Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pterigium

Pterigium berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ptero yang artinya wing atau

sayap (Julianti, 2009). Ptergium berbentuk segitiga horisontal dengan puncak

mengarah ke bagian tengah dari kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi bola

mata bagian medial dan atau nasal, sehingga bentuknya menyerupai sayap (Erry

dkk., 2011). Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal pada

permukaan basemen membran melalui epitel limbus yang menginvasi dari regio

kantus pada konjungtiva bulbi masuk ke permukaan kornea (lapisan stroma dan

membran Bowman) pada daerah interpalpebra diikuti oleh degenerasi dan

hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif, gambaran inflamasi, serta kaya

oleh pembuluh darah (Swastika, 2008). Ptergium merupakan pertumbuhan non

malignan yang dapat menyebabkan perusakan pengelihatan (Bhardwaj dkk, 2013).

2.2 Epidemiologi Pterigium

“Sabuk pterigium ” merupakan daerah dengan prevalensi pterigium yang

tinggi, terletak pada daerah lintang 370 utara dan selatan equator. (Swastika, 2008).

Prevalensinya semakin tinggi pada daerah ekuator sehingga lebih sering

ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis dibandingkan daerah lainnya. Di

daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko

timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan di daerah non-tropis (Shintya

dkk., 2010). Namun sampai saat ini kita belum mempunyai data yang akurat

mengenai prevalensi pterigium di Indonesia, sehingga melalui Riset Kesehatan


5
6

Dasar yang telah dilakukan pada tahun 2013, prevalensi pterigium semua umur

tahun 2013 adalah 8,3 persen. Prevalensi pterigium dihitung berdasarkan hasil

pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur.

Prevalensi pterigium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%).

2.3 Etiopatogenesis Pterigium

Etiologi dan patogenesis terjadinya pterigium sendiri belum terlalu jelas.

Beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menerangkan patogenesis

terjadinya pterigium, tetapi etiologinya yang pasti dan penyebabnya bersifat

multifaktorial. Maka berkembang berbagai teori untuk menerangkan patogenesis

pterigium (Saerang, 2013). Beberapa teori tentang patogenesis pterigium yang

berkembang sekarang, antara lain teori degenerasi, inflamasi, neoplasma, tropik

ataupun teori yang menghubungkan dengan sinar UV (Julianti, 2009).

Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar

ultraviolet merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. Studi epidemiologik

menunjukkan paparan kronis sinar matahari, kemungkinan besar Ultraviolet B

(UVB) iradiasi, sebagai faktor penting pada pertumbuhan pterigium (Saerang,

2011). Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal

basal stem sel. Tanpa apoptosis, TGF-β (Transforming Growth Factor-beta)

overproduksi dan menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel berimigrasi,

dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat

jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan sub konjungtiva terjadi degenerasi

elastoik dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang


7

akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan

membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering dibarengi

dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal,atau tipis dan kadang terjadi

dysplasia (Laszuarni, 2009). Pada pengamatan lanjut menunjukkan ekspresi

vimentin sel limbal pada tepi pterigium, over ekspresi p53 supressor gen memberi

kesan bahwa ultraviolet B menginduksi mutasi pada awal pertumbuhannya

dengan jalan perusakan apoptosis dari sel limbal serta produksi yang berlebihan

dari bermacam-macam faktor pertumbuhan.1 Pada beberapa laporan penelitian,

menunjukkan hubungan erat ultraviolet sebagai pemicu terjadinya mutasi p53.

Ekspresi p53 abnormal ditunjukkan pada pterigium dengan imunohistokimia

dengan antibodi monoklonal yang dapat mendeteksi protein p53 mutan. 2Terdapat

2tipe protein p53, yaitu tipe normal atau wild type serta mutant type. P53 wild type

dipercaya berperan pada regulasi proliferasi sel dan berperan sebagai tumor

suppressor (Anugrahsari dkk., 2010).

Kemungkinan akibat sinar ultraviolet adalah terjadinya kerusakan stem sel

di daerah intrapalpebral. Manifestasi dari defisiensi atau disfungsi terlokalisasi

intrapalpebral limbal stem sel juga merupakan tanda yang ditemukan pada

pterigium. Limbal stem sel merupakan sumber regenerasi epithel kornea. Pada

keadaan defisiensi limbal stem sel, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan

kornea. Gejala dan defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,

vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan basement membrane dan pertumbuhan

jaringan fibrotik (Laszuarni, 2009).


8

Hal ini sesuai dengan peta distribusi pterigium dari Cameron, secara

geografis memperlihatkan angka kejadian pterigium, yang meningkat bila

mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37° LS). Prevalensi penderita pterigi um

sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40° LU dan LS

(Shintya dkk., 2010). Tumor suppressor gene p53 sebagai suatu mutasi gen yang

tersering dari tumor manusia dan dijumpai lebih dari 50% kanker manusia.

Diperkirakan bahwa peningkatan 1% dari radiasi UV akan meningkatkan insiden

dari pterigium 2,5–14% pada populasi Australia (Saerang, 2011).

Walaupun beberapa perubahan degeneratif dapat diamati, pterigium

dipertimbangkan sebagai penyakit proliferasi. Banyak hasil penelitian mendukung

klasifikasi proliferatif ini. Berbagai macam growth factor dan sitokin

diekspresikan pada pterigia. Ekspresi yang mirip juga didapatkan pada beberapa

infeksi viral, termasuk yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) dan

virus herpes simpleks. Human Papilloma Virus (HPV) terlibat dalam etiologi

neoplasma jinak dan ganas dari kulit dan epitel mukosa, terdapat lebih dari 130

tipe HPV yang teridentifikasi. Di antara jumlah tersebut, terdapat lebih dari 40 tipe

terlibat dalam kanker anogenital dan neoplasma epitel konjungtiva. Human

Papilloma Virus khususnya tipe 16 dan 18 telah ditemukan pada pterigium dan

tumor limbus, yang mengganggu jalur p53 (Saerang, 2011).

2.4 Faktor Resiko Pterigium


9

Pemicu pterigium tidak hanya dari etiologinya, tetapi terdapat faktor risiko

yang mempengaruhinya (Swastika, 2008). Suatu penelitian epidemiologi di

Adelaide (Australia) menemukan faktor risiko sebagai variabel independen

terjadinya pterigium berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki), daerah

tinggal (desa) dan lamanya paparan sinar matahari (Erry dkk., 2011). Selain itu,

jenis pekerjaan, riwayat keluarga, kelembaban yang rendah, dan mikrotrauma

karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok dan pasir merupakan faktor

risiko terjadinya pterigium (Julianti, 2009).

2.4.1 Usia

Menurut Tan et al., beberapa penelitian termasuk yang dilakukan di

Indonesia prevalensi pterigium akan meningkat dengan bertambahnya umur

(Swastika, 2008). Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia

banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak

(Julianti, 2009). Umumnya banyak muncul pada usia 20 – 30 tahun (Swastika,

2008). Pterigium tidak lazim terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data

prevalensi pterigium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid

(Riskesdas, 2013).

2.4.2 Jenis kelamin

Berdasarkan studi oleh Julianti (2009), menyatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. Terdapat perbedaaan hasil

studi yang dilaporkan Gazzard di Indonesia tepatnya di Kepulauan Riau yang

melaporkan prevalensi pterigium pada wanita 17,6 % dan laki-laki 16,1%


10

(Swastika, 2008). Berbeda lagi dengan hasil penelitian oleh Bustani dan

Mangindaan yang melaporkan 21,35% pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa

Utara, dengan hasil 12,92% pada pria dan 8,43% pada wanita (Saerang, 2011).

2.4.3 Jenis pekerjaan

Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan

sinar UV (Julianti, 2009). Maka penderita pterigium banyak dijumpai pada orang

yang bekerja di luar ruangan dan banyak bersinggungan dengan udara, debu

ataupun sinar matahari dalam jangka waktu yang lama (Swastika, 2008).

2.4.4 Riwayat pemakaian alat proteksi mata

Suatu penelitian case control yang dilakukan di Australia mengungkapkan

risikonya 9 kali lebih tinggi bila tidak menggunakan kacamata pelindung dan 2

kali lebih tinggi bila tidak memakai topi (Erry dkk., 2011).

2.7.5 Faktor resiko lainnya

Faktor resiko lainnya yang berpengaruh, yaitu infeksi oleh Human

Papiloma Virus (Julianti, 2009). Faktor herediter, yang kemungkinan diturunkan

autosom dominan (Laszuarni, 2009). Selain itu, penduduk yang bertempat tinggal

di pedesaan mempunyai prevalensi pterigium yang lebih besar dibandingkan

penduduk di perkotaan. Prevalensi pterigium cenderung menurun seiring dengan

meningkatnya kuantil indeks kepemilikan (Riskesdas, 2013).

2.5 Manifestasi Klinis


11

Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal (Laszuarni, 2009).

Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhannya yang

berbeda serta dapat terjadi dengan berbagai kombinasi, namun jarang yang

asimetris. Kombinasi nasal-nasal lebih sering dibandingkan dengan temporal-

temporal. Pteriium duleks dapat juga terjadi apabila pterigium tumbuh di bagian

nasal dan temporal pada satu mata (Erry dkk., 2011).

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 tipe, yaitu progresif

dan regresif pterigium:

- Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat pada

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap pterigium)

- Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

membentuk membran tetapi tidak pernah hilang. Pada tahap inilah

gangguan penglihatan terjadi.

1. Gejala klinis

- Asimptomatik

Pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang

tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan

kosmetik.

- Mata sering berair dan tampak merah.

Riwayat mata merah berulang, biasanya banyak terdapat pada penderita

yang banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
12

matahari yang tinggi. Dapat ditanyakan riwayat trauma sebelumnya

(INASCRS, 2011). Selain itu, keluhan juga dapat berupa rasa panas dan

gatal (Julianti, 2009).

- Merasa seperti ada benda asing.

- Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium

tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme

irregular sehingga mengganggu penglihatan.

- Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan

aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun (Julianti, 2009).

2. Pemeriksaan oftalmologis

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : “body, apex (head), dan cap”.

Badan segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya daerah kantus

disebut “body”, sedangkan bagian atasnya disebut “apex”, dan kadang kebelakang

disebut “cap”. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan

membentuk batas pinggir pterigium.

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea

yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium. Sesuai dengan Perhimpunan Dokter

Spesialis Mata Indonesia berdasarkan kriteria gradasi menurut Youngson, derajat

pertumbuhan pterigium dibagi menjadi :

- Derajat 1 : hanya terbatas pada limbus

- Derajat 2 : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm

melewati kornea
13

- Derajat 3 : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil

mata dalam keadaan cahaya (diameter pupil dalam keadaan normal sekitar

3-4 mm)

- Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu pengelihatan. Dan pada kasus berat dapat menimbulkan

diplopia (Julianti, 2009). Terjadinya diplopia menyebabkan terbatasnya

pergerakan mata.

Pterigium dibagi berdasarkan dapat dilihatnya pembuluh darah episclera di

pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp :

1. T1 (atropi): pembuluh darah episclera jelas terlihat

2. T2 (intermediate): pembuluh darah episclera sebagian terlihat

3. T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas (Laszuarni, 2009).

2.6 Diagnosis Banding Pterigium

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama

yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa

kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fisura

intrapalpebra dan kadang-kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan.

Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering

pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan

perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor penyebab pinguecula

(Laszuarni, 2009).
14

Pseudopterigium merupakan jaringan konjungtiva yang tumbuh menutupi

jaringan kornea yang mengalami luka atau peradangan (INASCRS, 2011).

Pertumbuhan yang mirip pterigium, pertumbuhannya membentuk sudut miring

seperti pseudopterigium atau Terrien s marginal degeneration. Pseudopterigium

mirip dengan pterigium, dimana fibrovaskular skar yang timbul pada konjungtiva

bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat

inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia,

konjungtivitis sikatrik, ulkus perifer kornea. Probing dengan muscle hook dapat

dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal

ini tidak dapat dilakukan pada pterigium. Pada pseudopterigium tidak didapat

bagian head, cap, dan body. Pseudopterigium cenderung keluar dari ruang

intrapalpebra fissure yang berbeda dengan pterigium sebenarnya (Laszuarni, 2009).

2.7 Penatalaksanaan Pterigium

Adanya faktor-faktor resiko, penyebab dan distribusi penyakit ini berguna

untuk memberikan strategi yang tepat dalam pencegahan terjadinya pterigium

(Laszuarni, 2009). Keluhan photophobia dan mata merah dari pterigium ringan

sering ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topical seperti

lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan secara aman untuk

menghilangkan gejala jika digunakan secara benar terutama pada derajat 1 dan 2

atau tipe I. Untuk mencegah progresiftas beberapan peneliti menganjurkan

penggunaan kaca mata pelindung ultraviolet. Indikasi untuk pterigium eksisi

termasuk ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan, ukurannya lebih


15

dari 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau aksis

visual dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan

untuk mencapai keadaan normal, gambaran permukaan bola mata yang licin.

Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium menggunakan

pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium kearah limbus. Walaupun

memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah limbus lebih disukai,

namun ini tidak penting untuk memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di

daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma

tidak sengaja di daerah jaringan otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan

untuk mengontrol pendarahan (Laszuarni, 2009).

2.8 Komplikasi dan Prognosis Pterigium

Selain berpotensi menggangu kosmetik, pada pertumbuhan pterigium

lanjut dapat berpotensi menjadi penyebab kebutaan yang memerlukan tindakan

operasi untuk perbaikan visus (Laszuarni, 2009). Penglihatan dan kosmetik pasien

setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi

dapat ditoleransi, kebanyakan pasien seteleh 48 jam postoperasi dapat beraktivitas

kembali.

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah kekambuhan atau

rekuren atau tumbuh ulang pterigium postoperasi. Pterigium dinyatakan kambuh

apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali

jaringan pterigium yang disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang

menjalar kearah kornea. Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi
16

disebutkan antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan (Swastika, 2008). Pasien

dengan pterigium yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi ulang dan

graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Simple

eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi, kira-kira 50-80%. Terapi adjuvant

berupa autograph konjungtiva untuk mencegah kekambuhan pasca eksisi.

(Emilia, 2014). Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan

epithel diatas pterigium yang ada (Laszuarni, 2009).

Anda mungkin juga menyukai