Tugas Kuliah Geotrans
Tugas Kuliah Geotrans
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan relasi makna antarleksikal berkenaan dengan
tanaman bambu dalam bahasa Bali dan penggunaan praksis sosial sebagai lingkungan bahasa
terkait dengan keseimbangan hidup. Data penelitian ini adalah data lisan dan data tertulis
sebagai data pendukung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Data dikumpulkan dengan pengamatan mendalam dan wawancara serta dibantu
dengan teknik catat dan rekam. Dari penelitian ini diperoleh hasil, yaitu ditemukan meronimi
dan taxonomi hiponim bambu dalam bahasa Bali dan leksikon terkait terbentuk dari praksis
sosial yang membangkitkan sifat ekologis manusia untuk upaya pelestarian.
ABSTRACT
The aim of this research is to find the semantic relation between lexicons of tiing „bamboo‟ in
Balinese and to know social praxis usage as a language environment which is linked to life
balance. The collected data are spoken data and written data as supporting data. This
research is explained descriptively and is conducted with qualitative approach. It is collected
by observation and depth interview, and also is assisted by recording and note taking
techniques. Based on the research, the findings are meronymy and taxonomic hyponym of
bamboo in Balinese and the related lexicons are formed by social praxis which are able to
raise Balinese people‟s preservation efforts as ecologic human.
Ideo-logics socio-logics
Situation: Topos
S S
1 2 Environment
M
S O
3
S1
Bio-logics
Animal
sheep horse
body
forearm hand
palm finger
(Cruse, 1986:157)
Meronimi berbeda dengan taksonomi. burupa data tertulis tentang bambu dalam
Taksonomi memiliki transitivitas buku Jenis-Jenis Bambu di Bali dan potensi
(transitivity) (transitivity) antarleksikal nya (Arinasa dan Peneng, 2013) juga
tetapi meronimi tidak (Saeed, 1997:70), digunakan dalam penelitian ini. Data
misalnya palm (telapak tangan) adalah tersebut diperoleh melalui pengamatan
meronimi dari hand (tangan) dan hand mendalam dan wawancara dengan penutur
(tangan) meronim dari arm (lengan), tetapi berbahasa Bali (Black dan Champion,
palm (telapak tangan) tidak bisa dikatakan 1992: 308--310). Selain itu, metode
meronimi dari arm (lengan) yang diuji pengalaman personal (Denzin dan Lincoln,
dengan X part Y, Y has X (telapak tangan 2009:497) juga memiliki peranan penting
bagian dari lengan, lengan memiliki telapak dalam pemerolehan data karena refleksi ide
tangan) dan tidak berterima. guyub tutur dan cara berbeda dalam
memaknai interaksi mereka dengan
III. METODE PENELITIAN lingkungan melalui pengalaman personal
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan guyub tutur yang berbeda pula. Teknik
pendekatan kualitatif. Melalui metode yang digunakan dalam pengumpulan data
kualitatif sifat subjektif perilaku manusia adalah teknik rekam dan catat untuk
tidak akan hilang karena fokus metode ini mengantisipasi kehilangan data karena
adalah mengenal informan secara pribadi keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan
sehingga pengembangan definisi dari data dengan ingatan dan pengamatan saat
informan tentang dunia juga dapat mewawancarai informan.
diperoleh melalui metode ini (Bogdan and
Taylor, 1992:22). Dengan kata lain metode IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
ini memudahkan peneliti masuk dan 3.1 Relasi Makna Antarleksikon
mengenal dunia subjek khususnya guyub Adapun relasi makna yang dimaksud
tutur yang tinggal di bantaran Tukad adalah hubungan makna antarleksikon
Badung melalui penuturan informan berkaitan dengan bambu dan dalam
berdasarkan pengalamannya berinteraksi penelitian ini memfokus pada meronimi
dengan lingkungan Tukad Badung. Data dan hiponimi. Data di bawah ini diperoleh
deskriptif dapat digunakan sebagai melalui wawancara yang menunjukkan
indikator untuk menentukan penyebab pengetahuan kognitif penutur sekaligus
perilaku manusia melalui nilai dan norma tingkat keakraban penutur dengan pohon
kelompok serta kekuatan sosial lainnya bambu dan dibantu dengan data tertulis dari
(Bogdan and Taylor, 1992:19). Pemilihan buku khusus tentang jenis-jenis bambu
lokasi penelitian menggunakan sampel sebagai bahan perbandingan sehingga
purposif (Hadi, 1983:83) yaitu pemilihan melalui perbandingan ini dapat ditunjukkan
sesuai fokus permasalahan dalam penelitian adanya pergeseran atau bahkan hilangnya
ini. leksikon berbasis lingkungan ini dalam
Dalam penelitian ini data yang kognitif penutur karena interaksi yang
dikumpulkan adalah data berupa leksikon semakin berkurang, berikut uraiannya.
jenis bambu dalam bahasa bali dan
pengalaman penutur berkaitan dengan
bambu di lingkungannya. Selain data
primer dari hasil wawancara, data sekunder
Punyan tiing
‘pohon bambu’
tiing
Berdasarkan taksonomi di atas, tiing penutur muda dan dewasa sudah tidak
„bambu‟ adalah istilah umum, sedangkan mengenal jenis bambu tertentu seperti tiing
tiing petung „bambu betung„, tiing santong gesing „bambu duri‟, tiing aya „bambu
„bambu ater„, tiing ampel „bambu jajang aya‟, tiing ooh „bambu ooh‟, ada
gembung„, tiing tali „bambu tali‟, tiing juga yang hanya pernah mendengar tetapi
gading „bambu gading„, tiing selem „bambu tidak tahu bentuk dan ciri-ciri khususnya
selem„, tiing tutul „bambu tutul„, tiing seperti tiing sudamala. Hal tersebut
tabah „bambu tabah„, tiing betung „bambu disebabkan oleh kurangnya interaksi
betung Bali„ , tiing buluh lengis „bambu penutur dengan bambu, kebergantungan
suling„, tiing buluh kedampal „bambu buluh penutur juga sudah berkurang sehingga
kedampal„, tiing aya „bambu jajang aya„, tidak ada dorongan untuk meng-ada-kan
tiing sudamala „bambu cina„, tiing buluh jenis tersebut atau melestarikannya
batu „jenis bambu suling„, tiing gesing walaupun kebergantungan jenis bambu
„bambu duri„, tiing petung lengis ‟bambu tertentu sangat tinggi karena diperlukan
manyan‟, tiing ooh „bambu ooh„ adalah untuk upacara adat, dimanfaatkan sebagai
nama jenis bambu yang bisa dikatakan bahan industri, dan dijadikan bahan
sudah spesifik berdasarkan jenis dan bangunan tetapi tidak semua jenis bambu
cirinya yang berbeda sekaligus menjelaskan sehingga populasi berpotensi berkurang dan
bahwa jenis-jenis bambu tersebut dilupakan penutur.
merupakan hiponim dari tiing „bambu‟. Dari gambar 4.1.2 diketahui ada
Hampir semua penutur Bahasa Bali tidak beberapa jenis bambu buluh yang diketahui
mengetahui bahasa Indonesia dari jenis- penutur bahasa Bali. Kebanyakan penutur
jenis bambu di atas karena mereka hanya menyebut bambu buluh dengan
berkomunikasi dalam lingkungan sebutan tiing buluh dan tidak bisa
komunitas tutur yang sama. Namun, ketika membedakan secara jelas yang mana tiing
berkomunikasi dengan komunitas tutur buluh kedampal, tiing buluh batu, dan tiing
yang berbeda, penutur bahasa Bali akan buluh lengis. Dikarenakan ketiganya
menyebutkan ciri-ciri entitas yang tergolong jenis bambu yang sama yaitu
dimaksud atau dengan menyebutkan tiing buluh maka diasumsikan ketiganya
fungsinya sehingga mitra tutur mengetahui memiliki hubungan makna yang
apa yang penutur sebutkan. digambarkan dalam taksonomi sebagai
Berkaitan dengan tingkat kedekatan berikut.
penutur dengan jenis-jenis bambu di atas,
Tiing buluh
istilah umum, dan ketiga tiing lainnya sering disebut bubu dalam bahasa Bali,
adalah entitas yang lebih spesifik. Ketiga sering dijadikan bahan bangunan karena
bambu tersebut dapat dibedakan dari kuat dana wet, untuk upacara keagamaan di
ukuran dan pertumbuhannya. Penutur Bali tiing gesing juga memiliki nilai
biasanya lebih mudah mengingat dengan sendiri. Tiing gesing dimanfaatkan dari
perbandingan lebih besar dan lebih kecil buluh utuh sampai buluh bilah, salah
dengan mengira-ngira diameternya. Dalam satunya digunakan untuk upacara
buku Arsana dan Peneng (2013) diperoleh pengabenan seperti tiang utama, pemikul
perhitungan ketiga jenis tiing buluh dan trajangbade (jembatan) yang terbuat
berdasarkan tinggi buluh, panjang ruas, dari buluh utuh tiing gesing, sedangkan
diameter, tipis dindingnya. Tiing buluh buluh bilah digunakan untuk alas trajang
kedampal biasanya tumbuh melengkung dan komponen badan bade. Selain itu,
sedangkan tiing buluh lengis dan tiing bambu juga dimanfaatkan dalam dunia
buluh batu tumbuhnya tegak. Dilihat dari kuliner, masyarakat Bali sering
ukurannya, tiing buluh kedampal memiliki memanfaatkan embung „rebung‟ untuk
tinggi buluh yang paling tinggi karena diolah dan dimakan. Tingkat keakraban
tinggi minimalnya 10 cm dan maksimal 12 (degree of familiarity) masyarakat dengan
cm sedangkan tiing buluh suling tinggi bagian bambu yaitu rebung sangat tinggi
minimal 7 cm dan maksimal 12 cm, dan jika dilihat dari pemanfaatannya. Memilih
tiing buluh lengis maksimal 10 cm., tiing rebung dan cara mengolahnya pun menjadi
buluh kedampal (2-5 cm) lebih besar penguat tingginya tingkat keakraban.
daripada tiing buluh lengis (3 cm), dan tiing Embung tiing tabah biasanya langsung bisa
buluh batu memiliki batang yang paling diolah tanpa melalui proses perebusan
kecil dari keduanya (1-3 cm). sedangkan embung tiing petung harus
melalui proses perebusan berjam-jam
4.2 Model Ekolinguistik dialektikal sebelum diolah, berbeda dengan embung
(Sosiologis, Biologis, dan Ideologis) tiing gesing rasanya pahit sehingga harus
Dalam model ekolinguistik direbus dan dicuci air mengalir sebelum
dialektikal terdapat penutur (s1), mitra tutur diolah menjadi masakan.
(s2), orang ketiga atau unsur sosial yang Berkaitan dengan biologis, tanaman
memengaruhi penutur dan mitra tutur ke bambu memiliki akar yang kuat sehingga
konteks sosial (s3) dalam satu lingkungan dapat mencegah erosi tanah, selain itu
bahasa (topos), dengan keberadaan objek organisme lain menjadikan bambu tempat
(O) yang dipengaruhi faktor sosiologis, berlindung dan menjadikannya makanan
biologis, dan ideologis. Leksikon tiing sehingga dapat dikatakan bambu
„bambu‟ jika dilihat dari sisi sosiologisnya, memberikan keuntungan pada makhluk
bambu memiliki nilai tertentu. Misalnya hidup lain yang ada di sekitarnya dan ikut
tiing sudamala yang khusus digunakan menjadi tempat hidupnya agar tidak terjadi
untuk upacara pecaruan dan pemarisudaan longsor. Sedangkan elemen ideologis,
jagat (keselamatan alam semesta), selain elemen ketiga pembentuk model
itu bambu tersebut juga memiliki nilai ekolinguistik dialektikal, menjadikan
ekonomis, bentuknya artistik, mungil, dan masyarakat dalam hal ini penutur bahasa
tahan saat dipangkas membuatnya sering Bali menjaga lingkungan khususnya bambu
dijadikan tanaman hias dan pagar hidup. dengan memaknai dan menjadikan
Begitu juga tiing gesing yang dijadikan alat hubungan tersebut prinsip sehingga
penangkap ikan laut dan air tawar yang keharmonisan terjaga. Ideologi masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Arinasa, Ida Bagus dan I Nyoman Peneng. 2013. Jenis-jenis bambu di Bali dan potensinya.
Jakarta: LIPI Press
Black, James A. Dean J. Champion 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Penerjemah:
E. Koeswara, Dira Salam, Alfin Rushendi. Bandung: Eresco
Bogdan, Robert and Steven J. Taylor, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif.
Terjemahan Ali Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.
Bundasgaard, Jeppe & Sune Steffensen. 2000. “The Dialectics of Ecological Morphology or
the Morphology of Dialectics” dalam: Ana Vibeke
Lindø & Jeppe Bundasgaard, editor. 2000. Dialectical Ecolinguistics. Odense: University of
Udense. Hal. 8--35.
Cassier, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan USA
Cruse, D.A. 1987. Lexical Semantics. New York: Cambridge University Press.
Denzin, Norman & Lincoln Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fill, Alwin, Peter Muhlhausler (Eds.) 2001. The Echolinguistics Reader: Language, Ecology,
and Environment. London and New York: Continuum.