Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah serta izinnya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
mengenai “Asuhan keperawatan pada pasien SLE”

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak


kepada bimbingan dari dosen yang telah memberikan bantuan, saran serta
dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dari awal sampai
selesai.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak dalam perbaikan makalah ini. Walaupun demikian, kami berharap
penulisan makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca
umumnya, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berkembang dengan cepat.

Banda aceh, 2 febuari 2020

penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti serigala (wolf) dan
erythematosus artinya warna kemerahan pada kulit (terutama kulit daerah muka).
Dahulu kerusakan kulit mirip dengan gigitan dari serigala. Baru pada tahun 1828,
dr. Laurent T. Biett seorang dokter kulit yang berasal dari prancis
memperkenalkan penyakit ini. Empat puluh lima tahun kemudian tepatnya tahun
1873, dokter moriz kohn kaposi dari australia menyatakan bahwa penyakit ini
selain mengenai kulit juga menyerang organ dalam. Pada tahun 1954 ditemukan
adanya otoantibodi pada penderita lupus.
Lupus eritematosus sistemis (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
LES termasuk penyakit kolagen-vaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskulokeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit kolagen-vaskular sering tidak diketahui, tetapi
sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut.
Penderita LES diperkirakan mencapai lima juta orang di seluruh dunia
(yayasan lupus indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi bervariasi antara 3-
400 orang per 100.000 penduduk. LES lebih sering ditemukan di ras-ras tertentu
seperti bangsa afrika- amerika, cina, dan mungkin juga filipina. Di amerika,
prevalensi LES kira-kira 1 kasus per 2.000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus
per 10.000 populasi. Prevelansi penderita LES di cina adalah 1:1.000. meskipun
bangsa afrika yang hidup diamerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
LES, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang
hidup diafrika.
LES sembilan kali berisiko pada wanita dari pada laki-laki. Hal itu dapat
terjadi pada semua usia, tetapi paling sering muncul pada orang berusia antara 10
dan 50. Afrika, amerika, dan asia yang terkena lebih sering dari pada orang dari
ras lain.

1.2 RUMUSAN MASALAH


2. Apa pengertian Systemic Lupus Erithematosus ?

3. Jelaskan Etiologi dari penyakit SLE ?

4. Jelaskan Anatomi Sistem Imunitas dari penyakit SLE ?

1
5. Jelaskan patofisiologi dari SLE ?

6. Jelaskan Manifestasi klinis dari SLE ?

7. Jelaskan Pemeriksaan penunjang dari SLE ?

8. Jelaskan Penatalaksanaan Medis dari SLE ?

9. Jelaskan Penatalaksanaan Keperawatan dari SLE ?

1.3 TUJUAN

a) Tujuan Umum :
Mahasiwa mampu memahami tentang konsep asuhan keperawatan pada
pasien SLE
b) Tujuan Khusus :

1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis


penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan
gejala), pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan
keperawatan.

2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien


yang menderita penyakit lupus.

2
BAB II
TINJAUAN PERPUSTAKAAN

2.1 DEFINISI

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit inflamasi kronik yang


menyerang hampir semua sistem tubuh, termasuk sistem muskuloskeletal.
Manifestasi SLE sangat beragam dan dianggap akibat drai kerusakan sel dan
jaringan yang disebabkan oleh deposisi kompleks antigen-antibodi pada jaringan
ikat. SLE dapat memiliki rentang dari gangguan episodik ringan hingga proses
penyakit fatal yang cepat. ( Priscilla Lemone dkk. 2012)

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit radang atau inflamasi


multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
LES termasuk penyakit kolagen-vaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit kolagen-vaskular sering tidak diketahui, tetapi
sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut. (zairin noor
hermi. 2012)

2.2 ETIOLOGI

LES (lupus) adalah penyakit autoimun yang berarti gangguan respons


sistem normal terhadap kekebalan tubuh. Penyebab penyakit autoimun tidak
sepenuhnya diketahui. Biasanya, sistem kekebalan tubuh membantu
melindungi tubuh dari zat berbahaya. Akan tetapi, pada pasien dengan penyakit
autoimun, sistem kekebalan tubuh tidak bisa mengatakan perbedaan antara zat
berbahaya dan yang sehat. Hasilnya adalah respons imun yang terlalu aktif
yang menyerang sel sehat. Hal ini menyebabkan jangka panjang (kronis)
peradangan.

Berbeda dengan HIV/AIDS, LES adalah suatu penyakit yang ditandai


dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk kedalam tubuh
berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Oleh karena organ tubuh yang terserang bisa
berbeda antara penderita atau dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering

3
berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah. (zairin noor
hermi. 2012)

2.3 PATOFISIOLOGI

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadinya akibat


terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia produktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin (apresoline), prokainamid
(pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
disamping makanan seperti kecambah alfaalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat


fungsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali
(bunner & suddarth. 2002)

4
Pathway

5
2.4 MANIFESTASI KLINIS

Awitan SLE dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas atau akut. Karena
alasan inilah, penderita SLE mungkin tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun.
Gambaran klinis SLE meliputi lebih dari satu sistem tubuh. Sistem
muskulokeletal terlibat dengan gejala artralgia dan artritis (sinovitis) yang
merupakan gambaran yang sering ditemukan pada penyakit SLE. Pembengkakan
sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak merupakan gejala yang sering
terdapat dan akan disertai dengan rasa kaku pada pagi hari.

Beberapa tipe manifestasi kulit yang berbeda dapat terjadi pada penderita
SLE; manifestasi ini mencakup lupus eritematosus kutan subakut (SCLE;
subacute cuta-neous lupus erythematosus). Manifestasi kulit yang paling dikenal
(tetapi frekuensinya kurang dari 50% pasien) adalah lesi akut pada kulit yang
terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Gambaran ini mungkin merupakan satu-satunya kelainan kulit pada sebagian
kasus lupus eritematosus (diskoid). Pada sebagian pasien, gangguan awal pada
kulit dapat menjadi prekursor untuk terjadinya gangguan yang bersifat lebih
sistemik. Lesi sering memburuk pada saat eksaserbasi (flares) penyakit sistemik
dan dapat dipicu oleh cahaya matahari atau sinar ultraviolet artifisial.

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. Ulkus ini
terbentuk dimana-mana serta sering dengan eksaserbasi dan mungkin disertai lesi
kulit. Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling sering ditemukan
dan terjadi pada sampai 30% pasien. Kelainan ini mungkin asimtomatik dan
sering disertai dengan efusi pleura. Gangguan paru dan pleura terjadi pada 20%
hingga 40% pasien; gangguan ini paling sering dimanifestasikan dalam bentuk
pleuritis atau efusi pleura.

Sistem vaskuler dapat terlibat dengan proses inflamasi pada arteriole


terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura. Semua lesi

6
ini dapat timbul pada ujung jari tangan, siku, jari kaki serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut menjadi nekrosis

Limfadenopati terjadi pada 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu tertentu
selama perjalanan penyakit tersebut. Gangguan renal terdapat pada sekitar 52%
penderita SLE, dan glomerulus renal merupakan bagian yang biasanya terkena.
Derajat kerusakan ginjal menunjukkan apakah gangguan renal akan bersifat
reversibel.

Gambaran neuropsikiatrik yang bervariasi dan frekuensi pada SLE kini


sudah lebih banyak dikenali. Gambaran ini umumnya diperlihatkan oleh
perubahan yang tidak jelas pada pola perilaku atau kemampuan kognitif.
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik. Sering terjadi depresi dan psikosis (brunner & suddarth.
2002)

2.5 PENATALAKSANAAN

Penanganan SLE mencakup penatalaksanaan penyakit akut dan kronik.


Penyakit akut memerlukan intervensi yang ditujukan unuk mengendalikan
peningkatan aktivitas penyakit atau eksaserbasi yang dapat meliputi setiap sistem
organ. Aktivitas penyakit merupakan gabungan hasil pemeriksaan klinis dan
laboratarium yang mencerminkan inflamasi aktif sekunder akibat SLE.
Penatalaksanaan keadaan yang lebih kronik meliputi pemantauan periodik dan
pengenalan berbagai perubahan klinis yang bermakna yang memerlukan
penyesuaian terapi. Pendidikan pasien merupakan unsur yang sangat penting.

Tujuan terapi mencakup upaya untuk mencegah hilangnya fungsi organ yang
progresif, mengurangi kemungkinan terjadi penyakit akut, meminimalkan
disabilitas yang berhubungan dengan penyakit dan mencegah komplikasi akibat
terapi. Penatalaksanaan SLE meliputi pemantauan teratur untuk menilai aktivitas
penyakit dan efektivitas terapi.

7
Terapi untuk SLE dilaksanakan berdasarkan konsep bahwa inflamasi
jaringan setempat diantarai oleh konsep respons imun yang berlebihan atau
meninggi, yang intensitasnya bisa bervariasi sangat luas dan memerlukan terapi
yang berbeda. Preparat NSAID digunakan untuk mengatasi manifestasi klinis
minor dan kerapkali dipakai bersama kortikosteroid dalam upaya untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.

Kortikosteroid merupakan satu-satunya obat yang paling penting yang


tersedia untuk mengobatan SLE. Preparat ini digunakan secara topikal untuk
mengobati manifestasi kutaneus, secara oral dengan dosis rendah untuk
mengatasi aktivitas penyakit yang ringan dan dengan dosis yang tinggi untuk
mengatasi aktivitas penyakit berat. Pemberian bolus IV dianggap sebagai terapi
alternatif yang bisa menggantikan terapi oral dosis tinggi. Obat-obat antimalaria
merupakan preparat yang efektif untuk mengatasi gejala kuteneus,
muskulokuletal dan sistemik ringan dari SLE. Preparat imunosupresan (preparat
pengkelat dan analog purin) digunakan karena efeknya pada fungsi imun.
Pemakaian obat-obat ini dianggap sebagai eksprimen dan umumnya hanya
dilakukan bagi pasien dengan bentuk SLE yang serius serta tidak responsif
terhadap terapi konservasif. (brunner & suddaerth. 2002)

2.6 MEDIKASI

Pasien yang mengalami SLE ringan atau intermiten mungkin memerlukan


sedikit atau tidak ada terapi selain perawatan penunjang. Artralgia, artritis,
demam, dan keletihan dapat sering dikelola dengan aspirasi atau NSAID lain.
Aspirasi terutama berguna untuk pasien SLE karena efek antitrombosit
membantu mencegah trombosis. Akan tetapi, hal tersebut menyebabkan toksisitas
hati dan hepatitis

Manifestasi SLE pada kulit dan artritis mungkin ditangani dengan obat
antimalaria seperti hydroxycholoefektif dalam mengurangi frekuensi episode akut
SLE pada orang yang menderita penyakit ringan atau tidak efektif. Toksisitas
retina dan kemungkinan kebutaan ireversibel merupakan masalah utama dengan

8
obat ini. Karena alasan ini, pasien mengonsumsi hydroxycholoroguine menjalani
pemeriksaan oftalmologi setiap 6 bulan.

Pasien yang mengalami manifestasi SLE yang berat dan mengancam jiwa
(seperti nefritis, anemia hemolitik, miokarditis, perikarditis, atau lupus CNS)
memerlukan terapi kortikosteroid dalam dosis tinggi. Pasien tersebut dapat
memerlukan 40 hingga 60 mg prednison perhari pada awalnya. Dosis diberikan
secara cepat jika penyakit pasien memungkinkan, meskipun penurunan dosis
dapat memicu episode akut. Beberapa pasien SLE memerlukan terapi
koetikostiroid jangka panjang untuk mengelola gejala dan mencegah kerusakan
organ utama. Pasien ini berada pada tingkatan risiko mengalami efek samping
kortikosteroid, seperti efek cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi,
infeksi, osteoporosis terakselerasi, dan hipokalemia. (priscilla lemone. 2012)

Karena fotosensitivitas akibat SLE, pasien harus diberi kehati-hatian untuk


menghindari pajanan matahari. Pasien harus menggunakan tabir surya dengan
faktor proteksi matahari (sun protection faktor, SPF) 15 atau lebih tinggi ketika
diluar rumah. Kortikosteroid topikal dapat digunakan untuk menangani lesi kulit.
Beberapa dokter merekomendasikan menghindari penggunaan kontrasepsi oral
karena estrogen dapat memicu episode akut.(priscilla lemone. 2012)

2.7 EVALUASI DIAGNOSTIK

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta
penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, pleuraritis dan perikarditis.
Tidak ada satu tes laboratarium tunggal yang dapat memastikan diagnosis SLE ;
sebaliknya, pemeriksaan serum akan mengungkapkan anemia yang sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi
antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lain mendukung tetapi tidak
memastikan diagnosis. (brunner & suddaerth. 2002)

9
2.8 KOMPLIKASI

1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein
didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal
sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau pecangkok ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bias terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis,
maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindrom otak organic dan sekitar
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Pengumpalan darah
Kelainan darah ditemukans 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan
darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah thrombosit berkurang dan tubuh membentuk
antibody yang melawan faktor pembekuan darangg yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perperadangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis,
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
keadaan tersebut
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
keadaan tersebutt timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh

10
Hampir semua penderi lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian
pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan
pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri
didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
A. identitas pasien
Pada identitas pasien dikaji meliputi nama, umur, pedidikan, pekerjaan,
status pernikahan, agama, suku, alamat, tanggal pengkajian. Sedangkan
pada identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, pekerjaan,
pedidikan, alamat.
B. Riwayat kesehatan pasien
1) Keluhan utama
Pada umumnya pasien mengeluh nyeri pada sendi serta kekakuan
kaki dan tangan, klien merasa demam. Pipi dan leher memerah serta
nyeri pada bagian yang memerah.
2) Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah
menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau
penyakit autoimun yang lain.
3) Riwayat penyakit sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien
( misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam discoid, bintik-bintik
eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam, kelelahan,
nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut
b. Mulai kapan keluhan dirasakan
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan
d. Keluhan-keluhan lain menyertai
4) Riwayat penyakit kelurga

12
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakit yang sama atau autoimun yang lain.

C. Pemeriksaan fisik
a. Kulit: ruam eritematous, plak eritemayous pada kulit kepala, muka
dan leher
b. Sistem muskuloskeletal: terjadi pembengkakan, keterbatasan gerak,
kemerahan dan nyeri pada tekan sendi
c. Sistem integumen: ulserasi membran mukosa, ekimosis, ptekye,
purpura, infadenopati difus
d. Sistem pencernaan: nyeri tekan abdomen, hepotosplenemegali,
peristaltic usus meningkat, kelenjar parotis membesar.
e. Sistem pernafasan: takipneu, perkusi suara redup. Efusi pleura dan
ronchi
f. Sistem kardiovaskuler: takikardi, aritmia

D. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan lab
a. Pemeriksaan darah:
1. Pemeriksaan ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE
2. Pemeriksaan antibodi anti-DNA merupakan indikator SLE
yang lebih spesifik, karena antibodi ini jarang ditemukan pada
semua gangguan lain.
3. ESR biasanya meningkat, terkadang hingga >100 mm/jam
4. Kadar serum lengkap biasanya menurun karena komplemen
diskonsumsi atau “digunakan” dengan perkembangan
kompleks antigen-antibodi.
5. Abnormalitas CBC mencakup anemia sedang hingga berat,
leukopenia dan limfositopenia, dan kemungkinan
trombosiyopenia

13
6. Urinalisi menunjukkan proteinuria ringan, hematuria, dan
endapan sel darah selama eksaserbasi penyakit ketika ginjal
terkena. Pemeriksaan fungsi ginjal, antara lain kreatinin
serum, nitrogen urea darah (bloot urea nitrogen, BUN), dan
eGFR juga dapat diambil untuk mengevaluasi derajat penyaki
ginjal
7. Biopsi ginjal dapat dilakukang untuk mengkaji keparahan lesi
ginjal dan panduan terapi
2) Radiologi:
a. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis

14
3.2 Diagnosa keperwatan
3.3 Tujuan dan kriteria hasil
3.4 Intervensi

Diagnosa Keperawatan/ Rencana Keperawatan


masalah kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri akut NOC: NIC :
Definisi: pengalaman 1. Comfort level Pain manajemen
sensori dan emosional 2. Pain control 1. Lakukan
yang tidak 3. Pain level pengkajian nyeri secara
menyenangkan yang Setelah dilakukan komprehensif termasuk
muncul akibat kerusakan tindakan keperawatan lokasi, karakteristik,
jaringan yang aktual atau selama pasien tidak durasi, frekuensi,
potensial atau mengalami nyeri, kualitas, dan faktor
digambarkan dalam hal dengan kriteria hasil : presipitas
kerusakan sedemikian 1. Mampu 2. Observasi
rupa (international mengontrol reaksi nonverbal dari
association for the study nyeri (tahu ketidak nyamanan
of pain) : awitan yang penyebab 3. Gunakan
tiba-tiba atau lambat dari nyeri, mampu teknik komunikasi
intensitas ringan hinggat menggunakan terapeutik untuk
berat dengan akhir yang tehnik mengetahui
dapat diatisipasi atau nonfarmakolo pengalaman nyeri
diprediksi dan gi untuk pasien
berlangsung <60 bulan mengurangi 4. Kaji kultur
nyeri, mencari yang mempengaruhi
Batasan karakteristik : bantuan) respon nyeri
1. Perubahan 2. Melaporkan 5. Evaluasi
selera makan bahwa nyeri pengalaman nyeri masa
2. Perubahan berkurang lampau
tekanan dengan 6. Evaluasi
darah menggunakan bersama pasien dan tim
3. Perubahan manajemen kesehatan lain tentang
frekuensi nyeri ketidak efektifan
jantung 3. Mampu kontrol nyeri masa
4. Perubahan mengenali lampau
frekuensi nyeri (skala, 7. Bantu pasein
pernapasan intensitas, dan keluarga untuk
5. Laporan frekuensi, dan mencari dan
isyarat tanda nyeri) menemukan dukungan
6. Perilaku 4. Menyatakan 8. Kontrol
distraksi (misal, rasa nyaman lingkungan yang dapat
berjalan setelah nyeri mempengaruhi nyeri
mondar-mandir berkurang seperti suhu ruangan

15
mencari orang pencahayaan dan
lain atau kebisingan
aktivitas lain 9. Kurangi faktor
aktivitas yang presipitasi nyeri
berulang) 10. Pilih dan
7. Mengekspresika lakukan penanganan
n perilaku (mis, nyeri (farmakologi,
gelisah, nonfarmakologi dan
merengek, interpersonal)
menangis) 11. Berikan
8. Sikap analgetik untuk
melindungi area mengurangi nyeri
nyeri 12. Evaluasi
9. Indikasi nyeri keefektifan kontrol
yang dapat nyeri
diamati 13. Tingkatkan
10. Perubahan istirahat
posisi untuk 14. Kolaborasikan
menghindari dengan dokter jika ada
nyeri keluhan dan tindakan
11. Sikap tubuh nyeri tidak berhasil
melindungi 15. Monitor
12. Melaporkan penerimaan pasien
nyeri secara tentang manajemen
verbal nyeri
13. Dilatasi pupi Analgesic administration
Faktor yang 1. Tentukan
berhubungan lokasi,
1. Agen cedera (mis, karakteristik,
biologis, zat kualitas, dan
kimia, fisik, derajat nyeri
psikologis) sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat,
dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat
alergi
4. Pilih analgetik
yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik
ketika

16
pemberian
lebih dari satu
5. Tentukan
pilihan
analgesik
tergantung tipe
dan beratnya
nyeri
6. Tentukan
analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal
7. Pilih rute
pemberian
secara IV,IM
untuk
pengobatan
nyeri secara
teratur
8. Monitor vital
sign sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesik tepat
waktu terutama
pada saat nyeri
hebat
9. Evaluasi
efektivitas
analgesik,
tanda dan
gejala

17
Diagnosa Keperawatan/ Rencana Keperawatan
masalah kolaborasi
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Kerusakan Integritas kulit  Tissue 1. Anjurkan
Definisi: perubahan/gangguan integrity pasien untuk
epidermis atau dermis  Membranes menggunakan
 Hemodyalis pakaian yang
Batasan karakteristik akses longgar
1. Kerusakan lapisan Selama dilakukan tindakan 2. Hindari
kulit (dermis) keperawatan selama kerutan dan pada
2. Gangguan kerusakan integritas kulit tempat tidur
permukaan kulit pasien teratasi dengan 3. Jaga
(epidermis) kriteria hasil : kebersihan kulit
1. Integritas agar tetap bersih
Faktor yang kulit yang baik dan kering
Berhubungan bisa dipertahankan 4. Mobilisasi
Eksternal (sensasi, pasien (ubah
1. Kelembapan elastisitas, posisi pasien)
2. Hipertermia temperatur, setiap dua jam
3. Hipotermia hidrasi, sekali
4. Lembap pigmentasi)Tidak 5. Monitor
5. Zat kimia, radiasi ada luka/lesi pada kulit akan adanya
6. Usia yang ekstrim kulit kemerahan
Internal 2. Perfursi 6. Oleskan
1. Gangguan volume jaringan baik lotion atau
cairan 3. Menunjukkan minyak/baby oil
2. Nutrisi tidak pema, haman pada daerah yang
adekuat dalam proses tertekan
3. Faktor psikogenik perbaikan kulit 7. Monitor
4. Perubahan dan mencegah aktivitas dan
pigmentasi terjadinya sedera mobilisasi
5. Perubahan turgor berulang pasien
6. Penurunan 4. Mampu 8. Monitor
imunologis melindungi kulit status nutrisi
7. Penurunan sirkulasi dan pasien
mempertahankan 9. Memandikan
kelembapan kulit pasien dengan
dan perawatan sabun dan air
alami hangat
5. Menunjukkan 10. Kaji
terjadinya proses lingkungan dan
penyembuhan luka peralatan yang
menyebabkan
tekanan
11. Observasi
luka : lokasi,

18
kedalaman luka,
karakteristik,
warna cairan,
granulasi,
jaringan nekrotik,
tanda-tanda
infeksi lokal,
formasi traktus
12. Ajarkan
pada keluarga
tentang luka dan
perawatan luka
13. Kolaburasi
ahli gizi
pemberian diae
TKTP, vitamin
14. Cegah
kontaminasi feses
dan urin
15. Lakukan
tehnik perawatan
luka dengan steril
16. Berikan
posisi yang
mengurangi
tekanan pada
luka.

19
Diagnosa Keperawatan/ Rencana Keperawatan
Kolaboras
Tujuan dan kriteria Intervesi
hasil
Hipertermia Thermogulasi 1. Monitoring
suhu sesering
Definisi: suhu tubuh Setelah dilakukan mungkin
diatas kisaran normal tindakan keperawatan 2. Monitoring
diurnal karena kegagalan selama pasien warna dan suhu
termoregulasi menunjukkan : kulit
Suhu tubuh dalam 3. Monitor
Batasan karakteristik : batas normal dengan tekanan darah, nadi
1. Postus kriteria hasil : dan RR
abnormal 1. Suhu 36- 4. Monitor
2. Apnea 37C penurunan tinfkat
3. Kulit 2. Nadi dan kesadaran
kemerahan RR dalam 5. Monitor WBC,
4. Hipotensi rentang Hb, dan Hct
5. Latergi normal 6. Berikan anti
6. Kulit terasa 3. Tidak ada piretik
hangat perubahan 7. Kelola
warna kulit antibiotik
Faktor resiko : dan tidak ada 8. Selimuti pasien
1. Dehidrasi pusing, 9. Berikan caitan
2. Aktivitas merasa intravena
berlebihan nyaman 10. Kompres
pasien pada lipat
paha dan aksila
11. Tingkatkan
sirkulasi udara
12. Tingkatkan
intake cairan dan
nutrisi
13. Monitor TD,
nadi, suhu dan RR
14. Monitor
hidrasi seperti
turgor kulit,
kelembapan
membran mukosa

20
Diagnosa Keperawatan/ Rencana Keperawatan
Kolaborasi
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Gangguan citra tubuh  Body image Body image
Definisi: konfusi dalam  Self esteem enhancement
gambaran mental tentang Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji
diri-fisik individu keperawatan selama secara verbal
gangguan body image dan nonverbal
Batasan karakteristik : teratasi dengan kriteria hasil respons klien
1. Perilaku : terhadap
mengenali tubuh 1. Body image tubuhnya
individu positif 2. Monitor
2. Perilaku 2. Mampu frekuensi
menghindari mengidentifikasi mengritik
tubuh individu kekuatan dirinya
3. Perilaku 3. personal 3. Jelaskan
memantau tubuh 4. Mendiskripsikan tentang
individu secara faktual pengobatan,
4. Respons perubahan perawatan,
nonverbal fungsi tubuh kemajuan, dan
terhadap 5. Mempertahanka prognosis
perubahan aktual n interaksi sosial penyakit
pada tubuh (mis, 4. Dorong
penampilan, klien
struktur, fungsi) mengungkapkan
5. Respons perasaannya
nonverbal 5. Identifi
terhadap persepsi kasi arti
perubahan pada pengurangan
tubuh (mis; melalui
penampilan, pemakaian alat
struktur, fungsi) bantu
6. Mengungkapkan 6. Fasilitas
perasaan yang i kontak dengan
mencerminkan individu lain
perubahan dalam
pandangan kelompok kecil
tentang tubuh
individu
7. Mengungkapkan
persepsi yang
mencerminkan
perubahan
individu dalam
penampilan
Objektif

21
1. Perubahan
aktual pada
fungsi
2. Perubahan
aktual pada
struktur
3. Perubahan
mengenali
tubuh individu
4. Perilaku
memantau
tubuh individu
5. Perubahan
dalam
kemampuan
memperkirakan
hubungan
spesial tubuh
terhadap
lingkungan
6. Perubahan
dalam
keterlibatan
sosial
7. Secara sengaja
menyembunyik
an bagian tubuh
8. Kehilangan
bagian tubuh
9. Tidak melihat
bagian tubuh
10. Tidak
menyentuh
bagian tubuh
11. Trauma pada
bagian yang
tidak berfungsi
12. Secara tidak
sengaja
menonjolkan
bagian tubuh
Subjektif
1. Depersonalisas
i kehilangan
melalui kata
ganti yang

22
netral
2. Ketakutan pada
reaksi orang
lain
3. Fokus pada
penampilan
masa lalu
4. Perasaan
negatif tentang
sesuatu
5. Personalisasi
kehilangan
dengan
menyebutkann
y
6. Fokus pada
perubahan
7. Fokus pada
kehilangan
8. Mengungkapka
n perubahan
gaya hidup
Faktor yang
berhubungan:
1. Biofisik,
kognitif
2. Budaya, tahap
perkembangan
3. Penyakit, cedera
4. Terapi penyakit
5. Pembedahan,
trauma

23
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan
kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem
imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan
nama autoimunitas.

2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang


menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor
genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan
lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan
hormon estrogen.

3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele


tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari
penyebarannya sampai ke organ-organ.

4.2 SARAN

1. Saran Adanya makalah ini diharapkan pembaca agar mempelajari isi dari
makalah tersebut.
2. Agar lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai asuhan
keperawatan SLE

24
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan suddarth. 2002. keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC

Lemone, Priscilla dkk. 2016. Buku ajaran keperwatan medikal bedah. Jakarta : EGC

Nurarif, Amin huda dan hardhi kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosa medis & nanda nic noc. Jogjakarta : mediaction

Helmi, noor zairin. 2012. Buku ajaran gangguan muskuloskeletal. Jakarta : selemba
medika

25

Anda mungkin juga menyukai