Anda di halaman 1dari 12

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD UNDATA PALU

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Ds, Senjo
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Tanggal pemeriksaan : 10 Maret 2014
Ruangan : Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Undata

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Bengkak dan gatal pada ibu jari kaki sebelah kiri

Riwayat Peyakit sekarang : Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan


bengkak dan gatal pada ibu jari kaki sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 3 hari
yang lalu. Bengkak pada pada ibu jari berupa gelembung berisi cairan jernih, tidak
nyeri, dan tidak terasa panas, punggung kaki juga bengkak dan kemerahan.
Menurut pasien, sebelumnya pasien mengenakan sepatu karet dalam waktu yang
lama (berjam-jam) saat melakukan perjalanan keluar kota, setelah itu tiba-tiba ibu
jari kaki terasa panas dan gatal, 3 hari kemudian ibu jari kaki tiba-tiba bengkak
dan berisi cairan. Tidak ada riwayat terbentur benda tumpul atau terjepit pada ibu
jari kaki. Saat dirumah pasien mengoleskan kunyit parut pada ibu jari kaki yang
bengkak dan tidak tampak perubahan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal yang sama. Riwayat Hipertensi
(-) , DM (-). Riwayat Alergi makanan (-). Riwayat trauma bahan kimia dan panas
(-).

Riwayat Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Kompos mentis
Status gizi : Gizi cukup
b. Vital Sign:
Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan kepala:
Mata: konjungtiva anemis (-) konjungtivitis (-), sklera ikterik (-)
Bibir: sianosis (-)
d. Pemeriksaan leher: Tidak dilakukan
e. Pemeriksaan paru-paru: Tidak dilakukan
f. Pemeriksaan jantung: Tidak dilakukan
g. Pemeriksaan abdomen: Tidak dilakukan
h. Pemeriksaan ekstremitas
 Atas: Tidak dilakukan
 Bawah: Status dermatologis
IV. STATUS DERMATOLOGIS
1. Kepala: Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
2. Leher: Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
3. Dada : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
4. Punggung : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
5. Bokong : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
6. Perut : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
7. Genitalia : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK)
8. Ekstremitas Atas : Tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK).
9. Ekstremitas Bawah: bulla, eritem, dan edem dengan diameter ± 4 cm,
gambaran anular, peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra.

Gambar 1. Bulla, eritem, dan edem dengan diameter ± 4 cm, gambaran anular,
peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra.
Gambar 2. Bulla, eritem, dan edem dengan diameter ± 4 cm, gambaran anular,
peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra, pada satu sisi tungkai.

V. RESUME
Laki-laki 50 tahun dengan keluhan bulla (+) di hallux sinistra sejak 3 hari
yang lalu. Keluhan muncul tiba-tiba. Keluhan disertai dengan pruritus di tepi
bulla, serta eritem dan edem. Riwayat Alergi (-), Trauma (-), Riwayat
keluarga (-).
Status dermatologis:
Ekstremitas Bawah: bula serous, eritem serta edem dengan diameter ± 4 cm,
gambaran anular, peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Dermatitis kontak alergi
2. Selulitis
3. Erysipelas
4. Insect bite
VII. ANJURAN PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan histopatologi
2. Pemeriksaan apusan darah tepi
3. Pemeriksaan darah lengkap
4. Patch test

VIII. Diagnosis Kerja


Dermatitis kontak alergi

IX. Penatalaksanaan
 Non-medikamentosa :
o Mencegah terulangnya kontak dengan elergen dalam hal ini karet
sepatu
o Menjaga suhu, kelembaban serta kebersihan kaki
 Medikamentosa
o Sistemik
Kortikosteroid : Methylprednisolon 4 mg 2x1
o Topikal
Kortikosteroid salep : Inerson 1 gr (Oleskan tipis – tipis, sehari 2-
3 kali pada tempat yang gatal).
 Mengatasi kelainan kulit yang muncul dalam hal ini Bulla
Selain manejemen medikamentosa, dapat juga dilakukan menejem
untuk mencegah pecahnya bula sehingga tidak terjadi infeksi
sekunder, dapat diberikan bedak salicyl berupa salisilat
IV. Prognosis

Qua ad Vitam : ad bonam

Qua ad Fungtionam : ad bonam

Qua ad Sanationam : ad bonam

Qua ad cosmetikam : dubia ad bonam


PEMBAHASAN

Pria 50 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan bengkak dan gatal pada
ibu jari kaki sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Bengkak pada
ibu jari kaki berupa gelembung berisi cairan jernih, tidak nyeri, dan tidak terasa
panas, punggun kaki pasien juga bengkak dan kemerahan. Menurut pasien
sebelumnya pasien mengenakan sepatu karet dalam waktu yang lama (berjam-
jam) saat melakukan perjalanan keluar kota, setelah itu tiba-tiba ibu jari kaki
pasien terasa panas dan gatal, 3 hari kemudian ibu jari kaki pasien tiba-tiba
bengkak dan berisi cairan. Tidak ada riwayat terbentur benda tumpul atau terjepit
pada ibu jari kaki pasien. Saat dirumah pasien mengoleskan kunyit parut pada ibu
jari kaki yang bengkak dan tidak tampak perubahan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan ujud kelainan kulit di hallux sinistra berupa bula, eritem, dan edem
dengan diameter ± 3 cm, gambaran anular. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien dapat didiagnosis sebagai dermatitis kontak alergi.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi. Penyabab
DKA sendiri dapat berupa bahan logam berat, kosmetik, bahan perhiasan, obat-
obatan, karet, dan lain-lain, dapat menyerang pada semua umur, dengan frekuensi
yang sama pada pria dan wanita.
DKA merupakan hipersensitivitas tipe lambat (tipe iv) yang dipicu oleh
reaksi lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi ini terjadi melalui dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami
sensitisasi dapat menderita DKA.
Fase sensitisasi. Hapten (alergen yang belum diproses) yang masuk ke dalam
epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan
cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya
sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi, setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1)
yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T.
Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan
sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) secara ekspresi molekul permukaan sel
termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain
yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan
sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi  E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel
T memori (sel T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan
beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase
ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal antigenik
murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi
sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi
iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Fase elisitasi. Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen,
diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya
kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah
tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya
sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi
dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFN γ
yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR.
Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk  berinteraksi dengan sel T dan
leukosit yang lain yang mengekspresi molekul IFA-1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4+, dan
juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat
merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga
sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNFα, dan GMCSF, semuanya dapat
mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas
yang berada di dekat pembuluh darah dermis akam melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskuler dan meningkatkan
permeabilitas sehingga molekul laut seperti komplemen dan kinin mudah
berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari pembuluh
darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan
respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya  berlangsung antara 24-48 jam.
Gambar 3. Patogenesis DKA

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada


keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang  berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Vesikel atau  bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi
(basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum,
eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap DKA
Untuk penanganan nonmedikamentosa DKA, pasien disarankan untuk
Mencegah terulangnya kontak dengan elergen dalam hal ini karet sepatu serta
pasien sebaiknya menjaga suhu, kelembaban serta kebersihan kaki. Sedangkan
untuk penanganan medikamentosa pasien dapat diberikan korkosteroid sistemik
dan lokal berupa metilprednisolon bersifat sistemik dan inerson salep sebagai obat
topikal. Pemberian kortikosteroid disini berfusi untuk mengatasi peradangan akut
yang ditandai dengan eritema, edem, dan bula.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi, at al. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin, Edisi keenam. Jakarta:
Badan penerbit FKUI; 2010
2. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC; 2004
3. Wolff, K., Richard, A. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology Sixth Edition. New York : The McGraw-Hill; 2009
REFLEKSI KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh :

Nurhasyanah, S. Ked

(G 501 09 090)

Pembimbing Klinik :

dr. SENIWATY ISMAIL, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN


KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU DAN UNIVERSITAS TADULAKO
2014

Anda mungkin juga menyukai