sebesar 50 persen, BBB - BB sebesar 100 persen, B ke bawah 150 persen, dan tidak berperingkat 100
persen.
Pendekatan Indikator Dasar atau PID merupakan pendekatan yang paling sederhana dan tidak
sensitif terhadap risiko sehingga akan menghasilkan beban modal yang cenderung besar.
PID cocok digunakan oleh bank-bank yang lebih kecil dengan aktivitas bisnis yang sederhana.
Untuk bank-bank yang aktif secara internasional, dan bank-bank yang memiliki risiko
operasional tinggi didorong untuk menggunakan pendekatan yang lebih mendekati risiko
sebenarnya.
V.6.1. BIA (Basic Indicator Approach) atau PID (pendekatan Indikator Dasar)
PID dapat diaplikasikan oleh seluruh Bank tanpa memandang kompleksitas dan kecanggihan
suatu Bank. Namun demikian, bank perlu mematuhi pedoman yang diatur dalam “Sound Practice
for Management and Supervision of Operational Risk”.
Perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dalam perhitungan KPMM dengan menggunakan
BIA dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan beban modal risiko operasional adalah rata-rata dari penjumlahan
pendapatan bruto (gross income) tahunan yang mempunyai nilai positif pada 3 (tiga) tahun
terakhir, dikalikan faktor alpha 15% (limabelas persen).
sebagai berikut:
dimana:
Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut
= 12,5 x [15%{(750+3.000+2.250)/3}]
= Rp.3.750 juta
sebagai berikut
Pendapatan bruto adalah pendapatan bungs bersih ditambah pendapatan operasional non-
bungs tertentu lainnya bersih yang dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari
sampai dengan akhir Desember setiap tahun.
Untuk Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah, perhitungan pendapatan bruto
memperhitungkan pula pendapatan bruto dari Unit Usaha Syariah setelah dikonversi
sesuai dengan karakteristik usaha Bank dan prinsip Syariah.
Apabila berdasarkan hasil Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan
Publik (KAP) terdapat koreksi atas besarnya pendapatan bruto, maka Bank harus
melakukan koreksi atas perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional pads bulan
berikutnya setelah laporan keuangan yang diaudit disampaikan oleh KAP kepada Bank.
Contoh:
Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional selama bulan Januari dan Februari 2011
berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (unaudited). Pads awal
Maret 2011, Laporan Keuangan 2010 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP)
telah disampaikan kepada Bank.
Berdasarkan laporan tersebut Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional bulan Maret
2011 berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (audited).
Apabila dalam menghitung rata-rata pendapatan bruto selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 1
(satu) atau 2 (dua) tahun Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk
perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan, Bank harus mengeluarkan nilai pendapatan
bruto negatif tersebut dari pembilang dan penyebut pada saat menghitung rata-rata pendapatan
bruto.
= Rp.1.875 juta
= 12,5 x [15%x{(1.200)/1}]
= Rp.2.250 juta
Apabila dalam 3 (tiga) tahun terakhir Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka
untuk perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan sebagaimana dimaksud pads huruf A,
Bank harus menghitung beban modal Risiko Operasional dengan menggunakan pendapatan
bruto tahunan terakhir yang positif.
Bank A 2010 2009 2008 2007 2006
Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut:
= Rp.3.375 juta
Bagi Bank yang barn berdiri atau Bank hasil merger atau konsolidasi, maka Bank tidak
diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir bulan
Desember tahun pendiriannya atau tahun Bank dimaksud melakukan merger atau konsolidasi.
Untuk tahun berikutnya, Bank wajib menghitung beban modal untuk Risiko Operasional dengan
menggunakan pendapatan bruto selama tahun awal pendirian yang
disetahunkan.
Contoh:
Beberapa Bank melakukan merger menjadi Bank A yang efektif beroperasi sejak
tanggal15 April 2010. Pada akhir Desember 2010 total pendapatan bruto Bank A sebesar
Rp.750 juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank A tidak diwajibkan untuk menghitung
ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (tahun 2010).
Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank A menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional sebagai berikut:
= 12,5 x [15%x{750x12/9}]
= Rp.1.875 juta
Bank B didirikan dan mulai beroperasi pads tanggal 19 Desember 2010. Total
pendapatan bruto Bank B sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 sebesar Rp. 100
juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank B tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR
untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (Desember tahun
2010). Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank B menghitung ATMR untuk
Risiko Operasional sebagai berikut:
= 12,5 x [15%x{I00x12/1}]
= Rp.2.250 juta
Peraturan BI yang terkait dengan perhitungan BIA ini adalah SE BI No. 11/3/DPNP, 27 Januari
2009 perihal: Perhitungan Asset Tertimbang menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional
dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID).
‘Tagihan Bersih’ adalah salah satu komponen yang diperlukan dalam menghitung Aset
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) risiko kredit, dengan menggunakan pendekatan standar.
Tagihan bersih dihitung sesuai dengan macam eksposurnya. Ada 6 (enam) macam eksposur
risiko terhadap aset bank, yaitu:
1. Eksposur Aset Dalam Neraca – Tagihan Bersih adalah nilai tercatat aset ditambah dengan
tagihan bunga yang belum diterima (jika ada) setelah dikurangi dengan cadangan kerugian
penurunan nilai (CKPN) atas aset tersebut sesuai standar akuntansi yang berlaku dan/atau
penyisihan penghapusan aset khusus (PPA Khusus) sesuai ketentuan Bank Indonesia, dengan
formula sebagai berikut:
Tagihan Bersih = [Nilai tercatat aset + tagihan bunga yang belum diterima (jika ada)] –
CKPN dan/atau PPA Khusus
Catatan:
[-]. CKPN: cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang
diperhitungkan hanya CKPN atas aset yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai.
[-]. PPA khusus: penyisihan penghapusan aset khusus
Tagihan Bersih= (Kewajiban komitemen atau kontijensi – PPA Khusus) x Faktor Konversi
KreditUntuk eksposur yang menimbulkan counterparty credit risk
Dalam rangka menghitung Tagihan Bersih untuk eksposur transaksi rekening administratif,
penetapan Faktor Konversi Kredit (FKK) untuk transaksi rekening administratif adalah sebagai
berikut: (a). Kewajiban komitmen yang memenuhi kriteria sebagai uncommitted sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum,
diberikan FKK sebesar nol persen; (b) Kewajiban komitmen dalam bentuk L/C yang masih
berlaku namun tidak termasuk standby L/C, baik terhadap Bank penerbit (issuing bank) maupun
Bank yang melakukan konfirmasi (confirming bank), diberikan FKK sebesar dua puluh persen;
(c) Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian sampai dengan satu tahun diberikan
FKK sebesar dua puluh persen; (d) Kewajiban komitmen dengan jangka waktu perjanjian lebih
dari satu tahun, diberikan FKK sebesar lima puluh persen; (e) Kewajiban kontinjensi dalam
bentuk jaminan yang diterbitkan bukan dalam rangka pemberian kredit, seperti bid bonds,
performance bonds, atau advance payment bonds, diberikan FKK sebesar lima puluh persen; (f)
Kewajiban kontinjensi dalam bentuk: (a) jaminan yang diterbitkan dalam rangka pemberian
kredit atau pengambilalihan risiko gagal bayar, termasuk berupa bank garansi dan standby L/C;
atau (b) akseptasi, termasuk endosemen atau aval atas surat surat berharga; diberikan FKK
sebesar seratus persen; (g) Pos transaksi rekening administratif yang timbul dari transaksi
derivatif tidak diberikan FKK dan perhitungan Tagihan Bersih atas eksposur tersebut dilakukan.
4. Eksposur transaksi repo – Untuk eksposur transaksi repo, merupakan selisih positif antara
nilai tercatat bersih surat berharga yang menjadi underlying repo dengan nilai tercatat kewajiban
repo. Nilai tercatat bersih surat berharga adalah nilai tercatat surat berharga setelah dikurangi
dengan CKPN atas surat berharga tersebut sesuai standar akuntansi yang berlaku. Khusus untuk
CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang dapat diperhitungkan hanya CKPN atas surat
berharga yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai. Selain itu, Risiko Kredit dari
penerbit surat berharga yang menjadi underlying transaksi repo diperhitungkan pula sebagai
Tagihan Bersih untuk eksposur aset dalam neraca. Sehingga jika diformulasikan, maka akan
menjadi:
5. Eksposur transaksi reverse repo – Untuk eksposur transaksi reverse repo, merupakan nilai
tercatat dari tagihan reverse repo setelah dikurangi dengan CKPN atas tagihan tersebut sesuai
standar akuntansi yang berlaku. Khusus untuk CKPN yang dibentuk secara kolektif, yang
diperhitungkan hanya CKPN atas tagihan yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai.
Untuk transaksi reverse repo, keberadaan agunan berupa surat berharga yang menjadi underlying
dari transaksi reverse repo dan/atau uang tunai diperhitungkan sebagai bentuk mitigasi risiko
kredit atas transaksi dimaksud. Pengakuan agunan mengikuti Pendekatan Komprehensif dalam
teknik mitigasi risiko kredit – agunan. Sehingga jika diformulasikan, maka akan menjadi:
Untuk DvP:
Faktor Pengurang Modal = nilai wajar dari instrumen keuangan yang telah diserahkan