Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi


sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang
memberikan  efek  menenangkan,  sementara  hipnotik  adalah substansi yang dapat
memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta
mempertahankan tidur.

Tranquilizer, disebut juga ataraktika atau anxiolitika, khususnya zat-zat


benzodiazepine, dapat menekan SSP dengan khasiat sedative dan hipnotisnya, dan selain itu
juga berdaya anxiolitis, antikonvulsif, dan relaksasi otot.

Beberapa macam obat dalam dunia kedokteran , seperti, Benzodiazepin digunakan


sebagai zat penenang (sedativa-hipnotika). Pemakaian sedativa-hipnotika dalam dosis kecil
dapat menenangkan , dan dalam dosis besar dapat membuat orang yang memakainya tertidur.

Gejala akibat pemakaiannya adalah mula-mula gelisah, mengamuk lalu mengantuk,


malas, daya pikir menurun, bicara dan tindakan lambat . Jika sudah kecanduan, kemudian
diputus pemakainya maka akan menimbulkan gejala gelisah, sukar tidur, gemetar, muntah,
berkeringat, denyut nadi cepat, tekanan darah naik , dan kejang-kejang. Jika pemakainya
overdosis maka akan timbul gejala gelisah kendali diri turun, banyak bicara, tetapi tidak jelas,
sempoyangan, suka bertengkar, napas lambat, kesadaran turun, pingsan, dan jika pemakainya
melebihi dosis tertentu dapat menimbulkan kematian.

Penggunaan klinis kedua golongan obat-obatan ini telah digunakan secara luas
seperti untuk  tatalaksana  nyeri  akut  dan  kronik,  tindakan anestesia, penatalaksanaan
kejang, serta insomnia. Pentingnya penggunaan obat-obatan ini dalam
tindakan anestesi memerlukan pemahaman mengenai farmakologi  obat-obatan
kedua obat. Hal tersebut yang mendasari penulisan mengenai farmakologi obat-obatan
hipnotik sedatif.
2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hipnotik, sedatif dan tranquilizer ?

2. Apa saja obat yang termasuk golongan hipnotik, sedatif ?

3. Apa saja obat yang termasuk golongan tranquailizer ?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
 Sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Farmakologi Veteriner II
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
 Untuk menambah wawasan pengetahuan dan pemberi gambaran tentang
Hipnotik, Sedatif dan Tranquilizer .
 Untuk mengetahui pembahasan atau lebih dalam tentang Hipnotik, Sedatif dan
Tranquilizer .
1.4 Metode Penulisan
Di dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode,antara lain seperti :
 Library research atau kepustakaan adalah Studi kepustakaan adalah teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-
literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
dipecahkan.
 Metode Kompetitif, yaitu dengan cara membandingkan beberapa pendapat
orang lain dan pengalaman penulis sendiri untuk dijadikan satu kesimpulan-kesimpulan yang
dipandang dengan penting oleh penulis.
1.5 Manfaat

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah
satu penilaian individu mata kuliah Farmakologi Veteriner II. Selain itu, tujuan
penulisan tinjauan pustaka i n i j u g a u n t u k m e n a m b a h p e n g e t a h u a n b a g i p e n u l i s
d a n b a g i o r a n g l a i n y a n g membacanya terutama mengenai farmakologi obat-
obatan hipnotik sedatif. Dengan membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat lebih
mudah untuk memahami Hipnotik, Sedatif dan Tranquilizer .
3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hipnotik, Sedatif Dan Tranquilizer

Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat (SSP).
Efeknya bergantung dosis, mulai dari ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga berat yaitu kehilangan kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati.
Obat-obatan hipnotik sedative adalah istilah untuk obat-obatan yamg mampu mendepresi
sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang
memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan
efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur(Tjay, 2002).

Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedative-hipnotik menunjukkan bahwa


kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan disertai hilangnya rasa
cemas) atau menyebabkan kantuk. Sedative-hipnotik seringkali diresepkan untuk gangguan
tidur karena termasuk ke dalam obat-obatan penekan Sistem Saraf Pusat yang dapat
menimbulkan depresi (penurunan aktivitas fungsional) dalam berbagai tingkat dalam Sistem
Saraf Pusat (Goodman and Gilman, 2006).

Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan
pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok
psikoleptika yang mencakup obat0obat yang menekan atau menghambat sisem saraf pusat.
Sedatif berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan
penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat
utamanya tidak menekan Sistem Saraf Pusat, misalnya antikolinergika (Lüllmann, 2000).

Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan Sistem Saraf Pusat bila digunakan dalam dosis
yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-turut
peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi
dapat menyebabkan koma depresi pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali
untuk jangka waktu lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan
(Neal, 2002).

Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan
untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk,
4

mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai
tidur alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya
(Tjay, 2002).

Tranquilizer, disebut juga ataraktika atau anxiolitika, khususnya zat-zat


benzodiazepine, dapat menekan SSP dengan khasiat sedative dan hipnotisnya, dan selain itu
juga berdaya anxiolitis, antikonvulsif, dan relaksasi otot. Kerja anxiolitis tidak tergantung
pada daya sedative,malah tranquilizer yang ideal hendaknya berefeksedatifseringan
mungkin.pada penggunaan jangka panjang, benzodiazepine juga dapat menimbulkan
kebiasaan dan ketergantungan,tapi lebih ringa dari hipnotika lainnya. Pada over dose jarang
sekali menimbulkan depresi pernafasan dan kardiovaskuler, atau koma ,bila tidak
dikombinasi dengan obat-obat lain yang menekan SSP. Karena keamanannya yang
besar,maka obat ini praktis sudah mendesak tuntas barbiturate sebagai obat tidur dan
penenang pada keadaan neurotis, seperti gelisah, takut dan stress.

Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada sedasi, hal
ini dapat dicapai dengan semua obat sedative dengan peningkatan dosis. Depresi sistemsaraf
pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedative-hipnotik.
Dengan peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan
anestesi umum. Masih pada dosis yang tinggi, obat sedative-hipnotik dapat mendepresi
pusat-pusat pernafasan dan vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan
kematian (Katzung, 2002).

Bentuk yang paling ringan dari penekanan sistem saraf pusat adalah sedasi, dimana
penekanan sistem saraf pusat tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat menghilangkan
respon fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedatif terutama digunakan
pada siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat menimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan
dalam dosis yang sangat tinggi, obat-obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi,
sebagai contoh adalah barbiturat dengan masa kerja yang sangat singkat yang digunakan
untuk menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal) (Katzung, 2002).

2.2 Penggolongan Obat Hipnotik Sedatif

Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu


mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate
5

yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat
memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang


berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan
anesthesia, penatalaksanaan kejang serta insomnia. Obat-obatan sedatiif hipnotik
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni:

1. Benzodiazepin

2.   Barbiturat

3.   Golongan obat nonbarbiturat-nonbenzodiazepin

2.2.1 Benzodiazepin

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia
retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan
benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi
penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan
diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.

A. Struktur Kimia Benzodiazepin

Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine


ring yang berisi tujuh molekul.

Gambar 1. Struktur Kimia Benzodiazepin


6

B. Mekanisme Kerja

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid


(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap
neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post
sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal
ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi
dan relaksasi otot skeletal.

Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABA A sub unit alpha-1 yang merupakan
60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara
efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).

Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan


potensi (affinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah
otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi,
metabolisme dan ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat
dengan protein plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic
renal disease akan meningkatkan efek obat ini.

Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi


nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi
arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung

C. Efek Samping

Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknuya selama 2 minggu. Penggunaan
yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme
jantung dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan
penyakit paru kronis.

Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi


ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas
7

opioid dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine,
flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid.

D. Obat Golongan Benzodiazepin


a. Midazolam

Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin


imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu
affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada
obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan
ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam.

Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap
larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin
akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur
dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.

1) Farmakokinetik

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah
otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya
50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta
hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan
protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat
distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.

Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan
lebih pendek dibanding diazepam.

2) Efek pada Sistem Organ

Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak
seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan
8

metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki
efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.

a) Pernapasan

Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan


diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih
besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak
terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan
menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid.
Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian
atas.

b) Sistem kardiovaskuler

Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah
dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara
dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan
resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan
darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.

3) Penggunaan Klinik

Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai


sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi kejang grand mal.

1. Sedasi intravena

Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-
80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam,
midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi
yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan
dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan
CNS lainnya.
9

2. Induksi anestesi

Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik.
Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam.
Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS
lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding
pasien muda.

b. Diazepam

Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja
yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik
(propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH
6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.

1. Farmakokinetik

Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
(15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam
besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati
plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.

Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak.


Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang
kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada
cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.

2. Waktu Paruh

Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat
enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih
panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA A lebih
cepat terpisah.

Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam
dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari
seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
10

3. Efek pada Sistem Organ

Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.

Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan
perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan
penurunan tekanan darah sistemik.

Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila
konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.

4. Penggunaan Klinis

Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang
mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat
aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.

c. Lorazepam

Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada
adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat
dalam sedasi dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek
sampingnya sama.

1. Fisikokimia

Pemerian, berupa serbuk putih yang tidak larut pada air. Tablet lorazepam diminum
peroral yang mengandung 0.5 mg, 1 mg, or 2 mg lorazepam. Komposisi inaktif lorazepam
adalah lactose monohydrate, magnesium stearate, microcrystalline cellulose, polacriline
11

potassium. Lorazepam tidak larut dalam air dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene
glycol atau propylene glycol.

2. Farmakokinetik

Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler. Absorbsi pada


pemberian lorazepam secara intramuskular berlangsung cepat dan lengkap. Waktu paruh
singkat (10-20 jam) dibandingkan diazepam. Akumulasi kecil selama pemberian dosis
berulang. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 3 hari. Oleh sebab itu,
lorazepam harus dipertimbangkan dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut
memiliki waktu untuk efektif sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Eliminasi berlangsung
cepat yang diikuti dengan terapi yang tidak berkelanjutan. Efek maksimal muncul 30-40
menit setelah injeksi intravena. Tidak ada metabolit aktif dari lorazepam; dan karena
metabolismenya tidak tergantung dari enzim mikrosomal, ada pengaruh yang kurang pada
efeknya dari usia atau penyakit hati. Lorazepam dikinjugasikan ke bentuk glukoronida oleh
hati menjadi metabolit yang tidak akif. Metabolitnya dieksresikan melalui urin.

3. Indikasi

Terapi anxietas, tetapi tidak digabungkan dengan stress yang dialami setiap hari,
sedasi-hipnotik, terapi insomia, memberikan efek antikonvulsan dan amnestic (hanya
parenteral), antipanic agent dan antitremor agent ( secara oral), antiemetic pada kemoterapi
kanker (hanya parenteral), relaksasi otot.

4. Kontraindikasi

Dilihat dari masalah-masalah dalam pengobatan: intoksikasi alkohol dengan gejala


vital yang ditekan (depresi CNS), koma, shock (efek hipnotik atau hiposensitif dari
pemberian benzodiazepin secara parenteral). Menimbulkan kematian jika dikonsumsi setelah
meminum alkohol.

5. Adverse effects (efek samping pada high-dose)

Timbul toleransi. Amnesia antegrad (Blitt et al menunjukkan ketiadaan ingatan tidak


dihasilkan sampai 2 jam setelah injeksi intramuskuler) dihasilkan selama 4-6 jam tanpa
sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan sedasi berkepanjangan dan berlebihan
tanpa lebih banyak amnesia. Mental depresi. Palpitasi (detak jantung tidak teratur). Depresi
respirasi yang tidak diinginkan pada dosis pada penyakit paru.
12

d. Oxazepam

Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek
dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi
metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau
pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada
pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki
periopde tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.

e. Alprazolam

Alprazolam merupakan salah satu dari golongan obat Benzodiazepines atau disebut


juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang paling umum
digunakan sebagai anti ansietas. Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada
pasien dengan kecemasan atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk
premedikasi pengganti midazolam.

 Alprazolam merupakan obat anti ansietas dan anti panik yang efektif digunakan
untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat neurotransmitter asam
gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga menyebabkan efek penenang.
Alprazolamdiabsorbsi dengan baik di dalam saluran pencernaan dan bekerja cepat dalam
mengatasi gejala ansietas pada minggu pertama pemakaian. Alprazolam memiliki waktu
paruh yang pendek yaitu 12 – 15 jam dan efek sedasi (mengantuk) lebih pendek dibanding
Benzodiazepines lainnya, sehingga tidak akan terlalu mengganggu aktivitas. Alprazolam juga
aman digunakan bagi penderita gangguan fungsi hati dan ginjal dengan pemakaian di bawah
pengawasan dokter.
13

Gambar 2. Struktur Kimia Alprazolam

1. Mekanisme Kerja Alprazolam

Berikatan dengan reseptor benzodiasepin pada saraf post sinap GABA di beberapa
tempat  di SSP, termasuk sistem limbik dan formattio retikuler. Peningkatan efek inhibisi
GABA menimbulkan peningkatan permiabilitas terhadap ion klorida yang menyebabkan
terjadinya hiperpolarisasi dan stabilisasi.

1. Kegunaan Alprazolam

Kegunaan obat ini terutama untuk Anti-anxietas dan anti panik. Pada saat keadaan
cemas dan panik terjadi penurunan sensitivitas terhadap reseptor 5HT1A, 5HT2A/2C,
meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf pusat, terutama
reseptor alfa-2 katekolamin, meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatkan
teraktivasinya aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap
klonidin pada pasien dengan panic disorder), meningkatnya aktivitas metabolic sehingga
terjadi peningkatan laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi
CO2(hiperseansitivitas batang otak terhadap CO2), menurunnya sensitivitas reseptor GABA-
A sehingga menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus
intraamygdaloid circuitries, model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi
oleh fear network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat batang
otak. Sehingga, terapi yang diberikan pada kecemasan yaitu anxiolitik atau antianxietas yang
14

bekerja pada reseptor GABA dengan memperkuat aksi inhibitor GABA-ergic neuron


sehingga hiperaktivitas mereda.

2. Interaksi

 Dengan Obat Lain :

          Antifungi golongan azol, siprofloksasin, klaritromisin, diklofenak, doksisiklin,


eritromisin, isoniasid, nikardipin, propofol, protease inhibitor, kuinidin, verapamil
meningkatkan efek alprazolam. Kontraindikasi dengan itrakenazol dan ketokenazol.
Menguatkan efek depresi SSP analgetik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan siklik,
antihistamin, hipnotik-sedatif. Alprazolam dapat meningkatkan efek amfetamin, beta bloker
tertentu, dekstrometorfan, fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan
trisiklik dan substrat CYP2D6 lainnya. Alprazolam meningkatkan konsentrasi plasma
imipramin dan desipiramin. Aminoglutetimid, karbamasepin, nafsilin, nevirapin,
fenobarbital, fenitoin menurunkan efek alprazolam.

 ·      Dengan Makanan :

Merokok menurunkan konsentrasi  alprazolam sampai 50 %. Jus grapefruit


meningkatkan konsentrasi alprazolam. Makanan tinggi lemak, 2 jam sebelum pemberian
bentuk lepas terkendali dapat memperpanjang Cmaks sampai 25 %. Sedangkan pemberian
segera sesudah makan akan menurunkan Tmaks, bila makanan diberikan >=1 jam sesudah
pemberian obat T maks akan meningkat 30 %.

3. Informasi Penting

 Jangan gunakan obat ini jika anda memiliki alergi terhadap alprazolam atau 
benzodiazepines lain seperti chlordiazepoxide (Librium), clorazepate (Tranxene), diazepam
(Valium), lorazepam (Ativan), atau oxazepam (Serax). Obat ini dapat menyebabkan cacat
bawaan terhadap janin. Jangan gunakan alprazolam jika anda hamil.

 Sebelum menggunakan alprazolam beritahukan kepada dokter anda jika anda


memiliki masalah pernafasan, glaukoma, penyakit ginjal dan hati, atau depresi dan pernah
menjadi pecandu obat dan alkohol.
15

 Jangan meminum alkohol bersamaan dengan alprazolam. Obat ini dapat


meningkatkan efek alkohol. Obat ini hanya digunakan berdasarkan resep dokter. Jangan
berbagi alprazolam dengan orang lain, khususnya pada orang yang pernah overdosis atau
kecanduan obat. Simpan obat ini di tempat aman yang tidak dapat ditemukan orang lain.

4. Efek Samping

Jika kita menggunakan alprazolam kita menjadi sulit lepas dari obat ini karena
memang memiliki potensi ketergantungan yang besar jika dipakai lebih dari dua minggu saja.
Sulit lepas ini juga disebabkan karena efek putus zat obat ini sangat tidak nyaman, ada yang
langsung tiba-tiba stop dan merasakan kecemasan yang lebih parah daripada sebelumnya.

Maka dari itu penggunaan obat ini harus hati-hati dan kalau bisa sesuai dengan
indikasi saja. Belakangan karena potensi ketergantungan, toleransi (makin besar pake makin
lama) dan reaksi putus zat, obat ini sudah tidak menjadi pilihan pertama lagi sebagai obat
anticemas di Amerika Serikat, di sana lebih cenderung menggunakan Antidepresan gol SSRI
seperti Sertraline, Fluoxetine, Paroxetine (Paxil).

Selain itu ESO yang ditimbulkan SSP : depresi, mengantuk, disartria (gangguan
berbicara), lelah, sakit kepala, hiperresponsif, kepala terasa ringan, gangguan ingatan, sedasi;
Metabolisme-endokrin : penurunan libido, gangguan menstruasi; Saluran cerna : peningkatan
atau penurunan selera makan, penurunan salivasi, penurunan/peningkatan berat badan, mulut
kering (xerostomia).

2.2.2 Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.

Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat.
16

Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat
dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur
fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh
golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi
umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya
fenobarbital.

Gambar 3. Struktur Kimia Barbiturat

A. Pengaruh Barbiturat
1. Pengaruh Pada Sistem Saraf Pusat

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya melalui GABA sebagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-
nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.

2. Pengaruh pada Susunan Saraf Perifer

Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi
nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian
oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.
17

3. Pengaruh pada Pernapasan

Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis.


Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan
dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu
karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus,
yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada
intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2
berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO 2
dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.

4. Pengaruh pada Sistem Kardiovaskular

Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh
berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan
tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat
sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis
tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga
terjadi hipotensi.

5. Pengaruh pada Saluran Cerna

Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat


kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak
memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan
oleh dosis sedasi barbiturat.

6. Pengaruh pada Hati

Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati.
Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk
hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.

7. Pengaruh pada Ginjal

Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi
pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
18

B. Farmakokinetik

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan
dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak;
tiopental yang terbesar.

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital,
setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan
menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang
lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam
hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak
mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak
berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia.

Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi
hampir pada semua obat golongan barbiturat.

C. Indikasi

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena
efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan
benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang
digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.

1. Tiopental
 Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
 Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
 Sedasi pada analgesik regional
 Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
2. Fenobarbital
 Untuk menghilangkan ansietas
 Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
19

 Untuk sedatif dan hipnotik


D. Kontra Indikasi

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada
penderita usia lanjut.

E. Efek Samping
1) Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik
berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin
berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat.
2) Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada
depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
3) Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia,
terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam
keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.
4) Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa
yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium
dan kerusakan degeneratif hati.
F. Interaksi Obat

Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO
juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan
obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas
dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi,
fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
20

2.2.3 Nonbarbiturat – Nonbenzodiazepin


A. Propofol

Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang


digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung
10% minyak kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara
struktur kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya.
Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau
methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya
kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan
kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat
mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri
pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang
kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan peimilihan tempat masuk obat di daerah vena
yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.

Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut
untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele
sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan
rantai panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan
meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama.
Diprivan® menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan
meningkatkan pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl)
mengubah menjadi pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak
memiliki komponen chiral.

Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering
ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan
propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga
meningkatkan risiko embolisasi pulmonal.

Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol®) mengandung 5% minyak kedelai


dan 0,6% egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi
pertumbuhan mikroba.
21

Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah
efek samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli
paru) adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga
meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol
dibebaskan setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel.
Dibandingkan dengan propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten.

Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat
pelarut. Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah
disuntikan, cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah.

1. Mekanisme Kerja

Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap
memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah
salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar
klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post
sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat
dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan
neurotansmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang
teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.

2. Farmakokinetik

Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome


P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol
membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan
sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3
efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol
adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan
melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time
adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika
infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.
22

Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak
setelah pemberian melalui intravena.

Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan
bersihan ekstahepatik (pulmonary uptake dan eliminasi awal. Pulmonary uptake dari
propofol dipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-
diisoprpyl- 1,4 quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah
jalur metabolisme utama dari propofol dan UDP-glukoronidase sehingga ginjal juga
memegang peranan penting dalam mengekresikan propofol.

Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya
gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama antara
pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi
secara ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal
tidak mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun
metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia
lebih dari 60 tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien
dewasa. Kecepatan bersihaan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan
secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi
plasenta namun secara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus.

3. Penggunaan Klinis

Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan
kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain
menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau
anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus. Sering digunakan
di ruang ICU.

4. Efek Pada Organ


 Sistem Saraf Pusat

Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen (CRMO 2), aliran
darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien
dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besaar
propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan
aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran
23

darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran
darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam.
Propofol menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada
pasien yang mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan
sebagai alat monitoring fungsi sum-sum tulang belakang menunjukan tidak terdapat
perbedaan hasil (penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang
mendapat propofol, N2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG
pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang
mana thipental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek
gangguan ingatan.

 Sistem Kardivaskular

Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan


tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.
Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi.
Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat
penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan
intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga
menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol
terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas.
Suatu laporan menunjukan propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan
konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi
tidak menyebabkan peningkatan respon jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa
propofol dan zat penginduksi lainnya (selain etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas
saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi inhalasi desfluran. Efek ini mungkin
berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan pasin dengan gangguan ventrikel kiri yang
terkompensasi yang disebabkan gangguan padar pembuluh darah arteri koroner (PJK).
Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir gangguan tekanan darah.

Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang
diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien
ini.

Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol
sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol
24

sebenarnya juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf
parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.

Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial


dan ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolff Parkinsonn White
sehingga penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang
menyatakan bahwa timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada
EKG selama pemberian infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak
menimbulkan gelombang QT yang memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada
pasien yang mendapat propofol.

 Bradycardia- Related Death

Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien
dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama
anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di
ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan
anestesi lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama
pemberian antikolonergik.

Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang
mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol
menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah
dengan pemberian beta agonis contohnya insoproterenol.

 Paru

Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol.
Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada
saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal
dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan
karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan
risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan
penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.
25

 Fungsi Hepar dan Ginjal

Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin
hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar
akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang lama
menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan
warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada
pasien yang mendapat propofol yang ditandai dengan urin yang kerug, terdapat kristal asam
urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menendai gangguan ginjal akibat propofol.

 Tekanan Intraokular

Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatak TIO dan posisi


pasien saat laparoskopi meingkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol
menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO
ini meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran.

 Koagulasi

Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang
menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah
dan menghambat agregasi trombosiy melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk
tromboksan A2 dan platelet-activating factor (PAF).

B. Ketamin

Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia”


yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative
anesthesia ini menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti
nistagmus yang lambat. Berbagai derajat hnipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan
sering terjadi pada p[roses pembedahan. Namun pasin tetap dalam keadaan amnesia dan
analgesia. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate,
ketamine larut di dalam air dan dapat menyebabkan analgesik pada dosis subsnaestetik.
Namun ketamin sering hanya menyebabkan delirium. Ketamin sering disalahgunakan.
26

1. Struktur Kimia Ketamin

Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon
asimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan
ketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia
yang lebih, lebih cepat dimetablisme, dan masa recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit,
dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan
gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat
ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah
zethonium chloride.

2. Mekanisme Kerja Ketamin

Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat


(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor
muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase.
Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA.
Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat
mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil
sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin
inilah yang menimbulkan efek analgesia.

Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang
unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin
sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat,
menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter
penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek
stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar.

Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa.
Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun
memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma,
walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya
masih lemah.

Aksi antinosiseptif ketamindihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur


penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat
27

antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik


(delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap
reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya.

3. Farmakokinetik

Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat,
memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5
pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi
ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu
berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya
ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi
di dalam lemak (5-10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati
sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang
memfasilitasi distribusi obat ini ke otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati
sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki
konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih
rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter per menit), dan Vd yang
besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang tinggi di
hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati.

4. Metabolisme

Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian


terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga
terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin.
Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang
diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian
berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase
diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin
diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewat feses ditemukan <5%.
Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering
terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi ketamin
terjadi pula efek ketergantungan ketamin.
28

5. Penggunaan Secara Klinis

Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis
subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar.
Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm yang disebabkan
ketamine induced salivary secretions. Glycopyrrolatr lebih disukai daripada atropin dan
scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium
emergensi.

a. Analgesia

Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada
pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat
metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih
nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan
aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi
nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.

Sumsum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan


sentuhan dan perpindahan posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sum-sum
tulang belakang terjadi pada kornu dorasal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam
amino eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan
reeptor NMDA oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium berguna untuk
tatalaksana nyeri termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari
pada isomer R(-), efek anagesi 2 kali lebih tinggi daripada recemik ketamin. Pada proses
persalinan, ketamin memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin. Perubahan
neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan
bayi yang lahir dengan anestesia epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan
dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah
2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaan nya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate-
lemah sehingga tidak direkomendasikan.

b. Analgesia Neuraxis
29

Efek ekstradural analgesia masih dipertanyakan. Walaupun ketamin pernah


dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid, namun afinitas terhadap reseptor nya
10.000 kali lebih rendah dari pada morfin. Sehingga efek ekstradural baik efek spinal
maupun efek sistemik saling berinteraksi dengan anestesi lokal yang mempengaruhi kanal
ion sodium. Sehingga efek epidural ketamin lebih rendah namun pada pemakaian yang
dikombinasikan dengan obat opiod memiliki efek sinergis.

c. Induksi Anestesia

Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena
dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak
menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme
katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit
pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit
terhadap penurunan refleks faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit
seletal dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit.
Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak
menimbulkan amnesia retrograde.

Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular pada
anak dan padaa pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Ketamin digunakan
sebagai obat pada pasien luka bakar, debridemen, skin-grafting. Keuntungan penggunaan
ketamin adalah mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan
ventilasi spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan
dosis ketamin, anestesia interval cepat.

Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap


stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan
depresi myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon
saraf simpatis berubah.

Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif
yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang
memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5
mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang
30

memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik
yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek
emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih.

Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang


disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan
penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien
dengan peningkatan TIK. Nistagmus sering terjadi pada pemakaian ketamin.

d. Meningkatkan Depresi Mental

Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap mekanisme


antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi
pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.

e. Restless Leg Syndrome

Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless
leg syndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuroinflamasi pada sum-sum
tulang dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.

C. Dextromethorphan

Dextromethorphan (d-isomer dari levophanol) adalah NMDA antagonis dengan


afinitas ringan yang sering digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini
memiliki efek yang seimbang dengan kodein sebagai antitusif tetapi tidak memiliki efek
analgesik Tidak seperti kodein, obat ini tidak menimbulkan efek sedasi atau gangguan sistem
gastrointestinal. DMP memiliki efek euforia sehingga sering disalahgunakan. Tanda dan
genjala penggunaan berlebihan DMP adalah hipertensi sistemik, takikardia, somnolen,
agitasi, ataxia, diaporesis, kaku otot, kejang, koma, penurunan suhu tubuh. Hepatotoksisitas
meningkat pada pasien yang mendapat DMP dan asetamenofen.

Meprobamat bersifat sebagai sedatif dan kerja menidurkannya ringan. Walaupun


kegiatan menidurkannya tidak sekuat seperti reserpin dan Klorpromazin, tetapi meprobamat
berguna dalam psychoterapi sebagai obat tambahan.

Meprobamat ini banyak disalahgunakan untuk pengobatan menenangkan ketegangan


batin atau kecemasan. Kerja ikutannya dapat mengakibatkan otot-otot menjadi lemah,
31

menimbulkan perasaan letih dan pusing. Pemakaian meprobamat yang terlalu sering dapat
mengakibatkan kebiasaan. Dosis biasa: Oral 3 — 4 x sehari 400 mg.

2.3 Penggolongan Obat Tranquilizer

A. Psikofarmaka

Psikofarmaka adalah obat-obat yang berkhasiat terhadap SSP (Sistem Syarat Pusat)
dengan mempengaruhi fungsi-fungsi psikis (rohaniah) dan proses-proses mental.

Perubahan dan kemajuan besar dalam farmakoterapi psikosis telah dimulai dengan
introduksi dari klorpromazin pada tahun 1952, disusul dengan dengan alkaloida Rauwolfia
Reserpin (1954) yang pada saat itu sudah beberapa tahun digunakan sebagai obat hipertensi.
Sekitar 1957 obat-obat antidepresi pertama mulai digunakan, yaitu obat tuberkolosa
yaitu iproniazida dan imipramin. Pada waktu itu juga telah diperkembangkan tranquillizer-
tranquillizer modern, yakni meprobamat dan senyawa-senyawa benzodiazepine
(diazepam,dan sebagainya). Semua obat ini lalu disusul dengan banyak turunannya dan
psikofarmaka yang lainnya.

Obat-obat baru ini tidak hanya lebih efektif  dari obat-obat sebelunya, melainakan
sangat merubah dan mempermudah perawatan penderita-penderita di rumah sakit gangguan
jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dengan para perawat dan terapinya, selain itu waktu
perawatan dirumah sakit juga dapat diperpendek, karena para penderita gangguan jiwa dapat
diobati secara ambulan (poliklinis, dirumahnya sendiri). Namun demikian psikofarmaka
ternyata tidak dapat mengantikan terapi shock secara keseluruhan, antara lain electro-shock
pada keadaan-keadaan depresi tertentu.

1. Mekanisme Kerja

Semua obat psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk dalam CCS (Cairan
Serebro Spinal) dimana mereka melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf-saraf
otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimia belum diketahui secara pasti , tetapi terdapat
petunjuk-petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar
neurotransmitter diotak atau antar keseimbanganya.

Seperti diketahui neurotransmitter atau neurohormon adalah zat yang menyebabakan


penerusan implus (rangasangan listrik) dari sutu neuron (axon) melalui sinaps ke neuron yang
lain (dendrite atau saraf post-sinaptik).
32

Neurohormon terpenting dari sistem adrenergic diotak adalah zat-zat mono-amin


noradrenalin (NA), serotonin (5-HT = 5 Hidroksitriptamin) dan dopamine (DA), yang
menentukan kegiatan otak dengan antar keseimbanganya. Zat-zat ini khususnya terdapat
dalam gelembung-gelembung kecil diujung-ujung axon, berdekatan dengan sinaps. Setelah
implus listrik masuk kedalam axon gelembung persendian melepaskan neurohormonnya.
Sebagaian besar daripadanya segera diserap kembali secara aktif oleh gelembung-gelembug
tersebut (re-uptake), sisanya melangkai sinaps dan mencapai reseptor-reseptor di ujung
dendrite seberang. Tibanya neurohormon menstimulasi reseptor untuk melepaskan suatu
impuls kedua, yang mengakibatkan “loncatnya” impuls asli melalui sinaps. Enzim MAO
(Mono Amin Oksidase) yang juga terdapat diujung-ujung neuron, berfungsi menguraikan
mono-amin sesudah pekerjaannya selesai. Neurotransmitter asetilkolin dari sistem kolinergik
tidak direspon kemabali,melainkan langsung diuraikan oleh kolinesterase.

Teori mono-amin menyebutkan bahwa terganggunya keseimbangan antara masing-


masing neurohormo tersebut dari sistem adrenergic memperihatkan hubungan erat dengan
penyakit-penyakit jiwa. Tetapi juga neurotransmitter-neurotransmitter dari sistim-sistim yang
lain memegang peran yang lain dalam hal ini, misalnya asetilkolin dan endorfin-endorfin
(morfin endrogen). Dengan demikian pada depresi endogen (keadaan murung dan sendu yang
hebat) seringkali ditemukan kekurangan NA dan 5-HT disinaps-sinaps penting dari SSP,
sedangkan pada keadaan mania (suatu keadaan hiperaktif dan gembira) justru terdapat
berlebihan akan hormon-hormon tersebut.

2. Kombinasi

          Neuroleptika dan antidepresiva tidak dapat dikombinasi dengan andrenergika


(andrenalin,efedrin,wekamin) karena mengakibatkan penimbunan NA dengan efek hipertensi
dan aritmia. Begitupula kombinasi dengan semua obat penekan SSP, misalnya hipnotika,
antihistaminika atau alcohol. Untuk obat-obat hipertensi dengan kerja sentral,misalnya
klonidin, sebaiknya juga dikurangi.

          Kombinasi dari neuroleptika dengan antidepresiva hanya diperbolehkan pada


pasien-pasien depresif dengan gejala-gejala agitasi, kegelisahan dan rasa takut. Kombinasi
dari benzodiazepine dengan neuroleptika atau antidepresiva bias bermanfaat.
33

3. Dosis

Efek dari psikofarmaka memperlihatkan variasi individual yang besar sekali,


sedangkan antara kadar darah dan efek terapi umumnya tidak ada hubunganya langsung.
Maka terapi biasanya dimulai dengan dosis rendah yang setiap 4-7 hari dinaikkan dengan
berangsur-angsur sampai efek yang diinginkan tercapai atau terjadi gejala-gejala
ekstrapiramida. Efek optimal kebanyakan baru tercapai setelah 2-3 minggu (waktu latensi).
Orang-orang yang sudah berusia tua sangat peka terhadap obat-obat ini dan umumnya dosis
separuhnya sudah mencukupinya.

Berhubung plasma-t1/2 pada umumnya agak panjang, antara 15-50 jam, maka


pentakaran satu kali sehari sebelum tidur lazimnya mencukupi.Jika perlu dapat ditambah
dengan dosis yang rendah pada esok harinya. Keuntungan dari penakaran sebagai single-dose
adalah kurang dirasakanya efek-efek samping tidak enak dan dipermudahnya tidur berkat
efek sedative-hipnotiknya. Penggunaan tablet-tablet long-acting (retard,duplex,dan
sebagainya) dalam hal ini tidak bermanfaat.
34

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem
saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan
efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapatmemberikan  efek
mengantuk  dan  yang  dapat mempertahankan tidur.

Obat-Obatan hipnotik sedatif terbagi menjadi tiga jenis  yakni golongan


benzodiazepin, barbiturat, dan bukan keduanya.Obat golongan benzodiazepine
berkerja  pada  reseptor gamma-aminobutyric  acid.

Tranquilizer, disebut juga ataraktika atau anxiolitika, khususnya zat-zat


benzodiazepine, dapat menekan SSP dengan khasiat sedative dan hipnotisnya, dan selain itu
juga berdaya anxiolitis, antikonvulsif, dan relaksasi otot.

3.2 SARAN

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca
untuk mendalami dan memahami tentang penejelasan mengenai Hipnotik, Sedatif, dan
Tranquilizer. Akan tetapi banyak sekali kesalahan yang mungkin terdapat dalam makalah ini,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semata. Oleh karena itu, kritik dan saran
kami terima untuk membenahi dan memperbaiki isi makalah ini. Terima kasih.
35

DAFTAR PUSTAKA

Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. (2007). Modern Pharmacology With Clinical


Application-6th Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.

Ganiswarna. (1995). Farmakologi dan Terapi, Jakarta, FKUI

http://wiendypuspita.blogspot.com/2011/06/makalah-farmakologi-sedatif-hipnotik.html
(ditulis oleh Windy Puspita tahun 2011, diakses 11 desember 2013)

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/04/hipnotik-sedatif-dan-psikotropik.html (ditulis oleh


dr. Suparyanto, M.Kes tahun 2010, diakses 11 desember 2013)

http://muhammadikbal-muhammadikbal.blogspot.com/2011/05/penekan-saraf-pusat.html (di
tulis oleh Muhammad Ikbal tahun 2011, diakses 16 Desember 2013)

http://erwin-health-live.blogspot.com/2010/12/efek-sedatif.html (di tulis oleh Erwin tahun


2010, diakses 16 Desember 2013)

http://ritariata.blogspot.com/2010/03/efek-sedatif.html (di tulis oleh Rita tahun 2010, di akses


18 Desember 2013)

http://mypharmacis.blogspot.com/2012/12/interaksi-golongan-obat-sedatif-hipnotik.html (di
tulis oleh Haris tahun 2012, di akses 19 Desembee 2013)

http://kamuskesehatan.com/arti/sedatif/ (diakses 22 Desember 2013)

http://chamaiiaariani.wordpress.com/penyebab-diare/sedatif-hipnotik-dan-anestetika/ (di tulis


oleh Chamaii Rani, diakses 22 Desember 2013)

http://mypotik.blogspot.com/2012/05/aneka-macam-obat-sedatif.html (diakses 22 Desember


2013)

http://www.scribd.com/doc/79966138/SEDATIV-HIPNOTIK#download (diakses 22
Desember 2013)

http://yudhiestar.blogspot.com/2010/01/sedativa-tranquilizer.html (ditulis oleh Yudhistar


2010, diakses 25 Desember 2013)

http://hanafimisura.blogspot.com/2012/12/interaksi-obat-sedatif-hipnotik_30.html (ditulis
oleh Hanafi 2012, diakses 25 Desember 2013)
36

http://www.scribd.com/doc/169087528/Makalah-Hipnotik-Dan-Sedatif (diakses 25
Desember 2013)

http://psikosisfrischa.blogspot.com/2011/01/psikofarmaka.html (diakses 25 Desember 2013)

Goodman and Gilman. (2006). The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th


Ed.,McGraw-Hill Companies. Inc, New York.

Katzung, G.Bertram. (2007). Basic & Clinical Pharmacology – 10th Ed. The McGraw-Hill
Companies. Inc, New York.

Lüllmann, Heinz, [et al.]. (2000). Color Atlas of Pharmacology 2nd Ed. Thieme. New York.

Neal,J.Michael. (2002). Medical Pharmacology at a glance-4th Ed. Blackwell science Ltd.


London

Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua.


Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai