I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Ds, Senjo
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Tanggal pemeriksaan : 10 Maret 2014
Ruangan : Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Undata
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Bengkak dan gatal pada ibu jari kaki sebelah kiri
Riwayat Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Gambar 1. Bulla, eritem, dan edem dengan diameter ± 4 cm, gambaran anular,
peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra.
Gambar 2. Bulla, eritem, dan edem dengan diameter ± 4 cm, gambaran anular,
peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra, pada satu sisi tungkai.
V. RESUME
Laki-laki 50 tahun dengan keluhan bulla (+) di hallux sinistra sejak 3 hari
yang lalu. Keluhan muncul tiba-tiba. Keluhan disertai dengan pruritus di tepi
bulla, serta eritem dan edem. Riwayat Alergi (-), Trauma (-), Riwayat
keluarga (-).
Status dermatologis:
Ekstremitas Bawah: bula serous, eritem serta edem dengan diameter ± 4 cm,
gambaran anular, peyebaran dan lokalisasi regional di hallux sinistra.
IX. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa :
o Mencegah terulangnya kontak dengan elergen dalam hal ini karet
sepatu
o Menjaga suhu, kelembaban serta kebersihan kaki
Medikamentosa
o Sistemik
Kortikosteroid : Methylprednisolon 4 mg 2x1
o Topikal
Kortikosteroid salep : Inerson 1 gr (Oleskan tipis – tipis, sehari 2-
3 kali pada tempat yang gatal).
Mengatasi kelainan kulit yang muncul dalam hal ini Bulla
Selain manejemen medikamentosa, dapat juga dilakukan menejem
untuk mencegah pecahnya bula sehingga tidak terjadi infeksi
sekunder, dapat diberikan bedak salicyl berupa salisilat
IV. Prognosis
Pria 50 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan bengkak dan gatal pada
ibu jari kaki sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Bengkak pada
ibu jari kaki berupa gelembung berisi cairan jernih, tidak nyeri, dan tidak terasa
panas, punggun kaki pasien juga bengkak dan kemerahan. Menurut pasien
sebelumnya pasien mengenakan sepatu karet dalam waktu yang lama (berjam-
jam) saat melakukan perjalanan keluar kota, setelah itu tiba-tiba ibu jari kaki
pasien terasa panas dan gatal, 3 hari kemudian ibu jari kaki pasien tiba-tiba
bengkak dan berisi cairan. Tidak ada riwayat terbentur benda tumpul atau terjepit
pada ibu jari kaki pasien. Saat dirumah pasien mengoleskan kunyit parut pada ibu
jari kaki yang bengkak dan tidak tampak perubahan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan ujud kelainan kulit di hallux sinistra berupa bula, eritem, dan edem
dengan diameter ± 3 cm, gambaran anular. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien dapat didiagnosis sebagai dermatitis kontak alergi.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi. Penyabab
DKA sendiri dapat berupa bahan logam berat, kosmetik, bahan perhiasan, obat-
obatan, karet, dan lain-lain, dapat menyerang pada semua umur, dengan frekuensi
yang sama pada pria dan wanita.
DKA merupakan hipersensitivitas tipe lambat (tipe iv) yang dipicu oleh
reaksi lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi ini terjadi melalui dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami
sensitisasi dapat menderita DKA.
Fase sensitisasi. Hapten (alergen yang belum diproses) yang masuk ke dalam
epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan
cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya
sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi, setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1)
yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T.
Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan
sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) secara ekspresi molekul permukaan sel
termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain
yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan
sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel
T memori (sel T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan
beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase
ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal antigenik
murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi
sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi
iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Fase elisitasi. Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen,
diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya
kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah
tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya
sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi
dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFN γ
yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR.
Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel T dan
leukosit yang lain yang mengekspresi molekul IFA-1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4+, dan
juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat
merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga
sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNFα, dan GMCSF, semuanya dapat
mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas
yang berada di dekat pembuluh darah dermis akam melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskuler dan meningkatkan
permeabilitas sehingga molekul laut seperti komplemen dan kinin mudah
berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari pembuluh
darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan
respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
Gambar 3. Patogenesis DKA
1. Djuanda, Adhi, at al. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin, Edisi keenam. Jakarta:
Badan penerbit FKUI; 2010
2. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC; 2004
3. Wolff, K., Richard, A. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology Sixth Edition. New York : The McGraw-Hill; 2009
REFLEKSI KASUS
Oleh :
Nurhasyanah, S. Ked
(G 501 09 090)
Pembimbing Klinik :