Anda di halaman 1dari 29

Nama : Ulul Ismi

NIM : 190106153
Prodi : D4 Keperawatan Anesetsilogi
Kelas : 3C

LEMBAR KERJA MAHASISWA 1 FARMAKOTERAPI


PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PERAWAT ANESTESI

A. BATASAN DAN LINGKUP PERAWAT ANESTESI DI DAN REANIMASI


a. Pengertian
Berasal dari kata “anestesi” (an=tidak, aestesi=rasa). Ilmu anestesi
adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tata laksana untuk
“mematikan” rasa baik rasa nyeri, rasa takut, rasa tidak nyaman lainnya,
sehingga pasien merasakan nyaman (Mangku & Senapathi, 2017). Anestesi
merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011). Reanimasi berasal dari kata
“animate” yang berarti “menggerakan kembali”  atau “menghidupkan
kembali”, jadi reanimasi merupakan kebalikan dari anestesi, dimana anestesi
bersifat “mematikan rasa” dan reanimasi “menghidupkan kembali ”, dalam hal
ini adalah menghidupkan “rasa”. Anestesi dan reanimasi merupakan prosedur
wajib dalam pelaksanaan operasi, dan memang dipelajari dalam cabang ilmu
tersendiri dalam ilmu kedokteran, yaitu Anestesiologi dan Reanimasi.
Kemudian untuk dokternya pun merupakan dokter spesialis anestesi yang
mempelajari ilmu anestesi dan reanimasi. 
Anestesiologi dan Reanimasi adalah cabang ilmu yang mempelajari
tentang nyeri, kedokteran reoperatif, dan kedokteran gawat darurat. Selain itu,
anestesi juga dipelajari dalam obstetri dan ginekologi. Obsetri itu sendiri
adalah ilmu yang mempelajari khusus tentang bagaimana cara memperlakukan
wanita dan bayi baik itu saat proses kehamilan, proses kelahiran, dan setelah
kelahiran (puerperium). Ginekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
penyakit-penyakit sistem reproduksi wanita (vagina, ovarium, dan juga
rahim). Kedua ilmu ini merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang khusus
dan juga saling melengkapi satu sama lain. 

b. Fungsi dan Peran Perawat Anestesi


Perawat anestesi dalam pelayanan anestesiologi dan reanimasi mempunyai
peran dan fungsi sebagai berikut :
 Pengelola asuhan keperawatan anestesi.
 Mitra kerja dalam pelaksanaan tindakan anestesi.
 Pengelola asuhan kaparawatan pada keadaan gawat darurat.
 Mitra kerja / pelaksanaan tindakan medik pasda pasien gawat darurat.
 Pengelola asuhan keperawatan pasien di Intensif Care.
 Sebagai pendidik

c. Kompetensi Minimal Perawatan Anestesi


Kompetensi minimal seorang Perawat Anestesi adalah sebagai berikut :
 Dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang akan
menjalani prosedur anestesi (pra, intra dan pasca ).
 Dapat melakukan asuhan keperawatan selama tindakan / prosedur
anestesi sedang berlangsung.
 Dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan
gawat darurat.
 Dapat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien yang
membutuhkan perawatan intensif.
 Dapat melakukan kerja sama antar anggota tim, baik sebagai mitra
kaerja ataupun pelaksana tindakan dalam pelayanan anestesiologi dan
reanimasi sesuai dengan peran, fungsi, etika dan kebijaksanaan atau
batas kewenangannya. (standar umum pelayanan anestesiologi dan
reanimasi di rumah sakit, 1999)

d. Batasan dan Ruang Lingkup


a) Pra Anestesi
Perawatan pra anestesi dimulai saat pasien berada di ruang perawatan,
atau dapat juga dimulai pada saat pasien diserahterimakan di  ruang
opersai dan berakhir saat pasien dipindahkan ke meja operasi.
Tujuan :
 Menciptakan hubungan yang baik dengan pasien, memberikan
penyuluhan tentang tindakan anestesi.
 Mengkaji, merencanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.
 Mengetahui akibat tindakan anestesi yang akan dilakukan.
 Mengantisipasi dan menanggulangi kesulitan yang mungkin
timbul.
 Dalam menerima pasien yang akan menjalani tindakan anestesi,
Perawat anestesi wajib memeriksa kembali data dan persiapan
anestesi, diantaranya:

Memeriksa:
 Identitas pasien dan keadaan umum pasien.
 Kelengkapan status / rekam medik.
 Surat persetujuan operasi dari pasien / keluarga.
 Data laboratorium, rontgent, EKG dan lain-lain.
 Gigi palsu, lensa kontak, perhiasan, cat kuku, lipstik dan lain-
lain.
 Mengganti baju pasien.
 Membantu pasien untuk mengosongkan kandung kemih.
 Mencatat timbang terima pasien.
 Perawat anestesi juga bertugas memberikan pre-medikasi
berdasarkan instruksi tertulis dari dokter Spesialis
Anestesiologi atau dokter lain yang berwenang. Hal-hal yang
harus diperhatikan adalah :
o Memeriksa kembali nama pasien sebelum memberikan
obat.
o Mengetahui riwayat penyakit yang pernah diderita.
o Mengetahui riwayat alergi terhadap obat-obatan.
o Memeriksa fungsi vital (tensi,nadi,suhu,nafas) sebelum
memberikan premedikasi dan sesudahnya.
o Memberikan obat pre-medikasi sesuai instruksi dokter
dan kemudian mencatat nama obat, dosis obat, cara dan
waktu pemberian, tanda tangan dan nama jelas perawat
yang memberikan obat.

b) Intra Anestesi
Perawatan selama anestesi dimulai sejak pasien berada diatas meja
operasi sampai dengan pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar.
Tujuan :
Mengupayakan fungsi vital pasien selama anestesi berada dalam
kondisi optimal agar pembedahan dapat berjalan lancar dengan baik.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, perawat anestesi wajib :


 Memeriksa kembali nama pasien, data, diagnosa dan rencana
operasi.
 Mengenalkan pasien kepada dokter spesialis anestesiologi,
dokter ahli bedah, dokter asisten dan perawat instrumen.
 Memberikan dukungan moril, menjelaskan tindakan induksi
yang akan dilakukan dan menjelaskan fasilitas yang ada di
sekitar meja operasi.
 Memasang alat-alat pemantau (antara lain tensimeter, EKG dan
alat lainnya sesuai dengan kebutuhan).
 Mengatur posisi pasien bersama-sama perawat bedah sesuai
dengan posisi yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan.
 Mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan.

Selama tindakan anestesi perawat anestesi wajib :


 Mencatat semua tindakan anestesi.
 Berespon dan mendokumentasikan semua perubahan fungsi
vital tubuh pasien selama anestesi / pembadahan. Pemantauan
meliputi sistem pernafasan, sirkulasi, suhu, keseimbangan
cairan, perdarahan dan produksi urine dan lain-lain.
 Berespon dan melaporkan pada dokter spesialis anestesiologi
bila terdapat tanda-tanda kegawatan fungsi vital tubuh pasien
agar dapat dilakukan tindakan segera.
 Melaporkan kepada dokter yang melakukan pembedahan
tentang perubahan fungsi vital tubuh pasien dan tindakan yang
diberikan selama anestesi.
 Mengatur dosis obat anestesi atas pelimpahan wewenang
dokter.
 Menanggulangi keadaan gawat darurat.

Pengakhiran anestesi :
 Memantau tanda-tanda vital secara lebih intensif.
 Menjaga jalan nafas supaya tetap bebas.
 menyiapkan alat-alat dan obat-obat untuk pengakhiran anestesi
dan atau ekstubasi.
 Melakukan pengakhiran anestesi dan atau ekstubasi sesuai
dengan kewenangan yang diberikan.

c) Pasca Anestesi
Perawatan pasca anestesi / pembedahan dimulai sejak pasien
dipindahkan ke ruang pulih sadar sampai diserahterimakan kembali
kepada perawat di ruang rawat inap. Jika kondisi pasien tetap kritis
pasien dipindahkan ke ICU. Tujuan :
 Mengawasi kemajuan pasien sewaktu masa pulih.
 Mencegah dan segera mengatasi komplikasi yang terjadi.
 Menilai kesadaran dan fungsi vital tubuh pasien untuk
menentukan pemindahan / pemulangan pasien.

d) Perawatan Gawat Darurat


 “Resource Person” untuk tindakan Resusitasi Kardio-Pulmonal.
 Berpartisipasi dalam tindakan gawat darurat yang lain.
 Supervisi dalam tindakan perawatan emergensi.

e) Perawatan Intensif
 Supervisi pada perawatan intensive bedah.
 Supervisi dalam perawatan diruangan recovery.

f) Pelayanan yang memerlukan perawatan anestesi

B. PEMBERIAN ANESTESI PADA OPERASI DARURAT


a. Batasan
Anestesia pada kasus bedah darurat merupakan tindakan anesthesia-analgesia
yang menjalani pembedahan darurat akibat penyakit yang dideritanya secara
mendadak. Penyakit bedah darurat dibagi menjadi 2 berdasarkan ancaman
kegawatannya:
 Bedah darurat absolut, dimana kasus bedah ini harus segera dikerjakan
dalam kurun waktu < 1jam setelah didiagnosis ditegakkan, karena
dapat mengancam jiwa atau anggota badan akibat gangguan anatomi
atau fungsi organ vital.

 Bedah darurat relative, dimana kasus bedah darurat yang tidak


mengancam jiwa atau anggota badan akibat gangguan anatomi dan
fungsi organ yang dapat dikerjakan dalam kurun waktu <6 jam.

Kasus bedah darurat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan apabila


disertai dengan penyakit sistemik.

b. Penatalaksanaan
a) Evaluasi
 Evaluasi Dasar
Kesadaran pasien sangat penting untuk diketahui pertama kali,
rangsang suara dan sentuhan dapat digunakan untuk
menstimulasi kesadaran pasien. Penilaian dan penatalaksanaan
ABCDE dilakukan selanjutnya:
 Airway, harus dibebaskan dari semua bentuk obstruksi.
Pasien dengan cedera tulang belakang dan servikal akan
mengeluhkan nyeri bagian leher atau tanda-tanda cedera
kepala atau tulang belakang atau kehilangan kesadaran.
Penggunaan cervical collar (C-collar) pada tulang
servikal dan spinal akan membantu mengurangi derajat
ekstensi saat melakukan laringoskopi dan intubasi
trakea. Krikotiroidotomi dan Trakeostomi dilakukan
pada pasien trauma dengan penurunan atau distorsi pada
anatomi pernapasan atas atau bagian wajah yang dapat
mengganggu pemberian ventilasi melalui face mask
atau ketika terjadi perdarahan di saluran pernapasan.
 Breathing, dinilai dengan Respiratory Rate, pola dan
irama pernapasan. Pemberian tambahan oksigen dan
bantuan bernafas jika ditemukan indikasi kekurangan
oksigen dan sulit ventilasi dari hasil penilaian. 3 Pasien-
pasien dengan multiple injury, berisiko tinggi terhadap
pulmonary injury yang dapat berkembang menjadi
tension pneumothorax, keadaan ini ditangani dengan
needle thoracostomy. Setelah keadaan pemberat
teratasi, dilanjtkan dengan terapi oksigen sesuai dengan
indikasi pasien.
 Circulation, dinilai dengan merasakan pulsasi nadi pada
bagian arteri karotis dan bisa dirasakan hingga bagian
proximal dan distal ekstremitas. Capillary Refill Time
(CRT) merupakan salah satu parameter yang digunakan
untuk menilai hypovolemia setelah melakukan
penekanan pada ujung kuku selama 5 detik, kemudian
kembalinya darah setelah dilakukan penekanan
dihitung, waktu normal adalah kurang dari 2 detik.3
Pada pasien dengan cidera tumpul, perlu diperhatikan
tanda-tanda hemothorax, keadaan ini ditangani dengan
melakukan thorachotomy dan kemudian dilanjutkan
dengan terapi cairan sesuai dengan indikasi pasien.
 Disability, dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale dan pemeriksaan reaksi pupil pasien untuk
menentukan ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Tingkat
cedera kepala dan cedera lainnya yang dapat
menurunkan tingkat kesadaran pasien dapat dinilai
dengan menggunakan GCS, berbeda dengan anak-anak
dibawah 3 tahun dimana skala verbal menyesuaikan.3
Perlu diketahui tentang mechanism of injury pada
pasien untuk mengekslusi faktorfaktor yang dapat
mempengaruhi peningkatan cedera pada sistem saraf
pusat.
 Environment dan Exposure, dinilai untuk melengkapi
primary survey pada kasus-kasus trauma.
 Pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang harus dilakukan:
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap, dan kimia darah. Pemeriksaan kimia darah yang
dilakukan adalah untuk menilai konsentrasi urea, kreatinin,
elektrolit, konsentrasi gula darah dan tes fungsi hati. Sedangkan
untuk pemeriksaan laboratorium yang dilakukan secara rutin
adalah pemeriksaan foto polos dada dan elektrokardiogram,
jika ada indikasi lain dilakukan pemeriksaan radiologi sesuai
dengan indikasi pasien.

b) Persiapan Praoperatif
 Persiapan Rutin
Selama persiapan preoperatif riwayat kesehatan dan riwayat
penggunaan obat harus didapatkan khususnya pada keadaan
kardiorespirasi pasien harus ditegakkan dengan jelas. Terutama
riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi. Gejala dan
tingkat keparahan penyakit kardio-repirasi yang ada, seperti
angina, batuk produktif, orthopneu, atau paroxysmal nocturnal
dyspnoe harus ditegakkan. Selain itu, pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada kasus bedah darurat ditujukan pada disfungsi
atau abnormalitas pada organ kardiorespirasi yang dapat
menyulitkan teknik anestesi saat dilakukan operasi. Basal
crepitation, pitting oedema dan meningkatnya nadi vena
jugularis secara signifikan menunjukkan terjadinya kerusakan
fungsi ventrikel dan berkurangnya aliran darah ke jantung. Hal
lain yang penting adalah untuk mengeklusi aritmia dan suara
jantung yang mengindikasi adanya penyakit katup jantung.
Hal-hal tersebut dapat meningkatkan risiko pada tindakan
anestesi.
 Persiapan Khusus
 Koreksi keadaaan patologis yang dijumpai, disesuaikan
dengan kesempatan yang tersedia, terutama koreksi
terhadap masalah-masalah oksigenasi dan stabilisasi
hemodinamik. Pemeriksaan pada volume intravaskular
salah satu aspek penting, untuk mengetahui adanya
hipovolemia yang dapat berujung pada kegagalan
sirkulasi terutama pada pasien-pasien dengan
perdarahan.
 Pencegahan bahaya aspirasi asam lambung
Muntah atau regurgitasi dari isi lambung dapat diikuti
dengan terjadinya aspirasi isi lambung kedalam cabang
trakeobronkial sedangkan reflex protektif laring
menurun akibat dari obat-obat anestesi adalah salah
satu risiko yang berbahaya pada tindakan anestesi
gawat darurat. Faktor-faktor penting yang menentukan
terjadinya regurgitas pada lambung adalah fungsi
sfingter esofageal bawah dan volume lambung yang
tersisa. Sfingter esofageal bawah berfungsi sebagai
pembatas untuk mencegah terjadinya reflux dari isi
lambung menuju esofagus. Obat-obat anestesi yang
digunakan dalam praktik anestesi mempengaruhi
sfingter esofageal bawah dapat menurunkan “barrier
pressure” antara lambung dengan sfingter esofageal
bawah. Sehingga sebelum dilakukan tindakan anestesi,
digunkan obat yang dapat meningkatankan barrier
pressure sehingga mengurangi risiko terjadinya refluks,
seperti cyclizine, anticholinesterase, α-adrenergik
agonis dan metoclopromide. Faktor lainnya yang dapat
mempengerahi terjadinya aspirasi ke dalam rongga
paru-paru adalah volume lambung yang tersisa.
Pengosongan lambung dapat dilakukan dengan
tindakan memasang nasogastrik dan dihisap secara
berkala sangat membantu jika isi lambung adalah
cairan tapi kurang efektif bila isi lambung adalah padat.
Pemberian antasida peroral (contoh: sodium sitrat) 30-
45 menit pra induksi atau pemberian H 2-reseptor
antagonis dapat meningkatkan pH dari isi lambung
sebelum dilakukan induksi. Peningkatan pH ditujukan
untuk mengurangi risiko kerusakan pada paru-paru saat
terjadi inhalasi.

c. Premedikasi dan Infus


Obat sedatif yang biasanya digunakan pada pasien stress dan kesakitan
adalah golongan benzodiazepine seperti midazolam. Midazolam dapat
diberikan dengan dosis 1-2.5 mg secara intravena atau dengan dosis yang
disesuaikan. Antikholinergik diberikan apabila tidak ada indikasi kontra,
seperti demam dan takikardi. Pada pasien dengan status fisik 1-2 yang
direncanakan operasi ringan sampai sedang, berikan cairan kristaloid. Pada
pasien yang menderita dehidrasi atau goncangan hemodinamik, berikan
koreksi sesuai dengan kebutuhan. Jika perlu dipasang kateter sentral untuk
memantau terapi cairan yang diberikan.
 Pilihan Anestesi
 Anestesi Regional
Pemilihan anestesi regional dilakukan sesuai dengan indikasi
yang diderita oleh pasien. Teknik regional anestesi lebih tepat
digunakan pada prosedur gawat darurat pada bagian
ekstremitas. Blok pada Brachial plexus melalui aksila atau
supraklavikula baik digunakan pada prosedur operasi dibagian
ekstremitas atas. Sedangkan untuk regional anestesi pada
ekstremitas bawah dilakukan melalui subarachnoid dan
epidural blok. Tapi kedua teknik tersebut kontraindikasi jika
cairan ekstraselular atau volume vascular tidak adekuat. Pada
trauma intrabdominal dalam kondisi darurat, teknik anestesi
regional lebih berbahaya daripada anstesi umum.
 Anestesi Umum
Sebelum dilakukan induksi, berikan preoksigenasi dengan
oksigen 100% selama 3-5 menit. Induksi dilakukan dengan
teknik “Rapid sequence Induction” (RSI). Teknik ini dilakukan
pada pasien-pasien dengan puasa yang tidak cukup. Rapid
sequence yang dimaksud adalah tujuan dasar teknik dalam
mengurangi sebanyak mungkin waktu yang dibutuhkan antara
keadaan tidak sadar dan intubasi trakea dengan risiko aspirasi
isi lambung yang tinggi.6 Induksi dengan posisi kepala lebih
tinggi dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya regurgitasi
lambung. Sebelum dilakukan tindakan intubasi trakea,
diberikan obat yang tepat untuk membuat pasien kehilangan
kesadaran dalam waktu yang cepat. Thiopental 45mg/kg IV
line dapat diberikan sebagai salah satu agen RSI, yang
memberika efek hilangnya kesadaran secara cepat. Obat lain
sebagai alternative adalah etomidate dan ketamine. Setelah
pasien tertidur, lakukan maneuver “Sellick” dengan menekan
tulang krikoid ke posterior untuk mencegah terjadinya
regurgitasi sampai terpasang PET dan balonnya sudah
dikembangkan dengan udara. Berikan suksinilkholin 1-2
mg/kgbb intravena secara cepat. Suksinikholin digunakan
sebagai agen neuromuscular bloker untuk RSI karena memiliki
dua tujuan yang diinginkan yaitu onset yang cepat sehingga
dapat melakukan intubasi dengan cepat dan mengurangi risiko
aspirasi. Rocuronium dalam dosis tinggi (0.9-1,2 mg/kg) dapat
juga digunakan tapi waktu yang diperlukan lebih panjang dari
Suksinilkholin. Oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak
boleh melakukan ventilasi tekanan positif dan lakukan
laringoskopi, dilanjutkan dengan intubasi PET. Balon/cuff PET
segera dikembangkan dan lepaskan maneuver Sellick’s.
Hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia
dan berikan napas buatan. Pemeliharaan anestesia dilakukan
dengan inhalasi dan napas kendali. Ekstubasi PET dilakukan
bila pasien sudah sadar, bernafas spontan adekuat dan jalan
napas bersih. Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya
regurgitasi atau muntah pasca ekstubasi. Sedangkan pada
kasus-kasus risiko tinggi, tidak dilakukan ekstubasi PET dan
pasien langsung dikirim ke ruang terapi intensif untuk terapi
lebih lanjut.

 Pemantuan Selama Anestesi


Non depolarisasi neuromuskular diberikan ketika ditemukan tanda-
tanda kembalinya transmisi neuromuskular akibat terdegradasinya
suksinilkholin. Pilihan obat yang digunakan tergantung dari kondisi
pasien dan efek dari induksi anestesi pada keadaan kardiovaskular
pasien. Rokuronium dan Antrakurium adalah pilihan obat yang tepat
untuk digunakan secara rutin, walaupun farmakokinetik antrakurium
harus dalam batas penggunaan rasional pada pasien geriatri.
Atrakurium tidak menimbulkan efek pada sistem kardiovaskular.
Morfin 1-5 mg atau Fentanyl 25-100µg dapat diberikan melalui
intravaskular, sebagai analgesia. Dalam kasus bedah darurat lebih
dipilih morfin untuk penggunaan berulang, fentanil dapat berkumpul
dan waktu eliminasi lebih panjang daripada morfin. Obat lain yang
dapat digunakan dalam kasus bedah darurat adalah Ketamine dosis
rendah (0.15 mg/kg) dan parasetamol intravaskular. NSAIDs dapat
digunkan tetapi dilarang pada pasien-pasien dengan ”Acute Kidney
Injury” atau pendarahan pasca operasi, disediakan untuk pasien muda
ASA 1&2. Apabila dianggap perlu dipasang kateter vena sentral untuk
memantau terapi cairan dan status hemodinamik.
 Terapi Cairan dan Transfusi Darah

Kehilangan darah dan cairan tubuh dapat diganti dengan pemberian


kristaloin dan koloid, sesuai dengan inidikasi pasien untuk menjaga
volume intravaskular (normovaskular). Pasien dengan pendarahan
masif dapat dikoreksi dengan cairan kristaloid tiga sampai empat kali
volume darah yang hilang atau pemberian koloid dengan rasio
perbandingan 1;1 sampai mencapai titik transfusi yang diinginkan. Hal
tersebut dapat ditentukan dengan hematocrit dan volume darah pasien.
Berikan transfusi darah bila perdarahan yang terjadi >20% dari
perkiraan volume darah pasien, apalagi perdarahan masih tetap
berlangsung atau pasien dengan hemoglobin dibawah 8g/dL. Pasien
dengan risiko tinggi dan disertai dehidrasi, goncangan hemodinamik,
perdarahan dan anemia prabedah, program terapi cairan dan transfuse
yang telah dikerjakan, dilanjutkan dengan pemantuan tekanan vena
sentral selama pembedahan.

 Pemulihan
Analgesi dan terapi cairan harus diberikan secara tepat sebelum pasien
dipindahkan ke ruangan rawat inap. Penggunaan NSAIDs,
acetaminophen dan gabapentin dapat diberikan sebagai pengganti
opioid pada penanganan nyeri pasca operasi. Pada nyeri ringan hingga
sedang pasca operasi dapat diberikan acetaminophen, ibuprofen,
hidrokodon atau oxykodon secara oral. Pemberian secara intravskular
dapat diberikan kerolac tromethamine (15-30mg pada orang dewasa
atau acetaminophen (15mg/kg, atau 1 g pada pasien dengan berat
badan >50kg).

 Pasca Anestesi
Pasien dengan status fisik ASA 1-2, dirawat di ruang pulih sesuai
dengan tatalaksana pasca anestesia. Sedangkan pasien risiko tinggi
yang disertai dengan koma, goncangan hemodinamik dan ancaman
gagal napas, dirawat di ruang terapi intensif untuk perawatan dan
terapi lebih lanjut. Sebelum dikirim keruangan pasien harus
diobservasi selama 20-30 menit setelah pemberian terakhir opioid
parenteral. Pasien boleh dikembalikan/dikirim keruangan apabila
sudah memenuhi kriteria pemulihan, beberapa kriteria umum
pemulihan adalah pasien dengan orientasi baik penuh, kemampuan
untuk mempertahankan pernafasan dengan baik dan tidak ada
komplikasi pasca bedah.

C. PEMBERIAN ANESTESI PADA OPERASI TINDAKAN DIAGNOSTIK ELEKTIF


a. Evaluasi
Evaluasi pada kasus bedah elektif dilakukan beberapa hari sebelum operasi,
diulang sehari sebelum operasi, selanjutnya evaluasi ulang dilakukan pada
pagi hari menjelang operasi. Sedangkan pada kasus darurat evaluasi dilakukan
pada saat itu juga di ruang persiapan Instalasi Rawat Darurat karena waktu
yang sangat terbatas. Evaluasi preoperasi yang efektif meliputi anamnesis,
yang harus meliputi segala pengobatan yang pernah didapatkan oleh pasien,
alergi terhadap obat-obatan, bagaimana respon tubuh pasien terhadap obat-
obatan anestesi apabila pasien pernah mendapatkan tindakan operasi
sebelumnya. Pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan sesuai indikasi,
pemeriksaan penunjang untuk mencegah terjadinya komplikasi anestesi1,2.

b. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan keluarga pasien,
meliputi :
 Identitas pasien
 Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit pasien
 Anamnesis umum yang meliputi:
o Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau tengah
diderita pasien yang bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
anesthesia
o Riwayat pemakaian obat yang telah dan tengah dikonsumsi,
yang kemungkinan akan berinteraksi dengan obat anesthesia
o Riwayat operasi atau anestesia terdahulu
o Kebiasaan merokok, minum alcohol
o Riwayat alergi terhadap obat-obatan
Evaluasi preoperatif memiliki beberapa tujuan, salah satu
tujuannya adalah sebagai cara untuk mempermudah dokter
dalam mengidentifikasi apakah operasi yang akan direncanakan
tersebut kedepannya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
atau hanya akan memperburuk kondisi pasien. Selain itu
evaluasi preoperatif memiliki tujuan dan mendukung kondisi
psikologis pasien dimana dalam evaluasi pasien diberi
penjelasan mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan
sehingga dapat memberi persetujuan dalam informed consent1
.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebelum dilakukan tindakan operasi harus meliputi
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, laju nadi, laju napas,
temperatur), tinggi badan, berat badan, BMI, serta pemeriksaan organ jantung,
paru-paru, sistem muskuloskeletal menggunakan teknik inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi. Sebelum melakukan prosedur anestesi regional sebaiknya
memperhatikan struktur anatomi serta kondisi disekitar lokasi anestesi apakah
terdapat infeksi, serta dilakukan pemeriksaan neurologis untuk mengetahui
apakah terdapat kondisi defisit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional
atau blok pada area abdomen bawah, inguinal dan tungkai. Selain itu
dilakukan pula pemeriksaan jalan napas pasien, melakukan inspeksi keadaan
mulut dan lidah serta gigi, klasifikasi Mallampati jika pasien disiapkan untuk
mendapatkan anestesi umum.Pasien dengan operasi elektif yang memerlukan
tindakan anestesimembutuhkan perhatian khusus dalam pemeriksaan riwayat
fungsi jantung dan paru, riwayat penyakit ginjal, endokrin dan penyakit
metabolik, masalah muskuloskeletal dan anatomi yang berhubungan dengan
jalan napas dan anestesi regional, serta respon terhadap obat-obatan anestesia.
 Sistem Kardiovaskular
Fokus pada pemeriksaan kardiovaskular adalah untuk menentukan
apakah terdapat berbagai kelainan jantung yang memang diderita pasien
sebelumnya, evaluasi ritme jantung pasien melalui EKG, apakah terdapat
bradikardia atau takikardia pre operasi.
 Sistem Pernapasan
Berbagai usaha dalam mencegah komplikasi paru pasca operasi wajib
dilakukan dengan memperhatikan riwayat konsumsi rokok. Pasien
dengan asma memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami
bronkospasme saat tindakan manipulasi jalan napas, begitu pula dengan
pasien obesitas dan
obstructive sleep apnea. Resikokomplikasi paru-paru pasca operasi juga
berhubungan dengan status ASA pasien, dimana ASA kelas 3 dan 4
memiliki resiko relatif lebih tinggi dari pasien dengan ASA 1. Waktu
operasi yang lebih panjang (lebih dari 4 jam), pasien dengan general
anestesia juga memiliki risiko relatif lebih tinggi menderita komplikasi
paru-paru pasca operasi.
 Sistem Endokrin
Mengontrol diabetes mellitus dan gula darah pasien dengan melakukan
tes gula darah serta HbA1C sebelum dilakukan operasi. Pasien dengan
hiperglikemia yang akan menjalani operasi elektif harus mendapatkan
medikasi insulin hingga kadar gula darah mencapai batas normal.
Koagulasi Darah Pasien dengan penggunaan warfarin dalam jangka
waktu yang lama harus menghentikan penggunaan warfarin 5 hari
sebelum dilakukan operasi untuk mencegah perdarahan masif. Pasien
beresiko tinggi mengalami trombosis (sebagai contoh pasien dengan
fibrilasi atrium), penggunaan warfarin harus diganti dengan heparin
intravena atau intramuskular.
 Sistem Gastrointestinal
Masalah yang patut dihindari pada sistem gastrointestinal adalah aspirasi
isi lambung ke dalam saluran pernapasan. Risiko ini lebih tinggi pada ibu
hamil trimester II dan III, pasien yang tidak puasa sebelum menjalani
operasi, serta pasien dengan gastroesophageal reflux disease (GERD).
 Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi
o Diagnosis preoperatif dan pemeriksaan lab dilakukan berdasarkan
riwayat medis pasien serta prosedur operasi yang akan dijalani.
Prosedur pemeriksaan yang diperlukan umumnya pemeriksaan
darah lengkap tes.
o Persiapan Preoperatif
Persiapan preoperatif pasien meliputi persiapan di ruang
perawatan, persiapan di Instalasi Bedah Sentral, serta persiapan di
kamar operasi. Persiapan dimulai dari ruang perawatan, pasien
disiapkan secara psikis dengan diberi penjelasan mengenai
rencana anestesi dan pembedahan sehingga diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang. Dapat pula diberikan obat sedatif pada
pasien dengan stres berlebihan atau pasien pediatri yang tidak
kooperatif. Secara fisik pasien disiapkan dengan menghentikan
kebiasaan merokok, minum alkohol minimal dua minggu sebelum
operasi dimulai. Pasien dilarang menggunakan aksesoris
berlebihan dan tidak boleh menggunakan cat kuku. Pasien juga
dijelaskan mengenai wajib berpuasa makanan dan minuman
minimal selama 8 jam sebelum operasi. Pasien harus
menggunakan baju khusus operasi. Sebelum operasi pasien harus
menandatangani lembaran informed consent dengan sadar dan
terdapat saksi di ruangan tersebut.
o Persiapan di ruangan Instalasi Bedah Sentral dilakukan evaluasi
ulang status pasien dan catatan medis pasien, pemberian medikasi
dan pemasangan infus.Beberapa hal yang perlu disiapkan dalam
ruang operasi adalah sebagai berikut: stetoskop dan laringoskop;
tubes, jenis pipa yang akan digunakan tergantung dari teknik
anestesi yang digunakan, misalnya pipa endotrakeal, piapa
orofaringeal, pipa nasofaringeal; airway, misalnya sungkup
wajah, nasal canule; tapes, berupa plester yang digunakan dalam
memfiksasi pipa endotrakeal; introducer, stilet pipa endotrakeal;
connector, penghubung oksigen dan sungkup; suction7.Selain itu
hal yang harus dipersiapkan adalah meja operasi dengan
segala aksesorisnya, mesin anestesi, obat-obatan anestesi serta
obat-obatan resusitasi, defibrilator, monitor untuk mengetahui
tanda vital pasien selama operasi yang telah dilengkapi dengan
pulse oximeter dan alat pengukur tekanan darah, serta kartu
catatan medik anestesia.
d. Premedikasi
Premedikasi sangat penting diberikan pada pasien sebelum menjaalani operasi
dalam rangka pelaksanaan anestesia. Premedikasi dapat membantu pasien
menjadi lebih tenang dan nyaman, membuat amnesia, bebas dari rasa nyeri
dan mencegah mual muntah. Selain itu premedikasi dapat memudahkan
induksi serta dapat mengurangi dosis obat-obat anestesia yang akan
digunakan. Untuk membuat pasien menjadi lebih tenang dapat diberikan jenis
obat sedatif. Pada anak-anak usia 2-10 tahun yang mengalami mengalami rasa
takut dan cemas akibat menjalani operasi dan terpisah dari orang tua,
pemberian midazolam efektif dalam mengurangi rasa cemas sebelum
operasi.Pada orang dewasa diberikan midazolam secara intravena dengan
dosis 2-5mg. Dapat juga diberikandiphenhydramine dengan dosis 1mg/kgBB
untuk orang dewasa.Pemberian opioid (umunya fentanyl) diberikan pada
pasien yang menjalani prosedur invasif seperti blok regional atau pemasangan
kateter vena sentral untuk bebas dari rasa nyeri. Untuk mencegah mual dan
muntah pilihan premedikasi yang diberikan adalah jenis obat antiemetik yaitu
ondansentron dengan dosis untuk orang dewasa 4-8 mg melalui akses
intravena. Untuk profilaksis aspirasi dapat diberikan cimetidine, ranitidine,
maupun antasida. Pasien yang akan dilakukan manipulasi jalan napas secara
ekstensif diberikan agen antikolinergik (glycopyrrolate atau atropine) untuk
meminimalkan sekresi saluran napas sebelum dan selama operasi
berlangsung.Selain melakukan premedikasi dengan obat-obatan, dilakukan
pula pemasangan infus dengan tujuan mengganti cairan defisit selama puasa,
sebagai cairan pemeliharaan, serta sebagai akses dalam memasukkan obat
obatan premedikasi maupun saat anestesi berlangsung. Koreksi cairan yang
akan diberikan selama operasi berlangsung hingga setelah operasi harus sudah
diperhitungkan sebelum operasi dimulai. Pemberian koreksi cairan dapat
dihitung sebagai berikut: pada jam pertama diberikan sebanyak 50% dari
defisit yang terhitung ditambah dengan kebutuhan cairan per jam pada saat itu.
Kemudian pada jam kedua diberikan 25% dari defisit yang terhitung ditambah
dengan kebutuhan cairan per jam saat itu ditambah lagi dengan sekuester yaitu
jumlah cairan yang hilang selama operasi. Selanjutnya hal yang sama
diberikan untuk koreksi cairan pada jam ketiga operasi, dan seterusnya koreksi
cairan disesuaikan dengan kebutuhan cairan per jam.

e. Pemilihan Anestesi
Pilihan anestesi yang akan dilakukan harus memperhatikan berbagai faktor
seperti umur, jenis kelamin, status fisik pasien, serta jenis operasi yang akan
dilakukan. Pilihan anestesi yang dilakukan pada pasien bayi dan anak-anak
adalah anestesi umum, mengingat pada usia tersebut pasien kurang kooperatif.
Sedangkan pada pasien dewasa dapat dipilih anestesi umum atau regional.
Anestesi umum inhalasi sungkup muka atau anestesi umum intravena dapat
dipilih pada orang dewasa bila waktu operasi kurang dari 1 jam. Pada orang
tua cenderung dipilih anestesi regional kecuali tindakan yang digunakan tidak
memungkinkan untuk anestesi regional. Hal yang patut diingat adalah
tindakan anestesia dan obat-obatan yang diberikan kepada pasien memiliki
interaksi dengan penyakit sistemik maupun pengobatan yang tengah dijalani
pasien, sehingga status fisik pasien sebelum menjalani operasi merupakan
salah satu pertimbangan dalam menentukan jenis anestesi yang
digunakan1,2,6.Berdasarkan lokasi, posisi, durasi dan manipulasi operasi pada
daerah abdominal bawah, inguinal dan tungkai bawah.
 Pemantauan Selama Anestesia
Jalan napas, oksigenasi, ventilasi, tanda vital pasien harus dievaluasi
selama anestesi berlangsung. Bila pasien dalam keadaan bernapas
spontan pemantauan jalan napas dapat diperhatikan dengan mendengar
apakah terdapat suara napas patologis, lihat gerakan dada pasien, serta
perhatikan pada kantong reservoir apakah terhenti atau menurun.
Untuk melakukan pemantauan tanda-tanda vital, EKG, dan oksigenasi
selama operasi dapat dipantau melalui monitor. Oksigenasi dapat pula
dicek dengan milakukan inspeksi pada mukosa dan melalui analisa gas
darah. Produksi urin selama operasi ditampung dan diukur volumenya
setiap jam.
 Pasca Anestesia
Pasca anestesia dimulai setelah pembedahan dan anestesia berakhir
hingga pasien pulih dari pengaruh anestesia. Pasien yang telah
menerima tindakan anestesi tidak diperkenankan untuk meninggalkan
ruangan operasi sebelum dipastikan berada dalam kondisi jalan napas
yang paten, ventilasi yang adekuat, memiliki hemodinamik yang stabil,
serta pasien dalam kondisi responsif saat dilakukan pemeriksaan
kesadaran. Pasien kemudian dipindahkan menuju ruang pemulihan
Selama berada di ruang pemulihan dilakukan pemantauan respirasi dan
sirkulasi melalui monitor yang dilengkapi dengan pulse oximeter,
EKG, automated noninvasive blood pressure (NIBP) setiap 5-15 menit
tergantung dari berat-ringannya operasi dan kondisi pasien, diberikan
suplemental oksigen melalui nasal canule maupun sungkup muka pada
pasien dengan resiko hipoksemia. Pasien yang tidak stabil harus
dipindahkan ke ruang pemulihan dengan kondisi tetap diintubasi,
pemasangan monitor, serta dilengkapi dengan obat-obat
emergensi.Parameter hemodinamik pasien yang perlu diperhatikan
adalah tekanan darah dan denyut jantung. Pasien pasca bedah dapat
mengalami hipertensi sebagai akibat dari nyeri, hipoksia, hiperkarbia,
kelebihan cairan. Dan pasca anestesi Sebelum keluar dari ruang
pemulihan, dilakukan pemantauan pasca anestesia dan kriteria
pengeluaran menggunakan skor Aldrete.

D. INTENSIVE RECOVERY ROOM


a. Pengertian
Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja
operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat
terjadi setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar operasi
ke ruang pemulihan. Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga
Post Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi sampai
dengan keadaan umum pasien stabil. Pasien operasi yang ditempatkan di
ruang pemulihan secara terus menerus dipantau. Letak ruangan pemulihan
yang ideal adalah berdekatan dengan ruang operasi dan mudah di jangkau oleh
dokter ahli anestesi atau ahli bedah sehingga mudah dibawa kembalikan ke
ruang operasi bila diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi atau
ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan lampu cadangan bila sewaktu-
waktu terjadi pemadaman aliran listrik.
Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka
sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya.
Hal ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut kesadaran penderita
belum pulih secara sempurna sehingga kecenderungan terjadinya sumbatan
jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek perlindungan seperti reflek
batuk, muntah maupun menelan belum kembali normal, kemungkinan terjadi
aspirasi yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma
pasca operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan
kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap
tanda-tanda vital penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam
mencegah penyulit yang tidak. Infrastruktur dalam ruang pemulihan harus
dibawah pengawasan dokter anestesi yaitu:
 Perawat terlatih khusus dan trampil dalam pengawasan keadaan darurat
 Rasio : Pasien yaitu 3:1 (Ideal), 2:1 (Gawat), 1:1 (Sangat gawat)
 Peralatan :
o Satu tempat punya 1 sumber O2
o Suction, stetoskop, tensimeter, termometer
o Monitor : ECG dan SaO2
o Resusitasi set

b. Tatalaksana Pacsa Operasi


Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah
pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh
anestesia. 12 Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-
masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok:
 Kelompok I Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan
gangguan hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas
kendali pasca anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok
ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah
tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.
 Kelompok II Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk
dalam kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah
menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan
respirasinya dan kestabilan kardiovascular.
 Kelompok III Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi
harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot,
sehingga pasien bisa kembali pulang.

Terdapat 3 tahap dalam keperawatan periopertif :


 Fase pre operatif Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari
perawatan perioperatif yang dimulai ketika pasien diterima masuk di
ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja
operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
 Fase intar operatif Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau
dipindahkan ke instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
mencakup pemasangan IV cath, pemberian medikasi intaravena,
melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang
prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh :
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi, atau
membantu mengatur posisi pasien di atas meja operasi dengan
menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan tubuh.
 Fase post operatif Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari
perawatan pre operatif dan intra operatif yang dimulai ketika klien
diterima di ruang pemulihan pasca anaestesi dan berakhir sampai
evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Pada fase ini
lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas
selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen
anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus 9 pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi
serta pemulangan ke rumah.

Pemindahan pasien dari kamar operasi Pemindahan pasien dilaksanakan


dengan hati-hati mengingat :
 Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh
anestesia, posisi kepala diatur sedemikian rupa agar kelapangan jalan
napas tetap adekuat sehingga ventilasi terjamin.
 Apabila dianggap perlu, pada pasien yang belum bernapas spontan,
diberikan napas buatan.
 Gerakan pada saat memindahkan pasien dapat menimbulkan atau
menambah rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan bisa terjadi
dislokasi sendi.
 Pada pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok atau
hipotensi.
 Pasien yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat sedemikian
rupa agar aliran darah dari daerah tungkai ke proksimal lancar.
 Yakinkan bahwa infus, pipa nasogastrik dan kateter urin tetap
berfungsi dengan baik atau tidak lepas.
 Tidak perlu mendorong kereta tergesa-gesa karena hal tersebut dapat
mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas operasi, perubahan posisi
kepala, sehingga dapat menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau
regurgitasi, dan kegoncangan sirkulasi.

Tujuan Perawatan Pasca Anestesia/Pembedahan Di Ruang Pemulihan


Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan kesehatan fisiologi
dan psikologi antara lain:
 Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi, memasang
sunction dan pemasangan mayo/gudel.
 Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberiam bantuan
napas melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.
 Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan pemberian
cairan plasma ekspander.
 Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase Keadaan
umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien,
seperti kesadaran. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat
pengaruh anestesia sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain
itu drainase sangat penting untuk dilakukan observasi terkait dengan
kondisi perdarahan yang dialami pasien.
 Balance cairan Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output
cairan. Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan,
seperti dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang
mengakibatkan menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait
dengan fungsi eleminasi pasien.
 Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri Pasien post
anestesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan
beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang
nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan
pasien, 12 diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga
kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya.

Pasien Yang Tidak Memerlukan Perawatan Pasca Anestesia/Bedah Di Ruang


Pemulihan:
 Pasien dengan analgesik lokal yang kondisinya normal / stabil.
 Pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang
pemulihan tidak ada ruang isolasi.
 Pasien yang memerlukan terapi intensif. Pasien yang akan dilakukan
tindakan khusus di ruangan (atas kesepakatan Dokter Spesialis Bedah
dan Spesialis Anestesiologi.
 Masalah gelisah dan berontak, seringkali mengganggu suasana ruang
pulih bahkan bisa membahayakan dirinya sendiri.
 Penyebab gaduh gelisah pasca bedah adalah :
o Pemakaian ketamin sebagai obat anesthesia
o Nyeri yang hebat
o Hipoksia
o Buli-buli yang penuh
o Stres yang berlebihan prabedah
o Pasien anak-anak, seringkali mengalami hal ini
 Komplikasi pasien post anestesia seperti tanda lambat bangun yaitu
yang terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90 menit setelah anestesi
umum. Hal ini bisa diakibatkan :
o Sisa obat anestesi
o Sedatif
o Obat analgetik
o Penderita dengan kegagalan organMasalah gelisah dan
berontak, seringkali mengganggu suasana ruang pulih bahkan
bisa membahayakan dirinya sendiri.
 Penyebab gaduh gelisah pasca bedah adalah :
o Pemakaian ketamin sebagai obat anestesia
o Nyeri yang hebat
o Hipoksia
o Buli-buli yang penuh
o Stres yang berlebihan prabedah
o Pasien anak-anak, seringkali mengalami hal ini Komplikasi
pasien post anestesia seperti tanda lambat bangun yaitu yang
terjadi bila ketidaksadaran selama 60 – 90 menit setelah anestesi
umum.
 Hal ini bisa diakibatkan :
o Sisa obat anestesi
o Sedatif
o Obat analgetik
o Penderita dengan kegagalan organ

Faktor-Faktor Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Mengirim Ke Ruangan


Adalah:
 Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat
penawarnya (nalokson) secara intervena.
 Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik
atau narkotik secara intramuskular.
 Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
 Observasi 60 menit setelah ekstubasi
 Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah. Pasien bisa dipindahkan ke
ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai pengkajian post anestesi
adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari teknik anestesi
yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila
hemodinaik tak stabil perlu support inotropik dan membutuhkan
ventilator (mechanical respiratory support).

c. Kesimpulan
Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post
Anesthesia Care Unit(PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yangbaru saja menjalani operasi
sampai dengan keadaan umum pasien stabil.Pasien operasi yang
ditempatkan di ruang pemulihan secara terus menerus dipantau.Letak
ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan ruang operasi
dan mudah dijangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli bedah
sehingga mudah dibawa kembalikan keruang operasi bila diperlukan,
serta mudah dijangkau bagian radiologi atau ruangan harus cukup dan
dilengkapi dengan lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman
aliran listrik.Dalam syarat ruang pemulihan harus memiliki pintu lebar,
penerangan cahaya cukup,dan Jumlah tempat tidur sesuai dengan jumlah
ruang operasi. Ruang pemulihan minimal mempunyai kapasitas tempat
tidur 1,5 kali jumlah ruang operasi. Area yang digunakan per tempat
tidur sekurang-kurangnya 15 m2. Jarak antara tempat tidur
pemulihan sekurang-kurangnya 1,50 m.Pasca anestesia merupakan
periode kritis, yang segera dimulai setelah pembedahandan anestesia
diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesia.Penderita dengan
kadarlaktat di darah > 5 mmol/L dan pH < 7,35 mempunyai prognosis yang
sangat buruk.
E. UNIT EMERGENCY
a. Evaluasi
Pada kasus emergensi masih merupakan tantangan bagi penata anestesi karena
pada pasien emergensi terdapat gangguan fungsi vital, risiko perioperatif lebih
besar dan keterbatasan waktu.

b. Tugas dan Tanggungjawab Perawat Anestesi pada Unit Emergency


Penata Anestesi melakukan Evaluasi prabedah segera sebelum pembedahan
dan kadang- kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian
harus mengikuti prinsip triage yaitu Airway and cervical spine control
oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk  
pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan
cedera lain, serta harus dilalukan observarsi dan monitoring terus menerus
sampai menjelas operasi. Tindakan sedini mungkin memperbaikin
ventilasi/oksigenasi (kalau perlu dengan intubasi dan ventilasi kendali). Dan
gangguan sirkulasi pasien beda darurat sangatlah vital karena tindakan ini
akan menentukan prognosa pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Indeks. 2010.
Alan R. Aitkenhead’s. Smith&Aitkenhead’s Textbook of Anaesthesia. Churchill Livingstone.
2013.
Stoelting RK, Miller RD. Basics of anesthesia. Churchill Livingstone,; 2015 May 22.
Gray D, Morris C. The Principles and Conduct of Anesthesia for Emergency Surgery.
Britain: The Association of Anesthetists of Great Britain and Ireland. 2013.
Mangku, G., Senapathi, T.G.A. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta :
PT Macanan Jaya Cemerlang, 2017 : 185 – 188.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 7th(ed).
New York: McGraw-Hill Companies.2006.
Alagol A. Anesthetic Management of Abdominal Surgery. Turkey:
Anesthesiology and Reanimation Clinic Bagcilar Educational Hospital.
2012 : 55-65.
Barone, C. P., Pablo, C. S., & Barone, G. W. (2004). Postanesthetic Care in The CriticalCare
Unit. Journal of The American Association of Critical-Care Nurse, 24: 38-45
Gwinnutt, C.L. (2012). Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi
Jakarta: EGC.3.Morgan GE, Murray MJ, Mageds JR. Postanesthesial care dalam Clinical
Anethesiology4th edition. Mc Graw Hill Company, New York, 2006, hal : 1001-1017.2.
Latief SA, Suryadi K, Dachlan M.R. Tatalaksana pasca anestesi, dalam
PetunjukPraktisAnestesiologi edisi kedua cetakan ketiga. Bagian Anestesiologi dan
TerapiIntensif FakultasKedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2007, hal: 125-1283.
Gwinnut C.L. Perawatan pascaanestesia dalam Anestesi Klinis edisi ketiga. Alih
bahasaolehSusanto D. Penerbit buku kodeokteran EGC, Jakarta 2012, hal: 89-109
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1301460050/7_BAB_II.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/415/5/Chapter2.pdf
http://zalmeira-ners.blogspot.com/2012/01/peran-dan-fungsi-perawat-anestesi.html
http://andiiswandi.blogspot.com/2013/04/konsep-dasar-anestesi_27.html

Anda mungkin juga menyukai