Anda di halaman 1dari 5

PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN RADEN FATAH PALEMBANG

Nama : Yandika Desi Priansya


NIM : 1532210112
Mata Kuliah : Keterampilan Menulis Jurnal
Judul : Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Terkait
Kemampuan Spasial

BAB I PENDAHULUAN

Matematika tetap saja menjadi mata pelajaran yang sangat ditakuti di kalangan para
siswa. Hal ini dikarenakan siswa banyak mengalami kesulitan untuk mempelajari matematika
yang objek kajiannya abstrak (Farida, 2015). Padahal kenyataannya, mata pelajaran
matematika perlu diberikan kepada semua siswa dengan tujuan untuk melatih dan
menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten, serta dapat
mengembangkan sikap gigih dalam menyelesaikan masalah (Permendiknas No 64 tahun
2013). Selain itu, Tidak sedikit orang tua dan orang awam yang beranggapan bahwa
matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Peran penting
matematika diakui Cockcroft (1986) misalnya, yang menulis: “It would be very difficult –
perhaps impossible– to live a normal life in very many parts of the world in the twentieth
century without makinguse of mathematics of some kind.” Akan sangat sulit atau tidaklah
mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 tanpa sedikitpun
memanfaatkan matematika. NRC (National Research Council, 1989) dari Amerika Serikat
telah menyatakan pentingnya matematika dengan pernyataan berikut: “Mathematics is the
key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke arah peluang. Masih menurut NRC, bagi
seorang siswa keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Bagi
para warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang tepat. Bagi
suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk bersaing dan berkompetisi di
bidang ekonomi dan teknologi.
Belajar matematika tidak hanya dituntut untuk menguasai konsep, tetapi juga
penyelesaian masalah yang biasanya diwujudkan dalam soal cerita (Akib, dkk., 2108).
Dalam menemukan solusi dari soal cerita yang akan diselesaikan, ada beberapa kompetensi
yang harus dimiliki siswa. Kompetensi-kompetensi tersebut dijelaskan oleh Hartini (2008),
yang pertama, kemampuan verbal yaitu kemampuan dalam memahami soal dan
menginterpretasikannya sehingga dapat mengubahnya ke dalam model matematika. Kedua,
kemampuan algoritma yaitu kemampuan siswa untuk menentukan algoritma yang tepat
dalam menyelesaikan soal, ketelitian perhitungan serta kemampuan siswa untuk menarik
kesimpulan dari hasil perhitungan yang siswa lakukan dan mengaitkannya dengan soal awal
yang akan diselesaikan. Artinya, kriteria utama dari suatu soal cerita adalah pendeskripsian
konteks soal dengan kata-kata. Sehingga pada soal cerita, hal yang lebih ditekankan adalah
penggunaan kata-kata untuk mengungkapkan maksud dari pertanyaan yang diajukan daripada
notasi dalam pengungkapannya. Gerofsky (1996) mengemukakan bahwa, Kebanyakan soal
cerita baik dari sumber-sumber terdahulu maupun modern, memuat tiga komponen struktur
komposisional, yaitu:
a) Komponen latar (set-up component), memuat karakter dan lokasi pada soal cerita.
Komponen ini biasanya tidak berpengaruh pada solusi dari soal.
b) Komponen informasi, memuat informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah. Namun harus hati-hati dalam memilah informasi yang diberikan, karena
bisa jadi informasi tersebut digunakan sebagai pengecoh.
c) Komponen pertanyaan, memuat maksud dan tujuan dari informasi yang diberikan.
Bisa terletak di akhir atau awal soal yang diberikan.
Pada dasarnya, kurikulum yang diterapkan di Indonesia telah menempatkan pemecahan
masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu kompetensi dasar yang harus
dikuasai siswa. Salah satu realisasi dari kompetensi ini pada pelajaran matematika adalah
menggunakan soal cerita matematis untuk merepresentasikan masalah sehari-hari
(Lusbiantoro & Siswono, 2016). Sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
diterapkan pada tahun 2006 juga memberikan porsi bagi siswa untuk mengembangkan
kemampuan menyelesaikan masalah sehari-hari, salah satunya melalui soal cerita
(Permendikbud Nomor 22 Tahun 2006). Tidak hanya itu, dalam Kurikulum 2013 atau yang
lebih dikenal dengan K13, keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah sehari-hari
lebih ditekankan dengan dituangkan pada Kompetensi Inti 4 (KI 4) yaitu keterampilan
(Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013).
Meskipun demikian, pada kenyataannya kemampuan siswa di Indonesia dalam
memecahkan masalah masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data
PISA tahun 2009 dalam Ariyadi Wijaya (2012), diperoleh hasil bahwa hampir setengah siswa
Indonesia (43,5%) tidak mampu menyelesaikan soal PISA paling sederhana. Sekitar sepertiga
siswa Indonesia yaitu (33,1%) hanya bisa mengerjakan soal dari soal kontekstual diberikan
secara eksplisit serta semua data yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal diberikan secara
tepat. Hanya 0,1% siswa Indonesia mampu mengembangkan dan mengerjakan pemodelan
matematika yang menuntut keterampilan berpikir dan penalaran. Tidak hanya itu, penelitian
yang dilakukan oleh Putri (2008) menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi
kendala kesulitan siswa dalam mengerjakan soal matematika, antara lain: tidak paham
konsep-konsep sederhana, tidak mengetahui maksud yang dari soal yang diberikan, tidak bisa
menerjamahkan soal ke dalam kalimat matematika, tidak bisa menyelesaikan kalimat
matematika, tidak cermat dalam menghitung, kesalahan dalam menulis angka.
Dari hasil obervasi yang dilakukan di MAN 2 Palembang terjadi banyak kesalahan
siswa dalam menyelesaikan soal matematika menggunakan konsep cerita dalam materi
fungsi. Hal ini berarti untuk mengetahui kompetensi siswa dalam menyelesaikan soal cerita
yang diberikan, guru harus melakukan analisis terhadap pekerjaan siswa (Akib, dkk., 2018).
Salah satu analisis kesalahan adalah analisis kesalahan berdasarkan prosedur Newman.
Menurut White (2010), Jika dibandingkan dengan yang lain, analisis kesalahan berdasarkan
prosedur Newman memiliki kredibilitas yang paling tinggi. Lebih lanjut Newman (Clemen,
1980) mengemukakan ada 5 tahapan dalam analisis kesalahan miliknya, antara lain:
a) membaca (reading), pada tahap ini siswa mereperenstasikan kembali apa yang
telah ia baca sesuai dengan pemahamannya. Dimana kemampuan ini berpengaruh
terhadap bagaimana siswa tersebut akan memecahkan masalah.
b) Memahami (comprehension), pada tahapan ini siswa harus bisa menunjukkan ide
masalah berbentuk soal cerita secara umum yang memuat What, Why, Where,
When, Who, dan How, yang kemudian dibahasakan dengan kalimat sendiri.
Selanjutnya, ide masalah dalam matematika tersebut direpresentasikan ke dalam
unsur diketahui, ditanya dan prasyarat. Dimana untuk mengecek kemampuan
memahami masalah, siswa diminta menyebutkan apa saja yang diketahui dan
ditanyakan dalam masalah.
c) Transformasi (transform), pada tahap ini, siswa mencoba mencari hubungan antara
fakta (yang diketahui) dan yang ditanyakan. Selanjutnya untuk mengecek
kemampuan mentransformasikan masalah yaitu mengubah bentuk soal cerita ke
dalam bentuk matematikanya, siswa diminta menentukan metode, prosedur atau
strategi apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal.
d) Keterampilan proses (process skill), pada tahap ini, siswa diminta
mengimplementasikan rancangan rencana pemecahan masalah melalui
tahapan transformasi masalah untuk menghasilkan sebuah solusi yang
diinginkan. Pada tahapan ini juga, siswa diminta menyelesaikan soal cerita sesuai
dengan aturan-aturan matematika yang telah direncanakan pada tahapan
mentransformasikan masalah.
e) Penulisan jawaban (encoding), pada tahapan ini, siswa dikatakan telah mencapai
tahap penulisan jawaban apabila siswa dapat menuliskan jawaban yang ditanyakan
secara tepat. Selanjutnya untuk mengecek kemampuan penulisan jawaban, siswa
diminta melakukan pengecekkan kembali terhadap jawaban dan siswa diminta
menginterpretasikan jawaban akhir.
Ada 2 faktor yang melatarbelakangi kesalahan-kesalahan siswa dalam menjawab soal,
yaitu faktor internal dan eksternal. Menurut Suhendri (2011) faktor internal lebih dominan
dalam keberhasilan belajar siswa, meskipun pada dasarnya kedua faktor tersebut saling
mendukung satu sama lain. Salah satu faktor internal yang berpengaruh adalah kecerdasan.
Gardner (2003) menyatakan bahwa kecerdasan yang dimiliki seseorang tidak hanya tunggal,
memiliki kecerdasan yang berbeda-beda yang kemudian disebut sebagai kecerdasan majemuk
atau multiple intelligences. Salah satunya adalah kecerdasan spasial. Menurut Linn dan
Petersen (1985), kemampuan spasial merupakan proses mental dalam mempersepsi,
menyimpan, mengingat, mengkreasi, mengubah, dan mengkomunikasikan bangun ruang.
Sedangkan Tambunan (2006) mengemukakan bahwa kemampuan spasial merupakan konsep
abstrak yang meliputi persepsi spasial yang melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi
sampai pada kemampuan yang rumit yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental. Dari
beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan spasial merupakan
kemampuan membayangkan, membanding, menduga, menentukan, mengonstruksi,
memperesentasikan, dan menemukan informasi dari stimulus visual dalam konteks ruangan.
Kemampuan ini menuntut indikator siswa untuk bisa menyatakan kedudukan antar unsur-
unsur suatu bangun ruang, mengidentifikasi dan mengklarifikasi gambar geometri,
membayangkan bentuk atau posisi suatu objek geometri yang dipandang dari sudut pandang
tertentu, mengonstruksi dan merepresentasikan model-model geometri yang digambar pada
bidang datar dalam konteks ruang, dan menginvestigasi suatu objek geometri (Lestari &
Yudhanegara, 2015).
Untuk mengidenitifkasi kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa, maka diperlukan
indikator-indikator yang menjadi titik acuan. Jha (2012), Singh (2010) dan White (2005)
memberikan beberapa indikator berdasarkan tahapan pada analisis kesalahan Newman.
Adapun indikator tersebut dimuat dalam tabel berikut:

Tahapan Indikator
Membaca 1. Tidak mampu membaca atau mengenali simbol dalam soal
(reading) 2. Tidak mampu memaknai arti setiap kata, istilah atau simbol dalam soal
1. Tidak menuliskan apa yang diketahui dan tidak dapat menjelaskan secara
tersirat.
2. Tidak menuliskan apa yang ditanyakan dan tidak dapat menjelaskan maksud
dari pertanyaan soal
Memahami
3. Tidak memahami frasa atau kalimat tertentu pada soal yang diajukan.
(comprehension) 4. Menuliskan apa yang diketahui dengan simbol-simbol yang dibuat sendiri
dan tanpa keterangan.
5. Menuliskan hal yang ditanyakan secara singkat sehingga tidak jelas.
6. Menuliskan hal yang ditanyakan tapi tidak sesuai dengan yang diminta soal
1. Tidak mampu membuat model matematis dari informasi yang didapatkan
Transformasi
2. Tidak mengetahui rumus yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal
(transform) 3. Tidak mengetahui operasi hitung yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal
Keterampilan 1. Tidak mengetahui prosedur atau langkah-langkah yang digunakan untuk
proses menyelesaikan soal dengan tepat
(process skill) 2. Menuliskan proses penyelesaian tapi tidak tuntas (macet)
1. Tidak menuliskan jawaban akhir.
Penulisan
2. Menuliskan jawaban akhir yang tidak tepat
jawaban
3. Menuliskan jawaban akhir yang tidak sesuai dengan konteks soal.
(encoding) 4. Tidak menyertakan satuan yang sesuai.
Tabel 1. Tahapan dan indikator penyebab kesalahan siswa

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1)
bagaimana deskripsi kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan permasalahan
berupa soal cerita; 2) faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab siswa melakukan
kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita dilihat dari analisis kesalahan Newman; 3)
bagaimana kemampuan spasial berperan terhadap kesalahan yang dilakukan siswa
berdasarkan analisis kesalahan Newman. Adapaun tujuan dan manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah: 1) dapat membantu guru dalam mendesain metode mengajar untuk
menanggulangi kesalahan-kesalahan serupa yang mungkin terjadi; 2) siswa diharapkan dapat
mengantisipasi bentuk kesalahan yang ada dengan lebih menambah porsi belajar dimana
kesalahan tersebut biasa dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai