Anda di halaman 1dari 3

Fungsi Al-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah

sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal (tafsiran terhadap ayat-
ayat al-qur’an yang masih bersifat global ) dan musytarak (yang memiliki dua makna atau
lebih). Seperti hadits : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al- Qur’an yang umum, yaitu : Kerjakan shalat. Demikian
pula hadits: Ambillah dariku perbuatan hajiku adalah tafsir dari ayat Al-Qur‟an
“Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah
hajimu). 10
b. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-
Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah
karena melihatnya adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185. Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah: 185)

c. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan
Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang
sudah dizakati”, adalah penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang
artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

1) Tingkatan-tingkatan Hadits
a. Hadits Shahih
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan dan
sanadnya bersambung-sambung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para
perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat)
yang menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut :
” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami
dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat
maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Rawi = orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits


b. Hadits Hasan
Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya,
dan bersambung-sambung sanadnya.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin
sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya
pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil
jihadi).
Derajat hadits tersebut adalah hasan, karena semua perawi dalam hadits tersebut tsiqoh
kecuali ja’far bin sulaiman adh-dhuba’i.

c. Hadits Dla’if
Hadits dla’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
”Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya
60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus
(1/1/112)]. Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin
Zakariyya, dan Abdullah bin Sam’an, kedua orang ini, adalah pendusta, biasa memalsukan
hadits. Syaikh Al-Albaniy rahimahullaahu menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-
Dho’ifah (2550).

2) Pembagian Hadis
A. Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitas
 Hadis Mutawatir : Hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan
logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.
Berikut adalah contoh dari hadis mutawatir lafdzhi :
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.
Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah
periwayat yang meriwayatkannya, diantaranya adalah :
a.Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh
40 (empat puluh) sahabat.
b.Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh
dua) sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.
c.Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan
oleh 40 (empat puluh) sahabat.
d.Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari
80 (delapan puluh) sahabat.
e.Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100
(seratus) bahkan 200 (duaratus) sahabat.

 Haidt ahad : Hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Misalkan hadis yang populer dikalangan ulama fiqih saja :
“Sesuatu yang halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Al-Hakim)
Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga diriwayatkan oleh satu
perawi saja, sehingga hadits tersebut bisa dikatakan sebagai hadits

B. Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitasnya


 Hadis Maqbul
hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya .
Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan
dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, dan dari
segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.
 Hadis Mardud
Hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat Hadist maqbu

Anda mungkin juga menyukai