Anda di halaman 1dari 14

1

USULAN PENERAPAN METODE ACTIVITY BASED BUDGETING (ABB)


DALAM PENGELOLAAN BIAYA GAS ALAM (NATURAL GAS USAGE
COST) PRODUKSI FRITS (STUDI KASUS PT XYZ)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Proses globalisasi, perkembangan industry, ketatnya kompetisi pasar di

Indonesia serta berubahnya filosofi bisnis di pusat pasar dunia telah mendorong

perusahaan untuk menyediakan produk yang berkualitas tinggi dengan biaya yang

rendah. Perusahaan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan proses yang

terjadi di masa sekarang. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia ditunjang dari

beberapa sektor industri seperti industri makanan, manufacturing, textile, otomotif

dan industri kimia. Berdasarkan capaian kinerja pada subsektor industry

(Kementerian Perindustrian, 2017) menunjukan pertumbuhan yang tinggi pada

triwulan II 2017 yaitu industry logam dasar meningkat sebesar 7,50%, industry

kimia, farmasi dan obat traditional meningkat sebesar 7,37%, industry makanan

dan minuman meningkat sebesar 7,19%, indsutri mesin dan perlengkapan

meningkat sebesar 6.72% dan industry barang logam, computer, barang

elektronik, optic, dan peralatan listrik meningkat sebesar 4,67%. Beberapa industri

tersebut, memiliki prospek dan orientasi yang sangat baik dan tengah mengalami

perkembangan hingga tahun–tahun kedepan. Berikut data yang menunjukan


2

kontribusi industry manufaktur terhadap produk domestic bruto (PDB) diatas 10%

yaitu sebagai berikut:

Gambar 1 Kontribusi Industri Manufaktur Terhadap Produk


Domestic Bruto (PDB) di ASEAN

Kontribusi Industri Manufaktur di ASEAN


40%

20%
Kontribusi Industri
Manufaktur di ASEAN
0%

Sumber: Data United Nations Statictic Division, 2016

Dapat dilihat pada data diatas bahwa sektor manufaktur Indonesia

menduduki posisi ke 4 dari 15 negara yang berkontribusi bagi produk domestic

bruto (PDB) dengan capaian sebesar 22%. Hal ini menunjukan pertumbuhan

industry manufaktur di Indonesia cukup berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi

negara. Pencapaian kontribusi industry manufaktur tersebut tentunya tidak luput

dari rencana-rencana strategis perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Menurut (Anthony dan Govidarajan, 2011:19), anggaran mencerminkan

adanya keselarasan dengan rencana strategis, yang memasukan informasi terkini.

Bila perusahaan beroperasi dalam konteks industri yang perubahan lingkungannya


3

dapat diprediksikan, maka perusahaan dapat menggunakan proses formil dan

rasional untuk mengembangkan strategi terlebih dahulu, kemudian baru

mendesain sistem pengendalian manajemen untuk melaksanakan strategi tersebut

(Anthony dan Govidarajan, 2011:1). Rencana strategis pada umumnya berjangka

lima tahun, 10 tahun atau lebih. Pada umumnya setiap perusahaan menyusun

anggaran sebagai pedoman untuk melaksanakan kegiatan. Menurut Nafirin

(2010:10) menyatakan bahwa anggaran merupakan alat pengawasan di bidang

keuangan yang digunakan oleh perusahaan yang berorientasi pada laba maupun

non laba. Penganggaran sering digunakan untuk istilah yang sama dengan

managerial budgeting, business budgeting, dan budgeting.

Peningkatan dalam pendapatan anggaran dan optimalisasi pengeluaran,

keseimbangan anggaran, distribusi dana tunas dalam kondisi sosial dan ekonomi

yang berubah dengan cepat aspek keuangan dari struktur anggaran menentukan

tingkat perkembangan sosial dan ekonomi negara dan pada akhirnya standar hidup

dari banyak orang (Mutanov, 2015:2-4). Anggaran juga seringkali diartikan secara

luas sebagai suatu rencana yang dinyatakan dalam satuan moneter standar. Dalam

konsep ini, anggaran dapat berupa rencana jangka panjang dan rencana jangka

pendek yang dinyatakan dalam satuan moneter standar. Menurut Adisaputro dan

Anggraini (2011:47), pada proses penganggaran, perencanaan dilakukan dengan

menggunakan data historis, termasuk informasi keuangan yang telah lalu sebagai

dasar pembuatannya. Pengendalian menyangkut pengukuran kinerja dengan

menggunakan hasil actual yang sebagian besar disediakan oleh sistem akuntansi.
4

Hasil actual kemudian dibandingkan dengan tujuan, sasaran, dan standar untuk

menentukan varians/ perbedaan (menguntungkan atau tdak menguntungkan).

Perbandingan antara hasil yang direncanakan dengan yang actual untuk

keperluan pengendalian tidak memiliki arti jika klasifikasi biaya dan pendapatan

digunakan dalam rencana laba tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Menurut (Nafirin, 2012:10), dalam membantu pemilik bisnis, anggaran

menggambarkan ekspektasi mengenai penjualan, harga dan biaya. Biaya

berdasarkan aktivitas meningkatkan keakuratan mengalokasikan biaya dengan

pertama-tama menelusuri biaya berbagai aktivitas, kemudian sampai pada produk

atau pelanggan yang menggunakan berbagai aktivitas tersebut. Adanya tantangan

baru mendorong semua organisasi komersial ataupun non komersial memusatkan

perhatiannya pada overall cost atau biaya keseluruhan. Manajemen berdasarkan

aktivitas memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai bagi pelanggan adalah fokus

utama perusahaan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dengan

menciptakan nilai bagi pelanggan yang lebih baik dengan biaya yang sama atau

lebih rendah dari pesaing atau menciptakan nilai yang sama dengan biaya yang

lebih rendah dari pesaing (Gozali, 2015:1).

Pengurangan biaya pada anggaran konvensional dipandang lebih

didominasi oleh aspek pengalokasian biaya dibanding penetapan aktivitas. Dalam

anggaran konvensional manajer hanya memiliki wewenang, namun tidak memiliki

informasi mengenai factor yang menjadi pemicu biaya (cost driver).Wewenang

yang tidak disertai dengan ketersediaan informasi untuk mengurangi biaya, tidak
5

mampu menempatkan manajer pada posisi in control terhadap biaya. Menurut

Mulyadi (2015:8), mengungkapkan biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis

yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang

kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Biaya-biaya yang terjadi

dipengaruhi oleh banyak faktor yang hingga akhirnya dapat mempengaruhi

perubahan pada total biaya. Faktor-faktor tersebut disebut sebagai pengendali

pemicu biaya (cost driver). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa biaya muncul

karena penggunaan sumber daya untuk tujuan tertentu. Tujuan dari penggunaan

biaya disebut sebagai objek biaya, informasi tentang perilaku biaya ini sangat

bermanfaat dalam menghasilkan anggaran biaya yang akurat.

Ketiadaan informasi tentang aktivitas dan sumber daya yang dikomsumsi

untuk setiap aktivitas menyebabkan manajer memfokuskan organisasi kepada

tujuan-tujuan yang bersifat jangka pendek dan lebih bersifat penyelesaian masalah

(problem solving) yang ada daripada menggali berbagai peluang yang mungkin

dicapai oleh organisasi. Activity Based Budgeting (ABB) menjadi kunci untuk

merencanakan factor-faktor pemacu nilai (value driven), karena Activity Based

Budgeting (ABB) yang dilengkapi feature costing (pengkondisian biaya) mampu

memberikan informasi yang benar mengenai factor apa yang memicu nilai,

sumber penyimpangan, dan biaya (Adisaputro dan Anggraini, 2011:350). Hasil

akhir dari Activity Based Budgeting (ABB) adalah anggaran aktivitas (Activity

Budget), yakni satu pernyataan kuantitatif tentang aktivitas yang diperkirakan

organisasi, yang merefleksikan peramalan manajemen tentang beban kerja dan


6

persyaratan-persyaratan finansial maupun non finansial, agar sesuai dengan tujuan

strategic yang telah disetujui dan perubahan yang direncanakan untuk

meningkatkan performance.

Menurut Adisaputro dan Anggraini (2011:349) mengemukakan bahwa

Activity Based Budgeting (ABB) merupakan proses perencanaan dan

pengendalian dari aktivitas yang diperkirakan untuk menghasilkan efektifitas

biaya pada anggaran, yang sesuai dengan ramalan beban kerja dan tujuan strategic

yang ditetapkan. Dalam proses penyusunan anggaran ini, strategi yang telah

ditetapkan harus dapat dicerminkan dengan perubahan aktivitas yang digunakan

untuk mewujudkan sasaran strategic tersebut. Dengan menggunakan Activity

Based Budgeting (ABB) keterkaitan antara strategi dengan anggaran menjadi

lebih jelas dengan cara mencerminkan perubahan strategi ke dalam perubahan

aktivitas yang direncanakan dalam Activity-Based Budget. Activity Based

Budgeting (ABB) memungkinkan manajemen mengarahkan seluruh usaha

anggota organisasi ke penciptaan nilai (value reaction) melalui pemuasan

kebutuhan customer dan perbaikan (improvement) berkelanjutan terhadap proses.

Pendekatan anggaran ini berguna untuk mengatasi keterbatasan anggaran

konvensional yang kurang berfokus ke customer dan kurang memotivasi anggota

organisasi untuk melakukan perbaikan (improvement) pada proses yang

digunakan untuk melayani customer.

Penyusunan anggaran tidak berdasar pada berapa biaya yang akan

dikeluarkan untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer (sebagaimana


7

yang biasa dilakukan dalam penyusunan anggaran konvensional), namun lebih

menekankan pada berapa biaya yang dapat ditanggung oleh customer. Biaya yang

dapat ditanggung oleh customer inilah yang dijadikan sebagai target cost dan

dijadikan sebagai dasar untuk merancang berbagai aktivitas yang diperlukan untuk

mencapai target cost dari suatu perusahaan tersebut (Adisaputro dan Anggraini,

2011:400). Untuk menyusun Activity Based Budgeting (ABB) harus diawali

dengan penetapan beban kerja dari proses bisnis perusahaan yang diperoleh dari

customer pada berbagai proses bisnis perusahaan dimana departemen melakukan

aktivitas. Seperti halnya contoh usulan penerapan Activity Based Budgeting

(ABB) pada perusahaan industry manufaktur yaitu perusahaan produsen frit dalam

bidang keramik.

Objek dalam penelitian ini adalah pada perusahan PT XYZ dimana

perusahaan ini merupakan produsen frit di dalam bidang Industry Keramik.

Pengembangan dan produksi frit pada PT XYZ sejak tahun tersebut telah

memberikan hasil yang cukup memuaskan karena hasil penjualan frit terus

meningkat dan mendominasi jumlah pendapatan poduk hilir, yang dapat dilihat

pada perbandingan total pendapatan produk hilir frit pada PT XYZ. Fenomena

yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah penjualan frit terus

meningkat, namun peningkatkan penjualan tersebut tidak berbanding lurus dengan

laporan laba/rugi produk frit pada PT XYZ. Pada tahun 2018, jika ditinjau dari

segi laporan laba rugi penjualan produk frit pada PT XYZ mengalami kerugian.

Hal ini menunjukan kemungkinan yang terjadi adalah organisasi menetapkan


8

harga pokok produksi frit pada PT XYZ tidak akurat karena masih menggunakan

system tradisional yang memiliki kelemahan dapat menimbulkan distorsi biaya.

Sehingga terdapat salah satu produk firt yang overscosted (dibebani biaya lebih

dari seharusnya) untuk produk yang bervolume banyak, sedangkan produk frit

pada PT XYZ yang lain overcost atau undercosted (dibebani biaya kurang dari

seharusnya) untuk produk bervolume sedikit.

Dalam memenuhi kebutuhan volume Produsen frit pada PT XYZ terdapat

Bill Of Operation (BOO) yang disesuaikan dengan jumlah kebutuhan produksi

dalam bidang Industry Keramik. Bill Of Operation (BOO) Produsen frit pada PT

XYZ antara lain terdiri dari gas/natural gas, listrik, dan tenaga kerja. Yang

menjadi perhatian perusahaan dalam overcost atau undercosted yang terjadi

padaPT XYZ adalah biaya gas/natural gas, dimana alokasi biaya gas hanya

menggunakan 1 rate berdasarkan volume output. Sedangkan actual penggunaan

gas dibedakan berdasarkan jenis raw material yang dipakai, lama

pembakaran/holding time dan penggunaan kalori gas. Seperti contoh raw material

orague/putih yang dibutuhkan perusahaan dalam memproduksi frit pada PT XYZ

membutuhkan penggunaan gas/natural gas dengan biaya sebesar $ 1.2 dalam 1

rate nya (perhitungan biaya yang biasa dilakukan perusahaan) apabila pada PT

XYZ menggunakan penerapan Activity Based Budgeting (ABB) maka dibutuhkan

biaya sebesar $ 1.5 karena dihitung berdasarkan aktivitas dari penggunaan gas

sesuai dengan pengelolaan raw material yang dipakai, lama pembakaran/holding

time dan penggunaan kalori gas, hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan
9

mengalami undercosted. Begitupun sebaliknya misalkan raw material dalam

produksi frit pada PT XYZ yaitu transparan maka biaya yang digunakan pada

perusahaan adalah sama dengan orague/putih yaitu sebesar $ 1.2 karena

perhitungan biaya disamaratakan dengan perhitungan 1 rate dan berdasakan

volume, apabila menggunakan penerapan Activity Based Budgeting (ABB)

membutuhkan biaya sebesar $ 1.0 maka dapat dikatakan perusahaan mengalami

overcost.

Industri Keramik merupakan industry yang dapat dogolongkan pada

industry padat modal. Hal tersebut dikarenakan industry Keramik telah

mengadopsi mesin dengan teknologi mutakhir yang memungkinakan otomasi dan

diversifikasi produk. Implementasi mesin dengan skala besar mengakibatkan

alokasi indirect cost pada tiap produk yang dihasilkan memiliki porsi yang cukup

besar dalam full cost tiap produk. Alokasi cost yang akurat juga dapat membantu

perusahaan dalam penentuan product mix terkait komposisi kuantitas berbagai

produk yang dihasilkan pada PT XYZ. Alokasi cost yang tepat dapat membuat

perusahaan PT XYZ terhindar dari keputusan untuk meningkatakan penjualan

sebuah produk dengan cost rendah karena dianggap menguntungkan, padahal

terdapat kemungkinan bahwa cost tidak dapat ditutupi dengan harga jual produk,

begitu pula sebaliknya. Alokasi cost pada produk merupakan salah satu acuan

bagi manajemen dalam menetapkan harga.


10

Pricing telah diakui sebagai salah satu hal dengan tingkat kompleksitas

yang paling signifikan dan membingungkan yang dihadapi oleh perusahaan

(Stevenson&Cabell, 2002). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Santiasaih dan Nengzih (2015) tentang E Learning Module Arrangement

Budgeting Based on Activity Based Budgeting Model dimana metode yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu Project contract target breakdown process

activity, interview, observation, and documentation serta variabel dalam penelitian

ini yaitu project period, dan variabel and fixed cost of e learning project. Hasil

dari penelitian ini menunjukan bahwa Employee Cost sebagai cost paling

dominan, dan Activity-Based Budgeting model memberikan informasi yg lebih

akurat serta Alokasi waktu jam kerja setiap aktivitas yang under capacity dan

over capacity.

Alokasi cost menggunakan metode tradisional mengalokasikan indirect

cost pada produk tanpa melihat sebab akibat dalam timbulnya cost tersebut.

Alokasi indirect cost menggunakan metode tradisional menetapkan cost driver

tunggal yang memungkinkan tidak memiliki hubungan langsung pada aktivitas-

aktivitas timbulnya cost. Penetapan alokasi cost menggunakan metode tradisional

dianggap sudah tidak relevan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan

(Stevenson & Cabell 2002). Hal tersebut dikarenakan full cost dari produk adalah

bahan baku langsung, tenaga kerja langsung, overhead cost dan cost tetap. Bahan

baku dan tenaga kerja langsung dapat diobservasi dan diukur oleh manajemen

secara akurat dalam alokasi cost pada produk. Namun tidak pada overhead cost
11

dan cost tetap, yang tidak mudah untuk dialokasikan pada tiap produk. Penerapan

metode tradisional dalam mengalokasikan cost overhead dan cost tetap

menyebabkan potensi kekeliruan dalam alokasi cost pada tiap produk. Alokasi

cost menggunakan metode Activity Based Costing (ABC) dan Activity Based

Budgeting (ABB) dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam penerapan

metode tradisional. Activity Based Costing mengalokasikan indirect cost sesuai

dengan penyebab timbulnya cost tersebut , yakni berbagai macam aktivitas yang

dibutuhkan dalam mengolah produk hingga dapt dinikmati konsumen.

Penelitian mengenai Activity Based Costing (ABC) dalam penelusuran

cost bukan lah sebuah topik penelitian yang baru. Penelitian mengenai penerapan

Activity Based Costing (ABC) telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya. Penerapan Activity Based Costing (ABC) pertama kali digagas oleh

Robin Cooper dan Robert S Kaplan pada tahun 1998. Penelitian yang dirancang

kepada 20 perusahaan di Amerika serikat tersebut menyimpulkan terdapat metode

Activity Based Costing (ABC) dirancang sebagai hasil dari penelitian yang

melibatkan lebih dari 20 perusahaan. Dari 20 perusahaan yang diteliti terdapat 3

perusahaan yang memberikan contoh tepat mengenai cost produk yang mengalami

dostorsi. Sistem alokasi cost pada produk yang dihasilkamn dari ketiga

perusahaan tersebut memiliki metode yang sama yakni menggunakan satu basis

alokasi pada indirect cost. Satu basis alokasi yang digunakan menyebabkan

terjadinya distorsi dalam informasi cost tiap produk.


12

Menggunakan metode alokasi cost tradisional mengakibatkan akurasi

yang rendah dalam alokasi indirect cost. Alokasi cost yang tidak akurat akan

berakibat pada pricing produk yang keliru. Kondisi tersebit menjadikan

implementasi Activity Based Costing (ABC) dan Activity Based Budgeting (ABB)

menjadi hal penting pada perusahaan, khususnya pada perusahaan dengan produk

yang beragam dan porsi indirect cost yang besar pada struktur cost.

B. Rumusan Masalah Penelitian atau Fokus Penelitian

Saat ini PT XYZ menggunakan system tradisional dalam menentukan

harga pokok produksi, yaitu menghitung semua biaya yang dikeluarkan dibagi

dengan volume produksi. Dengan adanya kerugian tersebut, penelitian ini yang

didukung oleh kemauan pihak manajemen untuk melakukan perubahan system

perhitungan biaya menjadi Activity Based Budgeting (ABB) dengan pertimbangan

Activity Based Budgeting (ABB) dapat membantu pihak manajemen menyajikan

informasi harga pokok produksi yang lebih akurat karena Activity Based

Budgeting (ABB) dapat menelusuri biaya secara lebih menyeluruh, tidak hanya ke

volume produksi, tetapi ke aktifitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk.

Pihak manajemen menyadari dengan penggunaan system tradisional,

informasi biaya tidak akurat dalam menentukan harga pokok produksi utnuk

setiap jenis produk yang dihasilkan karena setiap jenis produk mengkonsumsi

sumber daya yang berbeda. Untuk menghilangkan adaya subsidi silang antar

produk yang overcosted (dibebai lebih dari seharusnya) dan undercosted (dibebani
13

biaya kurang dari seharusnya) , maka diperlukan penetapan harga pokok produksi

yang akurat setiap varian produk frit pada PT XYZ.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka selanjutnya peneliti merumuskan hal tersebut ke dalam

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Mengapa perlu perhitungan Activity Based Budgeting (ABB) system dalam

penetapana harga pokok produkdi frit pada PT XYZ ?

2. Bagaimana perbandingan harga pokok produksi frit sebelum dan sesudah

menggunakan Activity Based Budgeting (ABB) pada PT XYZ ?

C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berdasarkan rumusan masaah yang dikemukakan adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengevaluasi system penghitungan biaya dengan system tradisional

dengan menganalisis Activity Based Budgeting (ABB) System sebagai

usaha dalam menetapkan harga pokok produksi yang akurat pada PT XYZ.

b. Untuk menganalisis perbandingan antara perhitungan harga pokok

produksi dengan sisten tradisional dan Activity Based Budgeting (ABB)

system sebagai usaha menetapkan harga pokok produksi firt yang akurat

pada PT XYZ sehingga dapat menentukan dan menerapkan system


14

perhitungan mana yang lebih memberikan informasi biaya yang akurat dan

lebih mengefisiensikan biaya-biaya.

2. Kontribusi Penelitian

a. Memberikan informasi kepada PT XYZ mengenai kelemahan dan

kelebihan system tradisional yang telah digunakan oleh organisasi,

memberikan informasi mengenai tingkat keakuratan Activity Based

Budgeting (ABB) System untuk menetapkan harga pokok produk pada

organisisi yang menghasilkan berbagai macam produk dan memberikan

rekomendasi bagi pihak manajemen PT XYZ dalam penentuan harga

pokok produksi frit dengan menggunakan Activity Based Budgeting (ABB)

System.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam mata

kuliah akuntansi manajemen yang berarti bagi mahasiswa Universitas

Mercubuana dan menambah perbendaharaan perpustakaan kampus

mengenai Activity Based Budgeting (ABB) System sebagai alat untuk

menentukan harga pokok produksi yang akurat dan dapat memberikan laba

sesuai dengan tujuan organisasi.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah pengetahuan,

wawasan, dan referensi studi literatur serta dijadikan referensi untuk

mengkaji ulang tentang mengenai penentuan harga pokok produksi yang

akurat dengan menggunakan Activity Based Budgeting (ABB) System

pada organisasi manufaktur skala menengah.

Anda mungkin juga menyukai