PENDAHULUAN
Remaja merupakan individu yang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Remaja yang mendapatkan dukungan penuh dalam menjalani masa
perkembangannya, akan mampu mencapai seluruh tugas perkembangan dengan baik.
Sebaliknya, remaja yang tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan bagi perkembangannya,
diperkirakan memiliki risiko mengalami permasalahan. Beberapa penelitian menyebutkan,
remaja berisiko mengembangkan perilaku menentang dan gangguan tingkah laku, yang
disebabkan oleh teknik pengasuhan yang tidak efektif, ditolak oleh orang tua, disiplin yang keras
dan tidak konsisten serta hubungan keluarga yang buruk.1
Gangguan perilaku menentang adalah suatu pola negativistik, permusuhan, dan perilaku
menentang yang menerus tanpa adanya pelanggaran yang serius terhadap norma sosial atau hak
orang lain. Individu yang mengalami gangguan perilaku menentangsering berdebat dengan
orangtua, kehilangan kendali, marah, benci, dan mudah mengganggu oleh orang lain, mereka
cenderung menyalahkan orang lain atas kesalahan dan kekeliruan mereka sendiri. Manisfestasi
dari gangguan ini hampir ditemukan di rumah kemudian ditunjukan di luar rumah.2
Gangguan tingkah laku adalah serangkaian perilaku yang bertahan lama dan berubah
seiring waktu, gangguan ini paling sering ditandai dengan agresi dan pelamggaran hak orang
lain. Gangguan tingkah laku dapat terjadi bersama dengan banyak gangguan psikiatri lain,
termasuk ADHD, depresi, dan gangguan belajar, dan juga disebabkan oleh beberapa fahtor
psikosoial seperti tingkat sosioekonomi yang rendah, pengasuhan orang tua yang kasar dan
menghukum, perselisihan keluarga, kurangnya pengawasan orang tua yang sesuai serta
kurangnya kompetensi social.3
TINJAUAN PUSTAKA
2. Epidemiologi
Perilaku oposisional dan negativistic mungkin normal secara perkembangan pada
masa anak-anak awal. Penelitian epidemiologis terhadap sifat negativistic pada populasi
nonklinis menemukan gangguan antara 12 dan 22 persen anak usia sekolah. Walaupun
gangguan menentang oposisional dapat dimulai seawal usia 3 tahun, biasanya di mulai
pada usia 8 tahun dan biasanya tidak dari masa remaja.3
Gangguan lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan
sebelum pubertas, dan rasio jenis kelamin kemungkinan sama setelah pubertas. Satu ahli
menyatakan bahwa anak perempuan lebih sering diklasifikasikan menderita gangguan
oposisional dibandingkan anak laki-laki, kerena anak laki-laki lebih sering mendapat
diagnosis gangguan konduksi.3
Tidak ada pola keluarga yang khas, tetapi hampir semua orang tua anak-anak
dengan gangguan menentang oposisional adalah terlalu memperhatikan masalah
kekuasaan, control dan otonomi. Beberapa keluarga memiliki bebrapa anak yang bandel,
ibu yang mengendalikan dan depresif, dan ayah yang pasif agresig. Pada banyak kasus
pasien merupakan anak yang tidak diinginkan. 3
3. Etiologi
Memaksakan keininan diri sendiri dan menentang keinginan orang lain adalah
penting untukperkembangan normal. Hal ini berhubungan dengan pembentukan otonomi
seseorang, membentuk indentitas dan menentukan standar dan pengendalian internal.
Patologi dimulai ketika fase perkembangan ini berlangsung secara abnormal, figure
otoritas bereaksi berlebihan, atau perilaku menentang kambuh lebih sering dibandingkan
pada sebagian besar anak dengan usia mental yang sama. 3
Anak-anak mungkin memiliki predisposisi konstitusional atau temperamental
untuk keinginan yang kuat, kesukaan yang kuat, atau pemaksaan yang besar. Jika
kekuasaan dan kendali adalah masalah bagi pasien atau jika menreka menunjukkan
kekuasaan untuk kebtuhan mereka sendiri, dapat terjadi perjuangan yang dapat
menentukan stadium perkembangan gangguan menentang oposisional. Apa yang dimulai
bagi bayi sebagai usaha untuk menegakkan penentuan diri ( self-determination ) menjadi
ditransformasikan sebagai suatu pertahanan terhadap ketergantungan yang berlebihan
pada ibu dan sebagai alat perlindungan terhadap serangan kedalam otonomi ego. Pada
masa anak-anak akhir, trauma lingkungan, penyakit, atau inkapasitas kronis, seperti
keterbelakangan mental, dapat memicu oposisionalisme sebagai suatu pertahanan
terhadap ketidakberdayaan, kecemasan, dan hilangnya harga diri. Stadium oposisional
normative lain terjadi pada masa remaja sebagai ekspresi untuk menegakkan identitas
yang otonom. 3
Teori psikoanalitik klasik mengaitkan konflik tidak terselesaikan yang
dieksoresikan dengan semua figure otoritas. Ahli perilaku menyatakan bahwa
penentangan merupakan perilaku dipelajari yang diperkuat, yang ,elalui perilaku ini,
anak memberikan kendali terhadap figure otoritas; contohnya dengan melakukan
ledakan kemarahan saat diminta melakukan suatu tindakan yang tidak diinginkan, anak
memaksa orang tua untuk menarik kembali permintaan mereka. Di sampig itu,
meningkatnya perhatian orang tua, contohnya diskusi yang panjang mengenai perilaku,
sangat memperkuat perilaku ini. 3
5. Diagnosis Banding
Karena perilaku oposisional bersifat normal dan adaptif pada tahap perkembangan
tertentu, periode negativism ini harus dibedakan dengan gangguan menantang
oposisional. Perilaku oposisional tahap perkembangan, yang durasinya lebih singkat
dibandingkan dengan gangguan menantang oposisional, tidak jauh lebih sering atau
lebih intens dibandingkan pada anak lain dengan usia mental sama. 3
Perilaku menantang oposisional yang terjadi sementara dalam reaksi terhadap
stress harus didiagnosis sebagai gangguan penyesuaian. Jika gambaran gangguan
menantang oposisional muncul selama perjalanan gangguan tingkah laku, skizofrenia,
atau gangguan mood, diagnosis gangguan menantang oposisional tidak boleh di
tegakkan. Perilaku oposisional dan negativisik juga dapat muncul pada ADHD,
gangguan kognitif, dan retradasi mental. 3
Subtipe gangguan menantang oposisional cenderung berkembang menjadi
gangguan tingkah laku adalah subtype dengan agresi yang menonjol. Secara
keseluruhan, consensus saat ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat dua subtype
gangguan menentang oposisional. Satu tipe cenderung berkembang menjadi gangguan
tingkah laku dan mencangkup gejala tertentu gangguan tingkah laku ( contohnya
berkelahi, menggertak). Tipe yang yain ditandai dengan agresi serta antisosial yang
kurang menonjol dan tidak berkembang menjadi gangguan tingkah laku. 3
7. Terapi
Terapi primer untuk gangguan menentang oposisional adalah psikoterapi
individual bagi anak-anak dan konseling dan latihan langsung bagi orang tua dalam
keterampilan menangani anak, serta pengkajian interaksi keluarga dengan cermat.ahli
terapi perilaku menekankan untuk mengajari orang tua cara mengubah perilakunya untuk
menekan perilaku oposisional anak dan untuk mendorong perilaku yang sesuai. Terapi
perilaku memfokuskan untuk mendorong da memuji perilaku yang sesuai secara selektif
serta mengabaikan atau tidak mendorong perilaku yang tidak di inginkan. 3
Anak dengan gangguan menentang oposisional juga bisa mendapatkan
keuntungan dari psikoterapi individual hingga tingkat pemajanan anak pada situasi
dengan orang dewasa untuk “ mempraktikkan “ respons yang lebih adaptif. Di dalam
hubungan teraupetik, anak dapat mempelajari strategi baru untuk mengembangkan rasa
penguasaan dan keberhasilan didalam situasi social dengan rekan sebaya dan keluarga.
Didalam keamanan hubungan yang lebih “ netral “, seorang anak bisa merasakan kalau
ia mampu berprilaku dengan kurang provoaktif. 3
2. Epidemiologi
Gangguan tingkah laku lazin ditemukan pada masa kanak dan remaja. Angka
perkiraan gangguan tingkah laku di dalam populasi umum berkisar dari 1 hingga 10
persen. Gangguan ini lebih lazim pada anak laki-laki dibandingkan perempuan, dan
rasionya berkisar 4:1 hingga 12:1. Gangguan tingkah laku lebih lazim ditemukan pada
anak dari orang tua yang memiliki gangguan kepribadian antisosial dan ketergantungan
alcohol dibandingkan populasi umum. Prevalensi gangguan tingkah laku dan perilaku
antisosial secara signifikan terkait dengan faktor sosioekonomik. 3
3. Etiologi
Tidak ada faktor tunggal yang dapat bertanggung jawab terhadap timbulnya perilaku
antisosial dan gangguan tingkah laku. Namun, banyak faktor biopsikososial yang turut
berberan didalam timbulnya gangguan ini. 3
A. Faktor Orang Tua
Pengasuh orang tua yang kasar dan bersifat menghukum ditandai dengan agresi
fisik dan verbal berat menyebabkan timbulnya perilaku agresif maladaptive anak.
Keadaan rumah yang kacau menyebabkan gangguan tingkah laku dan kejahatan.
Perceraian sendiri dianggap sebagai faktor risiko, tetapi menetapnya permusuhan,
kebencian, dan kepahitan antara orang tua yang bercerai mungkin adalah faktor
penting yang lebih berperan pada perilaku maladaptive anak. 3
B. Faktor Sosiokultural
Anak yang mengalami kekurangan sosioekonomi memiliki risiko tinggi untuk
mengalami gangguan tingkah laku, demikian juga anak dan remaja yang besar di
lingkungan perkotaan. Orang tua yang menganggur, kurangnya jaringan social yang
mendukung, serta kurangnya partisipasi positif didalam aktifitas komunitas mungkin
meramalkan terjadinya gangguan tingkah laku. 3
C. Faktor Psikologis
Anak-anak yang tumbuh didalam keadaan sembrono yang kacau sering
menunjukkan pengaturan emosional yang buruk termasuk kemarahan, frustasi, dan
kesedihan. Contoh kendali impuls yang buruk serta kurang terpenuhinya kebutuhan
yang berlangsung lama menimbulkan rasa empati yang kurang berkembang baik. 3
D. Faktor Neurobiologis
Faktor neurobiologis dalam gangguan pada deficit-atensi/hiperaktivitas ( GDAH )
memberikan beberapa temuan penting, dan gangguan konduksi dan GDAH
seringkali terjadi bersama-sama. Pada beberapa anak dengan gangguan konduksi
kadar plasma dopamine B-hydroxylae, suatu enzim yang mengubah dopamine
menjadi norepinerfin, telah ditemukan rendah. Temuan tersebut mendukung teori
penurunan fungi noradrenergic dalam gangguan konduksi. Beberapa penyerang
juvenile dengan gangguan konduksi seing kali memiliki peningkatan kadar serotonin
( 5-hydrocytryptamine (5-HT) ) dalam darah. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
kadar 5-HT darah adalah berhubungan secara negative dengan kadar metabolit 5-HT,
5-hydroxyindoleacetil acid ( 5-HIAA ) dalam cairan serebrospinalis yang rendah
adalah berhubungan dengan agresi dan kekerasan. 3
E. Penganiayaan Anak
Anak yang terpajan dengan kekerasan dalam waktu lama, terutama mereka yang
mendapatkan perlakuan penganiayaan fisik yang lama, sering bertindak agresif.
Anak seperti ini dapat memiliki kesulitan mengungkapkan perasaannya, dan
kesulitan ini meningkatkan kecenderungan mereka untuk mengekspresikan diri
mereka secara fisik. Disamping itu, anak dan remaja yang disiksa berat cenderung
menjadi hypervigillant. Pada beberapa kasus mereka salah menanggapi situasi ringan
dan berespons dengan kekerasan. Tidak semua perilaku fisik sama dengan gangguan
tingkah laku, tetapi anak dengan pola hypervigillance dan respons kekerasan
cenderung melanggar hak orang lain. 3
F. Faktor lain
ADHD, disfungsi atau kerusakan system saraf pusat, serta ekstremnya
temperamen yang dini dapat menjadi predisposisi anak untuk mengalami gangguan
tingkah laku. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan disebabkan oleh disfungsi
SSP dan tanda psikopatologi berat, seperti kecenderungan waham. 3
4. Diagnosis dan Gambaran Klinis
Usia rerata onset gangguan tingkah laku lebih muda pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki paling lazim memenuhi kriteria diagnostic
pada usia 10 hingga 12 tahun, sedangkan anak perempuan sering mencapai usia 14 tahun
hingga 16 tahun sebelum kriteria terpenuhi. Anak yang memenuhi kriteria untuk
gangguan tingkah laku menunjukkan perilaku agresif mereka terang-terangan dalam
berbagai bentuk. Perilaku antisosial agresif dapat berupa menggertak, agresi fisik, dan
perilaku kejam pada teman sebaya. Anak dapat bersifat mermusuhan, menyiksa secara
verbal, lancing, menentang, dan negativistic terhadap orang dewasa. Berbohong terus-
menerus, sering bolos, dan vandalisme lazim dilakukan. Pada kasus berat, perusakan,
mencuri dan kekerasan fisik sering ditemukan. Anak biasanya melakukan sedikit upaya
untuk menutupi perilaku antisosialnya. Perilaku seksual dan pengguanaan tembakau
secara regular, minuman keras, atau zat psikoaktif tanpa resep dimulai pada usia sangat
muda untuk anak-anak dan remaja tersebut. Pikiran, sikap dan tindakan bunuh diri sering
ada. 3
5. Diagnosis Banding
Gangguan tingkah laku dapat menjadi bagian dari keadaan psikiatri masa kanak,
berkisar dari gangguan mood hingga gangguan psikotik hingga gangguan belajar.
Dengan demikian, klinisi harus mendapatkan riwayat kronologi gejala untuk
menentukan apakah gangguan tingkah laku bersifat sementara atau merupakan fenomena
reaktif, atau suatu pola yang menetap. Tindakan perilaku antisosial tersendiri bukan
merupakan gangguan tingkah laku; pola yang menetap harus ada. Hubungan gangguan
tingkah laku dengan gangguan menentang oposisional masih dalam perdebatan.
Gambaran klinis utama yang membedakan kedua gangguan tersebut adalah, bahwa pada
gangguan tingkah laku, hak dasar orang lain dilanggar sedangkan pada gangguan
menentang oposisional, permusuhan dan negativism tidak terlalu serius hak melanggar
orang lain. 3
Gangguan mood sering ada pada anak yang memiliki iritabilitas dan perilaku
agresif. Gangguan depresif berat dan gangguan bipolar harus disingkirkan, tetapi
sindrom gangguan tingkah laku yang sebenarnya dapat terjadi dan didiagnosis selama
onset gangguan mood. Terdapat cukup banyak komorbiditas gangguan tingkah laku dan
gangguan depresif. Laporan terkini menyimpulkan bahwa hubungan yang erat antara
kedua gangguan ini muncul akibat faktor risiko yang sama untuk kedua gangguan,
bukannya satu gangguan menyebabkan gangguan lain. Dengan demikian, serangkaian
faktor termasuk konflik keluarga, peristiwa hidup yang negative, riwayat awal gangguan
tingkah laku, tingkat keterlibatan orang tua, dan pertemanan dengan teman sebaya yang
jahat turut berperan di dalam timbulnya gangguan efektif dan gangguan tingkah laku.
Hal ini dengan gangguan menentang oposisional, yang tidak dapat didiagnosis jika
hanya terjadi saat gangguan mood. 3
ADHD dan gangguan belajar lazim dikaitkan dengan gangguan tingkah laku,
biasanya, gejala gangguan ini mendahului diagnosis gangguan tingkah laku. Gangguan
penyalahgunaan zat juga lebuh lazim pada remaja dengan gangguan tingkah laku
dibandingkan di dalam populasi umum. Gangguan obsesif-kompulasif (OCD) juga
sering tampak terdapat bersamaan dengan gangguan perilaku mengacau (disruptive
behavior disorder). Semua gangguan yang dijelaskan di sini harus dicatat kapan timbul
bersamaan. Anak dengan ADHD sering menunjukkan perilaku impulsif dan agresif yang
bisa tidak memenuhi kriteria utuh untuk gangguan tingkah laku. 3
7. Terapi
Program terapi lebih sukses untuk mengurangi gejala gangguan tingkah laku yang
nyata, dibandingkan pada gejala yang tidak terlihat. Program terapi multimodalitas yang
menggunakan semua sumber daya keluarga dan komunitas yang tersedia besar
kemungkinannya memberikan hasil yang paling baik dalam upaya untuk mengendalikan
perilaku gangguan tingkah laku. Tidak ada terapi yang dianggap menyembuhkan semua
spectrum perilaku yang turut berperan di dalam gangguan tingkah laku, tetapi berbagai
terapi dapat membantu di dalam mengendalikan gejala dan meningkatkan perilaku
prososial. 3
Struktur lingkungan yang memberikan dukungan, bersama peraturan yang
konsisten serta akibat yang diperkirakan, dapat membantu mengendalikan berbagai
perilaku bermasalah. Struktur tersebut dapat diterapkan di dalam kehidupan keluarga
pada sebagian kasus, sehingga orang tua mengetahui teknik perilaku untuk
meningkatkan perilaku yang dapat diterima secara sosial. Lingkunan sekolah juga dapat
menggunakan teknik perilaku untuk menciptakan perilaku yang dapat diterima secara
sosial terhadap teman sebaya dan menekan insiden anti sosial yang tidak tampak. 3
Psikoterapi individual yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan
menyelesaikan masalah dapat berguna, karena anak dengan gangguan tingkah laku dapat
memiliki pola respons maladaktif yang berlangsung lama pada situasi sehari-hari. Usia
dimulainya terapi sangat penting, karena semakin lama perilaku maladaktif berlangsung,
semakin kuatlah perilaku tersebut. 3
Obat-obat dapat berguna sebagai terapi tambahan untuk gejala yang sering
berperan pada gangguan tingkah laku. Agresi meledak-ledak yang nyata berespon
terhadap beberapa obat. Antipsikotik, paling jelas haloperidol (Haldol), dilaporkan
membantu anak untuk mengendalikan perilaku agresif dan menyerang yang dapat ada
pada berbagai gangguan. Saat ini, antipsikotik yang lebih baru seperti risperidone
(Risperdal) dan olanzapine (zyprexa) telah menggantikan haloperidol, karena kurangnya
insiden gejala ekstrapiramidal. Lithium (eskalith) dilaporkan memiliki efektivitas untuk
beberapa anak agresif dengan atau tanpa gangguan bipolar yang komorbid. Beberapa
percobaan menunjukkan bahwa carbamazepine (tegretol) dapat membantu mengendalika
agresi, tetapistudi buta-ganda dengan kontrol plasebo tidak menunjukkan keunggulan
carbamazepine dari plasebo di dalam menurunkan agresi. Clonidine (catapres) juga
dapat mengurangi agresi. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), seperti
fluoxepine (Prozac) telah digunakan untuk mencoba mengurangi impulsivitas,
iritabilitas, dan labilitas mood, yang sering terdapat pada gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku sering terdapat bersamaan dengan ADHD, gangguan belajar,
sepanjang waktu gangguan mood serta gangguan terkait zat; dengan demikian, terapi
gangguan yang terdapat bersamaan juga harus dilakukan. 3
KESIMPULAN
2. Gangguan tingkah laku adalah serangkaian perilaku yang bertahan lama dan berubah
seiring waktu, gangguan ini paling sering ditandai dengan agresi dan pelamggaran hak
orang lain. Gangguan tingkah laku dapat terjadi bersama dengan banyak gangguan
psikiatri lain, termasuk ADHD, depresi, dan gangguan belajar, dan juga disebabkan oleh
beberapa fahtor psikosoial seperti tingkat sosioekonomi yang rendah, pengasuhan orang
tua yang kasar dan menghukum, perselisihan keluarga, kurangnya pengawasan orang tua
yang sesuai serta kurangnya kompetensi social.
DAFTAR PUSTAKA
1. Karismatika, I., Husada, R.S. Terapi Kognitif Perilaku untuk Remaja dengan Gangguan
Tingkah Laku. Jurnal sains dan praktik psikologi. 2014: 2(3).
2. Kurniawan, W. Pengaruh Terapi Kognitif Perilakuan Untuk Menurunkan Gangguan
Perilaku Menentang Pada Siswa Mts X Di Yogyakarta. Jurnal Society. 2016:6(2)
3. Benjamin,J. S., Virginia, A. S. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis .eds 2. EGC:
Jakarta:2010.