Anda di halaman 1dari 13

Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian
umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa
menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justeru bersikap ekstrem. Menolak bahkan
mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya.
Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam
sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi. Di bawah ini, ada tulisan
menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Tulisan ini sendiri berasal dari
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725.

APAKAH SISTEM DEMOKRASI HARAM?

Pertanyaan:

Apaka Demokrasi haram?


Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi?

IWAn Jawaban:Assalamu alaikum wr.wb.


Saudara Iwan yang dirahmati Allah. Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh
para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan demokrasi secara tepat kita
harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.

Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi
standar baku. Di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali
atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang
Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal
paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala
hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap
agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern
(Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi
(berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad
pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.Mohammad
Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual

Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama,
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan
agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal
Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan
spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi
oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan,
prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi
sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya
secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum)
secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang
manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan
Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh
(yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat,
manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam,
Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal
lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi
pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa hal. Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat
seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja,
mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga
dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah
dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah
menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka
ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang
tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka
harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar.
Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu
saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash
syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi


Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan
islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan
Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa
mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena
itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
- menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam
Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang
bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya
bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat
dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan
sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-
rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran
Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama
dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang
menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar
tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat
minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil
pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan
yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang
harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang
Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang
Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb

Secara etimologi Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Inilah yang


membedakan demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak
mempunyai hak paten dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa
yang diucapkan oleh Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865):
“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam
demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas (public) dalam pengambilan keputusan yang
berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.

Sampai saat ini demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling baik.
Demokrasi bisa
berbentuk kepresidenan atau parlementer. Kedua sistem administrasi ini, mempunyai
perbedaan penerapan di setiap negara. Contohnya, Presiden Amerika Serikat mempunyai
posisi terkuat di negaranya. Dia menjabat sebagai kepala negara, kepala pemerintahan,
dan kepala angkatan bersenjata. Di lain pihak, presiden di negaranegara lain, di mana
mempunyai sistem kepresidenan dalam administrasi pemerintahannya, tidak memiliki
posisi yang kuat. Sama halnya dengan sistem parlementer. Sistem pemerintahan
parlementer mempunyai perbedaan penerapan di banyak tempat . Di India, kepala negara
dipilih secara demokratis untuk masa jabatan tertentu.

Sedangkan di beberapa negara lainnya, kepala negara dijabat oleh seorang Raja, seperti
halnya Inggris dan Jepang. Kedaulatan (Sovereignty) Islam, sebagai agama yang
demokratis, menempatkan
manusia setara dan sederajat tanpa mengenal kasta dan kepercayaan. Dengan
konsekuensi, undang-undang yang dipertimbangkan oleh Islam haruslah bersifat
demokratis. Dalam hal ini, Demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi barat dalam
beberapa hal penting, di antaranya :
Pertama, Islam mengakui bahwa kedaulatan hanya di tangan Allah (“God”) dan para
wali-Nya yang
terpilih, yaitu dikenal sebagai khalifah. Seorang khalifah memerintah suatu negara atas
nama Allah. Dia bukanlah pemimpin yang berdiri sendiri dan bebas berkehendak sesuai
kehendak hatinya. Al Quran menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi adalah milik Allah dan tiada seorangpun yang sederajat dengan-Nya.

Al Quran menjelaskan :
“Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan (kedaulatan),
Engkau berikan
kerajaan kepada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari yang Engkau
kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki”.
(QS. Al-Imran : 26).

ISLAM BUKAN AGAMA DEMOKRASI DAN ISLAM


TIDAK MENGAJARKAN DEMOKRASI
Posted on November 23, 2007 by sms/call: 081328051636 atau 087736964912 (silahkan
buka situs2 islam bermanfaat: www.eramuslim.com , www.kajian.net ,
www.almanhaj.or.id)

Tidak Ada Demokrasi Islam

Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa


agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan
kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan
asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan
syura/permusyawaratan.

Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak


berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan
yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan
beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari
demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman
yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari
banyak umat islam.

Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah


disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan


musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya
sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu
Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu
permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan
ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat
yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia
akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah
(hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan
memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak
mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada
kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya
telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian,
apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan
suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang
semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar
berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara
kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak
mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang
yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah
dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat,
maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang
dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.”
(Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar
menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah


disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada
satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al
Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk
bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu
hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.
Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan
bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata
menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang,
bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian,
komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai
pemimpin dll.

Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan


jumlah yang menyuarakannya.
Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh
kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti
bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung
atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa
pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang
harus di amalkan.

“Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan:


Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia,
dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian
orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab
berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi
mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka
barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia
telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya
(hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa),
sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah
kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah
aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat
dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan
dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan
membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu
mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka
selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh
demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah
Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah
pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu


‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah
kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat
merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.

Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang


keputusan beliau:

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan


yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri
NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku
akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di
sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab
sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim


diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang
ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu
dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka
katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah
mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani, 13/342]

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari


firman Allah Ta’ala:

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka


hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya


menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang
diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang
demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza
wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.
Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi,
sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak,
walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah,
kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang
menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah
bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka
masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang


berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang
yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami
setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya
masing-masing.

Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat,


merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap
anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara
peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan
orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng
atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama
untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan
yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi
menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya.

Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang
dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan
demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala
orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:

Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa


manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan
istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah
sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta
selamat dari makna yang batil.

Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai


(tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah
mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orangorang
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong


dari mereka.” (Abu Dawud dll)

Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka
rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka
mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka
dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi
pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena
ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong
sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.
Wahai kaum Muslim,
Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban
ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang
disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka.
Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas
kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:

Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada
mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).

dikutip dari:
EBOOK “MELURUSKAN KERANCUAN SEPUTAR ISTILAH-ISTILAH SYARIAT”
Penulis:
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
(Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)
Sumber :

http://muslim.or.id

Disebarkan dalam bentuk Ebook di


Maktabah Abu Salma al-Atsari

http://dear.to/abusalma

www.abusalma.wordpress.com

Filed under: Uncategorized abuhaidar.riyanto1@gmail.com

KESESATAN DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh : Widjojo Hartono


Wartawan Senior

Bencana besar telah menimpa umat Islam saat ini ketika mereka berpaling dari Islam dan
memilih demokrasi. Umat Islam yang sebagian besar kurang paham dalam ajaran
agamanya, telah disesatkan oleh para pemimpin yang dianggap sebagai ulama. Mereka
yang dianggap ulama telah melakukan pendustaan terhadap umat dan agama Islam
dengan mengatakan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam.. Apakah ulama tersebut tidak
tahu atau pura-pura tidak tahu tentang demokrasi???

Islam adalah ad-Dien (sistim hidup) yang sempurna.. Tidak ada satu urusan manusia yang
menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia,
yang tidak diatur Islam. Segala sesuatu yang akan membawa kebaikan kepada manusia,
telah disampaikan Allah lewat Rasul-Nya. Tidak ada satu hal yang akan membawa
keburukan, tidak diperingatkan dan dicegah oleh Allah lewat Rasul-Nya.
Sebagai Sang Pencipta, Allah adalah Zat yang paling tahu akan hakikat manusia dan alam
semesta. Setelah Allah menciptakan manusia dan menempatkan makhluk-Nya yang
bernama manusia di dalamnya, mustahil kalau Allah tidak membuat aturan untuk
mengelola alam semesta dan manusia. Maka Allah menciptakan aturan untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia dan alam semesta.

Aturan itu bernama Islam. Tentu Islam adalah aturan yang paling cocok untuk mengatur
alam semesta dan manusia, karena, manusia, alam semesta, dan Islam adalah ciptaan
Allah SWT. Alam semesta yang diciptakan oleh Allah ini tentu akan menjadi damai,
baik, dan teratur kalau diatur dengan aturan penciptaNya.

Namun sangat disayangkan banyak orang yang mengaku Muslim tidak memahami akan
hal ini, sehingga mereka memilih aturan lain selain aturan Allah untuk mengatur
kehidupannya. Salah satu sistim hidup yang digandrungi dan dipuja oleh manusia pada
saat ini adalah demokrasi.

Dan sungguh memilukan ketika umat Islam yang telah diberikan oleh Allah : Dien yang
sempurna, berpaling dari Islam dan memilih demokrasi sebagai sistim hidupnya.
Sebagian besar (hampir seluruh) umat ini yang tertipu dengan demokrasi. Mereka
beranggapan bahwa demokrasi adalah ajaran Islam.

Sekiranya mau mempergunakan akalnya dan mata hatinya tidak buta, tentu mereka yang
mangaku cendikiawan Muslim tidak akan mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan
ajaran Islam.

Antara demokrasi dan Islam dari segi makna, sumber ajaran, dan hakikatnya, jelas
berbeda. Lalu dari mana mereka itu mengatakan bahwa demokrasi sama dengan Islam.

Dan barang siapa mencari agama (ad-Dien/tuntunan hidup) selain Islam, maka tidak akan
diterima. Dan di akhirat , dia termasuk orang yang rugi. (QS: Ali Imran (3) : 85).

Mari kita analisis secara jernih dan jujur bahwa antara Islam dan demokrasi saling
bertentangan.

Pertama :

Secara bahasa , demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata ‘Demos” dan “Kratos”
demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Maknanya
adalah pemerintahan/ kekuasaan rakyat. Pada prakteknya adalah suatu pemerintahan yang
dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka sistim kekuasaan yang
berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu Negara ditentukan oleh suara
mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam secara bahasa berarti masuk dalam
kedamaian, sedangkan secara syara, Islam berarti pasrah kepada Allah. Betauhid dan
tunduk kepada-Nya. Taat dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya. Maka itu
jelas dalam Islam : ketundukan , ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah,
termnasuk dalam menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.

Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk membuat dan menentukannya. Dalam
demokrasi membuat hukum ada di tanagan rakyat atau wakilnya, yaitu anggota
legislative. Jadi sangat jelas bahwa Islam bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa
dilihat oleh setiap orang yang memilili mata kecuali orang buta.

Kedua :

Demokrasi bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jasques
Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakanoleh Montesque dengan ajaran trias
politika. Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu :
Legislatif sebagai pembuat undang-undang, Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang,
Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.

Adapun Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW
dengan perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam yang membuat undang-undang adalah
hak Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia.

Demokrasi berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Sedangkan Islam, berasal dari Allah yang maha sempurna. Bagaimana mungkin
keduanya sama?

Ketiga :

Dalam demokrasi orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga
tidak mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau
agama lainnya. Dalam Islam orang yang berpindah agama (murtad) hukumannya adalah
dibunuh.

Seperti sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka
bunuhlah!!!”

Islam tidak memaksakan orang untuk menjadi muslim, namun ketika seorang sudah
masuk Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam, dan dia tidak
boleh keluar dari Islam.

Dalam ajaran demokrasi , setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir. Dalam
Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir.

Keempat :
Manusia mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir
maupun muslim (namum kenyataannya nagara pengusung demokrasi (Barat) merasa
superior, dari bangsa lainnya) dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia
derajatnya dari orang kafir.

Sebagaimana firman Allah SWT :


“Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati. Sebab kamu paling
tinggi derajatnya jika kamu orang beriman” (QS Ali Imran (3):139).

Keempat hal di atas adalah sebagian kecil pertentangan antara Islam dan demokrasi.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat dari
ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya
untuk membuat hukum atau undang-undang. Dimana hukum atau undang-undang yang
telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat.
Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang
tersebut.

Sedangkan dalam ajaran Islam yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah, dan
Allah juga yang mentapkan sanksinya terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh
kerana itu, demokrasi adalah kemusyrikan, karena menyerahkan hak Allah (membuat
hukum) kepada manusia. Bahkan yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para
anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti
membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang. Membolehkan
penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.

Adalah suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan
Islam. Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah
diajarkan dalam Islam.

Benar kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi bukan berarti Islam sesuai
dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Maka tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dlama
Islam adalah persoalan-persoalan tekhnis (cara) dalam melaksanakan perintah Allah,
manakala persoalan tekhnis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT. Tidak semua
urusan harus dimsyawarahkan dalam Islam..

Sebaliknya, demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah.


Termasuk hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan
menentukan halal, haram, baik dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah
SWT, masih dimusyawarahkan. Sekiranya kita masih meyakini Islam adalah ajaran yang
benar dan sempurna.

ooOoo

Anda mungkin juga menyukai