Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

DRY EYE SYNDROME

Pembimbing
dr. Iqbal Hilmi, SpM

Disusun Oleh :
Pirdayasa Hikmah
202010401011066

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSUD JOMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan..........................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................5
a. Air Mata.......................................................................................................................................5
b. Definisi Dry Eye Sindrome..........................................................................................................7
c. Faktor Resiko...............................................................................................................................7
d. Patofisiologi..................................................................................................................................8
e. Etiologi dan Klasifikasi...............................................................................................................9
f. Diagnosis.....................................................................................................................................11
g. Terapi.........................................................................................................................................13
h. Komplikasi.................................................................................................................................14
i. Konseling dan Edukasi..............................................................................................................14
BAB III...............................................................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit mata kering merupakan penyakit multifaktorial pada air mata dan

permukaan mata yang menimbulkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan

ketidakstabilan tear film dengan potensial merusak permukaan mata. Keadaan ini bisa

diikuti dengan peningkatan osmolaritas tear film dan inflamasi permukaan mata. Air

mata terdiri atas tiga lapisan yang membentuk tear film. Lapisan mucin merupakan

lapisan paling dalam dan tipis yang diproduksi oleh konjungtiva. Mucin membantu

melapisi seluruh permukaan lapisan aqueous di permukaan mata. Lapisan tengah atau

lapisan aquos merupakan lapisan paling tebal, diproduksi oleh kelenjar air mata dan

mengandung larutan garam. Lapisan ini menjaga kelembapan permukaan mata dan

membersihkan debu, fibrin, atau benda asing. Lapisan paling atas adalah lapisan lipid

yang dihasilkan oleh kelenjar meibomian dan kelenjar Zeis. Lapisan ini mencegah

evaporasi lapisan aquos. Air mata juga mengandung protein, imunoglobulin, elektrolit,

sitokin, laktoferin, lisozim, dan faktor pertumbuhan; pH rata-rata 7,25 dan osmolaritas

309 mOsm/L.Laporan angka kejadian penyakit mata kering masih bervariasi karena
definisi dan kriteria diagnosis untuk penelitian masih beragam. Berdasarkan data

DEWS 2007, 5-30% penduduk usia di atas 50 tahun menderita mata kering. Penelitian

Women’s Health Study dan Physician’s Health Study melaporkan angka kejadian mata

kering pada perempuan lebih tinggi (3,2 juta) dibandingkan dengan lakilaki (1,6 juta)

usia di atas 50 tahun.

1.2 Tujuan Penulisan


Referat ini membahas mengenai definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari dry eye sindrom.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Air Mata
Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 pm yang menutupi epitel kornea dan
konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah (1) membuat kornea menjadi
permukaan optik yang licin dengan meniadakan ketidakteraturan minimal di
permukaan epitel; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan
konjungtiva yang lembut; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan
pembilasan mekanik dan efek antimikroba; dan (4) menyediakan kornea berbagai
substansi nutrien yang diperlukan.
Lapisan Film Air Mata
Film air mata terdiri atas tiga lapisan
1. Lapisan superfisial adalah film lipid monomolekular yang berasal dari kelenjar
meibom. Diduga lapisan ini menghambat penguapan dan membentuk sawar kedap-air
saat palpebra ditutup.
2. Lapisan akueosa tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor;
mengandung substansi larut-air (garam dan protein).
3. Lapisan musinosa dalam terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea
dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya relatif
hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja.
Musin diadsorpsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan oleh mikrovili
ditambatkan pada sel-sel epitel permukaan. Ini menghasilkan permukaan hidrofilik
baru bagi lapisan akueosa untuk menyebar secara merata ke bagian yang dibasahinya
dengan cara menurunkan tegangan permukaan
Komposisi Air Mata
Volume air mata normal diperkirakan 7 ! 2 1tL di setiap film air mata (akueosa,
musinosa, atau lipid), kelainan permata. Albumin mencakup 60% d,ariprotein total air
mata. Walaupun sisanya globulin dan lisozim yang berjumlah sama banyak. Terdapat
imunoglohulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling banyak adalah IgA, yang berbeda dari
IgA serum karena bukan berasal dari transudat serum saja; IgA juga diproduksi sel-sel
plasma di dalam kelenjar lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis
vernal, konsentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Lisozim air mata menyusun
21-25% protein total-Lrekerja secara sinergis dengan gamma-globulin dan faktor
antibakteri non-lisozim lain-membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap
infeksi. Enzim air mata lain juga bisa berperan dalam diagnosis berbagai kondisi
klinis tertentu, mis., hexoseaminidase untuk diagnosis penyakit TaySachs. K*, Na*,
dan Cl- terdapat dalam kadar yang lebih tinggi di air mata daripada di plasma. Air
mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dl-) dan urea (0,04 mg/ dL). Perubahan
kadar dalam darah sebanding dengan perubahan kadar glukosa dan urea dalam air
mata. pH ratarata air mata adalah 7,35, meskipun ada variasi normal yang besar (5,20-
8,35). Dalam keadaan notmal, air mata bersifat isotonik. Osmolalitas film air mata
bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L.

Sistem Drainage Lakrimal


a. Dalam keadaan santai, saccus lakrimal dipenuhi dengan air mata.
b. Kontraksi orbicularis pretarsal menutup punctum dan canaliculi. menekan
kantung, menciptakan tekanan positif yang mendorong air mata melalui
saluran.
c. Orbicularis akan rileks, punctum dan saccus terbuka, menciptakan tekanan
negatif yang menarik air mata ke dalam kanalikuli dan saccus lakrimal.
b. Definisi Dry Eye Sindrome
Menurut Dry eye Workshop (DEWS) tahun 2007, definisi mata kering adalah suatu
penyakit multifaktorial pada Lapisan Air Mata (LAM) dan permukaan okuler yang
menyebabkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan
air mata dengan potensi rusaknyapermukaan okuler. Gejala-gejala ini disertai
peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan inflamasi pada permukaan okuler. Mata
kering dapat disebabkan oleh sembarang penyakit yang berkaitan dengan defisiensi
komponen-komponen film air mata (akueosa, musinosa, atau lipid), kelainan
permukaan palpebral atau kelainan-kelainan epitel. Terdapat berbagai bentuk
keratokonjungtivitis sika, yang paling berhubungan dengan arthritis rheumatoid dan
penyakit autoimun lainnya biasanya dikategorikan sebagai sindrom Sjogren.

c. Faktor Resiko
 Usia diatas 30 tahun, khususnya wanita pasca menopause
 Faktor lingkungan, seperti debu, kering, berangin, dan juga asap rokok
 Pemakaian lensa kontak
 Aktivitas menggunakan layar komputer, TV atau gadget yang terlalu lama
 Riwayat operasi mata atau adanya penyakit lain yang dapat memicu dry eye
 Penggunaan obat tertentu baik obat minum maupun obat tetes mata
d. Patofisiologi

Permukaan mata dan kelenjar yang mengeluarkan air mata berfungsi sebagai satu
kesatuan. Penyakit atau disfungsi unit fungsional ini menghasilkan lapisan air mata
yang tidak stabil dan tidak dirawat dengan baik yang menyebabkan iritasi mata gejala
dan kemungkinan kerusakan pada epitel permukaan mata. Disfungsi unit terintegrasi
ini bisa berkembang dari penuaan, penurunan faktor pendukung (seperti hormon
androgen), sistemik penyakit peradangan (seperti sindrom Sjӧgren atau rheumatoid
arthritis), penyakit permukaan mata (seperti virus herpes simpleks [HSV] keratitis)
atau operasi yang mengganggu sensorik aferen trigeminal saraf (misalnya, LASIK),
dan penyakit sistemik atau obat-obatan yang mengganggu saraf kolinergik eferen
yang merangsang sekresi air mata Penurunan sekresi dan pembersihan air mata
memulai peradangan respon pada permukaan mata yang melibatkan mediator terlarut
dan seluler. Klinis dan dasar penelitian menunjukkan bahwa peradangan ini berperan
dalam patogenesis mata kering. Gejala yang disebabkan oleh mata kering dapat
diperburuk dengan penggunaan obat sistemik seperti diuretik, antihistamin,
antikolinergik, antidepresan, dan retinoid sistemik (misalnya, isotretinoin) .Instilasi
obat mata apa pun, terutama bila digunakan sering (misalnya, lebih dari empat tetes
sehari), dapat mencegah pemeliharaan normal film air mata dan menyebabkan gejala
mata kering. Selain itu, faktor lingkungan, seperti kelembaban berkurang dan
meningkat angin, angin, AC, atau pemanas dapat memperburuk ketidaknyamanan
mata pasien dengan kekeringan mata. Iritasi dan alergen eksogen, meskipun tidak
diyakini sebagai penyebab mata kering, bisa jadi memperburuk gejala. MGD
hiposekresi mungkin merupakan prekursor MGD obstruktif dan mungkin berperan
dalam pathogenesis penyakit mata kering.
Rosacea adalah penyakit kulit dan mata yang lebih sering diamati pada individu
berkulit putih, tapi bisa terjadi pada orang dari semua ras. Temuan karakteristik kulit
wajah termasuk eritema, telangiektasia, papula, pustula, kelenjar sebaceous menonjol,
dan rhinophyma. Rosacea mungkin sulit untuk didiagnosis pada pasien dengan warna
kulit yang lebih gelap karena kesulitan dalam visualisasi telangiectasia atau
pembilasan wajah. Meskipun rosacea lebih umum pada wanita, bisa lebih parah bila
terjadi pada pria. Karena banyak pasien hanya menunjukkan tanda-tanda ringan,
seperti telangiektasia dan riwayat wajah mudah memerah, diagnosis rosacea sering
terabaikan, terutama pada anak yang bisa muncul dengan blepharokeratoconjunctivitis
kronis berulang, erosi belang-belang, perifer keratitis, MGD, atau chalazia berulang
dan memiliki tanda-tanda rosacea yang tidak kentara. Anak-anak dengan ocular
rosacea sering muncul dengan keterlibatan kornea dan asimetri penyakit mata, dan
potensi gangguan penglihatan yang mengancam penglihatan harus dipertimbangkan.

e. Etiologi dan Klasifikasi


Mata kering dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain.1 Berdasarkan
etiopatologi, mata kering dikelompokkan menjadi dua, yaitu mata kering defisiensi
aqueous (ADDE) dan mata kering evaporasi (EDE) :
1. Mata Kering Defisiensi Aqueous (MKDA) Disebabkan oleh kegagalan sekresi air
mata lakrimal akibat disfungsi kelenjar lakrimal asinar atau penurunan volume
sekresi air mata. Keadaan ini menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi
tetap berlangsung normal.
Hiperosmolaritas menstimulasi mediator inflamasi (IL-1α, IL-1β, TNF α, matriks
metaloproteinase 9, MAP kinase, dan NFkβ pathway). MKDA dikelompokkan
menjadi dua sub-kelas, yaitu mata kering sindrom Sjogren (MKSS) dan mata
kering bukan sindrom Sjogren (MKBSS).1 MKSS merupakan penyakit autoimun
yang menyerang kelenjar lakrimal, kelenjar saliva, dan beberapa organ lain.
Infiltrasi sel T pada kelenjar saliva dan lakrimal menyebabkan kematian sel asinar
dan duktus serta hiposekresi air mata atau saliva. Aktivasi mediator inflamasi
memicu ekspresi autoantigen di permukaan sel epitel (fodrin, Ro, dan La) dan
retensi sel T CD4 dan CD8. Detail kriteria klasifikasi sindrom Sjogren
berdasarkan AmericanEuropean Consensus Group. MKBSS merupakan
kelompok MKDA akibat disfungsi kelenjar lakrimal yang bukan bagian dari
autoimun sistemik. Keadaan yang paling sering ditemukan adalah mata kering
berkaitan dengan usia. Defisiensi kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat
penyakit lain seperti sarkoidosis, AIDS, Graft vs Host Disease (GVHD) atau
keadaan obstruksi duktus kelenjar lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam
MKBSS.1,4 Pada Beave Dam study ditemukan angka kejadian mata kering
pasien DM 18,1% dibandingkan dengan pasien non-DM (14,1%)
2. Mata Kering Evaporasi (MKE)1 MKE terjadi akibat kehilangan air mata di
permukaan mata, sedangkan kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini
dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik
(penyakit permukaan mata atau pengaruh obat topikal), keterkaitan kedua faktor
masih sulit dibedakan.
f. Diagnosis
Pasien dengan mata-kering paling sering mengeluhkan sensasi tergores (scratchy)
atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus
berlebih, ketidakmampuan menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas,
kemerahan, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri
paling jelas pada pemeriksaan mata adalah tampilan mata yang secara kasar tampak
normal. Ciri paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya
meniskus air mata di tepian palpebra inJerior. Benang-benang mukus kental
kekuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjunctivae inferior. Pada
konjungtiva bulbaris tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal,
edema, dan hiperemis. Epitel kornea menunjukkan bercak-bercak punctata halus di
fissura interpalpebra dalam berbagai derajat. Selsel epitel konjungtiva dan kornea
yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek-defek di epitel kornea terpulas
dengan fluorescein. Pada tahap lanjut keratokonjungtivitis sika, bisa tampak filamen-
filamen-salah satu ujung tiap filamen melekat pada epitel kornea dan ujung lainnya
bergerak bebas Pada pasien dengan sindrom Sjdgren, kerokan konjungtivanya
menampakkan peningkatan jumlah sel goblet. Pembesaran kelenjar lakrimal terjadi
pada pasien dengan sindrom Sjogren, tetapi jarang. Diagnosis dan penentuan derajat
kondisi mata kering dapat dilakukan secara akurai dengan metode diagnostik berikut
ini:
1. Uji Schirmer
Uji ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip
Schirmer (kertas saring \Alhatman No. 41) ke dalam cul-de-sac konjungtiva inferior
di perbatasan antara bagian sepertiga tengah dan temporal palpebra inferior. Bagian
basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang
dari 10 mm tanpa anestesi dianggap abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini
mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh
iritasi kertas saring itu. Uji Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal
(tetracaine 0,5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal aksesorius (pensekresi dasar).
Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal. Namun, uji Schirmer dengan
anestesi dianggap kurang clapa t.dianclalkan. Uji Schirmer adalah uji penyaring untuk
menilai produksi air mata. Dijumpai hasil "false-positif" dan "false negatif". Hasil
rendah kadang-kadang ditemukan pada mata normal secara sporadis dan uji normal
dapat dijumpai pada mata-kering-terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin.
2. Tear Film Break-Up Time
Pengukuran " tear fiIm break-up time" kadang-kadang berguna untuk
memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin
tidak mempengaruhi uji Schirmer, tetapi dapat berakibat tidak sta bilnya film air mata.
Ini yang menyebabkan lapisan itu cepat pecah. "Bintik-bintik kering" (Gambar 4-21)
terbentuk dalam film air mata sehingga epitel kornea atau konjungtiva terpajan ke
dunia luar. Proses ini akhirnya akan merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan
bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea, meninggalkan daerah-
daerah kecil yang dapat dipulas saat permukaan kornea dibasahi fluorescein. "Tear
film break-up time" d.apat diukur dengan meletakkan secarik kertas berfluotescein,
yang sedikit dilembabkaru pada konjungtiva bulbaris dan meminta pasien berkedip.
Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp,
sementara pasien diminta agar tidak berkedip. Waktu sampai munculnya bintikbintik
kering yang pertama pada lapisan fluorescein kornea adalah " tear film break-up time"
. Biasanya, waktu ini lebih dari 15 detik, tetapi akan berkurang secara nyata pada
penggunaan anestetik lokal, manipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar
tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata
dan selalu lebih singkat dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin.
3. Uji Ferning Mata
Sebuah uji sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan
dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Percabangan
seperti pohon (ferning) yang tampak secara mikroskopis terlihat pada mata normal.
Pada pasien konjungtivitis yang menimbulkan parut (pemfigoid mata, sindrom
StevensJohnson, parut konjungtiva difus), percabangan mukus tersebut berkurang
atau hilang.

4. Pemulasan Bengal Rose dan Hijau Lissamine


Bengal rose dan hijau lissamine sama sensitifnya untuk pemulasan konjungtiva.
Kedua pewarna itu akan memulas sel-sel epitel non-vital yang mengering dari
konjungtiva dan sedikit dari kornea. Tidak seperti bengal rose, hijau lissamine
tidak nyata menimbulkan iritasi.

g. Terapi
Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah suatu keadaan kronik dan pemulihan
total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan- saat perubahan epitel kornea dan
konjungtiva masih reversibel. Air mata buatan adalah terapi yang kini dianut. Salep
berguna sebagai pelumas jangkapanjang, terutama saat tidur. Pemulihan dapat
ditingkatkan dengan memakai pelemb ab, mois tur e- chamb er sp e ct a cI e s, atau
kacamata renang. Fungsi utama pengobatan ini adalah penggantian cairan. Pemulihan
musin adalah tugas yang lebih berat. Tahun-tahun belakangan ini, telah ditambahkan
polimerpolimer larut air dengan berat molekul tinggi pada air rnata buatan sebagai
usaha memperbaiki dan memperpanjang lama pelembaban permukaan. Agen
mukomimetik lainnya berupa natrium-hialuronat dan larutan dari serum pasien sendiri
sebagai tetesan mata. Jika mukusnya kental, seperti pada sindrom Sjogren, agen
mukolitik (mis., acetylcysteine 10%) dapat menolong. Pasien dengan kelebihan lipid
dalam air mata memerlukan instruksi spesifik untuk menghilangkan lipid dari tepian
palpebra. Mungkin diperlukan antibiotik topikal atau sistemis. Vitamin A topikal
mungkin berguna untuk memulihkan metaplasia permukaan mata. Semua pergawet
kimiawi dalam air mata buatan akan menginduk3i toksisitas kornea dalam batas
tertentu. Benzalkonium ctrlorida adalah preparat umum yang paling merusak. Pasien
yang memerlukan beberapa kali penetesan sebaiknya memakai larutan tanpa bahan
pengawet. Bahan pengawet dapat pula menimbulkan reaksi idiosinkrasi; yang
tersering dengan timerosal. Pasien dengan mata kering akibat penyebab apapun lebih
besar kemungkinannya untuk terkena infek'sl. BIefaritis kronik sering dijumpai dan
harus diobati dengan memperhatikan higiene dan memakai antibiotika topikal. Acne
rosacea sering terdapat bersamaan dengan keratokonjungtivitis sika, dan pengobatan
dengan tetrasiklin sistemik ada manfaahrya. Tindakan bedah pada mata-kering berupa
pemasangan sumbatan di punctum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu
yang lebih lama (silikon); tindakan ini menahan sekret air mata. Penutupan puncta
dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengan terapi termal (panas), kauter
listrik, atau dengan laser.

h. Komplikasi
Pada awal perjalanan keratokonjungtivitis sika, penglihatan sedikit terganggu. Dengan
memburuknya keadaan, ketidaknyamanan bisa sangat mengganggu. Pada kasus
laniut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Sesekali dapat
terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat parut serta vaskularisasi pada kornea
yang sangat menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-
komplikasi ini.
i. Konseling dan Edukasi
1. Melindungi lapisan air mata dengan menurunkan evaporasi dan mengurangi
drainase.
- Evaporasi dapat dikurangi dengan menurunkan suhu ruangan, menggunakan
kacamata pelindung, demikian pula dengan penggunaan computer jangka lama.
- Oklusi punctum untuk menurunkan drainase.
2. Edukasi sebagai psikoterapi; Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit mata
kering, serta bagaimana perjalanan penyakit ini. Karena keadaan yang kronis akan
menyebabkan depresi pada pasien.
BAB III

PENUTUP

Penyakit mata kering merupakan penyakit multifaktorial dan kompleks. Evaluasi tanda dan
gejala, pemeriksaan penunjang, pengelompokan klasifikasi berdasarkan etiopatogenis
membantu penegakan diagnosis. Target terapi ditentukan berdasarkan lapisan tear film yang
terganggu dan memperbaiki faktor risiko. Obat tetes mata topikal dan oral diberikan secara
teratur dan secara berkala sesuai derajat keparahan penyakit mata kering
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury ed.19,2018 , general Oftalmology, Lange


2. Lemp MA, Crews LA, Bron AJ, et al. Distribution of aqueous-deficient and evaporative dry
eye in a clinic-based patient cohort: a retrospective study. Cornea 2012;31:472-8.
3. Tear Film & Ocular Surface Society. 2007 Report of the international dry eye syndrome.
Ocular Surface 2007;5(2):59-200.
4. Phadatare SP, Momin M, Nighojkar P, Askarkar S, Singh KK. A comprehensive review on dry
eye disease: Diagnosis, medical management, recent developments, and future challenges.
Advances in Pharmaceutics 2015;1-13.

Anda mungkin juga menyukai