Anda di halaman 1dari 75

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE JIGSAW PADA SUB MATERI KESEBANGUNAN DITINJAU DARI


KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS IX
SMP NEGERI 24 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2019/2020

Disusun Oleh :
Naila Ulya Darojah (K1317051)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 5
D. Rumusan Masalah ................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian...................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian.................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka .......................................................................... 8
B. Kerangka Berpikir .................................................................... 29
C. Hipotesis ................................................................................... 31

iii
iv
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Menurut Kemendikbud (2012: 2) kurikulum merupakan salah satu unsur


yang memberikan kontribusi proses berkembangnya kualitas potensi siswa.
Kualitas Pendidikan merupakan suatu indikator suatu bangsa untuk menentukan
baik buruknya kualitas Pendidikan dalam suatu bangsa . Semakin baik kualitas
Pendidikan maka semakin maju pula bangsa tersebut. Dengan adanya kurikulum,
pemerintah selalu melakukan penyempurnaan kurikulum dengan berbagai cara
dan teknik, salah satunya dengan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan
Pusat (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menekankan
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa begitu saja, tetapi siswa
diberi kesempatan untuk mengontruksi kognitifnya sendiri.

Matematika merupakan mata pelajaran yang harus dikuasai siswa karena


mata pelajaran yang dipelajari pada semua jenjang Pendidikan mulai dari jenjang
Pendidikan dasar dan menengah sampai jenjang perkuliahan. Maka dari itu
matematika menjadi mata pelajaran yang penting, tetapi bagi sebagian siswa
matematika bukanlah mata pelajaran yang mudah, karena kebanyaan siswa sulit
dalam memahami konsep materi dan hanya menghafal saja.

Data yang diperoleh dari PAMER UN tahun 2019 menyebutkan bahwa


nilai rata-rata ujian nasional mata pelajaran matematika di SMP Negeri 24
Surakarta sebesar 45,95 dan merupakan nilai rata-rata paling rendah dari empat
mata pelajaran yang diujikan. Rendahnya daya serap penguasaan materi
matematika dikarenakan pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas
rata-rata menggunakan model pembelajaran langsung. Salah satunya pada sub
materi kesebangunan secara rinci guru menyampaikan materi selanjutnya
memberi contoh soal yang dikerjakannya sendiri oleh guru tersebut, sehingga

1
2

siswa hanya akan meniru cara penyelesaian guru tersebut. Sehingga disini peran
siswa kurang aktif dalam pembelajaran.

Pada materi Geometri dan Pengukuran presentase siswa yang menjawab


benar yaitu 55,97 %, kemudian 48,53 % di tingkat propinsi, dan 43,02 % di
tingkat nasional. Sedangkan pada sub materi kesebangunan presentase siswa
menjawab benar yaitu 14,52%, kemudian 26,26% ditingkat provinsi , dan 19,96%
ditingkat nasional. Hal ini menunjukkan di sekolah tersebut pada sub materi
kesebangunan masih rendah dalam pemahaman dan daya serap siswa karena
rendahnya presentase nilai daya serap siswa menguasai materi tersebut. Dengan
pemahaman konsep kesebangunan yang rendah, siswa cenderung menghafal saja
sehingga apabila dihadapkan pada masalah yang telah dimodifikasi yang berbeda
dari masalah yang biasa diberikan oleh guru akan merasa kesulitan. Oleh karena
itu, diperlukan perbaikan pembelajaran terkait sub materi kesebangunan.
Demi tercapainya Pendidikan maka guru mempunyai tugas untuk memilih
model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang disampaikan. Model
pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang
melibatkan partisipasi aktif siswa yang dibentuk dalam kelompok kecil untuk
mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama dapat dicapai melalui skor masing-
masing individu yang akan memotivasi siswa untuk memahami materi. Salah satu
model pembelajaran kooperatif yang dapat melibatkan siswa untuk berpartisipasi
aktif dalam pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat digunakan untuk membangun
kelas sebagai komunitas belajar yang menghargai perbedaan kemampuan dari
masing-masing siswa dan memunculkan interaksi antar siswa, yaitu siswa dengan
kemampuan lebih tinggi diharapkan dapat membantu siswa yang berkemampuan
lebih rendah dikelompoknya. Oleh karena itu, model ini membuat siswa berusaha
untuk memahami materi yang menjadi tanggung jawabnya dalam kelompok ahli,
karena setiap siswa harus menjelaskan materi tersebut kepada teman dalam
kelompok asalnya, agar seluruh anggota kelompok tersebut dapat memahami
materi yang diberikan. Dalam pembelajaran ini siswa memperoleh banyak
3

pengalaman belajar yang bervariasi, dan dapat mengoptimalkan kemampuan yang


ada pada diri siswa sehingga prestasi belajar matematika siswa akan meningkat.
Selain untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, tujuan adanya
pendidikan juga untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Kecerdasan
intelektual tidak sepenuhnya merepresentasikan kemampuan peserta didik. Ada
siswa yeng memiliki kecerdasan intelektual tinggi tetapi memperoleh prestasi
belajar yang relatif rendah, sedangkan tidak sedikit siswa dengan kecerdasan
intelektual rendah dan ada banyak siswa dengan kecerdasan intelektual sedang
dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Dengan demikian tingkat
intelektual bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan
belajar.
Sukriadi (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kecerdasan
emosional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
Prestasi belajar siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi lebih baik
daripada prestasi belajar siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah.
Peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional dapat dengan baik
mengendalikan dirinya untuk mengikuti proses pembelajaran, serta memiliki
kesadaran yang tinggi dalam belajar. Peserta didik juga harus mampu untuk
menentukan berbagai cara untuk menyelesaikan satu soal permasalahan
matematika, tidak hanya dari satu cara dan hanya sebatas hafal, tetapi juga faham
konsep materinya. Berdasarkan permasalahan yang terjadi, model pembelajaran
Jigsaw dengan model pembelajaran langsung terhadap prestasi belajar siswa pada
materi kesebangunan ditinjau dari kecerdasan emosional siswa. Oleh karena itu,
penelitian ini mengambil judul “Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Jigsaw pada Sub Materi Kesebangunan Ditinjau dari Kecerdasan Emosional
Siswa Kelas IX SMP Negeri 24 Surakarta”.
4

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Pada mata pelajaran matematika sub materi kesebangunan, sebagian siswa
menyelesaikan masalah terkait sub materi tersebut dengan cara menghafalkan
rumus tanpa memahami konsep dengan benar, sehingga mereka akan
kesulitan ketika pengembangan soal yang membutuhkan penalaran dan diberi
kreasi soal baru. Hal yang seperti ini mengakibatkan prestasi belajar pada
mata pelajaran matematika rendah.
2. Rendahnya prestasi belajar pada sub materi kesebangunan dapat disebabkan
model pembelajaran yang digunakan guru mengakibatkan keaktifan siswa
berkurang. Terkait hal ini, dapat dilakukan penelitian dengan
membandingkan model pembelajaran langsung dan model pembelajaran
kooperatif yang dimungkinkan lebih dapat melibatkan keaktifan siswa.
3. Pelaksanaan model kooperatif melibatkan kecerdasan emosional siswa yang
memiliki latar belakang dan lingkungan yang berbeda dan interaksi yang
berbeda selama pelaksanaan pembelajaran. Sehingga dibutuhkan model
pembelajaran kooperatif yang selain dapat membantu meningkatkan keaktifan
siswa juga memperhatikan kecerdasan emosional siswa.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, agar permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari apa yang menjadi tujuan
dilaksanakannya penelitian, maka penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai
berikut :
1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk kelas eksperimen dan model
pembelajaran langsung untuk kelas kontrol.
2. Kecerdasan emosional meliputi aspek kesadaran diri, motivasi, empati, dan
kecakapan sosial dan kemampuan menyesuaikan diri dalam lingkungannya.
5

3. Pengelompokan siswa berdasarkan kecerdasan emosional dalam kategori


tinggi, sedang, dan rendah.
4. Prestasi belajar matematika dilihat dari hasil tes tertulis stelah menerima
pengalaman belajar pada sub materi kesebangunan.
5. Sub materi yang dilibatkan adalah materi kesebangunan.
6. Penelitian dilihat dari data PAMER UN hasil UNBK dari SMP Negeri 24
Surakarta.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka permasalahan
yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut :
1. Manakah yang menghasilkan prestasi belajar lebih baik antara model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran langsung pada
sub materi kesebangunan.?
2. Manakah yang menghasilkan prestasi belajar lebih baik antara siswa yang
memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi, sedang, rendah pada sub
materi kesebangunan ?
3. Pada masing-masing model pembelajaran ( model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw dan model pembelajaran langsung), manakah yang menghasilkan
prestasi belajar lebih baik antara siswa dengan kecerdasan emosinal tinggi,
sedang dan rendah ?
4. Pada masing-masing kecerdasan emosional ( kecerdasan emosional tinggi,
sedang, dan rendah), manakah yang menghasilkan prestasi belajar
matematika lebih baik antara model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw atau
pembelajaran langsung ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
6

1. Untuk mengetahui model pembelajaran yang menghasilkan prestasi belajar


lebih baik antara model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model
pembelajaran langsung pada sub materi kesebangunan.
2. Untuk mengetahui kecerdasan emosional siswa yang menghasilkan prestasi
belajar lebih baik antara kecerdasan emosional tinggi, sedang, dan rendah
pada sub materi kesebangunan.
3. Untuk mengetahui pada masing-masing model pembelajaran ( model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran langsung),
manakah yang menghasilkan prestasi belajar lebih baik antara siswa dengan
kecerdasan emosinal tinggi, sedang dan rendah.
4. Untuk mengetahui pada masing-masing kecerdasan emosional ( kecerdasan
emosional tinggi, sedang, dan rendah), manakah yang menghasilkan prestasi
belajar matematika lebih baik antara model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw atau pembelajaran langsung.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain :
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapakan mampu memberikan kontribusi dalam
peningkatan hasil belajar matematika siswa.
2. Praktis
a. Bagi guru ataupun calon guru matematika, dapat dijadikan masukan dalam
menentukan model pembelajaran yang tepat, dan dapat menjadikan
masukan kepada guru bahwa model pembelajaran Jigsaw dapat digunakan
sebagai model pembelajaran alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar
dan dapat digunakan sebagai alternatif dalam proses belajar mengajar
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Bagi siswa, siswa terdorong untuk aktif dalam proses pembelajaran,
mengoptimalkan berpikir positif dalam mengembangkan dirinya untuk
7

mencapai hasil belajar yang optimal sehingga terjadi peningkatan hasil


belajar.
c. Bagi sekolah, dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk memperbaiki
dan meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.
d. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bekal
sebelum peneliti terjun langsung ke sekolah dan menghadapi semua
permasalahan itu sendiri.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Prestasi

Setiap siswa berhak mendapat prestasi atas semua usaha yang telah
dilakukannya sebagai suatu bukti atau hasil yang telah dicapai setelah
proses belajar dilakukan. Prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu
prestatie yang berarti hasil usaha. Berikut ini beberapa pendapat tentang
pengertian prestasi.
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), “Prestasi adalah hasil
yang telah tercapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan
sebagainya”.
b. Sutratinah dalam Nur Rochmah Fad’jrin (2009) mengemukakan
bahwa “Prestasi adalah hasil pengukuran serta penilaian usaha belajar.
Prestasi belajar ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, maupun
simbol pada tiap periode tertentu”.
c. Zaenal Arifin dalam Nur Rochmah Fad’jrin
(2009) mengemukakan bahwa “Prestasi adalah hasil dari kemampuan,
keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal”.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi
adalah hasil dari kemampuan, ketrampilan, dan sikap seseorang yang telah
tercapai dalam menyelesaikan suatu hal, yang dinyatakan dalam bentuk
angka, huruf, maupun simbol pada tiap periode tertentu.

8
9

2. Belajar

Belajar dapat dilakukan seseorang dimanapun dan kapanpun.


Belajar merupakan suatu bentuk usaha untuk mendapatkan kepandaian
atau ilmu (KBBI: 2008).
Slameto dalam Nur Rochmah Fad’jrin (2009) mengemukakan,
“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”. Selanjutnya Piaget dan Vygostky (dalam Karwono dan
Mularsih, 2010: 84), “Dalam belajar, peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya. Karena proses belajar itu datang dari dalam diri individu
bukan dari luar individu”. Hal serupa diungkapkan pula oleh Oliver dalam
Suci Kurnia Febriani (2013) yang menyatakan bahwa menurut paradigma
konstruktivisme, belajar adalah penginternalisasian, pembentukan
kembali, atau pembentukan pengetahuan baru.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian belajar di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar bukan hanya untuk mendapatkan
kepandaian atau ilmu saja, namun belajar juga merupakan suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan dengan membangun sendiri
pengetahuannya.

3. Prestasi Belajar
Dalam bidang pendidikan, prestasi yang diperoleh oleh siswa
disebut dengan istilah prestasi belajar. Prestasi belajar adalah penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata
pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru (KBBI, 2008). Sutratinah Tirtonegoro dalam Nur
Rochmah Fad’jrin (2009) mengemukakan bahwa, “Prestas belajar adalah
10

penilaian hasil usaha kegiatan belajar, yang dinyatakan dalam bentuk


simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil
yang sudah dicapai anak dalam periode tertentu”.
Dari pengertian prestasi belajar yang telah dikemukakan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil
usaha untuk penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dinyatakan
dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes.

4. Hakikiat Matematika
Matematika merupakan pelajaran yang sudah dikenalkan kepada
anak sejak usia dini. Matematika dapat diungkapkan sebagai ilmu yang
berkaitan dengan bilangan berupa hubungan antar bilangan, prosedur
operasional untuk menyelesaikan masalah mengenai bilangan-bilangan
(KBBI, 2008). Purwoto dalam Nur Rochmah Fad’jrin (2009)
mengemukakan bahwa “Matematika adalah pengetahuan tentang pola
keteraturan pengetahuan struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur-
unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke aksioma dan
postulat dan akhirnya ke dalil”
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah pengetahuan tentang pola keteraturan pengetahuan
struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur-unsur yang tidak
didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan
akhirnya ke dalil yang digunakan untuk menyelesaikan masalah mengenai
bilangan-bilangan.

5. Prestasi Belajar Matematika


Berdasarkan pengertian prestasi, belajar, prestasi belajar, dan
hakikat matematika yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat kesimpulan
bahwa prestasi belajar matematika adalah penilaian hasil usaha untuk
penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam lingkup pelajaran
11

matematika yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun


kalimat yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes.

1. Model Pembelajaran
Melalui model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik
mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berfikir, dan
mengekspresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam
merencanakan aktivitas belajar mengajar.
a. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Agus Suprijono (2010:46), model pembelajaran ialah pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran
dikelas maupun tutorial. Menurut Arends, model pembelajaran mengacu
pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-
tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Melalui model
pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi,
ide, keterampilan, cara berfikir, dan mengekspresikan ide. Model
pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar. Dalam proses belajar banyak model pembelajaran yang dipilih
sesuai dengan materi yang disampaikan oleh guru.
Menurut Joyce dalam Trianto (2007 : 5) mengemukakan bahwa
model pembelajaran diartikan sebagai suatu perencanaan yang digunakan
sebagai pedoman dalam perencanaan pembelajaran di kelas dan untuk
menentukan perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku – buku,
film, komputer, kurikulum, dll. Joyce juga menyatakan bahwa setiap
model pembelajaran mengarahkan kita kedalam mendesain pembelajaran
untuk membantu siswa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Dari pengertian model pembelajaran oleh beberapa ahli dapat
disimpulakan bahwa model pembelajaran adalah keseluruhan rangkaian
12

yang dimulai dari pendahuluan, pengelolaan, sampai dengan evaluasi


pembelajaran oleh pendidik dengan menggunakan strategi, pendekatan,
dan metode tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Macam-macam model pembelajaran tersebut antara lain: Model
Pembelajaran Kontekstual, Model Pembelajaran Kooperatif, Model
Pembelajaran Quantum, Model Pembelajaran Terpadu, Model
Pembelajaran Berbasis masalah (PBL), Model Pembelajaran Langsung
(Direct Instruction), Model Pembelajaran diskusi.

b. Macam – Macam Model Pembelajaran


Ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para
ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa diantaranya adalah:
1) Model Pembelajaran Kontekstual (constextual teaching and learning-
CTL) menurut Nurhadi (2003) adalah konsep belajar yang mendorong
guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi
dunia nyata siswa.
2) Model Pembelajaran Kooperatif (Coorperative learning) menurut
Sofan Amri & Iif Khoiru Ahmadi, (2010:67) merupakan model
pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki
tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok,
setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami
suatu bahan pembelajaran.
3) Model Pembelajaran Quantum menurut Sugianto (2009:70)
merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan
psikologi kognitif dan pemograman neurologi/ neurolinguistik yang
jauh sebelumnya sudah ada.
4) Model Pembelajaran Terpadu menurut Sugianto (2009:124) pada
hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif
mencari, menggali, dan menemukan model yang mencoba
13

memadukan beberapa pokok bahasan. Melalui pembelajaran terpadu


siswa dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat
menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi
kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya.
5) Model Pembelajaran Berbasis masalah (PBL) menurut Sugianto
(2009:151) dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti
meningkatkan keterampilan intelektual dan investigative, memahami
peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi pelajar yang
mandiri.
6) Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan salah
satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan
belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan
deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah
demi selangkah (Sofan Amri & Iif Khoiru Ahmadi, 2010:39).
Model Pembelajaran diskusi menurut Sofan Amri & Iif Khoiru
Ahmadi (2010:165) adalah sebuah interaksi komunikasi antara dua orang
atau lebih (sebagai suatu kelompok). Biasanya komunikasi antara mereka/
kelompok berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya
memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar. Banyaknya model
pembelajaran yang dikembangkan para pakar tersebut tidaklah berarti
semua pengajar menerapkan semuanya untuk setiap mata pelajaran karena
tidak semua model cocok untuk setiap topik atau mata pelajaran. Ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model
pembelajaran, yaitu: (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sifat
bahan/materi ajar, (2) Kondisi siswa, (3) Ketersediaan sarana-prasarana
belajar.
2. Model Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran langsung merupakan salah satu dari macam-
macam model pembelajaran. Model pembelajaran langsung mempunyai
Ciri-ciri sebagai berikut:
14

a. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk


prosedur penilaian belajar.
b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran .
c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar
kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil. (dalam
Kardi &Nur, 2000:3)
Berdasarkan pengertian pembelajaran langsung yang dikemukakan
(Sofan Amri & Iif Khoiru Ahmadi, 2010:39) bahwa Model Pembelajaran
Langsung (Direct Instruction) merupakan salah satu model pengajaran
yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang
pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur
dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Yang
dimaksud dengan pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan
katakata) adalah pengetahuan tentang sesuatu. Sedangkan pengetahuan
prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Arends dalam Sugiarto (2008:49), mengatakan: ”Model
pembelajaran langsung dikembangkan secara khusus untuk meningkatkan
proses pembelajaran para siswa terutama dalam hal memahami sesuatu
(pengetahuan) dan menjelaskannya secara utuh sesuai pengetahuan
prosedural dan pengetahuan deklaratif yang diajarkan secara bertahap”.

a. Tahapan atau Fase Model Pembelajaran Langsung


Menurut Sofan Amri dan Iif Khoiru (2010, 43-47) Model
pembelajaran langsung memiliki lima fase yang sangat penting. Kelima
fase dalam pengajaran langsung dapat dijelaskan secara detail seperti
berikut:
1) Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
a) Menjelaskan tujuan
Para siswa perlu mengetahui dengan jelas mengapa
mereka berpartisipasi dalam suatu pelajaran tertentu, dan mereka
15

perlu mengetahui apa yang harus dapat mereka lakukan setelah


selesai berperan serta dalam pelajaran itu. Guru
mengkomunikasikan tujuan tersebut kepada siswa-siswanya
melalui rangkuman rencana pembelajaran dengan cara
menuliskannya di papan tulis, atau menempelka informasi tertulis
pada papan bulletin, yang berisi tahap-tahap dan isinya, serta
alokasi waktu yang disediakan untuk setiap tahap. Dengan
demikian siswa dapat melihat keseluruhan alur tahap pelajaran
dan hubungan antar tahap – tahap pelajaran itu.
b) Menyiapkan siswa
Kegiatan ini bertujuan untuk menarik perhatian siswa,
memusatkan perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan
mengingatkan kembali pada hasil belajar yang telah dimilikinya,
yang relevan dengan pokok pembicaraan yang akan dipelajari.
Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan mengulang pokok-pokok
pelajaran yang lalu, atau memberikan sejumlah pertanyaan
kepada siswa tentang pokok-pokok pelajaran yang lalu, atau
memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa tentang pokok-
pokok pelajaran yang lalu.
2) Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
a) Menyampaikan informasi dengan jelas
Kejelasan informasi atau presentasi yang diberikan guru
kepada siswa dapat dicapai melalui perencanaan dan
pengorganisasian pembelajaran yang baik. Dalam melakukan
presentasi guru, harus menganalisis keterampilan yang kompleks
menjadi keterampilan yang lebih sederhana dan dipresentasikan
dalam langkah-langkah kecil selangkah demi selangkah.
b) Melakukan demonstrasi
Pengajaran langsung berpegang teguh pada asumsi bahwa
sebagian besar yang dipelajari berasal dari pengamatan terhadap
orang lain. Mendemonstrasikan suatu keterampilan atau konsep
16

dengan agar berhasil, guru perlu sepenuhnya menguasai konsep


atau keterampilan yang akan didemonstrasikan, dan berlatih
melakukan demonstrasi untuk menguasai komponen-
komponennya.
3) Menyediakan latihan terbimbing
Salah satu tahap penting dalam pengajaran langsung adalah
cara guru mempersiapkan dan melaksanakan “pelatihan terbimbing”.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam pelatihan dapat meningkatkan
retensi, membuat belajar berlangsung dengan lancar, dan
memungkinkan siswa menerapkan konsep/ keterampilan pada situasi
yang baru.
4) Menganalisis pemahaman dan memberikan umpan balik
Pada pengajaran langsung, fase ini mirip dengan apa yang
kadang-kadang disebut resitasi atau umpan balik. Guru dapat
menggunakan berbagai cara untuk memberikan umpan balik kepada
siswa.
5) Memberikan kesempatan latihan mandiri
Kebanyakan latihan mandiri yang diberikan kepada siswa
sebagai fase akhir pelajaran pada pengajaran langsung adalah
pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah atau berlatih secara mandiri,
merupakan kesempatan bagi siswa untuk menerapkan keterampilan
baru yang diperolehnya secara mandiri.
a. Kelebihan model pembelajaran langsung
1) Dapat digunakan untuk menekankan kesulitan-kesulitan yang
mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.
2) Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.
3) Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan
keterampilan-keterampilan.
4) Ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan
informasi kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak
memiliki keterampilan.
17

5) Demonstrasi memungkinkan siswa untuk berkonsentrasi pada hasil-


hasil dari suatu tugas. Hal ini penting terutama jika siswa tidak
memiliki kepercayaan diri atau keterampilan dalam melakukan tugas
tersebut.
6) Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi
guru sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan
memperbaikinya.
b. Kelemahan model pembelajaran langsung
Di samping mempunyai kelebihan, Menurut Kardi dan Nur (dalam
Trianto 2007:41) model pembelajaran langsung (Direct Instruction)
mempunyai keterbatasan yaitu:
1) Model pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan siswa
untuk mengasimilikan informasi melalui kegiatan mendengarkan,
mengamati, dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki halhal
tersebut guru masih harus mengajarkan kepada siswa.
2) Dalam pembelajaran langsung sulit untuk mengatasi perbedaan dalam
hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan
pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.
3) Siswa memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif, sulit
bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
interpersonal mereka.
4) Guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuksesan strategi
bergantung pada guru.
5) Model pembelajaran langsung memberi siswa cara pandang guru
mengenai bagaimana materi disusun dan disintesis tidak selalu dapat
dipahami oleh siswa.
6) Model pembelajaran langsung melibatkan banyak komunikasi satu
arah, guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai
pemahaman siswa.
 Tahapan atau Fase Model Pembelajaran Langsung Pada
Penelitian
18

1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa


a. Menjelaskan tujuan
Sebelum guru menyampaikan tujuan pembelajaran dikelas,
guru memebri motivasi kepada siswa agar siswa semangat
belajar dan siap menerima pelajaran di kelas. Guru
mempersiapkan kesiapan siswa untuk menerima
pembelajaran yaitu pada sub materi kesebangunan, dan
menyampaikan tujuan pembelajaran dikelas bahwa
bertujuan untuk mengetahui konsep-konsep dasar
kesebangunan dan menyelesaikan masalah kontekstual
pada kesebangungan. Sehingga disini siswa perlu
mengetahui mempersiapkan apa yang harus dapat mereka
lakukan setelah selesai berperan serta dalam pelajaran.
Guru dapat mengkomunikasikan tujuan tersebut kepada
siswa-siswanya melalui rangkuman rencana pembelajaran
pada sub materi kesebangunan dengan cara menuliskannya
di papan tulis, atau menempelkan informasi tertulis pada
papan bulletin, yang berisi tahap-tahap dan isinya, serta
alokasi waktu yang disediakan untuk setiap tahap. Dengan
demikian siswa dapat melihat keseluruhan alur tahap
pelajaran dan hubungan antar tahap – tahap pelajaran pada
sub materi kesebangunan.
b. Menyiapkan siswa
Guru disini perlu menarik perhatian siswa, memusatkan
perhatian siswa pada pembelajaran di kelas dengan sub materi
kesebangunan dan mengingatkan materi dasar sebelum
kesebangunan yang relevan dengan kesebangunan , misalnya
mengingatkan siswa pada materi dasar segitiga dan segiempat
atau dengan mengulang pokok pokok konsep dasar kesebangunan
dari mengingatkan sudut dan garis. Disini guru dapat juga
19

memberi pertanyaan kepada siswa tentang pokok-pokok pelajaran


yang lalu.
2. Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
a. Menyampaikan informasi dengan jelas
Guru saat memulai pembelajaran dikelas akan memulai
untuk menyampaikan informasi dengan menyampaikan sub
materi kesebangunan yaitu, pengertian kesebangunan,dua
bangun datar yang sebangun,, dua segitiga yang sebangun,
perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian dalam segitiga yang
salah satu sisinya sejajar, rumus air mancur dalam segitiga
sebangun. Dalam melakukan presentasi guru, harus
menganalisis keterampilan yang kompleks menjadi
keterampilan yang lebih sederhana dan dipresentasikan
dalam langkah-langkah kecil selangkah demi selangkah.

b. Melakukan demonstrasi
Guru sepenuhnya mendemonstrasikan pembelajaran pada
sub materi kesebangunan tanpa adanya keaktifan dari siswa,
siswa menerima keseluruhan metri dari penjelasan guru. Disini
guru sepenuhnya menguasai konsep atau keterampilan yang akan
didemonstrasikan, dan melakukan demonstrasi untuk menguasai
komponen-komponen dalam sub materi kesebangunan.
3. Menyediakan latihan terbimbing
Salah satu tahap penting dalam pengajaran langsung adalah
cara guru mempersiapkan dan melaksanakan “pelatihan terbimbing”
tentang sub materi kesebangunan. Latihan terbimbing dapat
meningkatkan retensi, membuat belajar berlangsung dengan lancar,
dan memungkinkan siswa menerapkan konsep/ keterampilan
kesebangunan pada situasi yang baru.
4. Menganalisis pemahaman dan memberikan umpan balik
20

Pada pengajaran langsung, fase ini mirip dengan apa yang


kadang-kadang disebut resitasi atau umpan balik. Guru dapat
menggunakan berbagai cara untuk memberikan umpan balik kepada
siswa, misalnya memberi pertanyaan tentang konsep dasar
kesebangunan yang telah dipelajari dikelas pada hari itu dalam
pembelajaran.
5. Memberikan kesempatan latihan mandiri
Kebanyakan latihan mandiri yang diberikan kepada siswa
sebagai fase akhir pelajaran pada pengajaran langsung adalah
pekerjaan rumah. Setelah pembelajaran di kelas selesai guru
memberikan soal-soal kesebangunan untuk dijadikan pekerjaan
rumah, agar siswa tetap belajar dan mengulang materi kembali.
Pekerjaan rumah atau berlatih secara mandiri, merupakan kesempatan
bagi siswa untuk menerapkan keterampilan baru yang diperolehnya
secara mandiri.

3. Model Pembelajaran Kooperatif


a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu
sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim.Slavin (1995)
mengemuka- kan, “In cooperative learning methods, students work
together in four member teams to master material initially presented by the
teacher”.Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative
learning adalah suatu model pem-belajaran dimana sistem belajar dan
bekerja dalam kelompok- kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara
kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam
belajar.
Cooperative learning adalah suatu model pem- belajaran yang saat
ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegatan belajar mengajar yang
berpusat pada siswa (studend oriented), terutama untuk mengatasi
21

permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkarn siswa, yang


tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak
peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat
dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.
Slavin (1995) menyebutkan cooperative learning merupakan model
pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat itu guru
mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-
kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer
teaching). Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi
mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk
berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar
sesama mereka.
b. Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif
Beberapa ciri dari cooperative learning adalah (a) setiap anggota
memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa,
(c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga
teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan
keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya
berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
c. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif
Bila dibandingkan dengan pembelajaran yang masih bersifat
konvensional, cooperative learning memiliki beberapa keunggulan.
Keunggulannya dilihat dari aspek siswa, adalah memberi peluang kepada
siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman,
yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke
arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993).
Stahl (1994) mengemukakan, melalui model cooperative learning
siswa dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan sebagai pertimbangan
untuk berpikir dan menentukan serta berbuat dan berpartisipasi sosial
Selanjutnya Zaltman et.al (1972) mengemukakan pula, siswa yang sama-
sama bekerja dalam kelompok akan menimbulkan persahabatan yang
22

akrab, yang terbentuk di kalangan siswa, ternyata sangat berpengaruh pada


tingkah laku atau kegiatan masing-masing secara individual Kerjasama
antar siswa dalam kegiatan belajar menurut Harmin (dalam Santos, 1983)
dapat memberikan berbagai pengalaman. Mereka lebih banyak
mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan
secara umum mengembangkan kebiasaan yang baik.
Selanjutnya Jarolimek & Parker (1993) mengatakan keunggulan
yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah: 1) saling ketergantungan
yang positif, 2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, 3)
siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4) suasana
kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) terjalinnya hubungan yang hangat
dan bersahabat antara siswa dengan guru, dan 6) memiliki banyak
kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang
menyenangkan.
d. Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan model pembelajaran cooperative lenrning bersumber
pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar
(ekstern). Faktor dari dalam, yaitu: 1) guru harus mempersiapkan
pembelajaran secara matang. Disamping itu memerlukan lebih banyak
tenaga, pemikiran dan waktu, 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan
lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup
memadai, 3) selama kegiatan diskusi kelom- pok berlangsung, ada
kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas, meluas sehingga
banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan 4) saat
diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan
siswa yang lain menjadi pasif.
4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Yuzar (dalam Isjoni, 2013 : 78-79) mengungkapkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model belajar kooperatif
dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat
23

sampai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling
ketergantungan positif dan tanggung jawab secara mandiri. Ide utama dari
belajar cooperative learning adalah siswa bekerja sama untuk belajar
bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya.
Menurut Eliot Aronson (dalam Isjoni, 2013 : 79), menyatakan
bahwa Jigsaw adalah pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa
menjadi seorang anggota dalam bidang tertentu, kemudian membagi
pengetahuannya kepada anggota lain dari kelompoknya agar setiap orang
akhirnya dapat mempelajari konsep-konsep. Menurut Lie (dalam
Suprihatiningrum, 2013 : 206), teknik mengajar Jigsaw dikembangkan
oleh Aronson et al. sebagai cooperative learning. Teknik ini
mengggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan
berbicara. Teknik ini cocok untuk semua kelas atau tingkatan.
Kooperatif tipe Jigsaw ini didesain untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang
diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan
materi tersebut pada anggota kelompoknya. Dengan demikian siswa saling
tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerjasama secara kooperatif
untuk mempelajari materi yang ditugaskan.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran
dengan membagi siswa dalam beberapa kelompok belajar yang heterogen
beranggotakan 4-6 orang disesuaikan dengan jumlah sub materi dimana
setiap siswa bertanggungjawab kepada satu timnya untuk memberikan
informasi yang diperlukan supaya berkinerja baik pada prose
pembelajaran.
b. Ciri Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Suyatno dalam Febriani (2013) pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw memiliki cir-ciri sebagai berikut:
1) Setiap anggota tim terdiri dari 3-6  orang yang disebut kelompok asal,
24

2) Kelompok asal tersebut dibagi lagi menjadi kelompok ahli,


3) Kelompok ahli dari masing-masing kelompok asal berdiskusi sesuai
keahliannya, dan
4) Kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk saling bertukar
informasi.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan
sebagai berikut :
Kelompok asal

2.
a b c d a b c d a b c d
a b c d

a a a a b b b b c c c c d d d d

Kelompok ahli

Gambar 2.1. Ilustrasi tim Jigsaw


Pada gambar 2.1 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: kelompok
1, 2, 3, dan 4 merupakan kelompok asal dengan masing masing kelompok
terdiri dari empat siswa. Setiap siswa dalam setiap kelompok ditugasi
untuk mempelajari materi yang berbeda misal materi a, b, c, dan d Siswa
yang mendapatkan materi yang sama berkumpul dalam kelompok 5, 6, 7,
dan 8, kelompok ini disebut kelempok ahli. Setelah siswa menguasai
materi tersebut, mereka kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan
kepada teman dalam kelompok asal masing-masing.
c. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Slavin (2008: 238), penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw perlu adanya persiapan sebagai berikut :
1) Materi
Materi yang dipilih adalah suatu bab yang dapat terbagi menjadi
beberapa sub bab. Jika siswa akan membaca materi di kelas, materi
25

yang dipilih haruslah membutuhkan waktu tidak lebih dari 30 menit


untuk membacanya. Akan tetapi, jika materi tersebut dijadikan tugas
untuk dibaca di rumah maka materi yang dipilih boleh lebih panjang.
Guru membuat lembar ahli (Lembar Kerja Peserta Didik) dan lembar
kuis untuk evaluasi tiap individu. Lembar ahli digunakan untuk
memudahkan kelompok ahli untuk mendalami materi.
2) Membagi siswa ke dalam tim
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok heterogen yang terdiri dari 4-6
anggota.
3) Membagi siswa ke dalam kelompok ahli
Setiap kelompok dapat menempatkan anggotanya ke dalam kelompok
ahli secara acak.
4) Penentuan skor awal pertama
Skor awal dapat diambil dari skor rata-rata siswa pada kuis sebelumya.
Apabila belum pernah diadakan kuis, skor dasar dapat diambil dari nilai
final siswa dari tahun sebelumnya.
Adapun kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam Jigsaw menurut
Slavin (2008: 241) sebagai berikut :
1. Membaca
Dalam kegiatan ini, siswa menerima topik-topik ahli dan membaca
bahan yang ditugaskan untuk mencari informasi. Kegiatan membaca
dapat digunakan tugas awal untuk pembelajaran.
2. Diskusi kelompok ahli
Siswa dengan keahlian yang sama bertemu untuk mendiskusikan
informasi dalam kelompok-kelompok ahli.
3. Laporan tim
Para ahli kembali ke dalam kelompok asal untuk mengajarkan atau
menjelaskan topik-topik yang mereka diskusikan dalam kelompok ahli
kepada teman satu timnya.
4. Tes
26

Siswa mengerjakan kuis individual yang mencakup seluruh topik. Saat


mengerjakan kuis siswa tidak boleh bekerjasama atau tidak boleh saling
membantu. Hasil mengerjakan kuis berupa skor individual.

5. Rekognisi tim
Setelah diadakan kuis, guru mengumumkan skor perbaikan individu
dan skor kelompok serta memberikan penghargaan kepada kelompok
yang memperoleh skor tertinggi. Penskoran dalam jigsaw sama seperti
penskoran dalam STAD.
Slavin (2008: 159) mengemukakan kriteria dalam menetukan
peningkatan skor individu siswa seperti dalam tabel di 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Poin Kemajuan Individu

Skor kuis Poin


Kemajuan

Lebih dari 10 poin dibawah skor awal 5


1-10 poin dibawah skor awal 10
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
Jawaban betul semua 40

Tabel 2.2 Contoh Lembar Skor Kuis

Nama Siswa Tgl :

Skor awal Skor kuis Poin kemajuan


Andi 74 68 10

Menurut Slavin (2008), peningkatan skor individu menentukan


skor kelompok. Skor kelompok merupakan rata-rata skor peningkatan
anggotanya. Kelompok mendapatkan penghargaan berdasarkan kriteria
yang ditentukan, yaitu :
Tabel 2.3 Kriteria Penghargaan Kelompok

Rata-rata Tim Penghargaan


5 ≤ x̄ < 15 poin Tim Baik (Good Team)
27

15 ≤ x̄ < 20 poin Tim Sangat Baik (Great Team)


≥ 20 poin Tim Super (Super Team)

Untuk menghitung skor tim, guru mencatat poin kemajuan semua anggota
tim pada lembar rangkuman tim, kemudian menentukan rata-rata poin tim.
Skor tim lebih bergantung pada skor kuis.
d. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw
Pada model pembelajaran kooperatfi tipe Jigsaw memiliki
kelebihan sebagai berikut :
1) Dalam kelas kooperatif siswa dapat berinteraksi dengan teman
sebayanya dan juga gurunya sebagai pembimbing;
2) Motivasi teman sebaya dapat digunakan secara efektif untuk
meningkatkan pembelajaran kognitif dan pertumbuhan efektif siswa;
3) Menumbuhkan tanggung jawab siswa;
4) Mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran;
5) Dapat mengoptimalkan manfaat belajar kelompok.
Adapun kelemahan dalam model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw antara lain :
1) Kegiatan pembelajaran membutuhkan waktu yang lebih banyak;
2) Keadaan kelas cenderung gaduh atau ramai ketika siswa kurang
memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar kelompok;
3) Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan model ini.

 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Jigsaw Pada Penelitian
Menurut Slavin (2008: 238), penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw perlu adanya persiapan sebagai berikut :
1. Materi
28

Materi yang dipilih adalah materi kesebangunan . Siswa akan membaca


materi kesebangunan di kelas, materi yang dipilih haruslah
membutuhkan waktu tidak lebih dari 30 menit untuk membacanya.
Akan tetapi, untuk mempersingkat waktu guru bisa memberi tugas
siswa untuk membaca materi kesebangunan dirumah sebelum
pembelajaran berlangsung.. Guru membuat lembar ahli (Lembar Kerja
Peserta Didik) dan lembar kuis untuk evaluasi tiap individu. Lembar
ahli digunakan untuk memudahkan kelompok ahli untuk mendalami
materi kesebangunan.
2. Membagi siswa ke dalam tim
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok heterogen yang terdiri
dari 4-6 anggota.
3. Membagi siswa ke dalam kelompok ahli
Setiap kelompok dapat menempatkan anggotanya ke dalam kelompok
ahli secara acak.
4. Penentuan skor awal pertama
Guru memberikan kuis kepada siswa tentang sub materi kesebangunan
dan diambil skor awal dari skor rata-rata siswa .
Adapun kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam Jigsaw menurut Slavin
(2008: 241) sebagai berikut :
1. Membaca
Dalam kegiatan ini, siswa menerima topik-topik ahli yaitu tentang
kesebangunan dan membaca bahan yang ditugaskan untuk mencari
informasi ksebangunan . Kegiatan membaca dapat digunakan tugas
awal untuk pembelajaran.
2. Diskusi kelompok ahli
Siswa dengan keahlian yang sama bertemu untuk mendiskusikan
informasi dalam kelompok-kelompok ahli. Disini kelompok-kelompok
ahli dibagi berdasarkan bagiannya masing-masing. Bagian materi yang
dibagi yaitu yang pertama mendapat materi bagian pengertian
kesebangunan dan ciri-ciri bangun datar yang sebangun, yang kedua
29

yaitu pembuktian segitiga yang sebangun, ketiga yaitu pembuktian


segiempat yang sebangun, keempat perbandingan sisi-sisi yang
bersesuaian dalam segitiga yang salah satu sisinya sejajar, dan yang
terakhir rumus air mancur dalam segitiga sebangun.
3. Laporan tim
Para ahli kembali ke dalam kelompok asal untuk mengajarkan atau
menjelaskan topik-topik yang mereka diskusikan dalam kelompok ahli
kepada teman satu timnya. Anggota kelompok ahli yang mendapat
materi bagian pengertian kesebangunan dan ciri-ciri bangun datar yang
sebangun kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi bagian
pengertian kesebangunan dan ciri-ciri bangun datar yang sebangun ke
teman satu timnya. Anggota kelompok ahli yang mendapat materi
pembuktian segitiga yang sebangun kembali ke kelompok asal untuk
menjelaskan materi pembuktian segitiga yang sebangun kepada teman
satu timnya. Anggota kelompok ahli yang mendapat materi pembuktian
segiempat yang sebangun kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan
materi pembuktian segiempat yang sebangun kepada teman satu
timnya. Anggota kelompok ahli yang mendapat materi perbandingan
sisi-sisi yang bersesuaian dalam segitiga yang salah satu sisinya sejajar
kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi perbandingan sisi-
sisi yang bersesuaian dalam segitiga yang salah satu sisinya sejajar
kepada teman satu timnya. Anggota kelompok ahli yang mendapat
materi rumus air mancur dalam segitiga sebangun kembali ke kelompok
asal untuk menjelaskan materi tersebut kepada teman satu timnya.
4. Tes
Setelah tim ahli sudah kembali ke kelompoknya masing-masing, Guru
memberi tes individual kepada siswa untuk mengetahui seberapa faham
siswa dengan materi di dipelajari hari itu di kelas. Siswa mengerjakan
kuis individual yang mencakup seluruh topik materi kesebangunan .
Saat mengerjakan kuis siswa tidak boleh bekerjasama atau tidak boleh
saling membantu. Hasil mengerjakan kuis berupa skor individual.
30

5. Rekognisi tim
Setelah diadakan kuis, guru mengumumkan skor perbaikan individu
dan skor kelompok serta memberikan penghargaan kepada kelompok
yang memperoleh skor tertinggi. Penskoran dalam jigsaw sama seperti
penskoran dalam STAD.
Slavin (2008: 159) mengemukakan kriteria dalam menetukan
peningkatan skor individu siswa seperti dalam tabel di 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Poin Kemajuan Individu

Skor kuis Poin


Kemajuan

Lebih dari 10 poin dibawah skor awal 5


1-10 poin dibawah skor awal 10
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
Jawaban betul semua 40

Tabel 2.2 Contoh Lembar Skor Kuis

Nama Siswa Tgl :

Skor awal Skor kuis Poin kemajuan


Andi 74 68 10

Menurut Slavin (2008), peningkatan skor individu menentukan


skor kelompok. Skor kelompok merupakan rata-rata skor peningkatan
anggotanya. Kelompok mendapatkan penghargaan berdasarkan kriteria
yang ditentukan, yaitu :
Tabel 2.3 Kriteria Penghargaan Kelompok

Rata-rata Tim Penghargaan


5 ≤ x̄ < 15 poin Tim Baik (Good Team)
15 ≤ x̄ < 20 poin Tim Sangat Baik (Great Team)
≥ 20 poin Tim Super (Super Team)
31

Untuk menghitung skor tim, guru mencatat poin kemajuan semua anggota
tim pada lembar rangkuman tim, kemudian menentukan rata-rata poin tim.
Skor tim lebih bergantung pada skor kuis.

5. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah dari Tuhan Yang Maha
Kuasa kepada manusia dan menjadikannya salah satu kelebihannya
dibanding makhluk lain. Dengan kecerdasan, manusia dapat meningkatkan
kualitas hidupnya yang semakin kompleks melalui proses berpikir dan
belajar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan adalah
“perihal cerdas; kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti
kepandaian, ketajaman, pikiran)”.
Emosional menurut KBBI adalah “menyentuh perasaan,
mengharukan”. Menurut Goleman (2005: 303) emosi merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis
serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak.
Kecerdasan emosional menurut Goleman (2005: 303) berarti
kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi;
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mampu mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa.
Menurut Goleman (2005: 304), ciri-ciri kecerdasan emosional ada
5 komponen, yaitu sebagai berikut:
a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat
dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri,
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan
diri yang kuat.
32

b. Pengaturan diri, yaitu menangani emosi sehingga berdampak positif


terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali
dari tekanan emosi.
c. Motivasi, yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita
mengambil inisiatif, bertindak efektif dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi.
d. Empati, yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya,
dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan
jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar.
Salovey dan Mayer dalam Sukriadi (2016: 67) mendefinisikan
kecerdasan emosional atau yang sering EQ sebagai himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial
yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya
dan menggunakan informasi, ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Selain itu, menurut Awangga dalam Subawanti (2012: 24) menyatakan
bahwa kecerdasan emosional menyangkut banyak aspek penting, yaitu:
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, empati, mengungkapkan
dan memahami emosi, mengendalikan amarah, kesetiakawanan,
keramahan, dan sikap hormat.
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri
sendiri dan orang lain, kemampuan menyesuaikan diri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungan dengan
orang lain.
33

6. Tinjauan Materi

a. Pengertian Kesebangunan

Kesebangunan merupakan sebuah bangun datar di mana sudut –


sudutnya mempuntai kesesuaian yang sama besarnya. Dan juga panjang
sisi – sisi sudutnya juga bersesuai dengan mempunyai sebuah
perbandingan yang sama. Dengan kata lain, kesebangunan merpuakan dua
buah bangun yang memiliki sudut serta panjang sisi yang sama.
Kesebangunan pada umumnya dilambangkan dengan menggunakan
simbol notasi ≈.
Bangun-bangun datar yang sebangun artinya bangun-bangun datar tersebut
mempunyai bentuk yang sama namun ukurannya berbeda dapat lebih besar atau
lebih kecil.

Untuk membuktikan dua buah bangun datar sebangun dapat dilakukan jika
memenuhi salah satu syarat di bawah ini :

a.    Sudut-sudut yang bersesuaian sama besar.

b.    Sisi-sisi yang bersesuaian mempunyai perbandingan yang sama.

 Dua bangun datar yang sebangun


34

Kedua bangun di atas, ABCD dan KLMN  adalah dua bangun yang sebangun,


karena memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

a.       Pasangan sisi yang bersesuaian mempunyai perbandingan yang sama, yaitu:

Pasangan sisi AD dan KN =   AD/KN = 3/6 = 1/2

Pasangan sisi AB dan KL = AB/KL = 3/6 = 1/2

Pasangan sisi BC dan LM = BC/LM = 3/6 = 1/2

Pasangan sisi CD dan MN = CD/MN = 3/6 = 1/2

Jadi,   AD/KN = AB/KL = BC/LM = CM/MN

Jadi,Besar sudut yang Persesuaian sama,


yaitu : 

 Dua segi tiga yang sebangun

Segitiga ABC dan PQR adalah sebangun, karena memiliki sifat :

a.       Perbandingan sisi yang sama besar bersesuaian sama besar, yaitu :

AC bersesuaian dengan PR = AC/PR = 4/2 = 2

AB bersesuaian dengan PQ =  AB/PQ = 4/2 = 2

BC bersesuaian dengan = QR BC/QR = 4/2 =2

Jadi :

Besar sudut-sudut yang bersesuaian sama, yaitu :


35

Perhatikan segitiga berikut :

 dan   sebangun , maka :

Contoh :

Diketahui dua buah segitiga ABC dan PQR. Panjang AB = 8, BC = 10, PQ = 4,


dan PR = 3. Sedangkan ∠ A = ∠ P = 900, ∠ B = 300, ∠ R = 600. Buktikan
segitiga ABC sebagun dengan PQR ?
36

Dengan menggunakan rumus phytagoras maka panjang sisi yang belum kita
ketahui dapat kita cari AC = 6 dan QR = 5.

Dengan menggunakan sifat segitiga yaitu jumlah sudut-sudut dalam segitiga =


1800 maka :

 ∠ C = 1800 – ( ∠ A + ∠ B ) = 1800 – 1200 = 600 dan

∠ Q = 1800 – ( ∠ P + ∠ R ) = 1800 – 1500 = 300.

Ada dua cara untuk membuktikan dua bangun segitiga di atas sebangun :

Cara 1 :

∠ A = ∠ P = 900, ∠ B = ∠ Q = 300, ∠ C = ∠ R = 600 (sudut-sudut yang


bersesuaian sama besar)

b. Perbandingan Sisi-sisi yang Bersesuaian dalam Segitiga yang Salah Satu


Sisinya Sejajar
37

Jika perbandingan melibatkan sisi segitiga yang tengah (sejajar) maka


perbandingannya sesuai dengan gambar yang kiri (panah warna merah) sehingga
tersusun 2 perbandingan :

DE/AB = CD/CA

DE/AB = CE/CB

Jika perbandingan melibatkan sisi-sisi tepinya maka dapat menggunakan gambar


yang kiri maupun yang kanan :

CD/DA = CE/EB

c. Rumus Air Mancur dalam Segitiga Sebangun

Coba kalian perhantikan bagan rumus berikut ini :


38

Jika garis-garis yang melengkung saling dikalikan maka hasilnya sama dengan
garis lurus yang dobel yang dikuadratkan. arah panah garis yang lurus selalu
menuju ke sisi miring segitiga siku-siku. Kemudian dilanjutkan dengan garis
lengkung pendek lalu garis lengkung panjang. Ingat polanya jangan menghafal
hurufnya. 

AD2 = DB . DC

AC2 = CD . CB

AB2 = BD . BC

B. Kerangka Berpikir
39

Berdasarkan kajian teori yang telah diurakan diatas dapat disusun


suatu kerangka berpikir untuk memperjleas arah dan maksud dari
penelitian ini. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan pada variable
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran,
kecerdasan emosional siswa, dan prestasi belajar matematika siswa. Secara
umum, kerangka berpikir disajikan seperti berikut :
1. Kaitan Model Pembelajaran dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa
Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan siswa dalam menguasai mata
pelajaran, diantaranya model pembelajaran yang digunakan guru. Keberhasilan
proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran dapat dilihat dari
prestasi belajar siswa. Prestasi belajar matematika menunjukkan penguasaan
atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Pemilihan model
pembelajaran besar pengaruhnya terhadap keberhasilan guru dalam mengajar.
Model pembelajaran langsung cenderung monoton, pembelajaran hanya
berpusat pada guru sehingga siswa kurang aktif. Dalam pembelajaran langsung,
guru memberikan pengetahuan dalam bentuk final sehingga siswa kurang dapat
berkembang dan menjadikan prestasi belajar yang diperoleh siswa pun rendah.
Oleh karena itu guru harus mengetahui model pembelajaran yang sesuai dengan
materi pelajarannya. Pada sub materi kesebangunan, penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dimungkinkan dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika yang lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran
langsung. Pada penggunaan model Jigsaw, siswa diharapkan akan terbiasa
mengerjakan soal-soal yang bervariasi sehingga siswa dapat lebih memahami
materi yang sedang dipelajari. Siswa dalam kelas Jigsaw mendapat giliran untuk
memimpin diskusi sehingga mengurangi dominasi dan akan menyadari bahwa
kerja kelompok lebih efektif. Selain itu, siswa akan termotivasi saling membantu
teman satu kelompoknya dan bekerja sama untuk menguasai sub materi
kesebangunan agar masing-masing anggota kelompok berhasil dalam
mengerjakan kuis dan diharapkan bisa faham dengan materi kesebangunan yang
diajarkan oleh guru.
40

2. Keterkaitan Kecerdasan emosional siswa dengan Prestasi Belajar Matematika


Siswa
Prestasi belajar juga dipengaruhi oleh faktor internal seperti kecerdaan emosional
siswa. Pada umumnya siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang baik
merupakan siswa yang mampu mengendalikan keadaan dirinya dan mengelola
segala sesuatu yang diterimanya dengan baik pula. Siswa dengan kecerdasan
emosional yang baik akan mampu memotivasi dirinya dan mengontrol keadaan
dirinya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan demikian,
pengetahuan baru dan keterampilan yang diperoleh pada proses belajar akan
mampu dikelola dengan baik jika siswa memiliki kecerdasan emosional yang
baik. Dengan kata lain, siswa dengan kecerdasan emosional tinggi akan
mempunyai prestasi yang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan emosional
sedang maupun rendah, dan siswa dengan kecerdasan emosional sedang akan
mempunyai prestasi yang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan emosional
rendah, baik diberikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
maupun dengan model pembelajaran langsung. Berdasarkan uraian tersebut, maka
dimungkinkan bahwa kecerdasan emosional siswa berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa. Dan kecerdasan emosional siswa tinggi lebih baik daripada
kecerdasan emosional sedang dan rendah.

3. Keterkaitan Kecerdasan emosional siswa dengan Prestasi Belajar Matematika


pada Masing-Masing Model Pembelajaran

a. Pada model pembelajaran langsung, guru berperan sebagai tokoh utama


dalam pembelajaran dan pemegang kendali seluruh kelas sehingga kelas
menjadi lebih terkendali dan siswa pun tidak ramai sendiri. Dalam
penyampaian materi guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab.
Kemungkinan siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan
mudah mengelola pengetahuan yang diterimanya dengan maksimal.
Akibatnya, pembelajaran pada siswa yang memiliki kecerdasan emosi
tinggi dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda akan
menghasilkan prestasi belajar yang sama baiknya. Dengan menggunakan
41

model pembeljaran langsung ,dimana guru berperan sebagai tokoh utama ,


disini siswa dengan kecerdasan emosional tinggi akan tetap mampu
mengendalikan dirinya untuk memperhatikan informasi apa yang
diberikan oleh guru, dan siswa dengan kecerdasan emosional tingi akan
mengendalikan dirinya untuk mengikuti pembelajaran dikelass dengan
tidak ramai sendiri, Karena itu siswa dengan kecerdasan emosioanal tinggi
akan mampu mengendalikan keadaan dirinya akan lingkungannya,
Sehingga siswa dengan kecerdasan emosional tinggi akan lebih baik
daripada siswa dengan kecerdasan emosional sedang dan rendah.
b. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw , model pembelajaran
dengan membagi siswa dalam beberapa kelompok belajar yang heterogen
beranggotakan 4-6 orang disesuaikan dengan jumlah sub materi dimana
setiap siswa bertanggungjawab kepada satu timnya untuk memberikan
informasi yang diperlukan supaya berkinerja baik pada prose
pembelajaran. Sehingga disini menuntut untuk tiap masing-masing
individu memahami konsep yang dipelajarinya dan memberikan informasi
kepada teman timnya , dan ia juga harus faham dengan materi yang
dijelaskan oleh teman dalam timnya. Pada pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk siswa
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang maupun rendah akan
menghasilkan prestasi belajar yang berbeda dengan model pembelajaran
langsung. Hal ini dimungkinkan siswa yang memiliki kecerdasan
emosional tinggi, sedang maupun rendah dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw akan menghasilkan prestasi belajar
yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan model pembelajaran
langsung. Hal ini dikarenakan pembelajaran menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw mampu menanamkan konsep untuk
memperkuat struktur kognitif siswa dan menambah daya ingat siswa
terhadap informasi baru sehingga konsep yang didapat siswa tidak mudah
hilang. Oleh karena itu, dimungkinkan pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw akan menghasilkan prestasi
42

belajar yang lebih baik dibandingkan pembelajaran yang menggunakan


model pembelajaran langsung, baik pada siswa yang memiliki kecerdasan
emosional tinggi, sedang maupun rendah.
4. Keterkaitan Model Pembelajaran dengan Prestasi Belajar Matematika pada
Maisng-Masing Kecerdasan Emosional Siswa.

a. Siswa dengan Kecerdasan emosional tinggi pada model pebelajaran kooperatif


Jigsaw model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw mampu menanamkan
konsep untuk memperkuat struktur kognitif dan menambah daya ingat terhadap
informasi baru sehingga konsep yang didapat tidak mudah hilang. Dikarenakan
siswa dengan kecerdasan tinggi mampu mengendalikan keadaan dirinya ,
memotivasi dirinya untuk mengikuti pembelajaran. Sedangkan pada model
pebelajaran langsung , disini siswa dengan kecerdasan emosina tinggi juga
mampu mengendalikan dirnya terhadap lingkungannnya, tetapi mereka hanya
menerima secara final dari gurunya, sehingga mereka tidak menanamkan
konsep untuk memperkuat struktur kognitifnya dan dapat lupa dengan materi
yang diterimanya.
b. Siswa dengan kecerdasan emosional sedang , pada model pebelajaran
kooperatif Jigsawmampu memberi penanaman konsep dan daya ingat karena
siswa dengan kecerdasan emosional sedang kurang mampu untuk
menyesuaikan diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri sehingga kurang mampu untuk memecahkan masalah pada
pembelajaran yang diterimanya dikelas. Pada model pembelajarn langsung,
guru sebagai tokoh utama dalam kelas , dan memberikan semua materi dalam
bentuk final, disini siswa dengan kecerdasan sedang kurang mmapu
memotivasi dirinya untuk mengembangkan kognitifnya dan mengendalikan
dirinya.
c. Siswa dengan kecerdasan emosional rendah, pada model pebelajaran
kooperatif Jigsaw belum bisa memberi penanaman konsep dan daya ingat
karena siswa dengan kecerdasan emosional rendah belum mampu untuk
menyesuaikan diri, dan belum mampu mengelola emosi dengan baik pada diri
43

sendiri, ketekunan, empati, mengungkapkan dan memahami emosi,


mengendalikan amarah, sehingga kurang mampu untuk memecahkan masalah
pada pembelajaran yang diterimanya dikelas. Sama halnya dengan model
pembelajarn langsung, guru sebagai tokoh utama dalam kelas , dan
memberikan semua materi dalam bentuk final, disini siswa dengan kecerdasan
rendah belum mampu memotivasi dirinya untuk mengembangkan kognitifnya
dan mengendalikan dirinya dan kecerdasan emosional rendah belum mampu
untuk menyesuaikan diri, dan belum mampu mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri, ketekunan, empati, mengungkapkan dan memahami emosi,
mengendalikan amarah.

Dari pemikiran di atas, dapat digambarkan kerangka berpikir dalam


penelitian ini sebagai berikut :

Model Pembelajaran

Prestasi Belajar
Matematika

Kecerdasan Emosional
Siswa

Gambar Diagram Kerangka Berpikir


44

1. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka kerangka berpikir dan permasalahan
yang diajukan maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
1. Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
menghasilkan prestasi belajar lebih baik dibandingkan dengan model
pembelajaran langsung pada sub materi kesebangungan.
2. Prestasi belajar matematika siswa yang memiliki tingkat kecerdasan
emosional tinggi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki
tingkat kecerdasan emosional sedang, dan prestasi belajar matematika siswa
yang memiliki tingkat kecerdasan emosional sedang lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah pada sub
kesebangunan.
3. Pada model pembelajaran langsung, siswa dengan kecerdasan emosional
tinggi mempunyai prestasi lebih baik dibandingkan siswa dengan kecerdasan
emosional sedang dan kecerdasan emosional rendah , sedangkan siswa
dengan kecerdasan emosional sedang mempunyai prestasi lebih baik
dibandingkan siswa dengan kecerdasan emosional rendah. Pada model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw , siswa dengan kecerdasan emosional
tinggi mempunyai prestasi lebih baik dibandingkan siswa dengan kecerdasan
emosional sedang dan rendah, sedangkan siswa dengan kecerdasan emosional
sedang mempunyai prestasi lebih baik dibandingkan siswa dengan kecerdasan
emosional rendah.
4. Siswa dengan kecerdasan emosinal tinggi yang diberi model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw akan menghasilkan prestasi belajar yang sama baiknya
dengan model pembelajaran langsung. Sedangkan pada siswa yang memiliki
tingkat kecerdasan emosional sedang maupun rendah dengan model
pembelaharan kooperatif tipe Jigsaw mengasilkan prestasi belajar lebih baik
daripada model pembelajaran langsung pada sub materi kesebangunan.
45

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian Penelitian dan uji coba instrumen dilaksanakan di SMP Negeri 24
Surakarta dengan subjek siswa kelas IX semester ganjil tahun pelajaran
2019/2020. .

2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan,
pelaksanaan, penyelesaian. Tiga tahap tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Tahap persiapan
Tahap persiapan pada penelitian ini terdiri dari penyusunan proposal
penelitian, perijinan penelitian, penyusunan instrumen penelitian, survey
tempat penelitian, dan uji coba instrumen. Tahap ini dilaksanakan pada
bulan Juli sampai dengan Oktober 2019.
b. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada penelitian ini terdiri dari pengambilan data
kecerdasan emosional siswa pada awal bulan Oktober 2019, pemberian
data perlakuan yang dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2019
dan pengambilan data prestasi belajar Matematika dilaksanakan pada
bulan November 2019.
c. Tahap penyelesaian
46

Tahap penyelesaian pada penelitian ini terdiri dari proses analisis data dan
penyusunan laporan. Tahap ini dilaksanakan pada bulan September sampai
dengan Desember 2018.

Waktu penelitian dalam bentuk Gantt Chart sebagai berikut :


Tabel 3.1. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Bulan
Jenis Kegiatan Ag No
Okt
Juli t Sept v Des Jan
6. Persiapan penelitian              
a. Mengurus perizinan              
b. Koordinasi dengan
kepala sekolah dan
guru            
c. Menyusun angket dan
tes prestasi belajar              
d. Melakukan uji coba
tes              
e. Menganalisis hasil uji
coba dan merevisi tes              
f. Finalisasi dan
penggandaan tes              
7. Pelaksanaan penelitian              
a. Mengadakan
pengukuran
kecerdasan emosional              
b. Melakukan
eksperimen              
c. Melakukan tes
prestasi
d. belajar              
e. Analisis data hasil
f. eksperimen              
8. Penyusunan laporan atau
skripsi              
a. Menyusun draf            
47

b. Mengetik naskah              
9. Pelaksanaan ujian skripsi
dan revisi              

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu karena
peneliti tidak memungkinkan menjaga variabel bebas dengan baik atau
tidak dapat mengendalikan semua variabel luaran yang relevan kecuali
variabel-variabel yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiyono
(2017: 101) bahwa tujuan dari penelitian eksperimental semu adalah untuk
memperoleh informasi yang merupakan perkiraan (estimasi) bagi
informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya
dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol semua
variabel luaran yang relevan.
Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan pada variabel
bebas yaitu pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw pada kelas eksperimen dan pembelajaran langsung
pada kelas kontrol. Untuk variabel bebas yang lain yaitu kecerdasan
emosional siswa dijadikan sebagai variabel yang ikut memengaruhi
variabel terikat, yaitu prestasi belajar siwa pada sub materi kesebangunan.

C. Desain Penelitian
Pada akhir eksperimen kedua kelompok tersebut diukur dengan
menggunakan alat ukur yang sama, yaitu soal tes prestasi belajar matematika
pada sub materi kesebangunan. Hasil pengukuran tersebut digunakan sebagai
data eksperimen, kemudian data yang diperoleh diolah dan hasilnya
dibandingkan dengan tabel uji statistiknya.
48

Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial sederhana 2 x 3 dengan


maksud untuk mengetahui pengaruh dua variabel bebas terhadap variabel terikat.
Faktor pertama adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model
pembelajaran langsung. Kemudian faktor kedua adalah kecerdasan emosional
yang dikategorikan menjadi tingkat tinggi, sedang, rendah. Tabel rancangan
tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian


B Kecerdasan Emosional Siswa
A
Tinggi (b1) Sedang (b2) Rendah (b3)
Koopeartif Tipe
Model
Jigsaw (a1)
Pembelajaran
Langsung (a2)

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Menurut Budiyono (2017: 40), “Populasi adalah keseluruhan objek
yang diteliti”. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX
SMP Negeri 24 Surakarta tahun pelajaran 2019/2020 yang terdiri dari 8
kelas (IXA, IXB, IXC, IXD, IXE, IXF, IXG, dan IXH).
2. Sampel
Menurut Budiyono (2017: 40), “Karena berbagai alasan (misalnya
karena tidak mungkin, tidak perlu, atau tidak perlu dan tidak mungkin)
tidak semua objek yang diteliti perlu diamati atau diambil datanya. Jadi,
penelitian hanya dilakukan terhadap sampel, tidak terhadap populasi”.
Arikunto (2006: 109) menyatakan bahwa, “sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti”. Pada penelitian ini sampel diambil dari dua
kelas IX yang ada di SMP Negeri 24 Surakarta.
49

E. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini
adalah cluster random sampling dengan penyesuaian. Menurut Budiyono
(2017: 43) “cluster random sampling adalah sampling random sederhana
yang dikenakan berturut-turut terhadap unit-unit atau sub-sub populasi”.
Terkait hal ini setiap kelas pada kelas IX SMP Negeri 24 Surakarta
merupakan sub populasi. Sampel diambil secara cluster random sampling
dengan penyesuaian, terpilih dua kelas yaitu kelas IX E (kelas kontrol) dan
IX F (kelas eksperimen).

F. Teknik Pengumpulan Data


1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas dan satu veriabel terikat.
a. Variabel Bebas
1) Model Pembelajaran
a) Definisi Operasional : Model Pembelajaran adalah suatu
perencanaan yang digunakan sebagai pedoman pembelajaran di
kelas, pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran, yakni model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
pada kelas eksperimen dan model pembelajaran langsung pada
kelas kontrol.
b) Skala Pengukuran : Skala Nominal
c) Indikator : Penggunaan model pembelajaran kooeratif tipe Jigsaw.
2) Kecerdasan Emosional
a) Definisi Operasional : Kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan
menyesuaikan diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
b) Skala Pengukuran : Skala interval yang kemudian
ditransformasikan ke dalam skala ordinal dengan tiga kategori yaitu
kelompok tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan kategori
50

berdasarkan rata-rata ( X́ ) dan standar deviasi (s). Pentranformasian


sebagai berikut:
Untuk kategori tinggi : X i > X́ +s
Untuk kategori sedang: X́ −s ≤ X i ≤ X́ + s
Untuk kategori rendah : X i < X́−s
Keterangan :
s adalah standar deviasi
X i adalah nilai tes siswa ke-i dimana i=1,2,3,…,n
X́ adalah rerata dari seluruh nilai angket kecerdasan
emosional siswa
c) Indikator : Nilai angket kecerdasan emosional siswa pada sub
materi kesebangunan
b. Variabel Terikat
Prestasi Belajar
1) Definisi Operasional : Prestasi belajar siswa adalah hasil yang
diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran pada pokok
bahasan kesebangunan.
2) Skala Pengukuran : Skala Interval
3) Indikator : Nilai tes prestasi belajar pada sub materi kesebangunan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Salah satu kegiatan dalam penelitian adalah menentukan cara
mengukur variabel penelitian dan alat pengumpulan data. Untuk mengukur
variabel diperlukan instrumen yang akan digunakan untuk mengumpulkan
data. Adapun teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data pada
penelitian ini ada tiga macam, yaitu metode dokumentasi, metode angket,
dan metode tes.
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan
melihatnya dalam dokumen yang telah ada. Dokumen biasanya merupakan
dokumen resmi yang telah terjamin keakuratannya (Budiyono 2017:61).
51

Pada penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan


data nilai Ulangan Tengah Semester 1 SMP N 24 Surakarta mata pelajaran
matematika tahun pelajaran 2019/2020. Data yang diperoleh digunakan
untuk menguji keseimbangan rataan kemampuan awal kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
b. Metode Tes
Asmawi Zainul dan Noehl Nasution dalam Budiyono (2015: 35)
berpendapat bahwa “Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau atribut
pendidikan atau atribut psikologik tertentu yang setiap butir pertanyaan
atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap
benar”. Sedangkan menurut Budiyono (2017: 60), “Metode tes adalah cara
pengumpulan data yang menghadapkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan
atau suruhan-suruhan kepada subjek penelitian dimana respon siswa dapat
dikategorikan kedalam respon yang benar atau respon yang salah”.
Tes dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur prestasi
belajar matematika siswa kelas IX SMP Negeri 24 Surakarta semester 1
tahun pelajaran 2019/2020 pada sub kesebangunan. Bentuk tes yang
digunakan adalah soal pilihan ganda.
Langkah-langkah menyusun tes prestasi belajar terdiri dari :
2) Membuat kisi-kisi tes,
3) Menyusun soal-soal tes,
4) Memvalidasi isi butir tes,
5) Merevisi butir tes,
6) Mengadakan uji coba,
7) Menguji konsistensi internal da reliabilitas tes,
8) Menentukan butir tes yang dapat digunakan.
c. Metode Angket
Menurut Suharsini Arikunto (2006: 128), angket adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia
52

ketahui. Metode angket ini digunakan untuk mengumpulkan data


mengenai kecerdasan emosional siswa. Angket pada penelitian ini memuat
pernyataan-pernyataan mengenai kecerdasan emosional siswa dalam
bentuk pilihan ganda dengan 4 alternatif jawaban.
Dalam hal ini skor penilaian angket adalah :
1) Untuk butir angket yang positif
Skor 4 untuk alternatif jawaban selalu
Skor 3 untuk alternatif jawaban sering
Skor 2 untuk alternatif jawaban jarang
Skor 1 untuk alternatif jawaban tidak pernah
2) Untuk butir angket yang positif
Skor 1 untuk alternatif jawaban selalu
Skor 2 untuk alternatif jawaban sering
Skor 3 untuk alternatif jawaban jarang
Skor 4 untuk alternatif jawaban tidak pernah

G. Teknik Validasi Instrumen Penelitian


Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini berupa tes untuk memperoleh data tentang
prestasi belajar matematika dan angket untuk memperoleh data tentang
kecerdasan emosional siswa. Instrumen penelitian disusun dalam soal
obyektif berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Setelah instrumen selesai
disusun, selanjutnya diuji cobakan terlebih dahulu sebelum dikenakan
pada sampel penelitian. Tujuan uji coba ini adalah untuk mengetahui
apakah instrumen yang telah disusun memenuhi syarat-syarat instrumen
yang baik menurut validitas isi, konsistensi internal, dan uji reliabilitas.
1. Uji Validitas Isi
Suatu instrumen disebut valid menurut validitas isi apabila isi
instrument tersebut telah merupakan sampel yang representatif dari
keseluruhan isi hal yang akan diukur. Kegiatan validitas isi adalah
serangkaian kegiatan yang berlangsung setelah bentuk awal instrumen
53

telah selesai ditulis. Untuk menilai apakah suatu instrument mempunyai


validitas isi yang tinggi, yang dilakukan adalah melalui experts judgement
(penilaian yang dilakukan oleh para pakar). Dalam hal ini, para penilai
melakukan dua hal pokok. Pertama, para penilai menilai apakah kisi-kisi
yang dibuat oleh pengembang tes telah menunjukkan bahwa klasifikasi
kisi-kisi telah mewakili isi (substansi) yang akan diukur atau telah sesuai
dengan konsep yang telah didefinisikan. Kedua, para penilai menilai
apakah masing-masing butir tes yang telah disusun cocok atau relevan
dengan klasifikasi kisi-kisi yang ditentukan (Budiyono, 2015:39-40).
Pada tingkat minimum, menurut Crocker dan Algina dalam
Budiyono (2015: 40) menawarkan ada empat langkah dalam melakukan
validitas isi sebagai berikut:
1) Mendefinsikan domain kinerja yang akan diukur (pada tes prestasi dapat
berupa serangkaian tujuan pembelajaran atau pokok-pokok bahasan
sejumlah kompetensi dasar yang diwujudkan dalam kisi-kisi).
2) Membentuk sebuah panel yang ahli (qualified) dalam domain-domain
tersebut.
3) Menyediakan kerangka terstruktur untuk proses pencocokan butir-butir
soal dengan domain performans yang terkait (kerangka terstruktur ini
biasanya berwujud table-tabel atau matriks-matriks yang biasanya disebut
lembar validasi).
4) Mengumpulkan data dan menyimpulkan berdasar data yang diperoleh dari
proses pencocokan pada Langkah (3).
Dalam penelitian ini butir kriteria dikatakan valid menurut validitas
isi jika validator setuju dengan semua kriteria yang ditentukan sehingga
butir telah sesuai/cocok dengan semua kriteria yang ditentukan.
Kriteria penelaahan untuk validitas isi pada instrumen tes meliputi :
1) Segi materi
a) Soal sesuai dengan indikator
b) Hanya ada satu jawaban yang paling tepat
2) Segi kontruksi
54

a) Pokok soal dirumuskan dengan singkat dan jelas


b) Pokok soal bebas dari pernyataan yang dapat menimbulkan
penafsiran ganda
c) Butir soal tidak bergantung pada jawaban soal sebelumnya
3) Segi bahasa
a) Soal menggunakan bahasa sesuai kaidah bahasa Indonesia
b) Soal menggunakan bahasa yang komunikatif
c) Soal tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat
Sedangkan kriteria penelahaan untuk validasi isi angket adalah
sebagai berikut :
1) Kesesuaian butir angket dengan kisi-kisi
2) Bahasa yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda
3) Bahasa yang digunakan mudah dipahami
4) Kesesuaian dengan tahap perkembangan siswa
5) Keseuaian penulisan dengan EYD
2. Uji Daya Pembeda (Uji Konsistensi Internal)
Sebuah kriteria yang terdiri dari butir-butir kriteria harus
mengukur hal yang sama dan menunjukkan kecenderungan yang sama
pula. Yang berarti harus ada korelasi positif antara skor masing-masing
butir tersebut. Korelasi internal tiap butir dapat dilihat dari korelasi antara
skor masing-masing butir dengan skor total.
Uji konsistensi internal digunakan untuk mengetahui konsisten atau
tidaknya suatu instrument. Pada tes prestasi belajar dan angket kecerdasan
emosional siswa, konsistensi internal berfungsi sebagai daya pembeda.
Dalam menghitung konsistensi internal untuk setiap butir soal ke-i,
digunakan rumus korelasi momen produk dari Karl Pearson sebagai
berikut :
n ∑ XY−( ∑ X )( ∑ Y )
r xy =
2 2
√(n ∑ X −(∑ X ) )(n ∑ Y −(∑ Y ) )
2 2
55

Keterangan :
rxy : indeks daya beda
n : banyak subjek yang dikenai tes (_riteria_t)
X : skor untuk butir ke-i (dan subyek uji coba)/skor tes
Y : skor total (dari subyek uji coba)/skor _riteria
Soal dikatakan konsisten jika rxy ≥ 0,3 . Jika daya pembeda untuk
butir ke-i kurang dari 0,3 (rxy 0,3) maka butir tersebut tidak konsisten dan
harus dibuang.
(Budiyono, 2015: 43)
3. Uji Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran dinyatakan dalam indeks kesukaran yaitu angka
yang menunjukkan proporsi siswa yang menjawab benar soal tersebut.
Indeks tingkat kesukaran untuk instrumen tes dirumuskan sebagai berikut :
B
P=
N

Keterangan :
P : Indeks tingkat kesulitan
B : banyak siswa menjawab benar
N : banyak seluruh siswa
Butir tes yang baik ketika indeks tingkat kesukarannya adalah
0,30 ≤ P ≤ 0,70.
(Budiyono, 2015: 99)
4. Uji Reliabilitas
Suatu instrumen disebut reliabel apabila hasil pengukuran dengan
instrumen tersebut adalah sama jika sekiranya pengukuran tersebut
dilakukan pada orang yang sama pada waktu yang berlainan atau pada
orang yang berlainan (tetapi mempunyai kondisi yang sama) pada waktu
yang sama atau pada waktu yang berlainan (Budiyono, 2015: 47). Kata
reliabel sering disebut dengan nama lain terpercaya, terandalkan, ajeg,
stabil, konsisten, dan lain sebagainya.
56

Untuk menghitung tingkat reliabilitas tes hasil belajar, dalam


penelitian ini digunakan rumus dari Kuder-Richardson dengan KR-20,
yaitu:

n s 2t −∑ pi qi
r 11 =
(n−1) ( s 2t )
Keterangan:
r 11 = indeks reliabilitas instrumen
n : banyaknya butir soal
s2t : variansi total
pi : proporsi banyaknya subyek yang menjawab benar pada butir ke-i
q i : 1- pi
Hasil pengukuran pada instrumen tes dikatakan reliabel apabila
besarnya indeks reliabilitas yang diperoleh telah melebihi nilai 0,70.
(Budiyono, 2015: 53)
Sedangkan untuk menghitung tingkat reliabilitas angket, dalam
penelitian ini digunakan rumus Alpha dari Cronbach, yaitu:
2
n ∑s
r 11 =
(n−1)(1− 2 i
st )
Keterangan:
r 11 = indeks reliabilitas instrumen
n : banyaknya butir soal
s2t : variansi total
pi : proporsi banyaknya subyek yang menjawab benar pada butir ke-i
q i : 1- pi

s2i : variansi butir ke-i


Kriteria reliabilitas:
Hasil pengukuran pada instrumen angket dikatakan reliabel apabila
besarnya indeks reliabilitas yang diperoleh telah melebihi nilai 0,70.
(Budiyono, 2015: 55)
57

H. Teknik Analisis Data


1. Uji Keseimbangan
Sebelum eksperimen dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan
uji kesamaan rerata dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Uji
ini dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok (kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol) dalam keadaan seimbang atau tidak.
Secara statistik, apakah terdapat perbedaan mean yang berarti dari dua
sampel yang independen. Statistik uji yang digunakan adalah uji-t sebab
variansi dari populasi tidak diketahui. Sebelum dilakukan perhitungan,
diuji terlebih dahulu apakah kedua kelompok berdistribusi normal.
Prosedur uji keseimbangan adalah sebagai berikut:
a. Hipotesis
Ho : µ 1 = µ 2 (kedua kelompok sampel berasal dari populasi tingkat
kecerdasan emosional yang sama)
Ho : µ 1 ≠ µ 2 (kedua kelompok sampel berasal dari populasi tingkat
kecerdasan emosional yang berbeda)
b. Tingkat signifikansi: α = 0,05
c. Statistik uji
( X 1 −X 2 )
t= ~ t ( n 1 +n2 −2 )
1 1
sp
√ +
n1 n2

(n1 −1)s 2 +(n2 −1) s 2


1 2

sp2= n 1 +n2 −2

Dengan :
t : harga statistik yang diuji t ~ t(n 1 + n 2 – 2)
X1 : rata-rata nilai ujian UTS siswa kelompok eksperimen
X2 : rata-rata nilai nilai ujian UTS siswa kelompok kontrol
s12 : variansi dari kelompok eksperimen

s22 : variansi dari kelompok kontrol


58

n1 : ukuran sampel kelompok eksperimen


n2 : ukuran sampel kelompok kontrol
sp2 : variansi gabungan
sp : deviasi baku gabungan
d. Daerah kritik: DK = {t | t < - t α / 2 atau t > t α / 2}
e. Keputusan uji: H 0 ditolak jika t ∈ DK
(Budiyono, 2016: 151)
2. Uji Prasyarat
Uji prasyarat yang dipakai dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan
uji homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang
diambil berasal dari populasi berdistribusi normal. Uji Normalitas dalam
penelitian ini digunakan metode Lilliefors, hal tersebut karena uji
Lilliefors dapat digunakan untuk sampel yang kecil. Langkah-langkah uji
lilliefors sebagai berikut :
1) Hipotesis
H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
2) Taraf signifikansi:  = 0,05
3) Statistik uji:
L = max | F(zi)-S(zi) |
Dimana:
F(zi) : P(Z < zi) dengan Z ~ N(0,1)
S(zi) : proporsi cacah z ≤ zi terhadap seluruh cacah zi

zi skor standar zi =
( X i − X́ )
:
s
s : standar deviasi
4) Daerah kritik:
DK = {L | Lα,n} dengan n ukuran sampel
5) Keputusan uji
59

H0 ditolak jika L ∈ DK
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah populasi
mempunyai variansi yang sama. Uji homogenitas dalam penelitian ini
digunakan metode Bartlett dengan statistik uji Chi Kuadrat sebagai
berikut:
1) Hipotesis
2
H0 : σ 21 =σ 22 = …= σ k (populasi-populasi homogen)
H1 : tidak semua variansi sama (populasi-populasi tidak homogen)
2) Taraf signifikansi:  = 0,05
3) Statistik uji
k
χ =22 , 303
c [
f . log RKG−∑ f j log S 2j
j=1 ]
Dimana:
χ2~ χ2(k-1)
k : banyaknya populasi (banyaknya sampel)
f : derajat bebas untuk RKG = N – k
fj : derajat bebas untuk S j 2 = nj – 1
j : l, 2, ..., k
N : banyaknya seluruh nilai ( pengukuran )
nj : banyaknya pengukuran pada sampel ke-j
1 1 1
c=
1+
3 (k−1 ) [ ∑f −
j f ]
∑ SS i
RKG = ∑f j ;
2
(∑ X j )
SS j=∑ X 2j −
nj = (nj -1)s j2
4) Daerah kritik:
DK = {X 2 | X 2 > X 2α;k-1}
60

5) Keputusan uji
H0 ditolak jika X 2 ∈ DK
(Budiyono, 2016: 175-177)
3. Uji Hipotesis
Hipotesis penelitian ini dianalisa dengan analisis variansi dua jalan
dengan sel tak sama, dengan model sebagai berikut :
Xijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Dimana:
Xijk : data amatan ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j
μ : rerata dari seluruh data (rerata besar)
αi = µi – µ : efek baris ke-i pada variabel terikat
βj = µj – µ : efek kolom ke j pada variabel terikat
(αβ)ij = µij – (µ + αi + βj) : kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j pada
variabel terikat
εijk : Deviasi data X ijk terhadap rataan populasinya (µ ijk) yang
berdistribusi normal dengan rataan 0
i : 1, 2,…..,p ; p: cacah baris A
j : 1, 2, 3, ……, q; q: cacah kolom B
k : 1, 2,3, ..., nij ; n ij : banyaknya data amatan pada setiap sel ij
Prosedur dalam pengujian dengan menggunakan analisis variansi
dua jalan dengan sel tak sama, yaitu :
a. Hipotesis:
Pada analisis variansi dua jalan terdapat tiga pasang hipotesis
yang perumusannya adalah sebagai berikut:
1) H0A : αi = 0 untuk setiap i = 1,2
(Tidak ada perbedaan efek antara baris (model pembelajaran)
terhadap variabel terikat (prestasi belajar matematika) pada sub
pokok bahasan kesebangunan)
H1A : paling sedikit ada α i ¿ 0
(Ada perbedaan efek antara baris (model pembelajaran) terhadap
variabel terikat (prestasi belajar siswa) pada sub pokok
61

kesebangunan)
2) H0B : β j = 0 untuk setiap j = 1,2,3
(Tidak ada perbedaan efek antara tingkat kecerdasan emosional
siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa pada sub pokok
bahasan kesebangunan)
H1B : paling sedikit ada satu β j yang tak nol
(Ada perbedaan efek antara tingkat kecerdasan siswa terhadap
prestasi belajar matematika siswa pada sub kesebangunan)
3) H0AB : (αβ)ij = 0 untuk setiap i = 1,2 dan j = 1,2,3
(Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan tingkat
kecerdasan emosional siswa pada sub pokok bahasan
kesebangunan)
H1AB : paling sedikit ada satu harga (αβ)ij yang tidak nol
(Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan tingkat
kecerdasan emosional siswa pada sub pokok bahasan
kesebangunan)
b. Komputasi
a/b b1 b2 b3
a1 ab11 ab12 ab13
a2 ab21 ab22 ab23

Dengan :
a1 = pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw
a2 = pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran
langsung
b1 = kecerdasan emosional siswa tinggi
b2 = kecerdasan emosional siswa sedang
b3 = kecerdasan emosional siswa rendah
Pada analisis variansi dua jalan ini didefinisikan notasi – notasi sebagai
berikut:
62

ni = ukuran sel ij (sel pada baris ke – i dan kolom ke – j)


= banyaknya data amatan pada sel ij
= frekuensi sel ij
pq
n´h = rataan harmonik frekuensi seluruh sel = 1
∑n
ij ij

N = ∑ nij = banyaknya seluruh data amatan


ij

SSij = (∑ X ij)
k
∑ X 2ij − nij
k

= jumlah kuadrat deviasi data amatan pada sel ij


´ IJ
AB = rataan pada sel ij

= ∑ ABij = jumlah rataan pada baris ke-i


´
Ai
i

= ∑ ABij = jumlah rataan pada kolom ke-j


´
Bj
j

= ∑ ABij = jumlah rataan semua sel


´
G
ij

1) Komponen Jumlah Kuadrat


Untuk memudahkan perhitungan, didefinisikan besaran –
besaran (a) (b), (c), (d) dan (e) sebagai berikut.
G2
(a) =
pq

(b) = ∑ SS ij
ij

A2i
(c) = ∑
i q
B2j
(d) = ∑
j p
´ 2
(e) = ∑ AB ij
ij

2) Jumlah Kuadrat
63

Terdapat lima jumlah kuadrat yaitu jumlah kuadrat baris


(JKA), jumlah kuadrat kolom (JKB), jumlah kuadrat interaksi
(JKAB), jumlah kuadrat galat (JKG) dan jumlah kuadrat total
(JKT), yaitu :
JKA = n´h { ( c )−(a) }
JKB = n´h { ( d ) −(a) }
JKAB = n´h { ( a )+ ( e ) −( c )−(d) }
JKG = (b)
JKT = JKA + JKB + JKAB + JKG
3) Derajat Kebebasan
Derajat kebebasan untuk masing-masing jumlah kuadrat
tersebut adalah :
dkA =p–1
dkB =q–1
dkAB = (p – 1)(q – 1)
dkG = N – pq
dkT =N–1
4) Rataan Kuadrat
Berdasarkan jumlah kuadrat dan derajat kebebasan masing-masing,
diperoleh rataan kuadrat berikut :
JKA
RKA =
dkA
JKB
RKB =
dkB
JKAB
RKAB =
dkAB
JKG
RKG =
dkG
c. Staistik Uji
RKA
1) Untuk H0A adalah Fa =
RKG
64

RKB
2) Untuk H0B adalah Fb =
RKG
RKAB
3) Untuk H0AB adalah Fab =
RKG
d. Daerah Kritik
1) Daerah kritik untuk Fa adalah DK = { F∨F> F α , p −1 , N − pq }
2) Daerah kritik untuk Fb, adalah DK = { F∨F> F α , q−1 ,N − pq }

3) Daerah kritik untuk Fab adalah DK = { F∨F > Fα , ( p−1) (q −1 ) , N− pq }


e. Keputusan Uji
H0 ditolak jika harga statistik uji jatuh di daerah kritik.
(Budiyono. 2016: 212-213)
4. Uji Komparasi Ganda
Untuk mengetahui perbedaan rerata setiap pasangan baris, setiap pasangan
kolom dan setiap pasangan sel diadakan uji komparasi ganda dengan
menggunakan metode Scheffe karena metode ini akan menghasilkan beda
rataan dengan tingkat signifikansi yang kecil.
Uji komparasi ganda dilakukan apabila H0 ditolak dan variabel bebas dari
H0 yang ditolak tersebut terdiri atas tiga kategori. Jika H0 yang ditolak
tersebut terdiri atas dua kategori maka untuk melihat perbedaan pengaruh
antara kedua kategori cukup hanya melihat rataan marginalnya. Uji
komparasi juga perlu dilakukan apabila terdapat interaksi antara kedua
variabet bebas. Langkah – langkah komparasi ganda dengan metode Scheffe
untuk analisis variansi dua jalan adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi semua pasangan komparasi yang ada.
b. Menentukan hipotesis yang bersesuaian.
c. Menentukan tingkat signifikansi.
d. Mencari harga statistik uji F dengan rumus sebagai berikut :
1) Komparasi rataan antar baris
Uji Scheffe untuk komparasi antar baris adalah :
65

( X́ i− X́ j )2
Fi-j = 1 1
RKG [ + ]
ni nj
Dengan :
Fi-j = nilai Fobs pada pembandingan baris ke-i dan baris ke-j
X́ i = rataan pada baris ke-i
X́ j = rataan pada baris ke-j
RKG = rataan kuadrat galat
ni = ukuran sampel baris ke-i
nj = ukuran sampel baris ke-j
Sedangkan daerah kritik untuk uji tersebut adalah :
{ F∨F>( p−1) Fα , p−1, N − pq }
2) Komparasi rataan antar kolom
( X́ i− X́ j )2
Fi-j = 1 1
RKG [ + ]
ni nj
Sedangkan daerah kritik untuk uji tersebut adalah:
{ F∨F>(q−1) F α ,q −1 , N −pq }
3) Komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama
Uji Scheffe untuk komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama
adalah :
2
( X́ ij − X´kj )
Fij-kj = 1 1
RKG
[ +
nij nkj ]
Dengan :
Fij-kj = nilai Fobs pada pembandingan rataan pada sel ij dan rataan
pada sel kj
X́ ij = rataan pada baris ke-ij
X´ kj = rataan pada baris ke-kj
RKG = rataan kuadrat galat
nij = ukuran sampel baris ke-ij
66

nkj = ukuran sel ke-kj


Sedangkan daerah kritik untuk uji tersebut adalah :
{ F∨F>( pq−1) F α , pq−1, N − pq }
4) Komputasi rataan antar sel pada baris yang sama
Uji Scheffe untuk komparasi ratan antar sel pada baris yang sama
adalah :
2
( X́ ij − X´kj )
Fij-kj = 1 1
RKG
[ +
nij nkj ]
Daerah kritik untuk uji tersebut adalah : { F∨F>( pq−1) F α , pq−1, N − pq }
e. Menentukan keputusan uji untuk masing-masing komparasi ganda.
f. Menentukan kesimpulan dari keputusan uji yang sudah ada.
(Budiyono, 2004: 213-215)

I. Prosedur Penelitian
1. Persiapan
Persiapan merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian ini.
Tahap persiapan dimulai dengan menemukan permasalahan penelitian terkait
pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
secara umum dan memilih sekolah yang akan dijadikan penelitian. Seelain
itu, mempersiapkan referensi buku, skripsi, tesis, jurnal, dan referensi lain
terkait pembelajaran yang diterapkan.
2. Pengajuan Proposal
Tahap kedua setelah persiapan adalah pengajuan proposal penelitian.
Penulisan proposal merupakan pengajuan untuk melakukan penelitian.
Prorposal penelitian berisikan latar belakang penelitian, kajian pustaka, teknik
dan analisis data yang akan diterapkan dalam penelitian.
3. Penyusunan Instrumen Penelitian
Penyusunan instrumen penelitian bertujuan untuk membantu
memperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan. Instrumen yang
67

dibutuhkan adlah instrumen untuk mengukur prestasi belajar siswa dan


kecerdasan emosional siswa.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan memberi angket kepada siswa
untuk mengukur kecerdasan emosional siswa. Kemudian memberi tindakan
untuk kelas eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dan kelas kontrol dengan model pembelajaran langsung pada sub materi
kesebangunan. Setelah diberi tindakan, siswa diambil data prestasi belajarnya
dengan menggunakan instrumen tes. Hasil pengumpulan data sakan
digunakan untuk menguji hipotesis.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis variansi dua jalan sel tak
sama.
6. Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah penyusunan laporan
penelitian. Penulisan laporan penelitian disusun secara sistematis sesuai
aturan pedoman penulisan skripsi dan dilanjutkan dengan ujian skripsi oleh
tim penguji.

DAFTAR PUSTAKA
68

Amri, S. I. (2010). Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif Dalam Kelas:


Metode, Landasan Teoritis-Praktis dan Penerapannya . Jakarta: PT.
Prestasi Pustakaraya.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Budiyono. (2015). Pengantar Penilaian Hasil Belajar. Surakarta: UNS press.
________. (2016). Statistika Untuk Penelitian Edisi Ke-2. Surakarta: UNS press.
________. (2017). Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS
press.
Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Febriani, S. K. (2013). EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA SUB MATERI BELAH KETUPAT
DAN LAYANG-LAYANG DITINJAU DARI KOMUNITAS MATEMATIKA
SISWA KELAS VII SMP NEGERI 16 SURAKARTA TAHUN AJARAN
2011/2012. Skripsi tidak dipublikasikan: Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Goleman, D. (2005). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Terjemahan oleh Alex Tri K. W. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hayati, S. N. (2017). EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
DISCOVERY LEARNING PADA POKOK BAHASAN PERSAMAN DAN
PERTIDAKSAMAAN NILAI MUTLAK LINEAR SATU VARIABEL
DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA KELAS X IPS SMA
NEGERI 1 RANDUBLATUNG BLORA TAHUN PELAJARAN 2018/2019.
Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Isjoni. (2013). Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kardi, S. d. (2000). Pengajaran Langsung. Surabaya: UNESA University Press.
Kemendikbud. (2012). Dokumen Kurikulum 2013. Diambil kembali dari
http://yogyakarta.kemenag.go.id, 13 Desember 2018
muhammad Afandi, E. C. (2013). MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN DI
SEKOLAH. Semarang: Sultan Agung Press.
Nurhadi. (2003). Pendekatan Konstekstual (Contextual Teaching and Learning).
Jakarta: Depdiknas.
Slavin, R. E. (2008). Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
69

Subawanti, E. (2012). EKSPERIMENTASI PENGAJARAN MATEMATIKA


DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL TEAMS GAMES
TOURNAMENTS DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL SISWA
PADA MATERI SEGIEMPAT DI SMPN 1 JOGOROGO TAHUN AJARAN
2011/2012. Skripsi tidak dipublikasikan: Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Sugiyanto. (2009). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia
Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13.
Sukriadi. (2016). Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa pada Materi Sudut dan Garis di Kelas VII MTS Normal
Islam Samarinda. Diambil kembali dari jpmi.or.id, 7 Desember 2018
Suprihatiningrum, J. (2013). Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran iInovatif berorientasi kontruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai