Penembakan Ayah dan Anak di Nduga Oleh Anggota TNI Pelanggaran HAM
Amnesty International Indonesia menyebut kasus
penembakan terhadap dua warga Nduga, Papua, oleh
oknum anggota TNI adalah pelanggaran hak asasi
manusia. Penembakan terhadap ayah dan anak hingga
tewas di Kabupaten Nduga itu menunjukan negara
represif di Papua.
Merespon tewasnya dua warga Nduga, Papua,
akibat penembakan oleh anggota TNI, Direktur Eksekutif
Amnesty International Indonesia Usman Hamid
menyebut tindakan tersebut pelanggaran HAM.
“Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam
keterangan tertulis.
Oleh karena itu, Amnesty mendesak negara agar segera dilakukan investigasi
menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak atas penembakan tersebut. Meski
berstatus militer, pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum sesuai perintah
Undang-undang TNI.
"Penyelesaian kasus ini tak cukup hanya disiplin internal maupun di sidang pengadilan
militer. Sebab tindakan pelaku bukan hanya pelanggaran disipliner, tetapi merupakan tindak
pidana dan pelanggaran HAM," ujar Usman.
Jika otoritas hanya membawa kasus tersebut ke
pengadilan militer, itu artinya negara gagal dalam
memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi
hak asasi manusia setiap warganya. Termasuk gagal
menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara
sama keduduannya di muka hukum.
Selain itu, negara juga harus menyediakan reparasi
yang meliputi rehabilitasi, restitusi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali
penembakan itu kepada keluarga korban. Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan
dan diberikan kepada keluarga korban.
“Kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan
pelanggaran HAM yang kerap kali terjadi di Papua," tegasnya.
Usman menambahkan, Amnesty International percaya bahwa terdapat hubungan
langsung dan kausalitas antara impunitas dan terus terjadinya penembakan yang
menyebabkan pembunuhan di luar hukum di Papua.
"Setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa para pelaku insiden kekerasan
dan pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan, akan memperkuat keyakinan bahwa memang
mereka berdiri di atas hukum," tuturnya.
Sebelumnya Kodam Cendrawasih telah mengonfirmasi dan membenarkan adanya
penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, oleh oknum
anggota TNI yang bertugas di sana. Insiden tersebut terjadi pada hari Sabtu, 18 Juli 2020.
Berdasarkan kronologi yang dihimpun Amnesty International Indonesia, penembakan
terjadi sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Kedua korban atas nama Selu Karunggu 20 thn
(anak laki-laki) dan Elias Karunggu 34 thn (ayah). Mereka adalah penduduk sipil berstatus
pengungsi pasca peristiwa 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Nduga.
Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Kèneyam, Ibu Kota
Kabupaten Nduga. Selama ini korban bertahan di hutan tempat pengungsian yang tidak layak.
Dilaporkan banyak yang mati kelaparan di pengungsian tersebut.
Lokasi kejadian bertempat di kampung Masanggorak di pinggir sungai Keneyam,
setengah kilometer dari Kota Keneyam. Oknum TNI menembak kedua korban dari pos
darurat mereka di pinggir sungai saat keduanya menyeberang sungai.
Saat itu pengungsi yang hendak menuju Keneyam,
tapi bersama beberapa pengungsi lain dalam satu
rombongan. Mereka berasal dari tiga distrik yang berbeda.
Namun kedua korban lebih dulu tiba dibanding yang lain.
Merespon peristiwa ini, Pemerintah Daerah dan
masyarakat Nduga turun ke jalan pada Minggu, 19 Juli
2020 dari pagi hingga sore, meminta jenazah kedua
korban dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Keneyam. Mereka juga
meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik seluruh
Pasukan TNI dan Polri dari Kabupaten Nduga.
Warga Papua sudah kerap kali menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh oknum-
oknum aparat negara. Pada 2018, Amnesty International Indonesia menerbitkan laporan
berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat sebanyak 69 kasus dugaan
pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua. Sejak Januari 2010 hingga
Februari 2018 terdapat 95 warga yang meninggal diduga akibat pembunuhan oleh aparat
keamanan.
Dalam 34 kasus pelakunya dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari TNI, dan 11
kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus
tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagian besar korban, 85
dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional tentang perlindungan
terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR). Pasal 6 ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk hidup dan
tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.” Maka kegagalan proses
hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia.