Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI PADA IBU HAMIL

A. Definisi
Hipertensi gestasional adalah peningkatantekanan darah yang
terjadi saat kehamilan dimana tekanan darah mencapai 140/90mmHg atau
lebih untuk pertama kali dalam kehamilan, tetapi belum mengalami
proteinuria (williams,2004). Hipertensi gestasional disebut hipertensi
sementara jika tidak terjadi preeklamsia dan tekanan darah kembali ke
normal dalam 12 minggu postpartum. Penyakit hipertensi dalam
kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan
atau timbul dalam kehamilan pada permukaan nifas (sastrawinata 1984
dalam purnawingsih, 2010).
B. Etiologi
Teori yang mengemukakan tentang bagaimana dapat terjadi
hipertensi pada kehamilan cukup banyak sehingga zweifel (1922)
menyebut sebagai “disease of theory”. Namn ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab terjadinya hipertensi dalam kehamilan antara lain :
1. Teori genetik
Berdasarkan teori ini komplikasi hipertensi pada kehamilan dapat
diturunkan pada anak perempuan sehingga sering terjadi hipertensi
sebagai komplikasi kehamilan. sifat herediternya adalah resesif
sehingga jarang terjadi.
2. Teori imuniologi
Hasil konsepsi mmerupakan benda asing tidak murni karena
sebagian genetiknya berasal dari sel maternal, sehingga sebagian besar
kehamilan berhasil dengan baik sampai aterm. Pada ibu dengan
preeklamsi helper T cell (Thi) nya rendah dibandingkan dengan ibu
yang tidak preeklamsi. Dimana ketidakseimbangan (ThI) dipengaruhi
oleh adenosin. Menurut peneliatian yoneyama (2002) kadar adenosin
para penderita PE lebih besar dibandingkan yang nornal. Adenosin
yang tinggi membuat Tsel ibu menjadi rendah dan Tsel menghasilkan
sitokinik spesifik yang memudahkan implantasi. Namun jika sitokinin
berkurang terjadinya gangguan saat implatasi dan disfungsinya
menyebabkan PE
3. Invasi tropoblast yang abnormal
Inplantasi plasenta yang normal terjadi penggantian endotel dan
dinding otot dari pembuluh darah serta pembesaran dari pembuluh
darah. Tetapi pada implantasi yang abnormal invasi tropoblast terjadi
secara tidak sempurn. Pembuluh darah desidua terbungkus dengan
tropoblas endovaskuler sehingga pembuluh darah menjadi
vasokontriksi.
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembulu darah refrakter tehadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka tehadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada
kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh daerah terhadap
bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sitensis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan
bahwa daya rafrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi
prostaglandin sintensa inhibitor (bahan yang menghambat produksi
prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah
prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh
darah menjadi peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada
trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada
kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi
akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
5. Nutrisi
Konsumsi daging yang berlebihan, protein, purine, lemak
mengakibatkan terjadinya artherosklerosis sehingga tekanan darah ibu
semakin meningkat.

C. Manifestasi klinis
Tanda gejala yang timbul pada hipertensi kehamilan dibedakan
berdasarkan klasifikasi. Menurut national high blood pressure education
program tahun 2001, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan
tanpa disertai proteinuria dan hipertensi dapat menghilang setelah
3bulan pasca persalinan atau kehamilannya dengan tanda-tanda
preeklamsi tetapi tanpa protein, gejalanya adalah :
a. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam
kehamilan.
b. Tidak terdapat proteinuria.
c. Tekanan darah kembali normal dalam waktu kurang dari 12
minggu postpartum
d. Diagnosa akhir hanya dapat ditegakan setelah melahirkan
e. Dapat disertai dengan gejala nyeri epigastrum atau
trombositopenia
2. Preeklamsia
Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
proteinuria. PE dapat terbagi lagi menjadi :
a. Ringan
 Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20
minggu
 Proteinuria ≥ 30 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
b. Berat
 Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20
minggu
 Proteinuria 20 mg/24 jam atau ≥ 2+ dispstick
 Serum creatinin > 1,2 mg/dl (kecuali sebelumnya sudah
abnormal)
 Trombosit < 100.000/mm3
 Peningkatan alanin aminotranferase (ALT)
 Nyeri kepala berat dan penglihatan kabur
 Nyeri epigastrum
3. Eklamsia
Apabila ditemukan kejang-kejangpada penderita preeklamsi yang
dapat juga disertai koma.
4. Hipertensi kronik
Hipertensi timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu dan
menetap setelah 12 minggu pasca persalinan, gejalanya :
a. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan 20 minggu
dan tidak terkait dengan penyakit tropoblas gestasional.
b. Lebih atau menetap sampai lebih dari 12 minggu pasca
persalinan.
5. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia
Hipertensi kornik yang disertai tanda-tanda preeklamsia atau
hipertensi kronik yang diserta dengan proteinuria.
D. Data dasar pada trimester l-lll
Selama kehamilan, waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan 1 kali
saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 2 kali pada trimester
ketiga. Kunjungan dapat ditambah tergantung pada kondisi maternal.
Dengan adanya pemeriksaan secara rutin selama kehamilan dapat
dilakukan deteksi dini hipertensi dalam kehamilan. Wanita dengan
hipertensi yang nyata (≥140/90mmHg) sering dirawat inapkan selama 2
sampai 3 hari untuk dievaluasi keparahan hipertensi kehamilannya yang
baru muncul. Meskipun pemilihan pemeriksaan laboratorium dan tindakan
tambahan tergantung pada sifat keluhan utama dan biasanya merupakan
bagian rencana diagnostik, pemeriksaan sel darah lengkap dengan asupan
darah, urinalisis serta golongan darah dan rhesus menjadi tiga tes dasar
yang memberikan data objektif untuk evaluasi sebenarnya pada setiap
kedaruratan obstetri ginekologi. Hal tersebut berlaku pada hipertensi
dalam kehamilan, urinalisis menjadi pemeriksaan utama yang dapat
menegakkan diagnosis dini pada preeklampsi (Cunningham G, 2013).
E. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan umum
Secara teoritis kemungkinan ditemukan gambaran keadaan umum
klien baik,yang mencakup kesadaran, tekanan darah, nadi, nafas, suhu,
tinggi badan, berat badan dan keadaan umum.
Keadaan umum meliputi :
Postur tubuh klien (tinggi atau pendek) bentuk perut klien, ekspresi
klien (lesu, pucat atau senang).
 Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : Pada penderita dengan hipertensi
didapatkan tekanan darah >140/90 mmHg sebelum hamil
atau sebelum usia kehamilan 20-21 minggu.
- Nadi : dihitung berapa kali dalam 1 menit, menghitung
dengan nadi pada pergelangan tangannya. Normalnya 60-
90 x/menit
- Suhu : suhu badan normalnya 36,50C-37,50C.
- Respirasi : respirasi dihitung dari keteraturan pernapasan
normalnya 18-24 x/menit.
 Mengukur berat badan
Berat badan pertambahannya sampai hamil genap bulan
lebih kurang 11-11,5 kg sehingga kenaikan rata-rata berat badan
setiap minggu 0.5.
Pada penderita Hipertensi  yang mengarah kearah
superimposed pre eklampsia didapatkan kenaikan berat badan
yang melebihi dari normal.
 Mengukur tinggi badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan pada ibu yang pertama
kali datang.  145 cm. (Manuaba. IBG) Tinggi badan tidak boleh
 23,5 cm.Mengukur lingkaran lengan atas (LILA)
normalnya Dengan melihat keadaan umum pasien atau
klien dapat diketahui keadaannya normal atau menunjukkan
adanya kelainan Pada wanita hamil yang dikatakan darahnya lebih
dari normal perlu mendapat pengawasan dan nasehat untuk banyak
istirahat dan pengaturan denyut pada penderita yang mengalami
kehilangan darah maka frekuensi denyut nadi pergelangan tangan
akan meningkat dan denyutnya lebih sukar diraba
Pada penderita dengan suhu tubuh lebih dari 38C menunjukkan
orang yang bersangkutan mengalami demam, kalau suhu tubuh
kurang dari 35C maka orang tersebut mengalami suhu rendah.
- Dengan menghitung pernapasan dapat kita ketahui apakah
pernapasan penderita terhenti sama sekali atau tidak,
sehingga perlu segera diambil tindakan untuk
menyelamatkan penderita.
- Dengan mengukur berat badan dan memantau hasilnya.
Pada kenaikan berat badan yang lebih dari 0,5 tiap
minggunya dan disertai adanya aedema pada trimester III
harus diwaspadai
- Dengan mengukur tinggi badan dapat kita ketahui apakah
ibu hamil masih belum katagori resiko tinggi atau resiko
rendah.
Dengan mengukur LILA dapat diketahui status gizi ibu (apakah
mengalami kekurangan energi kalori atau tidak)
2. Pemeriksaan Khusus
a. Inspeksi
Hal-hal yang diperiksa:
 Kepala dan muka (muka, mata, hidung, bibir dan gigi), apakah ada
oedema dan gangguan penglihatan.
 Keadaan leher (kelenjar gondok, linfe, struma, pembesaran vena
jogularis)
 Keadaan buah dada (betuk, warna kelainan, puting susu,
coloustrun)
 Keadaan perut (bentuk perut, pembesaran, striae, linea, luka parut)
 Keadaan vulva (aedema, tandu chadwik, varisei, fluxus, flour,
candi lama)
 Keadaan tungkai (aedema, varises, luka dari pangkal paha samapai
ujung kaki)
 Dengan melihat kepala dan muka dapat disampaikan keadaan klien
sehat, gembira, sakit atau sedih.
 Dengan melihat keadaan leher adalah pembesarannya
kemungkinan adanya gangguan kardiokvasikuler.
 Dengan melihat keadaan buah dada dapat diketahui bentuk puting
susu sehingga bila ada kelainan harus mendapat perawatan atau
pemeliharaan yang baik.
 Dengan melihat perut bila ada luka parut mungkin akan
berpengaruh atau mempengaruhi kehamilan dan persalinan.
 Dengan melihat keadaan vulva untuk mencegah terjadinya infeksi
waktu persalinan maupun nifas.
 Dengan melihat anggota bagian bawah terutama tungkai dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosa.
3. Pemeriksaan Palpasi
Hal-hal yang diperiksa meliputi :
 Leher meliputi kelenjar thygroid, linfe dan vena jogularis
 Dada meliputi benjolan,nyeri tekan pada payudara, pengeluaran
coloustrum Abdomen meliputi leopold I, II, III, IV
 Tungkai
Dengan pemeriksaan palpasi pada leher untuk mengetahui
kelainan seacara dini
 Dengan pemeriksaan dada untuk mengetahui adanya tumor
payudara dan pengeluaran coloustrum
 Dengan palpasi abdomen maka dapat diketahui usia kehamilan
dan posisi janin
 Dengan palpasi tungkai maka dapat diketahui adanya kelainan
yang menyertai kehamilan.
 Untuk menentukan tinggi fundus uteri dan umur kehamilan :
Umur kehamilan
 Tinggi fundus uteri (jari)
 Tinggi fundus uteri (cm)

4. Pemeriksaan Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi adalah memeriksa klien dengan
mendengarkan denyut jantung janin, frekuensinya, teratur atau tidak
dan posisi punctum maximumnya. untuk menentukan keadaan janin
didalam rahim hidup atau mati.

5. Pemeriksaan Perkusi
Pemeriksaan perkusi adalah memeriksa klien dengan mengetuk
lutut bagian depan menggunakan refleks hammer untuk mengetahui
kemungkinnan klien mengalami kekurangan vitamin B1.
6. Pemeriksaan ukuran panggul
Kemungkinan normal dengan pengukuran jangkal panggul.
7. Pemeriksaan TBBJ
Kemungkinan berat badan janin normal,dengan menggunakan
rumus : (TFU dalam cm-13) x 155 + 375 (untuk lingkaran abdomen
yang lebih dari 100 cm)

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan labotarium (urine
/Protein urine, glukosa urine dan darah) kalau perlu rontgen, ultrasonografi
dan Non Stres Test (NST).

G. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan perpusi jaringan berhubungan dengan hipertensi,
vasospasme siklit, edema serebral
b. Resiko cedera tinggi pada ibu berhubungan dngan iribilitas sistem
saraf pusat.
c. Kecemasan berhubungan dengan ancaman cedera pada ibu
sebelum lahir

H. Intervensi
a. Perubahan perpusi jaringan berhubungan dengan hipertensi,
vasospasme siklit, edema serebral.
Tujuan : tidak terjadi vasospasme dan perpusi jaringan tidak
terjadi
Kriteria hasil : klien mengalami vasodilatasi ditandai dengan
diuresis, mobilisasi cairan ekstraseluler.

No Intervensi Rasional
1. Memantau asupan oral dan MGSO4 adalah obat anti
infus MGSO4 kejang yang bekerja pada
sambungan mioneural dan
merelaksasi vasospasme
sehingga menyebabkan
peningkatan perpusi ginjal,
mobilisasi cairan ekstra
seluler (edema dan diuresis)
2. Memantau urine yang keluar Mengetahui jumlah urine
yang keluar
3. Memantau edema yang terlihat Edema salah satu tanda
preeklamsi
4. Mempertahankan tirah baring Tirah baring menyebabkan
total dengan posisi miring aliran darah uteroplasenta
yang sering kali menurunkan
tekanan darah dan
meningkatkan diuresis

b. Resiko cedera tinggi pada ibu berhubungan dngan iribilitas sistem


saraf pusat.
Tujuan : gangguan sistem saraf pusat aka menurun
mencapai tingkat normal
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang

No Intervensi Rasional
1. Mendapat data dasar Memantau hasil terapi
2. Memantau pemberian IV MGSO4 adalah obat anti
MGSO4 dan kadar serum kejang namun dapat
MGSO4 mengakibatkan keracunan
pada ibu
3. Mengkaji kemungkinan adanya Dosis yang berlebihan akan
keracunan MGSO4 membuat kerja otot menurun
sehingga dapat menyebabkan
depresi pernapasan berat
4. Mempertahankan lingkungan Rangsangan kuat misalnya
tenang, gelap dan nyaman cahaya dapat memicu kejang

c. Kecemasan berhubungan dengan ancaman cedera pada ibu sebelum


lahir
Tujuan : ansietas dapat diatasi
Kriteria hasil : klien tampak rileks, dapat istrirahat dengan tepat,
menunjukan keterampilan pemecahan masalah

No Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat ansietas klien Membantu menentukan jenis
perhatikan tanda depresi dan intervensi yang diperlukan
pengingkaran
2. Dorong dan berikan Membuat perasaan terbuka
kesempatan untuk pasien dan bekerja sama untuk
mengajukan pertanyaan atau memberikan informasi yang
menyatakan masalah akan mengatasi masalah
3. Dorong orang terdekat Keterlibatan meningkatkan
berpartisipasi dalam asuhan rasa berbagi dan
sesuai indikasi memperkecil rasa takut
karena tidak tahu.

LAPORAN PENDAHULUAN POST SC

1. KONSEP DASAR SECTIO CAESAREA


A. Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau
vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari
dalam rahim. (Mochtar, 1998).
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Sofian,
2012).

B. Etiologi
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio
caesarea adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia
serviks, pre-eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin
adalah letak lintang dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea
adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah
dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar
melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat
diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :
 CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
 KPD (Ketuban Pecah Dini)
 Janin Besar (Makrosomia)
 Kelainan Letak Janin
 Bayi kembar
 Faktor hambatan jalan lahir
 PEB (Pre-Eklamsi Berat)

C. Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk
mempersingkat lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan
serviks dan segmen bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada
plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan
hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa,
sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio
caesarea dilakukan pada placenta previa walaupun anak sudah mati.

D. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)


1. .Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi
memanjang pada corpus uteri. Sectio caesarea profunda:
dengan insisi pada segmen bawah uterus.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum
parietalis dan dengan demikian tidak membuka kavum
abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira 10cm.
Kelebihan:
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi.
Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan:
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

E. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi
cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak
maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi
tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu
Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan
menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan
sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri
sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan,
penyembuhan, dan perawatan post operasi akan menimbulkan
masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan
juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah,
dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang
pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa
nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi
akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat
dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doenges (2000), antara lain
:
a. Nyeri akibat luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan
(lokhea tidak banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-
800 ml
f. Emosi labil
g. Terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka biasanya
kurang paham prosedur
l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Tucker (1998) adalah sebagai
berikut:
a. Pemantauan EKG
b. JDL dengan diferensial
c. Pemeriksaan elektrolit
d. Pemeriksaan HB/Hct
e. Golongan darah
f. Urinalisis
g. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
h. Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi
i. USG

H. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat
berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post
operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala -
gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal
sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama
sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan
jika cabang arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru – paru
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini
lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.

I. Penatalaksanaan Medis Post SC


1. Perawatan awal
a. Letakan klien dalam posisi pemulihan
b. Periksa kondisi klien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam
pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa
tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika ada indikasi syok hemorarge
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi,
segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi
perdarahan pasca bedah.
2. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi,
maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan
jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
3. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan
peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah
boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih
dan air teh.
4. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah
operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5
menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5
pasca operasi.
5. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48
jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
6. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-
beda setiap institusi
7. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
8. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita
dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
9. Perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar
cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi
beri plester untuk mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat
jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC
10. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah
suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
J. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri
(histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam
pembedahan (section caesarea)
b. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan /
luka kering bekas operasi
c. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post
operasi
K. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

1 Nyeri akut Setelah diberikan asuhan 1. Lakukan pengkajian


berhubungan dengan keperawatan selama … x 24 secara komprehensif
pelepasan mediator jam diharapkan nyeri klien tentang nyeri meliputi
nyeri (histamin, berkurang / terkontrol lokasi, karakteristik,
prostaglandin) akibat dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas,
trauma jaringan intensitas nyeri dan faktor
 Klien melaporkan nyeri
dalam pembedahan presipitasi.
berkurang / terkontrol
(section caesarea) 2. Observasi respon
 Wajah tidak tampak
nonverbal dari
meringis
ketidaknyamanan
 Klien tampak rileks,
(misalnya wajah meringis)
dapat berisitirahat, dan
terutama ketidakmampuan
beraktivitas sesuai
untuk berkomunikasi
kemampuan
secara efektif.
3. Kaji efek pengalaman
nyeri terhadap kualitas
hidup (ex: beraktivitas,
tidur, istirahat, rileks,
kognisi, perasaan, dan
hubungan sosial)
4. Ajarkan menggunakan
teknik nonanalgetik
(relaksasi progresif,
latihan napas dalam,
imajinasi, sentuhan
terapeutik.)
5. Kontrol faktor - faktor
lingkungan yang yang
dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
(ruangan, suhu, cahaya,
dan suara)
6. Kolaborasi untuk
penggunaan kontrol
analgetik, jika perlu. 
2 Risiko tinggi Setelah diberikan asuhan 1. Tinjau ulang kondisi dasar
terhadap infeksi keperawatan selama … x 24 / faktor risiko yang ada
berhubungan dengan jam diharapkan klien tidak sebelumnya. Catat waktu
trauma jaringan / mengalami infeksi dengan pecah ketuban.
luka bekas operasi kriteria hasil : 2. Kaji adanya tanda infeksi
(SC) (kalor, rubor, dolor,
 Tidak terjadi tanda -
tumor, fungsio laesa)
tanda infeksi (kalor,
3. Lakukan perawatan luka
rubor, dolor, tumor,
dengan teknik aseptik
fungsio laesea)
4. Inspeksi balutan
 Suhu dan nadi dalam
abdominal terhadap
batas normal ( suhu =
eksudat / rembesan.
36,5 -37,50 C, frekuensi
nadi = 60 - 100x/ Lepaskan balutan sesuai
menit) indikasi
 WBC dalam batas 5. Anjurkan klien dan
normal (4,10-10,9 keluarga untuk mencuci
10^3 / uL)  tangan sebelum / sesudah
menyentuh luka
6. Pantau peningkatan suhu,
nadi, dan pemeriksaan
laboratorium jumlah WBC
/ sel darah putih
7. Kolaborasi untuk
pemeriksaan Hb dan Ht.
Catat perkiraan kehilangan
darah selama prosedur
pembedahan
8. Anjurkan intake nutrisi
yang cukup
9. Kolaborasi penggunaan
antibiotik sesuai indikasi
3 Ansietas Setelah diberikan asuhan 1. Kaji respon psikologis
berhubungan dengan keperawatan selama … x 6 terhadap kejadian dan
kurangnya informasi jam diharapkan ansietas ketersediaan sistem
tentang prosedur klien berkurang dengan pendukung
pembedahan, kriteria hasil : 2. Tetap bersama klien,
penyembuhan, dan bersikap tenang dan
 Klien terlihat lebih
perawatan post menunjukkan rasa empati
tenang dan tidak gelisah
operasi 3. Observasi respon
 Klien mengungkapkan
nonverbal klien (misalnya:
bahwa ansietasnya
gelisah) berkaitan dengan
berkurang 
ansietas yang dirasakan
4. Dukung dan arahkan
kembali mekanisme
koping
5. Berikan informasi yang
benar mengenai prosedur
pembedahan,
penyembuhan, dan
perawatan post operasi
6. Diskusikan pengalaman /
harapan kelahiran anak
pada masa lalu
7. Evaluasi perubahan
ansietas yang dialami
klien secara verbal 
LAPORAN PENDAHULUAN VAGINITIS

A. Pengertian
Kebanyakan wanita pemberitahuan dari waktu ke waktu bahwa
mereka memiliki cairan dari vagina. Ini adalah proses normal yang
menjaga daerah mukosa vagina lembab. Tetapi tidak hanya itu daerah
vagina yang lembab bisa berubah menjadi sarang berkumpulnya bakteri-
bakteri, jamur serta virus yang bisa dengan mudah hidup di daerah tersebut
dan bisa menimbulkan penyakit,seperti yang terdapat di daerah vagina
yang biasa di sebut sebagai vaginitis. Vaginitis (colpitis) adalah infeksi
pada vagina yang disebabkan oleh berbagai bakteri, parasit atau jamur
(Manuaba. 2001).
Vaginitis adalah inflamasi vagina yang di cirikan oleh perubahan
sekresi cairan vagina, yang dapat banyak, berbau, dan urulen, dan dapat
diikuti oleh disuria dan pendarahan vagina. Sering terdapat gatal pada
vulva, dan klien umumnya mengeluh ketidaknyamanan saat berkemih juga
dispareunia. (Black and Hawks, 2009).
B. Etiologi
Penyebab dari vaginitis adalah Candida albicans, Trichomonas
vaginalis, Neisseria gonorrhoeae, Hemophilus vaginalis. Penyebab lain
meliputi gabungan bedak tabur, cacing kremi, benda asing, hygiene
perineum yang buruk. Menurut Universitas Padjadjaran (1981) penyebab
vaginitis :
1. Vulvovaginitis pada anak
2. Sering disebabkan oleh gonorrhea atau corpus allienum.
3. Kolpitis senilis
4. Disebabkan karena ovaria berhenti berfungsi.
5. Kolpitis pada masa reproduktif
a. Masturbasi
b. Corpus allienum : pessaerium, obat atau alat kontrasepsi kapas
c. Rangsang themis seperti berenang dalam air dingin

C. Klasifikasi
1. Vaginitis Candida disebabkan oleh Candida albicans.
Penyebab :
a. Hygiene yang kurang.
b. Pertumbuhan Candida yang berlebihan, karena kadar glukosa
darah yang tinggi, dan pemberian antibiotik berspektrum luas.
Tanda dan gejala :
a. Pruritus vulvae.
b. Nyeri vagina yang hebat.
c. Disuria eksterna dan interna.
d. Rash pada vulva.
e. Eritematosa.
f. Sekret khas seperti keju lembut.
2. Vaginitis Trichomonas disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
Penyebab :
a. Hubungan seksual.
Tanda dan gejala :
a. Secret banyak dan bau busuk.
b. Disuria eksterna dan interna.
c. Pruritus vulva.
d. Edema vulva.
3. Vaginitis non spesifik disebabkan oleh Gardnerella vaginalis.
Penyebab :
a. Hygiene yang kurang.
b. Hubungan seksual.
Tanda dan gejala :
a. Vagina berbau busuk dan amis.
b. Sekret encer, kuning sampai abu-abu.
4. Vaginitis Atrofican disebabkan oleh infeksi epitel vagina yang
defisiensi estrogen.
Penyebab :
a. Pasca menopause rentan terhadap infeksi.
Tanda dan gejala :
a. Pendarahan pervaginam.
b. Disuria eksterna.
c. Pruritus.
d. Dispareunia.
e. Permukaan vagina merah muda, pucat, halus tanpa rugae.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi vaginistis dicirikan dengan perubahan sekresi cairan
vagina (lekorea) yang berjumlah banyak, berbau, dan bersifat purulen,
kadang disertai dengan disuria dan perdarahan pada vagina. Wanita
dengan vaginitis sering mengeluhkan gatal pada vulva, dan klien
umumnya mengeluhkan ketidaknyamanan saat berkemih juga dispareunia
(Black, J M dan Hawks, J H, 2014).
Menurut Sinklair & Webb (1992) dalam Febri (2014), manifestasi
yang terdapat pada vaginitis dibagi menjadi dua yaitu :
1. Vaginitis Akut
Pada sekitar vagina akan didapatkan pruritus, terasa panas, eritema,
edema, perdarahan, nyeri (mungkin sangat, menyebabkan tidak
mampu berjalan, duduk dan retensi urine akut), Ulserasi serta adanya
vesikel. (Sinklair & Webb, 1992 dalam Febri, 2014).
2. Vaginitis Kronik
Jika vaginitis sudah dalam tahap kronik, didapatkan Inflamasi
hebat dengan edema minimal, pruritus hebat dengan ekskoriasi, infeksi
sekunder dengan daerah yang terserang : monpubis, perineum, paha
yang berdekatan, anus, sekitar paha, lesi ulseratif disebabkan :
granuloma, karsinoma, melanoma, dan hasil akhir mungkin berupa
ekstruksi vulva (Sinklair & Webb, 1992 dalam Febri, 2014).
Pada vaginitis trichomonas, gejala utamanya ialah fluor
(keputihan) yang banyak, berbau amis dan berbusa, flour berwarna
kehijauan sampai abu-abu dan fronthy appearance. Pada pemeriksaan
mikroskopis dengan Nacl tampak banyak leukosit dan organisme
berflagel niselule hidup dan motil (patognomonis). Gejala utama pada
vaginitis yang disebabkan oleh clamidia, sama seperti vaginitis pada
umumnya. Tanda klinis pada pemeriksaan mikroskopis dengan NaCl
ditemukan leukosit banyak, tanpa clue cell, jamur atau trikhomonas.
Sedangkan gejala pada vaginitis artofikan yang disebabkan oleh
menopause, yang ditimbulkan ialah vagina gatal, kering, dispareunia,
kadang perdarahan pervaginaan (Kurniawati, D dan Hanifah M,
2009).Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik
adalah proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerolus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini
tidak diketahui tetapi dihubungkan dengan hilangnya glikoprotein
bermuatan negatif pada dinding kapiler.
Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik disebabkan
oleh hipoalbumin akibat proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan
dari kompartemen intravaskulerke ruangan interstitial. Penurunan
volum intravaskuler menyebabkan penurunan perfusi renal sehingga
mengaktivasi sistem reninangiotensin- aldosteron yang selanjutnya
menyebabkan reabsorpsi natrium di tubulus distal ginjal. Penurunan
volum intravaskuler juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik
(ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus.
Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida
akibat 2faktor. Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein
di hati termasuk lipoprotein. Kedua, katabolisme lemak terganggu
sebagai akibat penurunan 2 kadar lipoprotein lipase plasma (enzim
utama yang memecah lemak di plasma darah).
E. Patofisiologi
Bila keseimbangan mikroorganisme berubah, maka organisme
yang berpotensi patogen, yang merupakan bagian flora normal, misalnya
C. albicans pada kasus infeksi monolia serta G. vaginalis dan bakteri
anaerob pada kasus vaginitis non spesifik berproliferasi sampai suatu
konsentrasi yang berhubungan dengan gejala. Pada mekanisme lainnya,
organisme ditularkan melalui hubungan seksual dan bukan merupakan
bagian flora normal seperti Trichomonas vaginalis dan Nisseria
gonorrhoea dapat menimbulkan gejala . Gejala yang timbul bila hospes
meningkatkan respon peradangan terhadap organisme yang menginfeksi
dengan menarik leukosit serta melepaskan prostaglandin dan komponen
respon peradangan lainnya.
Gejala ketidaknyamanan dan pruritus vagina berasal dari respon
peradangan vagina lokal terhadap infeksi T. vaginalis atau C. albicans.
Organisme tertentu yang menarik leukosit, termasuk T. vaginalis,
menghasilkan secret purulen. Diantara wanita dengan vaginitis non
spesifik. Baunya disebabkan oleh terdapatnya amina dibentuk sebagai
hasil metabolisme bakteri anaerob. Histamin dapat menimbulkan
ketidaknyamanan oleh efek vasodilatasi local. Produk lainnya dapat
merusak sel-sel epitel dengan cara sama dengan infeksi lainnya.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass.
Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat
Clue cells yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan
bakteri sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki
sensivitas 60% dan spesifitas 98% (Srinivasan, 2008).
2. Whiff test
Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu
tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai
akibat pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob
(Srinivasan, 2008).
3. Tes lakmus
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan
kadar pH > 4,5 (Srinivasan, 2008).
4. Pewarnaan gram
Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan
jumlah bakteri anaerob (Srinivasan, 2008).
5. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis
bakterial vaginosis karena bakteri ini ditemukan hampir 50% pada
perempuan normal (Srinivasan, 2008).
6. Tes proline aminopeptidase yang dihasilkan oleh bakteri anaerob,
karena Lactobacillus tidak menghasilkan zat tersebut. (Srinivasan,
2008). Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
bakterial vaginosis, diantaranya adalah:
a. Kriteria Amsel
Kriteria ini memiliki tingkat spresifitas yang lebih tinggi
daripada pewarnaan gram. Kriteria ini paling sering digunakan
untuk mendiagnosis vaginitis bakterial. Diagnosis dapat
ditegakkan jika didapatkan minimal tiga dari empat kriteria.
(Srinivasan, 2008).
 Secret vagina yang homogen, putih, dan tipis
melekat pada vagina
 pH vagina > 4,5 Peningkatan pH dapat
menyebabkan terlepasnya amin (trimetilamin).
 Secret vagina yang berbau amis setelah penambahan
KOH khitfg jika didapatkan bau amis setelah
menambahkan satu tetes 10- 20% KOH (potasium
hidroxide) pada sekret vagina.
 Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan
mikroskopis menggunakan preparat salin basah.
Pada pemeriksaan sampel pasien vaginitis bakterial
didapatkan adanya peningkatan jumlah kuman
Gardnerella. Sel squamosa normal memiliki ciri
selnya runcing diujungnya, jernih, tepi yang lurus,
sedangkan sel Clue memiliki ciri granular, tidak
jernih, dan pinggir yang kasar. Sel Clue adalah sel
epitel vagina yang batas tepinya sudah tidak terlihat
jelas karena terdapat banyak bakteri yang menempel
pada permukaan sel tersebut. Ditemukannya sel
Clue pada pemeriksaan mikroskopis memiliki
sensivitas 98% dan spesifitas 94,3% (Srinivasan,
2008).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass.
Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat
Clue cells yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan
bakteri sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki
sensivitas 60% dan spesifitas 98% (Srinivasan, 2008).
2. Whiff test
Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu
tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai
akibat pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob
(Srinivasan, 2008).
3. Tes lakmus
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan
kadar pH > 4,5 (Srinivasan, 2008).
4. Pewarnaan gram
Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan
jumlah bakteri anaerob (Srinivasan, 2008).
5. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis
bakterial vaginosis karena bakteri ini ditemukan hampir 50% pada
perempuan normal (Srinivasan, 2008).
6. Tes proline aminopeptidase yang dihasilkan oleh bakteri anaerob,
karena Lactobacillus tidak menghasilkan zat tersebut. (Srinivasan,
2008). Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
bakterial vaginosis, diantaranya adalah:
 Kriteria Amsel
Kriteria ini memiliki tingkat spresifitas yang lebih tinggi
daripada pewarnaan gram. Kriteria ini paling sering digunakan
untuk mendiagnosis vaginitis bakterial. Diagnosis dapat
ditegakkan jika didapatkan minimal tiga dari empat kriteria.
(Srinivasan, 2008).
 Secret vagina yang homogen, putih, dan tipis melekat pada
vagina
 pH vagina > 4,5 Peningkatan pH dapat menyebabkan
terlepasnya amin (trimetilamin).
 Secret vagina yang berbau amis setelah penambahan KOH
khitfg jika didapatkan bau amis setelah menambahkan satu
tetes 10- 20% KOH (potasium hidroxide) pada sekret vagina.

Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis


menggunakan preparat salin basah. Pada pemeriksaan sampel pasien
vaginitis bakterial didapatkan adanya peningkatan jumlah kuman
Gardnerella. Sel squamosa normal memiliki ciri selnya runcing
diujungnya, jernih, tepi yang lurus, sedangkan sel Clue memiliki ciri
granular, tidak jernih, dan pinggir yang kasar. Sel Clue adalah sel epitel
vagina yang batas tepinya sudah tidak terlihat jelas karena terdapat banyak
bakteri yang menempel pada permukaan sel tersebut. Ditemukannya sel
Clue pada pemeriksaan mikroskopis memiliki sensivitas 98% dan
spesifitas 94,3% (Srinivasan, 2008).
H. WOC Vaginitis

Vaginiosis bakterial (gardranella vaginalis),


kandidiasisvulvovaginal (C. Albicans), Trichomonas,
Diabetes Melitus, Imunosupresan / antibiotik spektrum
luas.

Vaginitis

Radang Supuratif Transmisi Hematogen Mukosa Vagina


mengalami perubahan

Risiko Infeksi Sistemik


Erupsi dermal pd Mukosa vagina
Mengalami Harga diri ↓
stress situasional
Pruritus

Pe ↑ kerja
Gangguan Rasa
syaraf
Nyaman (Pruritus) Ketidaksiapan
Gangguan aktivitas parasimpatis
mental dan
psikologis
Pe ↑ kerja sel
Menggaruk parietal
Ansietas
bagian vagina
yang gatal
Produksi HCL
me ↑
Lesi pada Mukosa
Vagina
Mual Muntah

Kerusakan Respon Inflamasi


integritas Anorexia
kulit
Pelepasan Mediator Nyeri
Ketidakseimbangan Kekurangan
(Histamin, Prostagandin)
Nutrisi kurang dari volume cairan
kebutuhan tubuh
Nyeri akut
I. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: Gatal-gatal dan nyeri pada daerah vagina
b. Kesadaran : Compos metis kooperatif
c. Tanda-tanda vital : TD normal, nadi teraba normal, suhu
tubuh meningkat
d. Kepala
Simetris dan pertumbuhan serta distribusi rambut
normal, tidak ada nyeri tekan.
e. Muka atau wajah
Bentuk simetris, keadaan warna bervariasi dari
keadaan normal hingga terlihat pucat tergantung tingkat
kesakitan.
f. Mata
Konjungtiva normal, konjungtiva tidak anemis,
pupil isokor dan mata terlihat cekung.
g. Mulut
Bibir pasien terlihat pucat.
h. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar limfonodi dan kelenjar
tiroid
i. Dada
Pernafasan cepat, bentuk dada simetris, takikardi dan tidak
ada suara ronchi.
j. Abdomen
Bentuk flat, teraba keras bila terjadi distensi pada daerah
kandung kemih.
k. Genetalia
Ada keputihan, keluarnya cairan dari vagina, kemerahan
akibat adanya infeksi. Kaji cairan vagina yang keluar
meliputi; warna, konsistensi, serta baunya.
l. Ekstremitas
Teraba hangat sampai panas karena biasanya pasien
demam, kulit teraba kering dan lecet.
J. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis
2. Disfungsi seksual berhubungan dengan nyeri pada vagina
3. Hipertermi berhubungan dengan peradangan di vagina
4. Gangguan Eliminasi urine berhuungan dengan nyeri
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhungan dengan gatal
pada vagina
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
7. Ansietas berhubungan dengan lesi dan eritema yang muncul di
vagina
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya
pasien mengenai vaginitis

K. Intervensi
Perencanaan
Diagnosa
NOC NIC
Nyeri berhubungan a. Pain Level Pain Management
dengan agen cidera Indikator : 1. Lakukan pengkajian
biologis 1) Mealporkan nyeri nyeri secara
berkurang komprehensif
2) Melaporkan lamanya termasuk lokasi,
nyeri dirasakan karakteristik, durasi,
3) Tidak mengerang frekuensi, kualitas dan
4) Ekspresi wajah releks faktor presipitasi
5) Pasien tidak mondar- 2. Observasi reaksi
mandir nonverbal dari
6) Respiration rate dalam ketidaknyamanan
rentang normal 3. Gunakan teknik
7) Blood pressure dalam komunikasi terapeutik
rentang normal untuk mengetahui
b. Pain Control pengalaman nyeri
Indikator : pasien
1) Mampu mengontrol 4. Kaji kultur yang
nyeri, (tahu penyebab mempengaruhi respon
nyeri, mampu nyeri
menggunakan teknik 5. Kontrol lingkungan
nonfarmakologis yang dapat
untukmengurangi nyeri, mempengaruhi nyeri
mancari bantuan) seperti suhu ruangan,
2) Melaporkan bahwa pencahayaan dan
nyeri berkurang dengan kebisingan
menggunakan 6. Kurangi faktor
manajemen nyeri presipitasi nyeri
3) Mampu mengenali 7. Pilih dan lakukan
nyeri, (skala, intensitas, penangan nyeri
frekuensi, dan tanda (farmakologi, non
nyeri) farmakologi,
4) Menyatakan rasa interpersonal)
nyamanstelah nyeri 8. Ajarkan tentang teknik
berkurang non farmakologi
5) Tanda-tanda vital dalam 9. Berikan analgetik
batas normal untuk mengurangi
c. Comfort Level nyeri
Indikator : 10. Evaluasi tingkat
1) Nyeri berkurang keefektifan kontrol
2) Kecemasan berkurang nyeri
3) Stres berkurang 11. Tingkatkan istirahat
4) Ketakutan berkurang 12. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic
Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis
obat,dosis dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
5. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
6. Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala
Gangguan eliminasi NOC: NIC:
urine berhubungan a) Urinary elimination Urinary Retention Care
dengan b) Urinary continuence a) Lakukan penilaian
kemih yang
Kriteria hasil: komprehensif
a) Kandung kemih berfokus pada
kosong secara penuh inkontinenala (output
b) Tidak ada residu urine, pola berkemih,
urine >100-200cc fungsi kognitif dan
c) Intake cairan dalam masalah kencing
renang normal praesisten)
d) Bebas dari ISK b) Gunakan kekuatan
e) Tidak ada spasme sugesti dengan
bladder menjalankan air atau
f) Balance cairan disiram toilet
seimbang c) Merangsang refleks
kandung kemih
dengan menerapkan
dingin untuk perut
d) Masukkan kateter
kemih
e) Anjurkan pasien atau
keluarga untuk
merekam output urine
f) Instruksikan cara
untuk menghindari
konstipasi atau
impaksi tinja
g) Memantau asupan dan
keluaran
h) Memantau tingkat
distensi kandung
kemih dengan palpasi
dan perkusi
i) Membantu dengan
toilet secara berkala
j) Menerapkan
kateterisasi intermiten

Ansietas NOC: NIC:


berhubungan dengan a) Anxiety self-control Anxiety Reduction
Ancaman pada (status b) Anxiety level (penurunan kecemasan)
ekonomi, lingkungan, c) Coping a) Gunakan
status kesehatan, pendekatan yang
fungsi peran) Kriteria hasil: menenangkan
a) Klien mampu b) Nyatakan dengan
menidentifikasi dan jelas harapan
mengungkapkan terhadap pelaku
gejala cemas pasien
b) Mengidentifikasi, c) Jelaskan semua
mengungkapkan dan prosedur dan apa
menunjukkan teknik yang dirasakan
untuk mengontrol selama prosedur
cemas d) Pahami perspektif
c) Vital sign dalam pasien terhadap
batas normal situasi stress
d) Postur tubuh, e) Temani pasien
ekspresi wajah, untuk memberikan
bahasa tubuh dan keamanan dan
tingkat aktivitas mengurangi rasa
menunjukkan takut
berkurangnya f) Identifikasi tingkat
kecemasan kecemasan
g) Bantu pasien
mengenal situasi
yang
menimbulkan
kecemasan
h) Dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan ketakutan
i) Instruksikan
kepada pasien
untuk
menggunakan
teknik relaksasi
j) Berikan obat untuk
mengurangi
kecemasan

Resiko Kerusakan a. Tissue integrity : Skin Pressure Management


integritas kulit and Mucous Membranes 1. Anjurkan pasien untuk
Indikator : menggunakan pakaian
1) Integritas kulit yang yang longgar
baik bisa dipertahankan 2. Hindari kerutan pada
( sensasi, elastic sitas, tempat tidur
temperature, hidrasi, pig 3. Jaga kebersihan kulit
mentasi ) agar tetap bersih dan
2) Tidak ada luka / lesi kering
pada kulit 4. Mobilisasi pasien
3) Perfusi jaringan baik (ubah posisi pasien
4) Menunjukkan setiap dua jam sekali)
pemahaman dalam 5. Monitor kulit akan
proses perbaikan kulit danya kemerahan
dan mencegah 6. Oleskan lotion atau
terjadinya cedera minyak baby/baby oil
berulang pada daerah yang
5) Mampu melindungi tertekan
kulit dan 7. Monitor aktivitas dan
mempertahankan mobilisasi pasien
kelembaban kulit dan 8. Monitor status nutrisi
perawatan alami pasien
9. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat

L. Implementasi
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan ditujukan kepada perawat untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan dari pelaksanaan adalah membantu
klien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan meliputi peningkatan
kesehatan atau pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dari fasilitas
yang dimiliki. 
Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan
dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisiasi dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan. Selama perawatan atau pelaksanaan
perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan
perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien. dan
meprioritaskannya. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam format
yang telah ditetapkan institusi. Penatalaksanaan bisa dilakukan dengan
cara seperti berikut:
1. Menjelaskan pada klien tentang beberapa penyebab terjadinya
keputihan adalah jamur/bakteri (karena kurang bersih dalam
menjaga kebersihan daerah kelamin), atau adanya penyakit lain
(tumor).
2. Menjelaskan kepada klien bahwa keputihan dapat terjadi itu
secara normal atau tidak normal. Keputihan yang normal yaitu
keputihan yang terjadi pada saat sebelum menstruasi , pada saat
hamil, tetapi menjadi tidak normal jika pengeluaran lendir secara
berlebihan dan terus menerus.
3. Menjelaskan  kepada  klien  tentang  beberapa  hal  yang  dapat  
dilakukan  untuk mencegah terjadinya kekambuhan dari
keputihan adalah:
a. Menjaga  kebersihan  daerah  genitalia  dengan  baik  (ce
bok  dari  arah  depan kebelakang dengan menggunakan
sabun).
b. Mengganti  celana  dalam,  gunakan  celana  dalam  yang  
katun  dan  tipis  serta mudah menyerap keringat.
c. Anjurkan  kepada  suami  untuk  ikut  kontrol  serta  mem
inum  obat  yang diberikan dokter agar tidak terjadi
saling menularkan penyakit.
4. Menganjurkan  kepada  klien  untuk  kontrol  secara  rutin  dan
menghabiskan  obat yang diberikan dokter meskipun keluhan
sudah berkurang.
5. Menganjurkan pada klien untuk menjelaskan kembali apa
yang  telah dijelaskan oleh petugas.
M. Evaluasi
1. Tingkat kenyamanan pasien kembali seperti sebelum sakit
2. Pola seksualitas dapat berfungsi secara normal
3. Tidak terjadi inveksi
4. Klien mengerti mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998). Pedoman pelayanan dasar


keperawatan. Jakarta: DEPKES RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1991). Pedoman untuk monitoring


wilayah kesehatan maternal dan anak. Jakarta: DEPKES RI.
Doengoes, Marylinn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi.
Jakarta : EGC

Long, Barbara. C. 1996. Essential of Medical Surgical Nursing. Cetakan I.

Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

May, KA and Mahlmeister, LR. (1994). Maternal and neonatal nursing: Family-
centered care. (Third Edition). Philadelphia

Purnawaningsih, Wahyu.(2010). Asuhan Keperawatan Meternitas. Jakarta : Nuha


Medika.

Wiknjosastro Hanifa. 2006. Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga. Jakarta : YBP-SP.

Anda mungkin juga menyukai