah).

Memang, adakalanya kita menjumpai sebagian orang yang tidak memiliki dan

meyakini pandangan dunia apapun, nampak tenang-tenang saja dalam mengarungi

kehidupannya (seolah-olah tidak mengidap penyakit jiwa). Padahal, dalam kasus ini, orang

semacam itu sebenarnya tak lebih dari sekadar instrumen atau alat kepentingan (pandangan

dunia, termasuk ideologi) orang lain. Mereka tak ubahnya seekor keledai atau kuda beban

yang diperalat tuannya untuk bekerja, tanpa pernah bisa atau dibiarkan berpikir barang sejenak

pun.

 Page 5
Lebih dari itu, boleh dibilang dirinya bahkan tak lebih berharga dari benda-benda mati

(abiotik). Alhasil, dengan tidak memiliki pandangan dunia yang khas, setiap langkah dan

tindakan yang ditempuh seseorang dalam kehidupannya semata-mata hanya diorientasikan

(seringkali tanpa disadari) demi mendukung dan menopang pandangan dunia yang sebenarnya

bukan miliknya, yang kalau disadari mungkin akan ditolaknya mentah-mentah.

Di samping kenyataan di atas, ada pula sebagian pihak lain yang memiliki keyakinan

yang mantap terhadap suatu pandangan dunia. Namun, keyakinan tersebut ternyata tidak

disertai dengan pengetahuan tentang kebenaran yang terkandung di dalamnya. Orang

semacam ini merupakan tipologi dari orang-orang yang telah terbelenggu dalam kerangkeng

kejumudan dan fanatisme buta.

Mengapa tidak? Pada saat yang bersamaan, di hadapannya terhampar beragam sajian

pandangan dunia yang boleh jadi saling bertolak belakang satu sama lain. Adalah suatu

kedunguan apabila seseorang meyakini pandangan dunia tertentu seraya menolak yang lain,

tanpa pernah disertai alasan yang masuk akal (common sense). Hidup dalam kedunguan dan

kebodohan ibarat hidup dalam ruang gelap tanpa cahaya seberkas pun. Ruang di mana kita

tidak pernah mengenal apapun yang kita sentuh di dalamnya!

Kenyataan semacam itu persis dengan isyarat yang difirmankan Allah Swt: … fa’lam

annahu laa ilaha ilallah… Pernyataan tersebut jelas mengandungi perintah yang wajib

dilaksanakan (manusia). Juga dalam firman Allah lainnya: Dan apabila dikatakan kepada

mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami

hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”

“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak

mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(al-Baqarah: 170)

 Page 6
Berkenaan dengan hal yang sama, Imam Ja’far al-Shadiq mengatakan, “Sesiapa yang

memasuki agama oleh seseorang, maka ia akan dikeluarkan dari agama itu juga oleh orang

lain….”

Berdasarkan segenap uraian singkat di atas, dapat dipahami dengan gamblang bahwa

seseorang tidak bisa (tidak dibolehkan) meyakini pandangan dunia dan akidah tertentu secara

taqlidi (hanya mengikuti secara membabi buta tanpa memiliki dasar alasan yang logis,

sesederhana apapun). Dengan kata lain, semua itu harus ditempuh dengan cara ijtihadi

(berikhtiar dan menalar sendiri). Dengan demikian, siapapun yang berijtihad dengan menalar

sendiri pandangan dunia dan akidah demi meyakininya niscaya akan memiliki kemerdekaan

diri sekaligus terbebas dari kungkungan pelbagai penyakit jiwa.[]

 Page 7
Relevansi Akidah dengan Kehidupan Nyata

KEBERADAAN dunia dikenal sebagai dâr al-musibah (tempat pelbagai musibah) atau dâr

al-tazahum (tempat kerumitan hidup). Justru di tempat inilah, Allah Swt menempatkan

manusia, setelah sebelumnya terikrar perjanjian (traktat) antara Allah Swt dengan manusia di

alamudzdzar. Ini sebagaimana diabadikan dalam al-Quran: Alastu birabbikum. Qâlu bala

syahidna.(al-A’râf: 172) Imam Ali Zain al-Abidin menyatakan bahwa Allah Swt telah

menganugerahkan dunia ini teruntuk umat manusia. Akan tetapi, dalam hal ini, yang dimiliki

masing-masing manusia hanyalah dirinya sendiri.

Pada masa awal keberadaannya di alam dunia, ketika masih diliputi kesendirian yang

menggigit, manusia sama sekali tidak memerlukan makna kepemilikan. Seseorang yang

terdampar sendirian di sebuah pulau berpasirkan emas-permata, misalnya, tidak sedikitpun

membutuhkan makna kepemilikan. Dengan kata lain, dirinya tidak memerlukan pengakuan

alam (atau manusia lain) terhadap seluruh barang berharga yang dijumpainya di situ. Lain hal

apabila yang terdampar di pulau tersebut lebih dari satu orang. Jelas, dalam hal ini, masing-

masing orang amat membutuhkan makna kepemilikan. Dengan itu, umpamanya, mereka lalu

membagi-bagi wilayah kepemilikan secara orang per orang (terhadap segenap hal berharga

yang ada di situ), dan seterusnya.

Dalam konteks kehidupan sosial, masalah kepemilikan jelas jauh lebih rumit dan

kompleks ketimbang contoh di atas. Problem mengenai makna kepemilikan dan kebutuhan

 Page 8
tentangnya bukan hanya berkisar pada ihwal bendawi semata. Melainkan juga mencakup

status sosial, ekonomi, keilmuan, bahkan sampai pada soal kepemilikan terhadap manusia

lain. Dan dalam upaya mengejar serta meraih makna kepemilikan tersebut, tak dapat dihindari

timbulnya pelbagai persaingan sangat ketat di antara segenap individu masyarakat.

Alhasil, semua itu pada gilirannya menimbulkan pelbagai dampak negatif di tengah-

tengah proses kehidupan sosial; permusuhan, salingdengki, salingsikut, peperangan, dan

sebagainya. Maka dari itu, kita dapat memahami alasan mengapa sampai terjadi berbagai

kejahatan sosial yang bersifat fisik maupun psikis. Setiap kejahatan yang dipraktikkan jelas

akan meminta jatuhnya korban. Maksud “korban” di sini bukan hanya mereka yang terampas

haknya, melainkan juga yang gagal mengejar dan mewujudkan makna kepemilikan pada

dirinya. Dalam pada itu, tentunya Allah Swt yang diakui sebagai Zat Mahapurna, Mahatahu,

Mahaadil, dan Mahabijak tidak menghendaki terjadinya segenap dampak negatif dari

penempatan manusia di jagat alam ini. Kenyataan mana yang sebelumnya pernah

dipertanyakan dan dikhawatirkan para malaikat: … Mereka berkata, “Mengapa Engkau

hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan

menumpahkan darah….”(al-Baqarah: 30)

Dari pelbagai ayat suci serta riwayat, kita mengetahui bahwasannya penempatan

manusia di kehidupan dunia ini dimaksudkan demi meneguhkan hubungan dirinya dengan

ketauhidan Allah Swt. Untuk itu, masing-masing individu manusia harus membebaskan diri

dari segenap belenggu egosentrisme (ke-aku-an). Dengan kata lain, setiap individu harus

memampukan diri-sejatinya seoptimal mungkin sehingga menjadikan dirinya terbebas dari

perbudakan dunia, untuk kemudian menjelma menjadi hamba Allah Swt. Berkenaan dengan

itu, Rasulullah saww menyabdakan bahwa kecintaan kepada dunia merupakan asal-muasal

 Page 9
dari segenap kekeliruan hidup. Maksudnya, kecintaan terhadap dunia hanya akan

mengakibatkan seluruh aktivitas manusia di dunia hanya terfokus semata-mata pada

penggapaian nilai-nilai kepemilikan.

Untuk lebih memperjelas persoalan di atas, kiranya kita perlu memahami terlebih

dahulu apa yang sebenarnya dimaksud dengan makna kepemilikan. Suatu (obyek)

kepemilikan, sebagaimana contoh di atas, dikatakan absah (dimiliki seseorang) jika telah

mendapat pengakuan (alam atau manusia) selainnya. Kalau sudah begitu, si pemilik tentunya

berhak dan bebas memanfaatkan segenap miliknya itu. Namun itu tidak lantas menjadikan

obyek yang dimiliki terikat pada sang pemilik. Karenanya, makna kepemilikan ini bisa

berpindah-pindah tangan dari satu orang ke orang yang lain. Contohnya, seseorang yang

mewariskan harta benda miliknya kepada sang anak.

Model kepemilikian semacam ini disebut dengan model i’tibary. Orang yang

berupaya meraih makna kepemilikan i’tibary bagi dirinya berarti tengah berusaha

memperoleh pengakuan selainnya terhadap segenap obyek yang dimilikinya. Dengan begitu,

upaya untuk memperoleh keabsahan terhadap makna kepemilikan (i’tibary), pada hakikatnya

meniscayakan seseorang untuk menyerahkan dirinya sendiri di bawah kepemilikan orang lain.

Dengan kata lain, saat seseorang berupaya memperoleh makna kepemilikan i’tibary, pada saat

itu pula dirinya (lantaran ingin mendapatkan pengakuan) menjadi tak lebih dari sekadar

“milik”—kalau memang enggan menyebut “budak”—selainnya.

Model kepemilikan kedua mengandungi makna yang hakiki. Kepemilikan jenis ini

sama sekali tidak bergantung kepada pengakuan selainnya. Selain itu, makna kepemilikan

hakiki juga menjadikan obyek kepemilikan terikat kepada sang pemilik. Sehingga, dengan

demikian, model kepemilikan ini bersifat abadi dan tidak dapat digantikan selainnya.

 Page 10
Berdasarkan semua itu, timbulnya pelbagai persaingan atau perselisihan antarumat

manusia pada dasarnya bersumber dari model kepemilikan yang bersifat i’tibary, bukan

hakiki. Seseorang yang senantiasa menisbahkan makna kepemilikan kepada sang pemilik

hakiki, serta memiliki kesadaran bahwa dirinya bukanlah pemilik hakiki atas segala sesuatu

yang bisa dimanfaatkan berdasarkan pengakuan (orang lain), tak akan pernah merasa takut,

kecewa, frustasi, dan sejenisnya. Dengan kata lain, muncul dan lenyapnya makna kepemilikan

pada dirinya tidak akan pernah menggemingkan ketegaran pribadinya sedikitpun dan tak akan

sampai menyurutkan langkah keyakinannya barang sejengkal pun. Manusia yang

berkesadaran semacam ini mustahil akan terpukau dan tenggelam dalam kecintaan terhadap

segenap nilai kepemilikan i’tibary. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa seluruh dampak

buruk yang dikhawatirkan bakal terjadi akibat penempatan manusia di jagat raya ini (seperti

peperangan, salingbunuh, dan sejenisnya) hanya tinggal menjadi mimpi buruk (nightmare)

untuk selama-lamanya (dalam arti, tidak akan terjadi kapanpun juga).

Berkenaan dengan itu, Allah Swt berfirman: Siapa saja yang berbuat kebajikan, baik

laki-laki maupun perempuan, dan ia beriman kepada Allah, maka akan diberikan kehidupan

yang baik. Maksudnya, keimanan yang kukuh terhadap adanya sang Pemilik hakiki, Penguasa

Sejati alam raya, Allah Swt—Pemilik segala keinginan dan kehendak atas segenap makhluk-

Nya—akan menghantarkan manusia menuju mahligai kehidupan yang baik dan sempurna,

serta abadi selama-lamanya.[]

 Page 11
Amal Tauhidi

“ISLAM menilai (menghukumi) berdasarkan nilai-nilai lahiriah.” Identitas sebagai “muslim”

diperoleh seseorang tatkala dirinya mengikrarkan secara lahiriah (lisan) dua kalimat syahadat

(kesaksian tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad saww adalah utusan Allah). Dengan

mengucapkan kesaksian itu, darahnya kemudian menjadi haram untuk ditumpahkan (dalam

arti, tidak boleh dibunuh). Selain itu, ia memiliki hak untuk disayangi dan diperhatikan.

Individu yang demikian itu disebut sebagai muslim.

Adapun individu yang tidak pernah mengikrarkan kedua kalimat persaksian tersebut

secara lahiriah disebut sebagai kafir. Dalam konteks ini, seseorang atau sekelompok kafir yang

melancarkan peperangan dengan kaum muslimin disebut dengan kafir harby. Darah para

kafirin semacam ini halal untuk ditumpahkan (boleh dibunuh). Sedangkan, seseorang atau

sekelompok kafir yang tidak melancarkan konflik, malah tunduk pada aturan main Islam,

disebut dengan kafir zimmi. Darah atau nyawa mereka berada di bawah perlindungan Islam

dan kaum muslimin.

Sementara itu, atribut sebagai mukmin diperoleh seseorang tatakala dirinya

mengikrarkan dua kalimat persaksian dalam lubuk hatinya. Dengan kata lain, dirinya

meyakini betul apa-apa yang telah diikrarkannya secara lahiriah. Adapun lawan kata dari

mukmin adalah munafik.

Bukti keimanan seorang individu tercermin tatkala dirinya yang telah mengucapkan

dua kalimat suci persaksian, tunduk dan patuh kepada setiap detail peraturan dan ajaran yang

disampaikan Allah dan Rasul-Nya. Al-Quran menyebutkan bahwa individu semacam ini telah

menjadi seorang “muslim secara kaffah.”(al-Baqarah: 208) Ke-kaffah-an atau keutuhan diri

 Page 12
sebagai muslim tercapai setelah seseorang melisankan ketundukan kepada satu aturan,

perintah, dan kehendak, sekaligus mengikrarkan bahwa Rasulullah saww merupakan utusan

(yang menyampaikan peraturan, perintah, dan kehendak) Allah Swt, untuk kemudian

mengamalkan dan mempraktikkan semua itu secara lahiriah dan total dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam hal ini, kalau ingin menggapai ke-kaffah-an, seseorang tidak bisa menerima atau

tunduk hanya kepada sebagian aturan saja, dan menolak sebagian lainnya. Keadaan setengah

hati dan pilih-pilih dalam hal menjalankan peraturan tersebut bahkan disebut sebagai salah

satu bentuk kekafiran terhadap syariat.

Mukmin yang utuh (kaffah) bukan semata-mata seorang pribadi yang menjalankan

perintah Tuhan. Lebih dari itu, ia juga meyakini betul apa yang diperintahkan Tuhannya.

Dengan begitu, perbuatan lahiriahnya bukan hanya bersumber dari kediriannya sebagai

seorang “muslim yang kaffah”, melainkan juga dari jati dirinya sebagai “mukmin yang

kaffah”. Seseorang baru dapat meyakini dan mengimani segenap hal yang dipersaksikannya

setelah benar-benar menyaksikannya! Kalau tidak, persaksian dirinya akan diragukan.

Bahkan, ia pantas disebut sebagai penipu yang berdusta dalam kesaksiannya. Rasulullah saww

menyatakan bahwa salah satu ciri orang munafik adalah ketika berbicara, dirinya (si munafik)

berdusta.

Menyaksikan tauhid adalah berjalan seiring bersama tauhid; meniti langkah bersama

Allah Swt seraya menolak mentah-mentah apapun selain Allah. Pertanyaannya, apakah

ungkapan “tiada tuhan selain Allah” dimaksudkan agar manusia terlebih dulu harus menolak

tuhan-tuhan selain Allah? Ataukah sebaliknya, dengan Allah, manusia menolak tuhan-tuhan

selain-Nya?

 Page 13
Dalam realitas kehidupan, manusia senantiasa diombang-ambing pasang surut

kehidupan dan keadaan diri yang tidak menentu. Pada suatu kesempatan, manusia begitu

tenggelam dalam kegembiraan hidup yang sungguh luar biasa. Namun, pada kesempatan yang

lain, dirinya terbenam dalam lubuk kedukaan yang amat dalam. Kadangkala, jalan kehidupan

ini begitu mudah dilaluinya; namun, terkadang justru amat sulit dan terasa buntu.

Keadaan yang mengombang-ambing semacam ini jelas akan berpengaruh terhadap

kedirian serta kehidupan seseorang. Pada saat terlena dalam buaian kegembiraan, ia seolah-

olah lupa atas kedukaan yang mencekam dirinya serta selainnya. Sebaliknya pula, tatkala larut

dalam kedukaan yang begitu menggigit, dirinya seakan-akan lupa terhadap kegembiraan yang

pernah dikecapnya, bahkan merasa iri hati terhadap kegembiraan yang direguk selainnya.

Alhasil, keadaan semacam itu pada akhirnya akan menggiring-paksa seseorang untuk

berpegang kepada apapun yang dianggap sanggup membebaskannya dari kesulitan hidup

yang terasa menghimpit, serta mencari-cari pertolongan kepada siapapun yang dipercaya

mampu meloloskan dirinya dari persoalan hidup yang begitu membelit. Bahkan, saking

bersemangatnya mengupayakan agar kegembiraan hidupnya tetap lestari, seseorang—sadar

ataupun tidak—justru menciptakan banyak tuhan dalam dirinya sendiri!

Keadaan di mana pegangan hidup yang kokoh tidak dimiliki, menjadikan seseorang

begitu rapuh dan mudah berpindah-pindah dari satu tuhan ke tuhan yang lain. Ini disebabkan

dirinya telah dikuasai ketakutan, kegelisahan, sekaligus ambisi yang meledak-ledak untuk

menggapai kebahagiaan hidup yang sebenarnya bersifat semu belaka. Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada pada mereka perasaan takut dan berduka.(Yûnus:

62)

 Page 14
Dengan demikian, kekuatan serta kesanggupan untuk menolak tuhan-tuhan selain

Allah Swt hanya mungkin diperoleh jika manusia terlebih dulu menemukan Allah Swt. Dan

hanya dengan meminta, berlindung, dan berharap kepada Allah semata sajalah, manusia akan

sanggup bertahan dan selalu mau berupaya mati-matian menghadapi terpaan kesulitan hidup

yang paling kuat sekalipun. Manusia semacam ini akan langsung “berlari” menuju Allah Swt

tatkala dirinya diombang-ambing kesulitan yang terjadi dalam sistem kehidupan ini.

Sebaliknya, ketika terbuai dalam kegembiraan, dirinya akan langsung berlindung kepada

Allah Swt agar tidak sampai dikuasai dan digelapkan matanya oleh segenap hal yang

dimilikinya.

Seseorang yang berjalan seiring dengan Allah Swt sudah tentu memiliki pengalaman

tauhid dalam kehidupannya. Karenanya, bisa dipastikan pula bahwa dirinya akan berlaku jujur

dalam persaksiannya. Inilah ciri fundamental dan khas keimanan yang bertolak belakang

dengan ciri kemunafikan. Dengan begitu, akidah yang dimiliki seseorang harus senantiasa

berjalan mengiringi dirinya dalam menempuh kehidupan ini. Bukan malah dipenjara dan

dipasung di alam idenya semata. Dengan kata lain, seseorang harus berbuat atas nama Tuhan

yang dikenal dalam alam pikirnya. Memasung atau memenjara tuhan di alam ide memang

tidak menjadikan seseorang kufur. Akan tetapi dirinya akan memperoleh status munafik;

seluruh tindakan serta amal perbuatannya sama sekali tidak selaras dengan apa yang diketahui,

dipahami, dan dikenali di alam idenya. Laknat Allah Swt bagi orang-orang munafik![]

 Page 15

Anda mungkin juga menyukai