Menyajikan Arsip Terkini
Menyajikan Arsip Terkini
ORAL HISTORY;
MENYAJIKAN ARSIP TERKINI, MENJADIKAN
HISTORIOGRAFI LEBIH MANUSIAWI1
Oleh: Reni Nuryanti2
Pengantar
yang sulit, tetapi harus diambil. Setiap pilihan punya tanggungjawab. Semua
terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai muara tulisan.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut. Laut itu
menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin.6 Sejarawan juga
ibarat raja. Apa yang dikatakan, sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak
terbantah.
Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih dipusatkan di satu
titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan melirik pada data
lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid karena mengandung banyak
perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat historiografi Indonesia
terkesan hanya ’berdiri di menara gading’.7 Sindiran halus sering terlontar,
”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?” ”Ilmu bukan lagi
untuk ilmu, tetapi jalan praktis mengatasi masalah kehidupan”, demikian kata
James P. Spradley.8
Sejarah lisan atau James Morison menyebutnya penelitian lisan 9,
membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. Sifatnya yang
’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar.
Arsip terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta.
Tidak demikian dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun
konteks, lebih terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah.
Setidaknya, memberi tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja
tidak disejarahkan.10 Paul Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu
mengembalikan sejarah kepada masyarakat.11
6
P. Lim Pui Huen, dkk. (ed.), Sejarah Lisan di Asia Tenggara; Teori dan Metode,
(Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. xxi.
7
Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta:
Ombak, 2006).
8
Lebih jelas, lihat James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007).
9
Ibid., hlm. 3.
10
Bambang Purwanto, op.cit. hlm. xiv.
11
P. Lim Pui Huen, dkk. (ed.), ibid., hlm. xvii.
12
Lebih lanjut, lihat Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur
Perempuan”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan
Historiografi Alternatif,Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 5.
3
Sambil meneguk teh, kopi, atau jahe anget, mereka tumpahkan segala beban.
Itulah meditasi berbalut pengalaman yang bisa direkam menjadi data sejarah,
tergantung pada kehilaian peneliti membuka dialog.
Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’. Segalanya disiapkan
dalam kerangka yang matang. Dengan demikian, informan tidak akan bicara tanpa
makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat lentur
karena mendekatkan pada proses. Namun demikian, peneliti tetap menjadi
pengendali.
Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti ditantang.
Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan tidak
merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa lalu.
Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan terlontar dari
informan. Pernyataan secara alami itulah, yang akan menjadi data baru yang unik,
pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.
Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan dengan
dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah terburuk.13
Artinya, hanya mengulang penjelasan yang sudah ada. Penelitian lisan berusaha
menghasilkan data yang berbeda, dengan mendekatkan pada fungsi evaluasi dan
refleksi dokumen.
Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara psikologis
dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat ini perlu
ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa fakta.
Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi menjadi
lebih manusiawi.
Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam
melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa.
Situasi ini akan hidup jika muncul muatan psikologis. Data lisan memungkinkan
kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi validitas dan
kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas informan dalam
menghadapi situasi zaman. Secara kolektif menurut Kuntowijoyo, akan
memunculkan genre baru: sejarah mentalitas14.
Di sinilah pentingnya menggali tutur sejarah untuk melihat peristiwa
secara arif, tidak kaku, dan bisu. Makna sejarah sulit ditangkap, jika ruh peristiwa
tidak muncul. Bukankah yang menarik dalam sejarah bukan peristiwanya—tetapi
apa yang ada di balik peristiwa? Di sanalah bersemayam muara kebijaksanaan
(wisdom).
13
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, dan Pustaka
Larasan, 2008), hlm. 192.
14
Keterangan lebih lengkap, baca Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Edisi Revisi),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
4
15
Peneliti pioner tentang Gerwani adalah Saskia Wieringa Eleonora. lebih lanjut, lihat
Saskia Wieringa Eleonora, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia
sesudah Tahun 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1998) dan Saskia Wieringa Eleonora, Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba Budaya, 1999.
16
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa
Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, (Yogyakarta: UGM, 2009).
17
Fatiyah, “Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta”, Tesis, (Yogyakarta: UGM,
2009).
18
Rustopo, Menjadi Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2007).
6
Penutup
Sejarah lisan membuka peluang baru dalam penambahan koleksi data
sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi harga mati yang
membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk wawancara mendalam,
juga tidak kalah penting untuk menguak pengalaman sejarah yang tidak
tertuturkan dalam dokumen.
Data tertulis yang dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak
mentalitas masyarakat dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah,
analisa fakta akan terlihat lebih hidup, sehingga menumbuhsuburkan ruh tulisan.
Dengan demikian, historiografi akan terasa lebih manusiawi—menyentuh
permasalahan fundamental manusia. Pendekatan etnografi memungkinkan
sejarawan untuk menggali fakta secara detil, sehingga mampu menerobos
kedalaman peristiwa, lewat tuturan kata-kata.
Daftar Pustaka
Ahmad Syafii Ma’arif, “Agama, Filsafat, dan Sejarah”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah, Yogyakarta, 2002.
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, Yogyakarta:
Ombak, 2006.
Eleonora, Saskia Wieringa, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi
Perempuan Indonesia sesudah Tahun 1950, Jakarta: Kalyanamitra, 1998.
-----------, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba
Budaya, 1999.
Fatiyah, “Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta:
UGM, 2009.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Edisi Revisi), Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007.
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KITLV-Jakarta, dan Pustaka Larasan, 2008.
Panitia Pekan Arsip Indonesia, Arsip dan Sejarah, Jakarta: ANRI, 1980.
7
Pui Huen, P. Lim dkk. (ed.), Sejarah Lisan di Asia Tenggara; Teori dan Metode,
Jakarta: LP3ES, 2000.
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa
Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta: UGM, 2009.
Rustopo, Menjadi Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2007.
Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”,
Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi
Nasional dan Historiografi Alternatif,Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.
Spradley, James P, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Tentang Penulis
Adapun buku yang telah dan akan terbit adalah: Perempuan dalam Hidup
Sukarno Biografi Inggit Garnasih, Istri-Istri Sukarno, Walisanga Profil dan
Warisannya (ketiganya diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2007),
Tragedi Sukarno; Dari Kudeta hingga Kematiannya (Ombak, 2008) serta
Penelitian sebuah Pengantar (UKM Penelitian UNY, 2006), 7 Ibu Bangsa
(Iboekoe, 2008), dan 100 Tokoh Pers Nasional (Iboekoe, 2008), dan Metamorfose
(Novel Biografis). Penulis dapat dihubungi melalui no. HP 085292964078 atau e-
mail: reikin357@yahoo.co.id