Anda di halaman 1dari 8

1

ORAL HISTORY;
MENYAJIKAN ARSIP TERKINI, MENJADIKAN
HISTORIOGRAFI LEBIH MANUSIAWI1
Oleh: Reni Nuryanti2

Pengantar

”Wat verschijne, wat verdwijne,


’t Hangt niet aan een los geval,
In ’t voorleden, ligt het heden,
In het nu wat worden zal!”
(“Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam,
Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan,
Hari kemarin memangku hari sekarang
Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”)
(Willem Bilderijk)

Pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas


untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti
diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang
kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis,
kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future.3
Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling mengikat,
memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan hidup,
menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi
pembelajar sejarah, demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif4 atau dengan kata lain,
kejadian sejarah mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive)5.
Pengungkapan sejarah adalah konskuensi—tugas yang harus dijalankan
sejarawan. Mereka tidak sekedar bermain-main dengan data yang ’dikelilingi
sangkar’ subjektivitas, tetapi bergelut mencipta kebenaran. Adalah ’dosa’, jika
mereka larut dalam kekuasaan, lalu dengan sadar mencipta segudang pembenaran.
Semua bisa terjadi, bukankah bagi penguasa sejarah bisa ditemu-ciptakan?
Sejarawan harus berhati-hati. Nurani yang kemudian bicara. Ia harus
mengedepankan posisinya: menjadi sejarawan profesional atau istana. Pilihan
1
Disusun untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Bidang Kearsipan Tahun 2009.
2
Penulis, tinggal di Yogyakarta.
3
Pekan Arsip Indonesia, Arsip dan Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1980), hlm. 2.
4
Keterangan lebih lanjut, simak Ahmad Syafii Ma’arif, “Agama, Filsafat, dan Sejarah”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah, Yogyakarta, 2002.
5
Pekan Arsip Indonesia, op.cit.
2

yang sulit, tetapi harus diambil. Setiap pilihan punya tanggungjawab. Semua
terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai muara tulisan.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut. Laut itu
menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin.6 Sejarawan juga
ibarat raja. Apa yang dikatakan, sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak
terbantah.
Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih dipusatkan di satu
titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan melirik pada data
lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid karena mengandung banyak
perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat historiografi Indonesia
terkesan hanya ’berdiri di menara gading’.7 Sindiran halus sering terlontar,
”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?” ”Ilmu bukan lagi
untuk ilmu, tetapi jalan praktis mengatasi masalah kehidupan”, demikian kata
James P. Spradley.8
Sejarah lisan atau James Morison menyebutnya penelitian lisan 9,
membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. Sifatnya yang
’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar.
Arsip terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta.
Tidak demikian dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun
konteks, lebih terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah.
Setidaknya, memberi tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja
tidak disejarahkan.10 Paul Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu
mengembalikan sejarah kepada masyarakat.11

Tutur Sejarah; Membangun Empati Historis


Istilah tutur sejarah antara lain diperkenalkan oleh Ruth Indiah Rahayu.
Ruth menggunakannya untuk ’memproduksi’ penulisan sejarah perempuan yang
berdimensi feminis.12 Dalam membentuk totalitas sejarah lisan, model ini tidak
terbatas untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Keduanya mempunyai tradisi
ngrumpi.
Perempuan pada umumnya menyukai tradisi ngumpi untuk melepas beban
dari setumpuk pekerjaan rumah tangga. Umumnya mereka berkumpul di sore hari,
sambil duduk bersama. Lain halnya dengan laki-laki. Mereka biasanya
menggunakan kedai atau angkringan, untuk berceloteh tentang pengalaman hidup.

6
P. Lim Pui Huen, dkk. (ed.), Sejarah Lisan di Asia Tenggara; Teori dan Metode,
(Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. xxi.
7
Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta:
Ombak, 2006).
8
Lebih jelas, lihat James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007).
9
Ibid., hlm. 3.
10
Bambang Purwanto, op.cit. hlm. xiv.
11
P. Lim Pui Huen, dkk. (ed.), ibid., hlm. xvii.
12
Lebih lanjut, lihat Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur
Perempuan”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan
Historiografi Alternatif,Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 5.
3

Sambil meneguk teh, kopi, atau jahe anget, mereka tumpahkan segala beban.
Itulah meditasi berbalut pengalaman yang bisa direkam menjadi data sejarah,
tergantung pada kehilaian peneliti membuka dialog.
Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’. Segalanya disiapkan
dalam kerangka yang matang. Dengan demikian, informan tidak akan bicara tanpa
makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat lentur
karena mendekatkan pada proses. Namun demikian, peneliti tetap menjadi
pengendali.
Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti ditantang.
Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan tidak
merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa lalu.
Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan terlontar dari
informan. Pernyataan secara alami itulah, yang akan menjadi data baru yang unik,
pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.
Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan dengan
dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah terburuk.13
Artinya, hanya mengulang penjelasan yang sudah ada. Penelitian lisan berusaha
menghasilkan data yang berbeda, dengan mendekatkan pada fungsi evaluasi dan
refleksi dokumen.
Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara psikologis
dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat ini perlu
ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa fakta.
Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi menjadi
lebih manusiawi.
Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam
melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa.
Situasi ini akan hidup jika muncul muatan psikologis. Data lisan memungkinkan
kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi validitas dan
kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas informan dalam
menghadapi situasi zaman. Secara kolektif menurut Kuntowijoyo, akan
memunculkan genre baru: sejarah mentalitas14.
Di sinilah pentingnya menggali tutur sejarah untuk melihat peristiwa
secara arif, tidak kaku, dan bisu. Makna sejarah sulit ditangkap, jika ruh peristiwa
tidak muncul. Bukankah yang menarik dalam sejarah bukan peristiwanya—tetapi
apa yang ada di balik peristiwa? Di sanalah bersemayam muara kebijaksanaan
(wisdom).

Kemana Sejarah Lisan Dibawa?


Asvi Warman Adam mengatakan bahwa data lisan membuka kesempatan
bagi terkuaknya ’sejarah korban’. Ia lebih menitikberatkan kajian tahun 1965,
dengan fokus korban pembantaian. Apa yang dituliskan Asvi, hanya satu dari

13
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, dan Pustaka
Larasan, 2008), hlm. 192.
14
Keterangan lebih lengkap, baca Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Edisi Revisi),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
4

beragam wilayah sejarah yang belum tersentuh. Di Indonesia sendiri, proyek


penulisan sejarah lisan sudah dimulai sejak tahun 1972 di bawah koordinasi Jose
Rizal Chaniago. Penelitian di bawah naungan ANRI ini, berfungsi untuk menutup
kekurangan arsip 1942-1950. Fokus penelitian diarahkan pada tokoh-tokoh lokal,
sehingga menurut Asvi, proyek ini bisa menjadi embrio sejarah lokal di Indonesia.
Satu hal yang perlu dicermati adalah, apakah sejarah lisan hanya
diperuntukan bagi para elit? Lalu berkaitan dengan dimensi temporal, apakah
hanya periode krusial tahun 1965, yang kemudian harus mendapatkan perhatian
ekstra setelah orde baru tumbang? Mengapa tidak mencoba menengok kembali
pada tempo sebelumnya, misalnya tahun 1950-an.
Dalam pentas sejarah Indonesia, periode tahun 1950-an dianggap paling
panas. Periode yang dipenuhi perlawanan ini, umumnya menghasilkan perubahan
masyarakat. Beragam konflik yang muncul, terutama untuk wilayah di luar pulau
Jawa, menunjukan wajah lokal yang buram. Teruta bagi masyarakat bawah yang
hanya mengekor— menjadi korban pertama dan utama. Sebuah masa yang penuh
pergolakan, tetapi terkadang lepas begitu saja dari bidikan pengarsipan.
Kalaupun dilakukan pengarsipan, hanya menguak pengalaman kaum elit.
Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi golongan akar rumput? Pada siapa
mereka menyuarakan kegelisahan historis yang dirasakan? Seharusnya sejarawan
lebih peka melihat situasi zaman. Apabila kesalahan yang sama diulang—hanya
elit yang bicara, selamanya sejarah menjadi kaku dan bisu. Tidak ada proses yang
manusiawi.
Hendaknya mulai dibangun kesadaran dengan menggali informasi historis
dari kalangan bawah, untuk menghasilkan data sejarah yang lebih kaya. Apa yang
dikatakan para elit, terkadang sangat jauh berbeda dari apa yang dilihat dan
rasakan kalangan bawah. Bumbu-bumbu politik begitu tampak dalam setiap
ucapan. Namun kelompok marginal dalam sejarah, apakah mereka punya
tendensi? Mereka hanya menghirup arus, menelan zaman, dan meresapkan
kejadian sebagai pelajaran hidup yang pahit.

Izinkan Kaum Marginal Memiliki Sejarah


Kotak pandora bagi kaum marginal mulai terbuka. Suara mereka akan
terdengar di antara barisan sejarah. Sejarah lisan sebagai kunci, membuka dengan
lebar. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum marginal? Mereka di antaranya
adalah ’kaum terjajah’ bernama: buruh, perempuan, dan minoritas etnis.
Pertama buruh. Mereka adalah ’pahlawan ekonomi’ yang jarang tersentuh
sejarah. Pergulatan hidup yang mereka rasakan, hanya tertuang dalam ’teriakan’
sosiologis ataupun antropologis. Masalahnya adalah, apakah dengan dua ilmu itu
saja sudah cukup mengungkap perjalanan mereka.
Pembahasan sosiologis maupun antropologis, umumnya bertujuan
membentuk pola, bukan mencari dan melihat celah perubahan dengan segala
bentuknya, sebagaimana dilakukan sejarah. Kekalahan yang melahirkan tragedi
atau kemenangan yang melahirkan kepahlawanan sebagai proses pergulatan
hidup, hampir tidak terdeteksi. Nama ’buruh’ umumnya tercatat sebagai icon
pembahasan bercorak gerakan sosial.
5

Dalam sejarah, kolektivitas bukan jaminan. Bukankah individu juga


merupakan agen dalam sejarah? Suara kolektif, belum tentu menjadi gambaran
umum pergolakan batin. Karena itulah, deteksi mendalam berbentuk wawancara
individu, akan memberi ruang sejarah yang lebih adil. Tiap individu mempunyai
pengalaman berbeda, demikian juga ketika merespon sebuah konflik.
Kedua, perempuan. Namanya mulai disebut sebagai bagian sejarah tanpa
monopoli patriarki, ketika suara-suara berbau feminisme dikumandangkan dengan
begitu merdu. Ruth Indiah Rahayu misalnya, begitu tajam mengkritik penulisan
sejarah perempuan bercorak kebangsawanan, sebagaimana dianut pada masa
kolonial. Lewat tutur sejarah perempuan itulah, ’kran sejarah’ yang semula
tertutup, perlahan terbuka.
Data mengalir begitu deras, sehingga mampu meneropong wajah
perempuan Indonesia. Sebagai contoh, keberhasilan para peneliti perempuan
dalam menguak kehidupan para Gerwani pasca tragedi 1965. Meski sebagian
besar bukan sejarawan15, akan tetapi data yang mereka peroleh, mampu
menggiring ke arah jalannya sejarah. Lewat merekalah, wacana penolakan
terhadap Gerwani sebagai ’mawar berbisa’, perlahan mencuat. Seketika,
organisasi ini menjadi persoalan historis yang hangat.
Melalui penelitian lisan itulah, segala bentuk penderitaan Gerwani sebagai
’korban situasi’, terpapar dengan jelas. Prestasi gemilang juga ditunjukan oleh
Reni Nuryanti yang berhasil menguak kekerasan perempuan di Minangkabau
masa pergolakan daerah (1956-1961)16. Cerita yang tersembunyi selama puluhan
tahun, perlahan terbuka. Posisi perempuan Minangkabau yang dijunjung tinggi
lewat ’tandu’ matrilineal, terdistorsi akibat kekerasan yang terjadi selama
pergolakan.
Ketiga, minoritas etnis. Cerita pahit-getir kehidupan mereka yang berusaha
’menjadi Indonesia’ secara umum hanya tercacat dalam memori harian. Cerita
etnis Tionghoa, Arab, atau Belanda misalnya, baru terkuak setelah dilakukan
kajian intensif dalam bentuk wawancara mendalam. Rustopo17 misalnya, berhasil
menguak sisi lain kehidupan etnis Tionghoa di Jawa yang berjuang mencari
identitas.
Menyatukan diri dalam dunia Jawa, demikian menurut Rustopo, membawa
konsekuensi yang berat. Pergulatan sejarah, akhirnya membawa mereka untuk
memilih pijakan: ’menjadi Jawa’. Demikian juga dengan etnis Arab. Penelitian
Fatiyah18, Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta menunjukan betapa
bimbangnya mereka dalam menentukan identitas. Seperti halnya etnis Tionghoa,
pergulatan sejarah akhirnya menggiring mereka untuk menepi: ’menjadi Jawa’.

15
Peneliti pioner tentang Gerwani adalah Saskia Wieringa Eleonora. lebih lanjut, lihat
Saskia Wieringa Eleonora, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia
sesudah Tahun 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1998) dan Saskia Wieringa Eleonora, Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba Budaya, 1999.
16
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa
Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, (Yogyakarta: UGM, 2009).
17
Fatiyah, “Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta”, Tesis, (Yogyakarta: UGM,
2009).
18
Rustopo, Menjadi Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2007).
6

Kajian-kajian bertema ’masyarakat tanpa sejarah’ seperti di atas, hanya


dapat terkuak secara detil dengan data lisan. Dokumen yang mencatat kehidupan
mereka, begitu minim. Sudah saatnya, ilmu sejarah bangkit dengan spirit baru.
Dengan cara ini, posisi sejarah yang sering dikucilkan dalam bangunan ilmu
sosial, akan bergeser.
Pemahaman bahwa sejarah tidak selalu bergelut dengan arsip, tetapi juga
data lisan, perlu dibangun. Jika konteks ini sudah matang baik dalam konsep
maupun praktik, maka sejarah akan hadir dengan penampilan khas yang lebih
menggigit. Dengan kata lain, sejarah mampu menjadi kritik sosial dan jalan
praktis mengatasi masalah kehidupan.

Penutup
Sejarah lisan membuka peluang baru dalam penambahan koleksi data
sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi harga mati yang
membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk wawancara mendalam,
juga tidak kalah penting untuk menguak pengalaman sejarah yang tidak
tertuturkan dalam dokumen.
Data tertulis yang dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak
mentalitas masyarakat dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah,
analisa fakta akan terlihat lebih hidup, sehingga menumbuhsuburkan ruh tulisan.
Dengan demikian, historiografi akan terasa lebih manusiawi—menyentuh
permasalahan fundamental manusia. Pendekatan etnografi memungkinkan
sejarawan untuk menggali fakta secara detil, sehingga mampu menerobos
kedalaman peristiwa, lewat tuturan kata-kata.

Daftar Pustaka

Ahmad Syafii Ma’arif, “Agama, Filsafat, dan Sejarah”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah, Yogyakarta, 2002.
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, Yogyakarta:
Ombak, 2006.
Eleonora, Saskia Wieringa, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi
Perempuan Indonesia sesudah Tahun 1950, Jakarta: Kalyanamitra, 1998.
-----------, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba
Budaya, 1999.
Fatiyah, “Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta”, Tesis, Yogyakarta:
UGM, 2009.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Edisi Revisi), Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007.
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KITLV-Jakarta, dan Pustaka Larasan, 2008.
Panitia Pekan Arsip Indonesia, Arsip dan Sejarah, Jakarta: ANRI, 1980.
7

Pui Huen, P. Lim dkk. (ed.), Sejarah Lisan di Asia Tenggara; Teori dan Metode,
Jakarta: LP3ES, 2000.
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa
Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta: UGM, 2009.
Rustopo, Menjadi Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2007.
Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”,
Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi
Nasional dan Historiografi Alternatif,Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.
Spradley, James P, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.

Tentang Penulis

Reni Nuryanti, lahir di Cilacap tanggal 7 Desember 1983. Pendidikan


formal ditempuh mulai dari Sekolah Dasar (SD Negeri 1 Rungkang) lulus tahun
1996, SMP (SMP Negeri 1 Karangpucung) lulus tahun 1999, dan SMU (SMU 1
Majenang) lulus tahun 2002. Pendidikan tinggi ditempuh dari Program studi
jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, lulus dengan predikat
Cumlaude pada tahun 2006 dan jurusan sejarah program pascasarjana UGM, lulus
tahun 2009.
Sejak menjadi mahasiswa, aktif di kegiatan kampus diantaranya pernah
menjabat sebagai: Kabid Pers HIMA Pendidikan Sejarah tahun 2003-2004, Ketua
II UKM Penelitian tahun 2005, Dewan Pertimbangan Organisasi UKM Penelitian
tahun 2006, Dirjen Riset dan Pengembangan BEM REMA UNY tahun 2006.
Berbagai prestasi yang telah diraih antara lain: Juara I Pemilihan Mahasiswa
Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (dulu FIS) tahun 2005, Duta
Fakultas dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Universitas tahun 2005, Juara I
LKTM Bidang Seni tingkat Fakultas tahun 2005, Juara III LKTM Bidang Seni
tingkat Universitas tahun 2005, Juara I LKTM Bidang Pendidikan tahun 2006,
Juara III LKTM Bidang Pendidikan tahun 2006, Juara II Lomba Inovasi
Teknologi tahun tingkat DIY 2005, Juara II Lomba Karya Tulis Al Quran tingkat
Universitas tahun 2006, Juara Harapan I Penulisan Essay Al Quran tahun 2006,
Juara II Penulisan Essay Arsip Tingkat Nasional di Jakarta tahun 2007, Juara III
Rohto Mentolatum Golden Trophy Tingkat Nasional di Jakarta tahun 2007, dan
Juara I Penulisan Essay Psikologi Islam se-Jawa Tengah yang diselenggarakan
oleh UNDIP, Semarang, tahun 2007; Juara I Penulisan Essay Pariwisata
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 2008; dan The Best Young Researcher in Social
dan Cultural of LIPI 2008; Juara I Tingkat Penulisan Karya Tulis Ilmiah
‘Teknologi’ Kabupaten Sleman tahun 2009; dan Juara I Penulisan Essay Ilmiah
“Keluarga Berencana’ Tingkat DIY tahun 2009.
Tulisan yang telah dipublikasikan dalam jurnal di antaranya: Genjringan
sebagai Potensi Wisata Spritual di Desa Rungkang Kecamatan Gandrungmangu
Kabupaten Cilacap; Pemanfaatan Limbah Koran sebagai bahan pembuatan
Varasi Maket Candi dengan Kombinasi Teknik Pijit Jari (Pinching) dan Cetak
(Moulding; Deep Reading With Left Brain Based; Inovasi Teknik Membaca;
Memahami Teks Sejarah Bagi Mahasiswa Sejarah, dll.
8

Adapun buku yang telah dan akan terbit adalah: Perempuan dalam Hidup
Sukarno Biografi Inggit Garnasih, Istri-Istri Sukarno, Walisanga Profil dan
Warisannya (ketiganya diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2007),
Tragedi Sukarno; Dari Kudeta hingga Kematiannya (Ombak, 2008) serta
Penelitian sebuah Pengantar (UKM Penelitian UNY, 2006), 7 Ibu Bangsa
(Iboekoe, 2008), dan 100 Tokoh Pers Nasional (Iboekoe, 2008), dan Metamorfose
(Novel Biografis). Penulis dapat dihubungi melalui no. HP 085292964078 atau e-
mail: reikin357@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai