Anda di halaman 1dari 4

Karut Marut Dibalik Kebijakan sistem Zonasi PPDB

Oleh : Gunawan Handoko


Disampaikan dalam Acara Diskusi Virtual LKiP (Lembaga Kajian Pendidikan)
“Sistem Zonasi PPDB ; antara Harapan dan Kenyataan”
Selasa, 30 Juli 2020

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan sistem


zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebagai upaya pemerataan
untuk memperoleh hak pendidikan yang wajar sesuai dengan tema kerja yang
dicanangkan oleh Mendikbud, yakni “Pemerataan Pendidikan yang Berkualitas.”
Sistem penerimaan tidak lagi berdasarkan capaian prestasi akademik, tapi
berdasarkan jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah (zonasi).
Artinya, siswa yang berada di zona sekolah tersebut wajib diterima, tidak bisa ditolak.
Maka muncullah polemik ditengah masyarakat seiring dengan penerapan zonasi
tersebut karena dalam pelaksanaannya di duga bakal terjadi banyak kecurangan.
Beberapa sisi negatif yang paling dirasakan oleh masyarakat akibat diterapkannya
zonasi, adalah masalah domisili tempat tinggal.
Dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 menjelaskan bahwa domisili calon
peserta didik berdasarkan alamat pada Kartu Keluarga yang diterbitkan paling singkat
1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Pada ayat selanjutnya dijelaskan
pula bahwa Kartu Keluarga dapat diganti dengan Surat Keterangan Domisili dari RT
atau RW yang dilegalisir oleh Lurah/Kepala Desa. Dalam Surat Keterangan Domisili
tersebut mesti menerangkan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah
berdomisili paling singkat 1 tahun sejak diterbitkannya surat keterangan domisili
tersebut.
Apa yang terjadi kemudian, aroma kecurangan terjadi di berbagai wilayah.
- Banyak terjadi pengelabuan domisili tempat tinggal, dengan cara merubah atau
memperbaharui Kartu Keluarga (KK) atau membuat Surat Keterangan Domisili dari
RT atau Lurah dengan mengatur tempat tinggal yang jaraknya berdekatan dengan
sekolah, dengan tujuan agar si anak dapat masuk ke sekolah yang diinginkan.
Padahal sesungguhnya Surat Domisili tersebut sifatnya sementara dan masa
berlakunya hanya 6 (enam) bulan, sambil menunggu proses penerbitan Kartu
Keluarga dari Disdukcapil Kabupaten/Kota setempat.
Apakah domisili yang jaraknya berdekatan dengan sekolah secara otomatis bakal
diterima? Jawabnya belum tentu, karena panitia PPDB akan memilih peserta yang
paling dekat diantara yang dekat.
Kebetulan saya menemukan adanya kejanggalan dari hasil seleksi PPDB di sebuah
SMAN di Bandar Lampung. Ada 3 calon Peserta, sebut saja A, B dan C. Ketiga-
tiganya memiliki alamat dari Kelurahan yang sama, namun Nilai Akhir jaraknya
berbeda.
Peserta A dengan nilai akhir = 2.838 meter.
Peserta B dengan nilai akhir = 4.072 meter dan
Peserta C dengan nilai akhir = 4.174 meter.
Antara peserta A dengan B terpaut selisih = 1.234 meter dan dengan C terpaut
selisih = 1.336 meter.
Saya tidak tahu persis, apakah ini sebuah kelalaian atau kesengajaan yang
dilakukan oleh panitia PPDB untuk meluluskan peserta yang diinginkan.
Yang pasti dari hasil verifikasi faktual yang dilakukan oleh Tim dari Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung beberapa waktu lalu banyak
ditemukan data kependudukan yang tidak sesuai dengan domisili yang
sebenarnya.

- Sisi negatif lainnya, semangat belajar siswa menjadi menurun, termasuk siswa
yang memiliki prestasi. Mereka beranggapan bahwa untuk mendapatkan sekolah
favorit tidak dibutuhkan kerja keras, melainkan hanya tergantung dari domisili
wilayah.
Jika tujuan Pemerintah adalah “Pemerataan Pendidikan yang Berkualitas” maka
seharusnya yang dilakukan saat ini adalah penyebaran sekolahnya dulu, sebelum
memutuskan untuk menerapkan jalur zonasi.
Kita semua tahu bahwa penyebaran sekolah sampai saat ini belum merata di setiap
daerah. Hal ini tentu menjadi momok bagi para orang tua murid yang tinggalnya jauh
dari lokasi sekolah, sehingga pilihan sekolah bagi anaknya menjadi semakin sempit.
Pemerataan pendidikan yang dimaksudkan oleh Pemerintah sebenarnya bagus, salah
satunya untuk menghapus adanya sekolah unggulan dan sekolah reguler, sehingga
nantinya tidak ada lagi pengelompokan, semua sekolah memiliki kualitas sama
Dengan demikian tidak akan ada lagi siswa yang merasa terintimidasi jika tidak lolos
ke sekolah favorit atau unggulan.
Hanya saja langkah yang dilakukan Pemerintah terlalu tergesa-gesa tanpa
perencanaan dan pengkajian yang matang.
Untuk menghapus predikat sekolah unggulan mestinya diawali dengan upaya untuk
meningkatkan kualitas sekolah reguler, baik tenaga pengajarnya maupun sarana dan
prasarana pendidikannya. Sekolah-sekolah reguler dapat mengadopsi sistem belajar
mengajar yang selama ini diterapkan di sekolah unggulan. Artinya, sekolah reguler di
dorong agar dapat sejajar atau paling tidak mendekati sekolah unggulan.
Jika ini dilakukan, bukan hanya sekolah Negeri saja yang akan mengalami
peningkatan, sekolah swasta pun akan terdorong melakukan hal yang sama untuk
berupaya meningkatkan kualitasnya.
Bukan sebaliknya, sekolah Unggulan dipaksa untuk menyesuaikan dengan sekolah
reguler. Menurut saya langkah ini sangat keliru.

Ditengah polemik karut marutnya PPDB jalur zonasi, kini muncul sikap ‘apatis’ dari
sebagian masyarakat yang masih mendambakan putra-putrinya meraih prestasi
dalam menempuh pendidikan. Kelompok ini sejak awal langsung membidik sekolah
swasta yang telah terbukti mampu menghasilkan pendidikan yang berkualitas, walau
dengan biaya mahal.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang ekonominya kurang beruntung sehingga
tidak mampu untuk mengikuti jejak kelompok ‘apatis’ ini?
Itulah tugas Pemerintah yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan di sekolah Negeri demi terwujudnya Pemerataan Pendidikan yang
berkualitas.
Jika target Pemerintah hanya yang penting anak-anak bisa sekolah, maka program
zonasi sudah benar. Tapi jika targetnya adalah untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas dan berdaya saing, maka masih jauh dari harapan.
====================================================================

Anda mungkin juga menyukai