Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS MINGGU PERTAMA

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN DAN


KEPERAWATAN KRITIS

Laporan Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kegawadaruratan dan Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu Ns.Setianingsih, S. Kep., M.Kep
Disusun Oleh:
Noviyani Eka Putri
SK116042

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
TAHUN AJARAN
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan
CO2. Terdapat 6 sistem kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang
menempati urutan pertama. Hal ini dapat dimengerti karena apabila terjadi
gagal nafas waktu yang tersedia terbatas sehingga memerlukan ketepatan dan
kecepatan dalam bertindak. Untuk itu harus dapat mengenal tanda-tanda dan
gejala gagal nafas dan menanganinya dengan cepat walaupun tanpa
menggunakan alat yang canggih.
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan
fungsional paru yang normal sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan
gagal nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronis seperti bronkitis kronis,emfisema. Pasien mengalami
toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding
dada, otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula
oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas,
disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen
hemoglobin dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada
gagal nafas. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang otak(pons dan medulla).
Insiden di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36%
meninggal selama perawatan. Morbiditas dan mortalitas meningkat seiring
dengan meningkatnya usia dan adanya komorbiditas. Gagal nafas merupakan
diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD), gagal nafas
dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata dalam
bentuk kegagalan oksigenasi( hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua
fungsi tersebut.
B. Tujuan
A. Tujuan Khusus
Untuk memahami dan menguasai asuhan keperawatan klien dengan
gangguan pernapasan (penyakit gagal napas).
B. Tujuan Umum
1. Memahami definisi penyakit Gagal napas.
2. Mengidetifikasi eitologi penyakit Gagal napas.
3. Mengetahui faktor penyakit Gagal napas.
4. Mengetahui patofisiologi penyakit Gagal napas.
5. Mengetahui patway penyakit Gagal napas.
6. Mengetahui manifestasi klinik penyakit Gagal napas.
7. Mengetahui komplikasi penyakit Gagal napas
8. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Gagal napas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak
cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung
dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan
baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat
membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung,
2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah
yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan PH, PO2, dan
PCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa
atau disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).

B. Klasifikasi Gagal Nafas


Menurut Syarani (2017), gagal nafas dibagi menjadi dua yaiitu gagal
nafas tipe I dan gagal nafas tipe II.
1. Gagal nafas tipe I
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi
darah, ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan
tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya
hipoksemia terutama terjadi akibat:
a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah
mengalir ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah.
Keadaan ini paling sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di
tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru,
dysplasia bronkupulmonal.
b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane
alveolar atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan
alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS,
pneumonia interstitial.
c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area
paru-paru yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya
adalah malformasi arterio-vena paru, malformasi adenomatoid
kongenital.
2. Gagal nafas tipe II
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan
CO2, pada umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang
ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia)
disertai dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2
atau hipoksemia. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh
hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang
terjadi karena kelainan ekstrapulmonal dapat disebabkan karena
penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon
ventilasi.
Menurut Black and Hawks (2014), pada pasien gagal nafas akut
diklasifikasikan menjadi dua yaitu gagal nafas hipoksemia dan gagal
nafas ventilasi atau hiperkapmia.
a. Gagal nafas hipoksemia
Gagal nafas hipoksemia dapat disebabkan masalah difusi
seperti edema paru, nyaris tenggelam, sindrom gawat nafas (akut)
dewasa (adult/acute respiratory distress syndrome), masalah lokal
seperti pneumonia, pendarahan rongga dada dan tumor paru
b. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia
Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia adalah ketika klien tidak
dapat mendukung pertukaran gas yang adekuat, menyebabkan
kenaikan kadar PaCO2 yang berakibat pada deprsi susunan saraf
pusat, ketidakmampuan neuromuscular untuk mempertahankan
pernafasan atau bebabn berlebih pada sistem pernafasan.
C. Etiologi
Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas
dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot
pernapasan, atau medulla oblongata. Beberapa mekanisme timbulnya
gagal napas pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut:
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran
napas, fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun,
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu
reaksi inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
(Sundari, 2013).
3. TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan
terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membrane
alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu
(Raina et al., 2013).
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat
ventilasi dan perfusi tidak adekuat (American Association for
Respiratory Care, www.aarc.org American Lung Association, 2009).
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam ruang pleura yang
menghalangi ekspansi paru sepenuhnya. Ekspansi paru terjadi jika
lapisan pleura dari dinding dada dan lapisan visera dari paru-paru
dapat memelihara tekanan negative pada rongga pleura. Ketika 15
kontinuitas sistem ini hilang, paru akan kolaps, menyebabkan
pneumothoraks (Black and Hawks, 2014).
6. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan
pleura normalnya merembes secara terus-menerus ke dalam rongga
dada dari kapiler-kapiler yang membatasi pleura parietalis dan diserap
ulang oleh kapiler dan sistem limfatik pleura viseralis. Kondisi apapun
yang mengganggu sekresi atau drainase dari cairan ini akan
menyebabkan efusi pleura (Black and Hawks, 2014).

D. Patofisiologi
Menurut Black and Hawks (2014), patofisiologi gagal nafas
hipoksemia dan Gagal nafas ventilasi atau hiperkapmia adalah sebagai
berikut :
1. Gagal nafas hipoksemia
Pada gagal nafas hipoksemia salaha satu penyebabnya adalah
edema paru yang dapat diakibatkan bebererapa penyakit seperti acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Normalnya cairan bergerak
dari ruang intertisial pada ujung arteri kapiler sebagai hasil dari
tekanan hidrostatik di pembuluh darah, dan kembali ke ujung vena
kapiler karena adanya tekanan onkotik dan peningkatan tekanan
hidrostatik intertisial. Pergerakan cairan dalam paru tidak berbeda,
sering ditemukan cairan di ruang intertisial paru. Normalnya cairan
tersebut keluar dari sirkulasi mikro dan masuk ke intertisial untuk
menyediakan nutrisi pada sel-sel paru. Peningkatan tekanan hidrostatik
di pembuluh darah paru menyebabkan ketidakseimbangan gaya
starling, menyebabkan peningkatan filtrasi cairan ke ruang intertisial
paru sehingga mlebihi kemampuan kapasitas jaringan limfatik untuk
menyalurkan cairan tersebut. Meningkatkan volume kebocoran ke
ruang alveolus. Sistem limfatik berusaha mengkompensasi hal trsebut
dengan mengeluarkan cairan intertisial yang berlebih ke kelenjar getah
bening hilus dan kembali ke sistem vaskuler. Bila jalur tersebut
terganggu, cairan bergerak dari intertisial pleura ke dinding alveolus.
Hipoksemia terjadi ketika membran alveolus menebal oleh cairan,
menghambat pertukaran oksigen dan CO2. Dengan cairan menumpuk
diintertisial dan ruang alveolus menurunkan daya kembang paru dan
difusi oksigen terganggu.
2. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia
Ventilasi alveolus dijaga oleh susuan syaraf pusat (SSP) melalui
saraf dan otot pernafasan untuk mengontrol pernafasan. Kegagalan
ventilasi alveolus menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
yang mengakibatkan hiperkapnia (kenaikan kadar CO2), dan akhirnya
terjadi asidosis. Bila tidak ditangani gagal ventilasi akut dapat
menyebabkan kematian. Pada gagal ventilasi akibat obstruksi, tekanan
residu diparu mengganggu proses inhalasi dan meningkatkan beban
kerja pernafasan, ketika volume alveolus ekspirasi akhir tetap brada
diatas titik penutupan kritisnya, alvelous tetap terbuka dan berfungsi,
memungkinkan oksigen untuk berdifusi kedalam aliran darah. Jika
volume alveolus lebih rendah dari titik penutupan, alveolus akan
kolaps. Kolapsnya alveolus menyebabkan tidak ada aliran darah dan
oksigen yang masuk ke alveolus. Pada gagal ventilasi akut, volume
residu dan kapasitas resdiu fungsional munurun, menyebabkan perfusi
tanpa oksigenasi dan penurunan daya kembang.

E. Pathway

F. Manifenstasi Klinis
Menurut Arif putra (2014) Dikatakan gagal napas jika memenuhi
salah satu keriteria yaitu PaO2 arteri <60 mmHg atau PaCO2>45 mmHg,
kecuali peningkatan yang terjadi kompensasi alkalosis metabolic. Selain
itu jika menurut klasifikasinya sebagi berikut :
1. Gagal napas hipoksemia
Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal atau
rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri
dan hipoksia jaringan, antara lain:
a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)
b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)
d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
e. Hipotensi , bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga
gagal jantung dapat terjadi pada hipoksia berat.
2. Gagal napas hiperkapnia
Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan
pO2 alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
gangguan di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Contoh
pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir, ARDS berat
atau landry guillain barre syndrome. Gejala hiperkapnia antara lain
penurunan kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu), tremor,
bicara kacau, sakit kepala, dan papil edema.

G. Pemeriksaaan Penunjang
Menurut Syarani (2017), adapun pemeriksaaan penunjang untuk
pasien dengan gagal anafs adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium
a. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosis,membedakan gagal
napass akut dan kronik. Hal ini penting untuk menilai berat-
ringannya gagal napas dan mempermudahkan peberian terapi.
Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan
penilian obyektif dalam berat-ringan gagal napas. Indikator klinis
yang paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah
peningkatan laju pernapasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik
digunakan menilai gangguan respirasi akibat neuromuscular,
misalnya pada sindroma guillain-barre, dimana kapasitas vital
berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi
hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan
keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.
b. Pulse Oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan
melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di
dapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif
yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari tangan
maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak
akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen
dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya
adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen
akan lebih menurunkan saturasi oksigen.
c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain
untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus
serta gangguan fungsi paru.
2. Radiologi
a. Radiografi Dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik
b. Ekokardiografi
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya
dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena
penyakit jantung. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan
dinding dada yang abnormal atau regurgitasi mitral berat
menunjukkan edema pulmoner kardiogenik, ukuran jantung yang
normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal pada pasien
dengan edema pulmoner menunjukkan sindrom distress
pernapasan akut. Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan
dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan
gagal napas hiperkapnik kronik.
c. Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas
kronik
Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat control pernapasan. Penurunan rasio FEV1 dan FVC
menunjukkan obstruksi jalan napas, penurunan nilai FEV1 dan
FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan penyakit paru
restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi
jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit
paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.

H. Komplikasi
Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau gizi.
Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi
nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait
kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi
dengan penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan
pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan
dengan pemberian nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru, baro
trauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan
mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi,
barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi
trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang,
hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga
mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi,
ileus dan diare (Putri, 2013). Kardiovaskular memiliki komplikasi
hipotensi, aritmia, penurunan curah jantung, infark miokard, dan hipertensi
pulmonal. Komplikasi pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury
dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga
cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis
paranasal (Putri, 2013).

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal napas jika kondisi tekanan parsial oksigen
kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk meningkatan
saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif,
fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit
parah, walaupun pengobatan medis telah maksimal, NIV (Noninvasive
ventilation) dapat digunakan untuk memperbaiki oksigenasi, mengurangi
laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain itu, NIV dapat
digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi
hiperkapnia (Forte et al., 2006). Sedangkan menurut Gallo et, all (2013),
penatalaksanaan pada gagal nafas adalah seebagai berikut:
1. Memasang dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat
2. Meningkatkan oksigenasi
3. Koreksi gangguan asam basa
4. Memperbaiki kesimbangan cairan dan elektrolit
5. Mengidentifikasi dan terapi kondisi mendasar yang dapat dikoreksi
dan pnyebab presipitasi
6. Pencegahan dan deteksi dini komplikasi potensial
7. Memberikan dukungan nutrisi
8. Pengkajian periodeik mengenai proses, kemajuan dan respon terhadap
therapy
9. Determinasi kebutuhan akan ventilasi mekanis
Menurut Black and Hawks (2014), pada penggunanan ventilasi
mekanis atau ventilator, jenis ventilator yang digunakan adalah bertekanan
positif dan bukan tekanan negative, dengan tujuan untuk memaksa udara
masuk kedalam paru-paru. Tekanan posisif diperlukan untuk pertukaran
gas dan untuk menjaga alveolus tetap terbuka.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus 4: Gagal Nafas


Pasien perempuan usia 73 tahun dirawat di ruang ICU dengan gagal napas. Hasil
pengkajian : terdengar suara gurgling, tampak adanya sekret di selang ETT,
terpasang ventilator dengan mode PCV dengan FiO2 50 %, PEEP 7 cmH2O, P
Control 15 cmH2O, Rate 12 , I:E = 1:2, VtE 499, pengembangan dada asimetris,
terdapat penggunaan otot bantu napas, tingkat kesadaran coma dengan
E1M1VETT. TTV menunjukkan TD 131/67 mmHg, frekuensi nadi 48 x/menit,
frekuensi napas 12 x/menit, Suhu 36 derajat celcius, Saturasi 81 % dengan CRT >
3 detik. Terdapat edema pada ekstremitas atas. Hasil rontgen : Cardiomegali,
edema pulmo, efusi pleura bilateral. Hasil Laboratorium : Ph 7,02, HCO3 3,7,
PCO2 15, PO2 230, AaDO2 108,5..
Pemeriksaan Fisik:
a. Keadaan umum : Lemah
b. Kesadaran : Coma
c. Tanda-tanda vital : TD = 131/67 mmHg, RR = 12 x/mnt, Nadi = 48
x/menit, saturasi oksigen = 81% dengan CRT > 3 detik.
A. IDENTITAS MAHASISWA
Nama Mahasiswa : Noviyani Eka Putri
NIM : SK.116.042
B. WAKTU PENGKAJIAN
Tanggal : 17 Agustus 2020
Jam Pengkajian : 08.00-selesai
C. IDENTITAS PASIEN
Initial Pasien : Ny.N
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 73 Thn
Diagnosa Medis : Gagal Nafas  
D. RIWAYAT PENYAKIT
Alasan masuk RS hingga ICU: Sebelum masuk ke RS klien tiba-tiba
terjatuh dan tidak sadarkan diri, klien mengalami demam, sesak napas
kemudian di bawa ke RS lewat IGD. di IGD di berikan tindakan
pemasangan ETT, pemeriksan darah lengkap, pasang infuse, kemudian di
rawat di CU sampai pengkajian dilakukan.
Keluhan Utama:  pasien tidak sadar
E. Survey Primer
a. Airway+ Controll Cervical
 Sumbatan: terdapat secret di selang ETT
 Suara napas : suara nafas gurgling
b. Breathing + Ventilasi
 terpasang ventilator dengan mode PCV dengan FiO2 50% PEEP 7
cm H2O, P Control 15 cm H2O, Rate 12, I:E = 1:2, VtE 499
 Pengembangan dada: asimetris.
 Bradipnea
 Frekuensi : 12x/mt, irreguler
 Menggunakan otot tambahan: iya
 Auskultasi paru: Ronchi
 Perkusi paru: Sonor
 Reflek batuk: tidak ada
 Keluhan Sesak napas: terdapat sesak nafas
c. Circulation
 Nadi : 48 x/mnt, Bradikardi
 Irama Nadi: irreguler
 Kekuatan: lemah
 TD : 131/67 mmHg
 Akral : dingin
 Warna kulit: sianosis
 Capilleri refill : > 3 detik
 Saturasi O2 : 81%
 Nyeri dada : tidak ada
 Karakteristik : -
 Perdarahan: tidak ada
d. Disability (deficit neurologis)
 Tingkat kesadaran (kualitatif): Composmentis ( ), Apatis ( ),
Somnolen ( ), Soporus ( ), Coma (√ )
 Tingkat Kesadaran (kuantitatif):
GCS = E : 1 M: 1 VETT:0
 Pupil : isokor (√ ), un isokor ( ), Medriasis ( )
 Rangsang terhadap Cahaya: ka......./ki......
 Kejang (- )
 Pello (-)
 Disartria ( -)
 Disfagia (- )
 Afasia (-)
 Nilai kekuatan otot : 1
e. Eksposure + Hipothermia Prevention
 Jejas: ada (- ) di ………………………………….., tidak ada ( )
 Suhu 360C
f. Folley Cateter
 Keluar darah dari orivicium uretra : ya ( ), tidak (√ )
 Colok dubur ditemukan prostat melayang: ya ( ), tidak (√)
 Terpasang Kateter: ya (√) hari ke…,tidak ( )
g. Gastric Tube
 Tidak ada keluar darah dari telinga dan hidung
 Terdapat Battle signe ( ), tidak (√)
 Lebam area orbita ( ), tidak (√ )
 Terpasang NGT: ya (√) hari ke…..,tidak ( )
h. Heart Monitor
 Hasil EKG :-
F. Survey Sekunder
 Kulit Kepala : tidak ada luka, tidak ada perdarahan, tidak ada
hematoma, tidak ada krepitasi
 Wajah : tidak ada Sembab mata, tidak ada cedera cornea, tidak ada
krepitasi pada hidung, tidak ada krepitasi zygoma, tidak ada robek
membrane timpani, tidak ada hemotimpanium, tidak ada luksasi
mandibula, konjungtiva tidak anemis.
 Leher: tidak ada krepitasi servical, tidak ada peningkatan JVP
 Cor : Inspeksi : dada asimetris.
Palpasi : sekitarnya tidak ada lesi, cardiomegali
Perkusi : suara pekak
Auskultasi : suara jantung, terdengar cepat irama dada
irregular.
 Pulmo : Inspeksi : dada asimetris,
menggunakan otot bantu napas, bradipnea
Palpasi : ekstremitas hangat, adanya pembekakan
pulmo
Perkusi : suara redup
Auskultasi : suara paru ronchi, terdengar cepat irama
dada irregular
 Abdomen: Inspeksi : tidak ada jejas dan datar
Auskultasi : bising usus terdengar 15x/menit
Perkusi : tympani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
hepar dan lien
 VU : tidak ada Distensi VU, tidak ada Nyeri
 Pelvis : tidak ada Krepitasi
 Ekstremitas atas: terdapat edema
 Ekstremitas bawah: tidak ada Krepitasi, tidak ada fraktur, tidak ada
udema
 Bagian punggung: tidak ada Nyeri, tidak ada Krepitasi Vertebra
 Pemeriksaan penunjang:
USG ( ) hasil:……
Rongent ( √ ) hasil : Cardiomegali, edema pulmo, efusi pleura
bilateral
CT Scan ( ) hasil:…….
EKG ( ) hasil : gambaran EKG ST Elevasi
MRI ( ) hasil:....

G. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan AGD :
PH : 7,02
HCO3 : 3,7
PCO2 : 15
PO : 230
AaDO2 : 108,5
H. Terapi (temasuk terapi titrasi dan infus)
FORMAT DIAGNOSA KEPERAWATAN

Tanggal : 17 Aguatus
2020
Nama Pasien : Ny. N
Umur : 73 Th
Ruang : ICU
MASALAH DIAGNOS
A
Jam DATA FOKUS ETIOLOGI
KEPERA
WATAN
DS : - Adanya sekret Bersihan jalan nafas Bersihan
DO : pada selang ETT tidak efektif (00031) jalan nafas
- terdengar suara tidak efektif
gurgling b.d Adanya
1
- tampak adanya sekret pada
secret di selang selang ETT
ETT
- RR : 12x/mnt
DS:- prosedur invasif Resiko Infeksi Resiko
DO: (menggunakan Infeksi b.d
- Pasien ventilator) prosedur
terpasang invasif
ventilator (menggunak
2.
dengan mode an ventilator
PCV dengan dan ETT)
FiO2 50%.
- Pasin
terpasang ETT
3 Ds:- Ketidakseimban Ganggua pertukaran Hambatan
Do: gan ventilasi gas (00030) pertukaran
-Tingkat perfusi gas b.d
kesadaran Ketidakseim
somnolen bangan
- GCS = E : 2 M: ventilasi
3 V: 3 perfusi
-Takhikadi
- pucat
-RR : 20x/mnt
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Tanggal : 13 Agustus 2020
Nama Pasien : Tn.X
Umur : 40 Thn
Ruang : ICU

No Diagnosa Hasil (NOC) Rencana Intervensi


(NIC)
1. Hambatan Setelah dilakukan Penghisapan Lendir
pertukaran gas b.d tindakan keperawatan Pada Jalan Nafas
Ketidakseimbangan selama 2 x 24 jam pasien (3160)
ventilasi perfusi mampu mempertahankan
1. monitor dan catat
jalan pernafasan yang
warna, jumlah dan
efektif dengan kriteria
konsistensi secret
hasil :
2. lakukan tindakan cuci
Pencegahan Aspirasi
tangan
(1918)
3. gunakan alat
1. Mengidentifikasi
pelindung diri (sarung
faktor-faktor risiko
tangan, kacamata,
dipertahankan pada 2
masker), sesuai
ditingkatkan ke 5
dengan kebutuhan
2. Menghindari faktor-
4. Auskultasi suara
faktor risiko
nafas sebelum dan
dipertahankan pada 2
setelah tindakan
ditingkatkan ke 5
suction
3. Mempertahankan
5. informasikan kepada
kebersihan mulut
pasien atau keluarga
dipertahankan pada 2
tentang pentingnya
ditingkatkan ke 5-    
suction

2. Resiko Infeksi b.d Setelah dilakukan Perawatan selang :


prosedur invasif tindakan keperawatan Dada (1872)
(menggunakan selama 2 x 24 jam pasien 1. Observasi
ventilator dan dapat mempertahankan volum,
selang ETT) pertukaran gas yang kekeruhan,
adekuat dengan kriteria warna, dan
hasil : konsistensi
drainase yang
1. Mengdentifikasi
keluar dan catat
faktor risiko infeksi
dengan benar
dipertahankan pada 3
2. Pertahankan
ditingkatkan pada 1
teknik steril bila
2. mengidentifikasi
melakukan
tanda dan gejala
penghisapan
infeksi
pakai sarung
3. memonitor faktor
tangan steril.
lingkungan yang
3. Bersihkan area
berhubungan dengan
sekitar selang
resiko infeksi.
sesuai protokol
institusi.
4. Ganti sirkuit
ventilator tiap 72
jam
5. konsultasikan
dengan tenaga
kesehatan lain
mengenai
tindakan yang
tempat.
3. Hambatan Setelah dilakukan Terapi Oksigen (3320)
pertukaran gas b.d tindakan keperawatan
1. monitor aliran
Ketidakseimbangan selama 2 x 24 jam pasien
oksigen
ventilasi perfusi dapat mempertahankan
pertukaran gas yang 2. berikan oksigen
adekuat dengan kriteria tambahan seperti
hasil : yang diperintahkan

Status pernafasan : 3. siapkan peralatan


Ventilasi (0403) oksigen dan berikan
melalui sistem
1. Frekuensi pernafasan
humidifer
dipertahankan pada 3
ditingkatkan ke 5 4. pastikan penggantian
masker oksigen/kanul
2. Irama pernafasan
nasal setiap kali
dipertahankan pada 3
perangkat diganti
ditingkatkan pada 5
5. konsultasikan dengan
3. Penggunaan otot
tenaga kesehatan lain
bantu nafas
mengenai
dipertahankan pada 3
penggunaan oksigen
ditingkatkan ke 5
tambahan selama
kegiatan
BAB IV
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

1. Judul SOP : Hiperoksigenasi


2. Definisi :
Hiperoksigenasi adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi (100%).
Teknik yang terbaik didalam menghindari hipoksemia yang diakibatkan
tindakan suction adalah dengan hiperoksigenasi. Dengan demikian pada
semua prosedur suction, tindakan hiperoksigenasi harus dilaksanakan (Kozier
& Erb, 2012).
3. Tujuan :
Hiperoksigenasi bertujuan untuk mempertahankan saturasi oksigen setelah
dilakukan suction atau menghindari hipoksemi akibat suction (Kozier &Erb,
2012).
4. Prosedur :
1. Tahap Pra Interaksi
a. memvalidasi data pasien untuk di lakukan tidakan hiperogsigenasi
b. mempersipkan diri perawat
c. mencuci tangan
d. menyiapkan alat
- Kantong resusitasi manual atau alat ventilasi.
2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam, memastikan identitas pasien (ex : nama, tanggal
lahir), mengenalkan diri perawat/mahasiswa.
b. Menerangkan tujuan dan prosedur tindakan.
c. Menyampaikan kontrak waktu.
d. Memberikan kesempatan klien/keluarga untuk bertanya.
e. Memastikan klien/keluarga telah menyetujui tindakan yang akan
diberikan (menanyakan kesediaan).
3. Tahap Kerja
Intervensi I
a. Tindakan hiperoksigenasi pada intervensi I menggunakan modus
Syncronized Intermitten Mandatory Ventilator” (IMV/SIMV) dengan
suctionsystem terbuka
b. mengidentifikasi nilai saturasi oksigen, hiperoksigenasi dengan cara
meningkatkan aliran oksigen 100% pada kompresor dengan menekan
tombol ventilator.
c. Hiperoksigenasi pre suction diberikan 30 detik, dilakukan suction 10
detik,
d. Kemudian kembali ke pemberian ventilator semula
e. Diberikan hiperoksigenasi kembali 30 detik (jeda antara suction
lamanya 2 menit).
f. Saturasi oksigen diidentifikasi sebelum hiperoksidenasi dan setelah
hiperoksigenasi 1 menit.
g. Alat ventilator ini dikalibrasi setiap tahun sekali.

Intervensi II
a. Tindakan hiperoksigenasi pada intervensi II menggunakan modus
Syncronized Intermitten Mandatory Ventilator” (IMV/SIMV) dengan
suctionsystem terbuka
b. Mengidentifikasi nilai saturasi oksigen, hiperoksigenasi dengan cara
meningkatkan aliran oksigen 100% pada kompresor dengan menekan
tombol ventilator.
c. Hiperoksigenasi pre suction diberikan 2 menit, dilakukan suction 15
detik.
d. Kemudian kembali ke pemberian ventilator semula.
e. Saturasi oksigen diidentifikasi.
f. Alat ventilator ini dikalibrasi setiap tahun sekali
4. Tahap Terminasi
a. Mengevaluasi respon pasien (subjektif dan objektif).
b. Memberikan reinforcement positif pada klien/keluarga.
c. Kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
d. Merapikan alat.
e. Mencuci tangan.
f. Mendokumentasikan
BAB V
JURNAL READING

A. Identitas artikel :
Judul artikel : Perbandingan Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dab Dua
Menit Pada Proses Suction Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Terpasang
Ventilator
Penulis : Teti Hayati. Busjra M Nur . Fitrian Rayasari, Yani Sofiani, Diana
Irawati
Nama jurnal : Journal of Telenursing (JOTING)
Volume / Nomor : Volume 1, Nomor 1
Bulan/Tahun : Juni 2019
Penerbit : Universitas Muhammadiyah Jakarta
Link akses jurnal :
file:///D:/MBAK%20MPUT/PRAKTIK%20GADAR%20DAN%20KRITIS/282055-
perbandingan-pemberian-hiperoksigenasi-s-148c6e62.pdf

 
B. Isi artikel :
1. Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya pengaruh
pemberian hiperoksigenasi 1 menit pada proses suctioning terhadap
saturasi oksigen pasien dengan ventilator mekanik. Desain penelitian
quasi eksperimen pre-post test dengan control group design. Sampel
dalam penelitian ini sebanyak 34 responden yang terpasang ventilator
mekanik. Analisis menggunakan uji wilcoxon. Hasil penelitian
menunjukkan saturasi oksigen intervensi I sebelum hiperoksigenasi
median 97 min-mak 95-99, setelah dilakukan hiperoksigenasi median
99 min-mak 98-100 dengan p value 0,05. Sedangkan pada kelompok
intervensi II sebelum hiperoksigenasi median 97 min-mak 95-100,
setelah hiperoksigenasi median 99 min-mak 95-100, dengan p value
0,05. Kesimpulan terdapat perbedaan saturasi oksigen yang signifikan
sebelum dan setelah pemberian hiperoksigenasi 1 menit.
2. Pendahuluan
Insidensi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada The
AmericanEuropean Consensus on ARDS tahun 2010 menemukan
antara 12,6-28,0 kasus/100.000 penduduk/tahun serta dilaporkan sekitar
40% terjadi kematian akibat gagal napas. Insidensi gagal napas akut
pada dewasa dari hasil studi di negara Jerman dan Swedia melaporkan
bahwa 77,6-88,6 kasus/100.000 penduduk/tahun. Data dari
Kementerian Kesehatan RI, 2012 yang terfatal menyebabkan kematian
berdasarkan data peringkat 10 Penyakit Tidak Menular (PTM) pada
tahun 2010, Case Fatality Rate (CFR) angka kejadian gagal napas pada
pasien rawat inap dirumah sakit yaitu sebesar 20,98 % menempati
peringkat kedua.
Berdasarkan data dari buku registrasi pasien di ICU RSPAD Gatot
Soebroto Puskesad dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember
2017 banyaknya pasien di ruang ICU berjumlah 2.277 pasien dan
sebanyak 807 pasien (35,44 %) mengalami kejadian gagal napas. Bila
dirata-ratakan perbulannya adalah 189-190 pasien yang dirawat di ICU
yang mengalami kejadian gagal napas sebanyak 67-68 pasien/bulan dan
pasien yang meninggal sebanyak 29-30 pasien/bulan (ICU RSPAD
Gatot Soebroto, 2018).
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu ruangan untuk merawat
pasien dirumah sakit yang mempunyai staf dan perlengkapan khusus
yang ditujukan untuk pengelolahan pasien yang mengalami komplikasi
yang mengancam jiwa, penyakit, atau trauma. Perlengkapan peralatan
di Intensive Care Unit (ICU) mempunyai standar meliputi alat untuk
membantu usaha bernafas melalui Endotrakeal Tube (ETT) yang
tersambung dengan ventilasi mekanik. Indikasi dari pemasangan alat
ventilasi mekanik salah satunya adalah gagal nafas (Musliha, 2010).
Dikatakan gagal napas bilamana pertukaran oksigen atau O2 terhadap
karbondioksida atau CO2 didalam organ paru-paru tidak dapat
memelihara laju O2 dan CO2 didalam sel-sel tubuh manusia. Sehingga
peningkatan tekanan CO2 lebih besar dari 45 mmHg atau hiperkapnia
dan tekanan O2 arteri kurang dari 50 mmHg atau hipoksemia.
Endotracheal Tube (ETT) merupakan konektor yang digunakan untuk
ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik yang digunakan adalah ventilasi
mekanik invasif. ETT yang telah terpasang memerlukan perhatian
khusus dalam menjaga kebersihan dari akumulasi sekret, sehingga
patensi jalan nafas menjadi tetap terjaga. Untuk menjaga kepatenan
jalan nafas akibat penumpukan sekresi tersebut, tindakan yang
dilakukan adalah penghisapan lendir (suctioning). Melakukan tindakan
suction yaitu dengan cara selang kateter suction dimasukkan melalui
hidung, mulut pada ETT (Nurachmah & Sudarsono, 2010).
Tindakan suction dilakukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret atau sputum dan juga untuk menghindari dari infeksi jalan nafas
(Price& Wilson, 2012). Selain untuk mengatasi masalah bersihan jalan
nafas, tindakan suction sangat diperlukan, karena pada pasien terpasang
ventilasi mekanik terjadi kontaminasi mikroba dijalan nafas dan
berkembangnya Ventilator Assosiated Pnemonia (VAP) (Kozier & Erb,
2012). Pada saat akan melakukan tindakan suction pada ETT, sangatlah
perlu adanya pemantauan saturasi oksigen, karena saat tindakan suction
bukan hanya sekret yang terhisap, tetapi oksigen juga terhisap. Selain
itu saturasi oksigen pada tindakan suction dipengaruhi oleh banyaknya
hiperoksigenasi yang diberikan, tekanan suction yang sesuai usia, dan
besar diameter kanule. Bila hal tersebut tidak atau kurang diperhatikan
maka akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari suction pada
pasien yang terpasang ventilasi mekanik adalah terjadinya hipoksia
yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen atau desaturasi
(Kozier & Erb, 2012). Menurut Wiyoto, (2010) apabila suplai oksigen
dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi untuk suplai keotak maka otak
terjadi kerusakan yang permanen, karena itu perlu dilakukan
hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Upaya untuk
mempertahankan saturasi oksigen setelah dilakukan suction adalah
dengan melakukan hiperoksigenasi pada setiap tindakan suction.
Hiperoksigenasi adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi
(100%) yang bertujuan untuk menghindari hipoksemi akibat suction
(Kozier &Erb, 2012). Teknik yang terbaik didalam menghindari
hipoksemia yang diakibatkan tindakan suction adalah dengan
hiperoksigenasi. Dengan demikian pada semua prosedur suction,
tindakan hiperoksigenasi harus dilaksanakan (Kozier & Erb, 2012).
Penelitian yang dilakukan G.M. Superdana dan Sumara tahun 2015
diruang ICU Rumah Sakit Husada Utama Surabaya yang berjudul
efektifitas hiperoksigenasi pada proses suctioning terhadap saturasi
oksigen pasien dengan ventilator mekanik, menyimpulkan
hiperoksigenasi efektif pada proses suctioning terhadap saturasi oksigen
pasien dengan ventilator mekanik, dengan P< 0,005.
Penelitian yang dilakukan Moraveji, dkk (2012) di ICU in Zanjan
Vali-e-Asr hospitalyang berjudul “Effect of hyperoxygenation for one
minute on ABG during endotracheal suctioning”, menyimpulkan
hiperoksigenasi yang dilakukan satu menit selama suction
menyebabkan perbaikan dan pencegahan hipoksia yang disebabkan
prosedur suction. Menurut Hudak & Gallo, (2013) mengatakan
komplikasi dari pemberian oksigen adalah : membrane mukosa menjadi
kering, epistaksis, atau infeksi pada lubang hidung. Bila dalam waktu
lama dapat menyebabkan toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada
kasus cedera paru akut atau sindrom pada gawat nafas akut), atelectasis
absorbtif.
Hasil wawancara dengan penanggung jawab diklat ICU RSPAD
menyampaikan pada Standar Operating Prosedure (SOP) suctioning di
ICU RSPAD pemberian hiperoksigenasi pre suction sebanyak 2 menit
dan hiperoksigenasi diberikan lagi 2 menit bila saturasi oksigen post
suction. Untuk tindakan suction harusnya dilakukan maksimal 10 detik,
karena bila lebih dari 10 detik beresiko terjadi hipoksia (Kozier, 2012).
Pemberian hiperoksigenasi menurut peneliti yang efisien dan tidak
terjadi hipoksia adalah hiperoksigenasi diberikan 30 detik pre suction,
suction 10 detik hiperoksigenasi 30 detik. Berdasarkan data-data
tersebut peneliti ingin melihat perbandingan pemberian hiperoksigenasi
satu menit dan dua menit pada tindakan suctioning terhadap saturasi
oksigen pasien dengan ventilasi mekanik di Intensive Care Unit
RSPAD Gatot Soebroto Puskesad.
Dalam Saskatoon Health regional Authority (2010) mengatakan
bahwa komplikasi yang muncul dari tindakan penghisapan sekret salah
satunya adalah hipoksemia atau hipoksia. Penelitian yang dilakukan
oleh Wijaya R.R (2015) berjudul Perubahan Saturasi Oksigen Pada
Pasien Kritis Yang Dilakukan Tindakan Suction Endotracheal Tube di
ICU RSUD DR. Moewardi Surakarta dengan kesimpulan tindakan
suction pada pasien yang terpasang endotracheal tube dapat
menyebabkan penurunan saturasi oksigen antara 4-10 %. Apabila suplai
oksigen dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi untuk suplai keotak maka
otak terjadi kerusakan yang permanen dan sangat mengancam jiwa.
Oleh karena itu perawat perlu melakukan hiperoksigenasi sebelum
melakukan tindakan suction. Pemberian hiper oksigenasi di ruang ICU
RSPAD pada SOP pemberian hiperoksigenasi pre suction diberikan 2
menit, pengisapan suction selama 15 detik. Oleh karena itulah, rumusan
masalah yang dapat diangkat adalah bagaimana perbandingan
pemberian hiperoksigenasi satu menit dan dua menit pada proses
suctioning terhadap saturasi oksigen pasien dengan ventilasi mekanik di
Intensive Care Unit RSPAD Gatot Soebroto Puskesad.
3. Metode
Penelitian ini adalah desain penelitian kuantitatif dengan
menggunakan metode quasi eksperimen, menggunakan tehnik
consecutive sampling menggunakan rancangan pre test dan post test
dimana kelompok A disebut kelompok intervensi I yang memperoleh
hiperoksigenasi 1 menit, sedangkan kelompok B disebut sebagai
kelompok intervensi II dengan pemberian hiperoksigenasi sesuai yang
dilakukan diruang ICU RSPAD Gatot Soebroto Puskesad. Jumlah
sampel untuk setiap kelom pok intervensi sebanyak 17 sampel. Jadi
seluruh jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 34 orang
responden. Tempat penelitian dilakukan di diruang ICU RSPAD Gatot
Soebroto Puskesad, dilaksanakan pada tanggal 16 Mei sampai dengan
02 Juli 2018.
4. Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia terbanyak pada
kelompok intervensi I yaitu usia >51 tahun sejumlah 12 orang (70,6%)
dan usia 18-50 tahun sejumlah 5 orang (29,4%). Sedangkan pada
kelompok intervensi II usia terbanyak pada rentang >51 tahun sejumlah
12 orang (70,6%) dan usia 18-50 tahun sejumlah 5 orang (29,4%). Hal
ini dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini
adalah responden dengan usia >51 tahun. Sedangkan menurut jenis
kelamin terbanyak pada kelompok intervensi I yaitu laki-laki sejumlah
12 orang (70,6%) dan perempuan sejumlah 5 orang (29,4%).
Sedangkan pada kelompok intervensi II jenis kelamin laki-laki sejumlah
8 orang (47,1%) dan perempuan sejumlah 9 orang (52,9%). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini
adalah responden dengan jenis kelamin laki-laki.
Berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan terbanyak
pada kelompok intervensi I yaitu wiraswasta sejumlah 10 orang
(58,8%) Sedangkan pada kelompok II pekerjaan terbanyak yaitu
wiraswasta sejumlah 11 orang (64,7%). Hal ini dapat disimpulkan
bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini adalah responden
dengan jenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian kadar Hb menunjukkan
bahwa kategori anemia pada kelompok intervensi I sejumlah 14 orang
(82,4%) dan kategori tidak anemia sejumlah 3 orang (17,6%).
Sedangkan pada kelompok intervensi II kategori anemia sejumlah 16
orang (94,1%) dan kategori tidak anemia sejumlah 1 orang (5,9%). Hal
ini menyimpulkan bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini
adalah responden dengan kategori anemia.
Hasil penelitian nadi perifer menunjukkan bahwa nadi perifer
responden tidak normal sebelum intervensi I sejumlah 14 orang
(82,4%) dan nadi perifer normal sejumlah 3 orang (17,6%). Setelah
intervensi nadi perifer responden tidak normal 9 orang (52,9%) dan
nadi perifer normal sejumlah 8 orang (47,1%). Sedangkan pada
kelompok intervensi II nadi perifer responden tidak normal sejumlah 9
orang (52,9%) dan nadi perifer responden normal 8 orang (47,1%).
Setelah dilakukan intervensi nadi perifer responden tidak mengalami
perubahan dari sebelumnya. Hal ini dapat di simpulkan nadi perifer
responden pada kelompok intervensi I mengalami perubahan kearah
normal. Sedangkan pada kelompok intervensi II sebelum dan sesudah
tidak mengalami perubahan.
Hasil penelitian saturasi oksigen menunjukkan bahwa rata-rata
saturasi oksigen pada kelompok intervensi I sebelum hiperoksigenasi
yaitu 97,06 dengan standar deviasi 0,97 dan setelah pemberian
hiperoksigenasi 1 menit rata-rata saturasi oksigen 98,88 dengan standar
deviasi 0,78. Sedangkan pada kelompok intervensi II rata-rata saturasi
oksigen sebelum hiperoksigenasi yaitu 97,65 dengan standar deviasi
1,32 dan setelah pemberian hiperoksigenasi rata-rata saturasi oksigen
yaitu 98,59 dengan standar deviasi 0,79. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat peningkatan saturasi oksigen sebelum dan setelah
pemberian hiperoksigenasi pada proses suction pada kelompok
intervensi I dan intervensi II.
Perbedaan Nilai Saturasi Oksigen Dengan Pemberian
Hiperoksigenasi Pada Proses Suction Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol (n=34). Berdasarkan hasil analisis uji Wilcoxon perbandingan
pemberian hiperoksigenasi sebelum dan setelah hiperoksigenasi 1 menit
pada kelompok intervensi I. Terdapat 17 responden dengan hasil
peningkatan saturasi oksigen setelah diberikan hiperoksigenasi. Terlihat
median saturasi oksigen kelompok intervensi I sebelum pemberian
hiperoksigenasi yaitu 97 dengan mi-mak 95-100 dan setelah diberikan
hiperoksigenasi 1 menit median 99 dengan min-mak 98-100. Selisih
saturasi oksigen pada kelompok intervensi yaitu dengan median 2 min-
mak 1-3. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,000* yang artinya
terdapat berbedaan yang bermakna peningkatan nilai saturasi oksigen
sebelum dan sesudah diberikan hiperoksigenasi 1 menit pada kelompok
intervensi I. Sedangkan kelompok intervensi II dengan pemberian
hiperoksigenasi terdapat 2 responden dengan penurunan saturasi
oksigen, 1 responden dengan saturasi oksigen tetap dan 14 responden
dengan peningkatan saturasi oksigen. Terlihat median saturasi oksigen
sebelum dilakukan intervensi 97 dengan min-mak 95-100 dan setelah
dilakukan intervensi sebesar 99 dengan min-maks 95-100. Selisih
saturasi oksigen pada kelompok intervensi II yaitu dengan median 1
min-mak -2-2. Hasil uji statistic didapatkan nilai p = 0,009* (<0,05)
yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara saturasi oksigen
sebelum dan setelah diberikan hiperoksigenasi I pada kelompok II.
Perbedaan nadi perifer sebelum dan setelah pemberian
hiperoksigenasi Pada Proses Suction Pada Kelompok Intervensi I dan
Intervensi II (n=34). Berdasarkan hasil uji analisis McNemar
menunjukan nadi perifer pada kelompok intervensi I, sebelum
hiperoksigenasi terdapat 3 orang nadi perifer normal, 14 orang nadi
perifer tidak normal. Setelah dilakukan pemberian hiperoksigenasi 1
menit nadi perifer responden normal sebanyak 8 orang dan tidak normal
9 orang. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,125 yang artinya tidak
ada perbedaan yang bermakna antara nadi perifer sebelum dan setelah
pemberian hiperoksigenasi 1 menit pada kelompok intervensi I.
Sedangkan pada kelompok intervensi II sebulum dilakukan intervensi
sebanyak 8 orang nadi perifer normal dan 9 orang nadi perifer tidak
normal, setelah dilakukan pemberian hiperoksigenasi nadi perifer
normal sebanyak 8 orang dan tidak normal 9 orang. Hasil uji statistik
diperoleh p value 1,000 yang artinya tidak ada perbedaan yang
bermakna antara nadi perifer sebelum dan setelah pemberian
hiperoksigenasi pada kelompok intervensi II.
Perbedaan Nilai Saturasi Oksigen Sesudah Hiperoksigenasi pada
kelompok Intervensi dan Kontrol (n = 34). Berdasarkan hasil analisis
pada tabel. 5 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara
kelompok intervensi I (dengan pemberian hipeorksigenasi 1 menit) dan
kelompok intervensi II (dengan pemberian hiperoksigenasi 2 menit)
dengan p value 0,418 dengan r 0,21.
5. Pembahasan
Karakteristik Responden Hasil penelitian usia menunjukkan bahwa
sebagian besar responden pada kedua kelompok intervensi I dan II
adalah responden dengan usia > 51 tahun sejumlah 24 responden dari
34 responden. Pada kelompok intervensi I sejumlah 12 orang (70,6%)
dan kelompok intervensi II 12 orang (70,6%). Menurut Kozier dan Erb,
(2012) Factor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan adalah usia
perubahan yang terjadi karena penuaan mempengaruhi sistim
pernafasan seringkali akibat adanya infeksi, emosional atau stress fisik,
tindakan pembedahan, tindakan anesthesia, atau karena prosedur
lainnya. Perubahan karena penuaan menyebabkan dinding dada dan
juga jalan nafas menjadi kaku dan kurang elastic, jumlah pertukaran
udara menjadi menurun, reflek batuk dan kerja silia menjadi lebih
berkurang, membrane pada mukosa menjadi lebih kering dan juga lebih
rapuh, terjadi penurunan kekuatan otot dan daya tahan tubuh, bila mana
terjadi osteoporosis maka keadekuatan ekspansi pada paru dapat
menurun, terjadi penurunan efisiensi sistim imunitas, dan karena
penyakit refluks gastroesofagus lebih sering terjadi pada lansia atau
akibat penuaan dan meningkatkan kejadian aspirasi dimana aspirasi
lambung seringkali menyebabkan bronkopasme dengan menimbulkan
respons imflamasi.
Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa usia
sangat mempengaruhi fungsi paru, ini dikerenakan dengan meningkatya
usia kapasitas dinding paru dan juga jalan nafas menjadi kaku dan
kurang elastis, membrane mukosa menjadi kering dan rapuh. Hasil
penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada
kelompok intervensi I maupun kelompok intervensi II didapatkan hasil
yang berbeda yaitu pada kelompok intervensi I sebagian besar
responden dengan jenis kelamin laki-laki 12 orang (70,6%) dari 17
responden.
Pada kelompok intervensi II sebagian besar responden dengan jenis
kelamin perempuan 9 orang (52,9%) dari 17 responden. Menurut
Kozier dan Erb, (2012) teori jenis kelamin dikaitkan dengan kondisi
pembuluh darah. Factor resiko berkurangnya suplai oksigen yang
disebabkan oleh perokok yang banyak dilakukan oleh jenis kelamin
laki-laki. Akibat rokok dapat menyebabkan penyakit jantung coroner
akibat dari arteresklerosis. Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan
menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi I maupun kelompok
intervensi II didapatkan pasien yang dilakukan tindakan suction pada
pasien terpasang ventilator mayoritas pekerjaan responden adalah
wiraswasta sebanyak 21 orang dari 34 responden.
Kelompok intervensi I sebanyak 10 orang (58,8%) dan kelompok
intervensi IIsebanyak 11 orang ( 64,7 %). Responden dari penelitian ini
banyak terdiagnosis karena pneumonia. Pekerjaan responden terbanyak
adalah wiraswasta, hal ini berkaitan dengan nutrisi yang kurang
sehingga menyebabkan terjadinya penurunan imunitas (Hudak & Gallo,
2013). Hasil penelitian nilai HB menunjukkan bahwa sebagian besar
responden pada kedua kelompok dengan kategori anemia sejumlah 30
orang dari 34 responden dengan intervensi I 14 orang (82,4%) dan
kelompok intervensi II 16 orang (94,1%). Setelah difusi dan ventilasi
dari proses pernafasan melibatkan transport gas pernafasan, yaitu
oksigen perlu di antar dari paru-paru ke jaringan, dan begitu pula
dengan karbondioksida harus diantar dari jaringan tubuh kembali
keparu-paru. Normalnya oksigen kisaran 97 % berikatan dengan
hemoglobin didalam sel darah merah dan dibawa menuju kejaringan
sebagai oksihemoglobin. Berbagai faktor yang mempengaruhi
kecepatan transport oksigen dari paru kejaringan adalah curah jantung,
jumlah eritrosit dan hematokrit darah, serta olahraga dan latihan (Kozier
dan Erb, 2012). Setiap kondisi patologis yang mengurangi curah
jantung seperti misalnya kerusakan otot jantung, kehilangan darah, atau
pengumpulan darah dipembuluh darah perifer dapat mengurangi jumlah
oksigen yang dihantarkan kejaringan. Pada pria jumlah eritrosit yang
beredar normalnya kisaran 5 juta permili meter kubik darah, hematokrit
berkisar 40 sampai dengan 54 %. Sedangkan pada wanita berkisar 4,5
juta permili meter kubik darah, hematokrit berkisar 37 sampai dengan
48 %. Bila hematokrit ada peningkatan yang berlebihan maka akan
terjadi vikositas pada darah, mengurangi curah jantung dan secara
otomatis mengurangi transport oksigen (Kozier dan Erb, 2012).
Hasil penelitian nadi perifer menunjukkan bahwa sebelum
intervensi sebagian besar responden pada kedua kelompok dengan nilai
nadi perifer tidak normal (100 x/menit) sebanyak 23 orang dari 34
responden. Responden dengan nadi perifer tidak normal (100 x/menit)
pada kelompok intervensi I 14 orang (82,4%). Pada kelompok
intervensi II nadi perifer tidak normal (100 x/menit) 9 orang (52,9%).
Sedangkan setelah intervensi nadi perifer tidak normal (100 x/menit)
sebanyak 18 orang (2 kelompok) dari 34 responden. Responden dengan
nadi perifer tidak normal (100 x/menit) pada kelompok intervensi I 9
orang (52,9%) kelompok intervensi II nadi perifer tidak normal (100
x/menit) 9 orang (52,9%).
Evaluasi Spo2 Pada Kelompok Intervensi I dan intervensi II hasil
penelitian menunjukan bahwa sejumlah 17 orang respoden terjadi
peningkatan nilai saturasi oksigen setelah hiperoksigenasi 1 menit pada
kelompok intervensi I. Sedangkan pada kelompok intervensi II terdapat
14 orang peningkatan saturasi oksigen, 2 orang penurunan saturuasi
oksigen dan 1 orang tetap pada pemberian Hiperoksigenasi.
Hasil uji staitistik diperoleh p value 0,000* dan 0,009 yang artinya
terdapat perbedaan yang bermakna terhadap nilai saturasi oksigen
sebelum dan sesudah pemberian hiperoksigenasipada kedua kelompok.
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.7 menunjukan tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi I (dengan
pemberian hiperoksigenasi 1 menit) dan kelompok intervensi II (dengan
pemberian hiperoksigenasi 2 menit). dengan p value 0,418 dengan r
0,210. Artinya sama pemberian hiperoksigenasi 1 menit dengan 2
menit. Menurut Hudak & Gallo, (2013) pemberian hiperoksigenasi
yang berlebihan mempunyai efek samping. Bila dalam waktu lama
dapat menyebabkan toksisitas yang tinggi (dapat dilihat pada kasus
cedera paru akut atau sindrom pada gawat nafas akut), atelectasis
absorbtif. Selain itu dapat terjadi narcosis karbondioksida dengan
manifestasi perubahan status mental, konfusi, sakit kepala, dan
somnolen.
Pemberian hiperoksigenasi maksimal diberikan selama 2 menit
pada tindakan suction. Saturasi oksigen adalah nilai rasio jumlah O2
terikat pada hemoglobin pada kemampuan seluruh hemoglobin dapat
berikatan dengan O2 (Hudak & Gallo, 2013). nilai dari saturasi oksigen
normalnya berkisar 95 sampai dengan 100 % (walaupun pengukuran
yang lebih rendah mungkin normal pada beberapa pasien, misalnya
pada pasien PPOK (Fox, 2002). Saturasi oksigen dapat diukur dengan
metode invasive maupun non invasive. Pengukuran dengan metode
invasive menggunakan analisa gas darah. Adapun pengukuran metode
non invasive menggunakan oksimetri nadi (Kozier dan Erb, 2012).
Untuk menghindari terjadinya hipoksemi dari prosedur suctioning
sangat perlu dilakukan tindakan hiperoksigenasi. Hiperoksigenasi harus
dilakukan pada setiap tindakan suctioning dengan cara meningkatkan
aliran oksigen 100 % melalui ventilator mekanik.
Hiperoksigenasi merupakan tehnik yang terbaik harus dilakukan
untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada setiap prosedur suction
(Kozier & Erb, 2012). Pada tindakan suction terjadi komplikasi yang
dapat timbul diantaranya salah terjadinya hipoksemia atau hipoksia.
Pada proses dilakukan penghisapan tidak hanya sekret yang terhisap,
tetapi O2 juga terhisap dan menyebabkan kejadian hipoksemia yang
terjadi sesaat dengan tanda penurunan nilai saturasi oksigen atau SpO2
(Saskatoon health Regional Authority, 2010) Dalam hal ini diperlukan
tindakan hiperoksigenasi sebelum tindakan suction (Brunner&Suddarth,
2012). Hiperoksigenasi harus dilakukan pada setiap tindakan suctioning
dengan cara meningkatkan aliran oksigen 100 % melalui ventilator
mekanik. Hiperoksigenasi merupakan tehnik yang terbaik harus
dilakukan untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada setiap
prosedur suction (Kozier & Erb, 2012).

6. Simpulan dan saran
a. Simpulan
Hasil penelitian karaktristik responden dalam penelitian ini
berdasarkan usia terbanyak pada usia >51 tahun, jenis kelamin laki-
laki, pekerjaan wiraswasta Hasil penelitian nilai Hb didapatkan
bahwa sebagian besar respoden mempunyai nilai Hb dibawa normal.
Hasil nadi perifer tidak ada perbedaan nilai nadi perifer sebelum dan
sesudah intervensi pada masing-masing kelompok. Terdapat
perbedaan yang bermakna terhadap nilai saturasi oksigen sebelum
dan setelah intervensi hiper oksigenasipada kedua kelompok. Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna nilai saturasi oksigen sesudah
intervensi hiperoksigenasi pada kedua kelompok.
b. Saran
1) Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber bagi
perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan khususnya yang
terkait dengan pemberian hiperoksigenasi pada proses suction.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan kajian ilmu bagi
para pendidik dan mahasiswa sehingga dapat menambah
wawasan.
2) Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini bersifat aplikatif, diharapkan dapat
dikembangkan lagi untuk memperkaya ilmu keperawatan
terutama untuk intervensi keperawatan yang berkaitan dengan
pemberian hiperoksignasi dengan lebih mengontrol factor
counfounding dan juga membedakan waktu pemberian
hiperoksigenasi.
3) Bagi Rumah Sakit
Pemberian hiperoksigenasi 1 menitmaupun 2 menit pada
proses suction dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan
mandiri untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pada pasien
dengan gangguan bersihan jalan nafas yang terpasang ventilator
terutama di intensive care unit RSPAD Gatot Soebroto
PUSKESAD. Namun yang lebih efisien adalah pemberian
hiperoksigenasi 1 menit.Berdasarkan hasil penelitian ini
diharapkan perawat dapat meningkatkan pengetahuan terkait
pemberian hiperoksigenasi Bagi manager keperawatan
diharapakan dapat mempertimbangkan dan meberikan informasi
dalam penyusunan rencana asuhaan keperawatan yang lebih baik
lagi..
4) Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini bersifat aplikatif, diharapkan dapat
dikembangkan lagi untuk memperkaya ilmu keperawatan
terutama untuk intervensi keperawatan yang berkaitan dengan
pemberian hiperoksignasi dengan lebih mengontrol factor
counfounding dan juga membedakan waktu pemberian
hiperoksigenasi.
Lampiran
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo, 1995, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, EGC :


Jakarta
NANDA, Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2001-2002 ,
Philadelphia
———–, Acute Miocard Infark, down load from
http://www.healthatoz.com/ 12 September 2007
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai