Anda di halaman 1dari 11

ISSN 2442-6865

Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

RELASI MAKNA LEKSIKON TIING DALAM BAHASA BALI


BERBASIS LINGKUNGAN
Gek Wulan Novi Utami
Universitas Dhyana Pura

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan relasi makna antarleksikal berkenaan dengan
tanaman bambu dalam bahasa Bali dan penggunaan praksis sosial sebagai lingkungan bahasa
terkait dengan keseimbangan hidup. Data penelitian ini adalah data lisan dan data tertulis
sebagai data pendukung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Data dikumpulkan dengan pengamatan mendalam dan wawancara serta dibantu
dengan teknik catat dan rekam. Dari penelitian ini diperoleh hasil, yaitu ditemukan meronimi
dan taxonomi hiponim bambu dalam bahasa Bali dan leksikon terkait terbentuk dari praksis
sosial yang membangkitkan sifat ekologis manusia untuk upaya pelestarian.

Kata kunci: ekolinguistik, relasi makna, bambu, bahasa Bali

ABSTRACT

The aim of this research is to find the semantic relation between lexicons of tiing „bamboo‟ in
Balinese and to know social praxis usage as a language environment which is linked to life
balance. The collected data are spoken data and written data as supporting data. This
research is explained descriptively and is conducted with qualitative approach. It is collected
by observation and depth interview, and also is assisted by recording and note taking
techniques. Based on the research, the findings are meronymy and taxonomic hyponym of
bamboo in Balinese and the related lexicons are formed by social praxis which are able to
raise Balinese people‟s preservation efforts as ecologic human.

Keywords: Ecolinguistics, semantic relations, bamboo, Balinese

I. PENDAHULUAN terbanyak karena pertumbuhannya yang


Bahasa senantiasa berubah dari waktu sangat cepat. Walaupun populasi pohon
ke waktu dan perubahan bahasa dapat bambu tidak terancam punah tetapi jenis
menjadi gambaran perubahan lingkungan pohon bambu tidak sama banyaknya
dari waktu ke waktu yang ditunjukkan oleh sehingga ada jenis yang sudah langka di
pengetahuan kognitif guyub tutur berupa beberapa wilayah termasuk di wilayah Bali.
kekayaan pengetahuan kebahasaan, Hal tersebut ditunjukkan oleh pengetahuan
khususnya leksikon-leksikon dan guyub tutur Bahasa Bali tentang bambu dan
ungkapan-ungkapan yang dimiliki. Dalam bagian-bagiannya yang dilupakan oleh
penelitian ini, kosakata berupa leksikon guyub tutur bahasa Bali karena kurangnya
menjadi data penting khususnya leksikon intensitas interaksi guyub tutur dengan
yang berhubungan dengan bambu. Pohon pohon bambu dan lingkungannya.
bambu di Asia khususnya di Indonesia Leksikon terkait dapat menunjukkan
menjadi tanaman yang berpopulasi hubungan guyub tutur dengan entitas yang

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


67
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

dirujuk, hubungan entitas tersebut dengan hubungan manusia dengan Tuhan


kebudayaan, dan hubungan entitas tersebut (Parahyangan), (2) manusia dengan
dengan lingkungan tempat hidup serta sesama (Pawongan), dan (3) manusia
keberlanjutan populasi yang didukung oleh dengan lingkungannya (Palemahan). Hal
hubungan interaksi itu sendiri. Whorf tersebut memperkuat pernyataan bahwa
mengidentifikasi hubungan searah antara kebudayaan tercipta untuk kehidupan
kategori gramatikal bahasa dan logika manusia karena manusia adalah makhluk
budaya berikut ini. ekologi (Keraf, 2014) yang hidup, dan
“Assertion of such relationship can be very tergantung pada lingkungan. Adanya
persuasive, but they are difficult to prove. interaksi, kebergantungan, dan
There is, however, a much more keterhubungan guyub tutur dengan
straightforward relationship between makhluk hidup lainnya yang hidup di
language and culture to be found by sekitarnya dalam hal ini tanaman bambu,
studying vocabulary.” dikatakan bahwa hubungan keduanya akan
“Pernyataan tegas semacam hubungan bisa menigkat sampai pada tingkat akrab
sangat persuasif, tetapi sulit dibuktikan. sehingga tidak heran jika guyub tutur
Ada, namun, hubungan yang jauh lebih mengetahui bagian-bagian bambu, karakter,
efisien antara bahasa dan budaya dapat cara idup, bahkan membedakan jenisnya
ditemukan dengan mempelajari kosakata. dalam sekali lihat, terlebih karena
Kosakata yang berupa leksikon atau kaitannya dengan kebudayaan, kebutuhan
satuan yang lebih kecil lagi yaitu leksem bambu sebagai alat upacara, bagian
mengandung makna tertentu. Makna industri, kuliner, guyub tutur tentu tingkat
tertentu yang dimaksudkan itu menjelaskan keakraban yang sangat tinggi dilihat dari
hubungan leksikon dengan kebudayaan intensitas interaksi yang tinggi.
seperti kebudayaan mengolah sumber daya Berdasarkan latar belakang di atas,
lingkungan misalnya budaya kuliner yang masalah-masalah yang dapat dirumuskan
pada akhirnya memiliki nilai ekonomis. Hal dalam penelitian ini sebagai berikut
itu tidak terlepas dari peran lingkungan pertama, bagaimanakah hubungan makna
yang menjadi tempat hidup bahasa tersebut. antarleksikon jenis bambu dalam bahasa
Pengetahuan kognitif ini meliputi kosakata Bali? Kedua, bagaimanakah penggunaan
khususnya satuan leksikal yang penutur praksis sosial sebagai lingkungan bahasa
gunakan untuk menyebut dan merujuk yang membentuk leksikon terkait?
objek, kegiatan, dan aktivitas yang penting Tujuan umum penelitian ini adalah
dalam lingkungannya (Casson, 1981:1). untuk mendokumentasikan leksikon jenis
Tidak dipungkiri kebudayaan bambu dan yang berkaitan dengan bambu
berupa hukum adat istiadat memiliki itu sendiri yang juga menjadi pengetahuan
kontribusi menjaga keseimbangan kognitif guyub tutur bahasa Bali. Penelitian
hubungan antar makhluk hidup dan ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu
lingkungannya. Di Bali adat istiadat untuk menjawab permasalahan penelitian
tersebut terjaga dan berbeda-beda di setiap ini.
daerah tetapi konsep yang menjadi Adapun manfaat penelitian ini meliputi
landasan untuk menjaga keharmonisan manfaat teoretis dan manfaat praktis.
yang dipercaya adalah konsep Tri Hita Manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk
Karana. Konsep Tri Hita Karana yang menambah khazanah informasi
merupakan tiga faktor ketenangan hidup kelinguistikan khususnya ekolinguistik,
manusia Bali yaitu (1) memelihara yang dilakukan dengan pendokumentasian

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


68
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

pengetahuan kognitif berupa leksikon of language). Haugen (dalam Fill dan


kebambuan. Secara praktis, manfaat Mühlhäusler, 2001:57) mengatakan ekologi
penelitian ini, yaitu memberikan informasi bahasa dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hubungan bahasa dan lingkungan interaksi antara bahasa tertentu dan
bagi masyarakat di luar lingkungan lingkungannya. Bahasa bermula dari
kelinguistikan. Selain itu, penelitian ini keadaan konkret ke keadaan abstrak
memiliki manfaat praktis yaitu bisa (Cassirer, 1990:205). Kata-kata konkret itu
meningkatkan kepedulian masyarakat Bali terikat dengan fakta-fakta dan tindakan
untuk memulihkan lingkungan yang sudah tertentu serta dijelaskan terperinci tetapi
rusak dan melestarikan jenis-jenis bambu tidak terklasifikasikan. Penamaan pada
yang sudah jarang melalui informasi kata-kata tersebut ditentukan oleh
kebahasaan yang berkaitan dengan bambu. kepentingan dan tujuan manusiawi tetapi
kepentingan-kepentingan itu tidak tentu dan
II. LANDASAN TEORI tidak seragam serta tidak juga asal-asalan
karena penamaan tersebut dilandasi unsur
a. Teori Ekolinguistik tetap pengalaman inderawi penutur
Dalam „Language and environment‟, (Cassirer, 1987:2007). Sebagai makhluk
Sapir (1912) menulis fenomena kebahasaan ekologis (Mbete, 2013:2) manusia hidup
yang dihubungkan dengan lingkungan dan dengan keberagaman dalam hal ini
dikuatkan oleh deskripsi bahasa yang keberagaman biotik dan abiotik dalam
meliputi sistem bunyi, struktur, dan makna. lingkungan yang saling memengaruhi.
Khazanah leksikon itu dapat mencerminkan Melalui proses interaksi pula keberagaman
karakteristik penutur dan kebudayaannya yang diketahui dan dipahami secara khusus
yang dipengaruhi oleh karakter lingkungan itu menciptakan kode-kode lingual menjadi
fisik sebagai tempat penutur dan bahasa kata-kata.
tersebut hidup. Sapir menambahkan (dalam Ekolinguistik memiliki model tata
Fill dan Mühlhäusler, 2001:2) interelasi kaji yang dikemukakan oleh Bang dan
antara bahasa dan lingkungan muncul pada Døør (1998) yang digunakan untuk
tingkatan kosakata bukan pada fonologi membantu memecahkan masalah-masalah
dan morfologinya. Analisis termaksud dalam penelitian ini. Model ini adalah
bahkan sampai pada gambaran yang lebih model ekolinguistik dialektikal dengan
khusus sehingga kata-kata tersebut dapat praksis sosial pembentuknya yaitu
dideskripsikan sejelas mungkin oleh ideologis, sosiologis, biologis. Fungsi
penutur karena tingkat keakraban yang umum model ekolinguistik dialektikal ini
tinggi (degree of familiarity) terhadap adalah untuk menganalisis teks tetapi
konsep tertentu (Sapir dalam Fill dan dalam penelitian ini memfokuskan pada
Mühlhäusler, 2001:16). Haugen adalah leksikon dan mengambil sedikit penjelasan
linguis yang tertarik dengan hubungan yang berhubungan dengan model
antara bahasa dan lingkungan, menaruh ekolinguistik dialektikal khususnya ketiga
perhatian lebih pada aspek tersebut dan praksis sosial yang disebutkan sebelumnya.
muncullah istilah ekologi bahasa (ecology

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


69
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

Ideo-logics socio-logics

Situation: Topos
S S
1 2 Environment
M

S O
3

S1

Bio-logics

Dimensi ideologis menunjukkan mereka dengar dalam situasi dialogikal


adanya hubungan individu dengan mental pada situasi percakapan di dalam praksis
kolektif beserta kognitifnya termasuk sosial (Bundsgaard and Steffensen,
khazanah pengetahuan leksikon dan 2000:16). Disebutkan juga istilah
ungkapan, tuturan atau wacana, sistem neologisme dalam Bundsgaard dan
idelogis dan sistem fisik dalam arti unsur- Steffensen (2000) yaitu sebuah
unsur material, yang biotik dan yang pengetahuan yang terekam dalam ingatan
abiotik seperti air, udara. Tiap pengetahuan guyub tutur yang jika diujarkan, niscaya
kognitif berupa leksikon, ungkapan dan mereka akan masuk ke dalam lingkungan
teks memiliki keberadaan ideologikal bagi sosiologikal dan pengetahuan itu akan
guyub tutur yang berarti keberadaannya menghilang jika tidak dituturkan.
mereka ketahui dapat diproduksi dan Dimensi biologikal menunjukkan
digunakan guyub tutur itu sendiri kolektivitas biologis individu yang
(Bundsgaard and Steffensen, 2000:19). menggambarkan keharmonisan individu
Pengetahuan kognitif tiap individu yang hidup berdampingan dengan spesies
menunjukkan kuatnya interaksi yang lain, baik makhluk hidup seperti tumbuhan,
dilakukan yang memengaruhi pola pikir hewan, mikroorganisme, makroorganisme
individu tersebut sehingga memunculkan maupun benda-benda mati di alam seperti
idelologi yang dijadikan konsep hidup air, batu, pasir, lautan (Bundsgaard and
sebagai akibat hubungan interaksi yang Steffensen, 2000).
dijaga antara individu dan sekitarnya.
Dimensi sosio-logikal menunjukkan 2.2 Teori Semantik
cara masyarakat atau individu Semantik adalah cabang linguistik
mengorganisasi interelasi dengan mengkaji makna (Verhaar, 2010:385).
lingkungannya untuk menjaga kolektivitas Bidang semantik dibagi menjadi semantik
individual. Pengetahuan leksikon sudah ada leksikal dan semantik gramatikal. Dalam
terlebih dahulu dalam keberadaan dimensi penelitian ini hanya digunakan teori
sosiologikal guyub tutur, dan sudah pernah semantik leksikal. Semantik leksikal

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


70
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

menyangkut makna antarleksikon yang leksikon-leksikon khusus (daughter-nodes)


terhubung (relasi leksikal) dalam bidang yang memiliki satu leksikon sebagai titik
leksikon tertentu (lexical field) seperti sumber umum (mother-nodes) (Cruse,
istilah dalam pertambangan, kedokteran, 1987:136). Hiponimi digambarkan dengan
pelayaran, dalam kegiatan memasak dan taksonomi, yaitu hierarki leksikal
mendaki gunung yang mengkhusus, saling taksonomik yang berdasarkan hubungan
berhubungan seperti jaringan (network) akal dan rasa pada makna item leksikal
(Saeed, 1997:63). Adapun bagian- bagian (Cruse, 1987:137). Kosakata yang
dari relasi leksikal yaitu homonimi, terhubung dalam sistem penyertaan tersebut
polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, akan menghasilkan jaringan semantik yang
meronimi, member-collection, dan portion- berbentuk hierarki taksonomi seperti
mass. Dalam penelitian ini, hanya contoh berikut.
hiponimi dan meronimi saja yang dibahas.
Hiponimi adalah relasi penyertaan

Animal

sheep horse

ewe ram mare stallion


(Cruse, 1986:136)

Taksonomi di atas menunjukkan dan yang mengartikan keseluruhan yang


bahwa sheep (domba) dan horse (kuda) sesuai (whole) (Cruse, 1987:157). Ada
merupakan hiponim dari animal (hewan), kerangka khusus untuk mengidentifikasi
ewe (domba betina) dan ram (domba hubungan dalam meronimi seperti X adalah
jantan) merupakan hiponim dari sheep bagian dari Y, atau Y memiliki X, seperti
(domba), dan mare (kuda betina) dan contoh halaman bagian dari buku atau
stallion (kuda jantan) merupakan hiponim sebuah buku memiliki halaman-halaman.
dari horse (kuda). Meronimi juga direfleksikan dalam
Berbeda dengan hiponimi, meronimi klasifikasi hierarki seperti berikut.
adalah tipe percabangan hierarki leksikal
karena adanya hubungan antara item
leksikal yang mengartikan bagian (part)

body

head neck trunk arm leg

forearm hand

palm finger

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


71
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

(Cruse, 1986:157)
Meronimi berbeda dengan taksonomi. burupa data tertulis tentang bambu dalam
Taksonomi memiliki transitivitas buku Jenis-Jenis Bambu di Bali dan potensi
(transitivity) (transitivity) antarleksikal nya (Arinasa dan Peneng, 2013) juga
tetapi meronimi tidak (Saeed, 1997:70), digunakan dalam penelitian ini. Data
misalnya palm (telapak tangan) adalah tersebut diperoleh melalui pengamatan
meronimi dari hand (tangan) dan hand mendalam dan wawancara dengan penutur
(tangan) meronim dari arm (lengan), tetapi berbahasa Bali (Black dan Champion,
palm (telapak tangan) tidak bisa dikatakan 1992: 308--310). Selain itu, metode
meronimi dari arm (lengan) yang diuji pengalaman personal (Denzin dan Lincoln,
dengan X part Y, Y has X (telapak tangan 2009:497) juga memiliki peranan penting
bagian dari lengan, lengan memiliki telapak dalam pemerolehan data karena refleksi ide
tangan) dan tidak berterima. guyub tutur dan cara berbeda dalam
memaknai interaksi mereka dengan
III. METODE PENELITIAN lingkungan melalui pengalaman personal
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan guyub tutur yang berbeda pula. Teknik
pendekatan kualitatif. Melalui metode yang digunakan dalam pengumpulan data
kualitatif sifat subjektif perilaku manusia adalah teknik rekam dan catat untuk
tidak akan hilang karena fokus metode ini mengantisipasi kehilangan data karena
adalah mengenal informan secara pribadi keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan
sehingga pengembangan definisi dari data dengan ingatan dan pengamatan saat
informan tentang dunia juga dapat mewawancarai informan.
diperoleh melalui metode ini (Bogdan and
Taylor, 1992:22). Dengan kata lain metode IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
ini memudahkan peneliti masuk dan 3.1 Relasi Makna Antarleksikon
mengenal dunia subjek khususnya guyub Adapun relasi makna yang dimaksud
tutur yang tinggal di bantaran Tukad adalah hubungan makna antarleksikon
Badung melalui penuturan informan berkaitan dengan bambu dan dalam
berdasarkan pengalamannya berinteraksi penelitian ini memfokus pada meronimi
dengan lingkungan Tukad Badung. Data dan hiponimi. Data di bawah ini diperoleh
deskriptif dapat digunakan sebagai melalui wawancara yang menunjukkan
indikator untuk menentukan penyebab pengetahuan kognitif penutur sekaligus
perilaku manusia melalui nilai dan norma tingkat keakraban penutur dengan pohon
kelompok serta kekuatan sosial lainnya bambu dan dibantu dengan data tertulis dari
(Bogdan and Taylor, 1992:19). Pemilihan buku khusus tentang jenis-jenis bambu
lokasi penelitian menggunakan sampel sebagai bahan perbandingan sehingga
purposif (Hadi, 1983:83) yaitu pemilihan melalui perbandingan ini dapat ditunjukkan
sesuai fokus permasalahan dalam penelitian adanya pergeseran atau bahkan hilangnya
ini. leksikon berbasis lingkungan ini dalam
Dalam penelitian ini data yang kognitif penutur karena interaksi yang
dikumpulkan adalah data berupa leksikon semakin berkurang, berikut uraiannya.
jenis bambu dalam bahasa bali dan
pengalaman penutur berkaitan dengan
bambu di lingkungannya. Selain data
primer dari hasil wawancara, data sekunder

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


72
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

Punyan tiing
‘pohon bambu’

carang don Kuak’an Akah embung Bungkil


‘cabang ‘daun’ ‘kelopak batang’ ‘akar’ ‘rebung’ ‘pangkal

Medang Medang Medang


‘miang’ ‘miang’ ‘miang’

Gambar 4.1.1 Meronimi punyan tiing ‘pohon bambu’

Meronimi punyan tiing „pohon bambu‟ di tentang bambu dan bagian-bagiannya


atas menunjukkan bagian-bagian punyan seperti pada gambar, sebagian besar
tiing „pohon bambu‟ yang dibuktikan penutur bahasa Bali mengenal dan dapat
dengan kerangka x bagian dari y, y menyebutkan bagian-bagian pohon bambu.
memiliki x. Jika kerangka tersebut Dengan begitu bisa disimpulkan leksikon-
diaplikasikan pada meronimi punyan tiing leksikon di atas menunjukkan keberadaan
„pohon bambu‟ maka paparannya yaitu entitas dalam realitas yang masih hidup
carang tiing „‟cabang bambu‟ bagian dari dengan lingkungan penutur sehingga
punyan tiing „pohon bambu‟; don tiing penutur masih mengingat, dapat menunjuk
merupakan bagian dari punyan tiing „pohon entitasnya, dan memanfaatkannya dalam
bambu‟; klupak‟an merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
punyan tiing „pohon bambu‟; akah Berbeda dengan meronimi yang
merupakan bagian dari punyan tiing „pohon menghubungkan leksikon-leksikon yang
bambu‟; embung merupakan bagian dari merujuk pada bagian-bagian dari sebuah
punyan tiing „pohon bambu‟; dan bungkil entitas, hiponimi menghubungkan makna
merupakan bagian dari punyan tiing „pohon antarleksikon dengan mengklasifikasikan
bambu‟. Begitu juga medang „miang‟ yang leksikon-leksikon tersebut dari penamaan
merupakan bagian dari don „daun‟, secara umum ke khusus. Berikut taksonomi
klupak‟an „kelopak‟, dan carang „cabang‟. hiponimi dari tiing „bambu‟.
Berkaitan dengan pengetahuan penutur

Tiing buluh Tiing Tiing Tiing Tiing Tiing Tiing Tiing


kedampal selem aya tutul tabah petung betung buluh lengis
lengis

tiing

T. T. Tiing T. buluh Tiing Tiing T.petung Tiing Tiing


sudamala ampel santong batu tali gading lengis gesing ooh

Gambar 4.1.2 Taksonomi hiponim tiing ‘bambu’


Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017
73
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

Berdasarkan taksonomi di atas, tiing penutur muda dan dewasa sudah tidak
„bambu‟ adalah istilah umum, sedangkan mengenal jenis bambu tertentu seperti tiing
tiing petung „bambu betung„, tiing santong gesing „bambu duri‟, tiing aya „bambu
„bambu ater„, tiing ampel „bambu jajang aya‟, tiing ooh „bambu ooh‟, ada
gembung„, tiing tali „bambu tali‟, tiing juga yang hanya pernah mendengar tetapi
gading „bambu gading„, tiing selem „bambu tidak tahu bentuk dan ciri-ciri khususnya
selem„, tiing tutul „bambu tutul„, tiing seperti tiing sudamala. Hal tersebut
tabah „bambu tabah„, tiing betung „bambu disebabkan oleh kurangnya interaksi
betung Bali„ , tiing buluh lengis „bambu penutur dengan bambu, kebergantungan
suling„, tiing buluh kedampal „bambu buluh penutur juga sudah berkurang sehingga
kedampal„, tiing aya „bambu jajang aya„, tidak ada dorongan untuk meng-ada-kan
tiing sudamala „bambu cina„, tiing buluh jenis tersebut atau melestarikannya
batu „jenis bambu suling„, tiing gesing walaupun kebergantungan jenis bambu
„bambu duri„, tiing petung lengis ‟bambu tertentu sangat tinggi karena diperlukan
manyan‟, tiing ooh „bambu ooh„ adalah untuk upacara adat, dimanfaatkan sebagai
nama jenis bambu yang bisa dikatakan bahan industri, dan dijadikan bahan
sudah spesifik berdasarkan jenis dan bangunan tetapi tidak semua jenis bambu
cirinya yang berbeda sekaligus menjelaskan sehingga populasi berpotensi berkurang dan
bahwa jenis-jenis bambu tersebut dilupakan penutur.
merupakan hiponim dari tiing „bambu‟. Dari gambar 4.1.2 diketahui ada
Hampir semua penutur Bahasa Bali tidak beberapa jenis bambu buluh yang diketahui
mengetahui bahasa Indonesia dari jenis- penutur bahasa Bali. Kebanyakan penutur
jenis bambu di atas karena mereka hanya menyebut bambu buluh dengan
berkomunikasi dalam lingkungan sebutan tiing buluh dan tidak bisa
komunitas tutur yang sama. Namun, ketika membedakan secara jelas yang mana tiing
berkomunikasi dengan komunitas tutur buluh kedampal, tiing buluh batu, dan tiing
yang berbeda, penutur bahasa Bali akan buluh lengis. Dikarenakan ketiganya
menyebutkan ciri-ciri entitas yang tergolong jenis bambu yang sama yaitu
dimaksud atau dengan menyebutkan tiing buluh maka diasumsikan ketiganya
fungsinya sehingga mitra tutur mengetahui memiliki hubungan makna yang
apa yang penutur sebutkan. digambarkan dalam taksonomi sebagai
Berkaitan dengan tingkat kedekatan berikut.
penutur dengan jenis-jenis bambu di atas,

Tiing buluh

Tiing buluh Tiing buluh Tiing buluh


kedampal batu lengis

Gambar 4.1.3 Taksonomi hiponim tiing


buluh
Gambar taksonomi di atas menunjukkan tiing buluh lengis adalah jenis dari tiing
tiing buluh kedampal, tiing buluh batu, buluh. Dalam hal ini tiing buluh menjadi

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


74
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

istilah umum, dan ketiga tiing lainnya sering disebut bubu dalam bahasa Bali,
adalah entitas yang lebih spesifik. Ketiga sering dijadikan bahan bangunan karena
bambu tersebut dapat dibedakan dari kuat dana wet, untuk upacara keagamaan di
ukuran dan pertumbuhannya. Penutur Bali tiing gesing juga memiliki nilai
biasanya lebih mudah mengingat dengan sendiri. Tiing gesing dimanfaatkan dari
perbandingan lebih besar dan lebih kecil buluh utuh sampai buluh bilah, salah
dengan mengira-ngira diameternya. Dalam satunya digunakan untuk upacara
buku Arsana dan Peneng (2013) diperoleh pengabenan seperti tiang utama, pemikul
perhitungan ketiga jenis tiing buluh dan trajangbade (jembatan) yang terbuat
berdasarkan tinggi buluh, panjang ruas, dari buluh utuh tiing gesing, sedangkan
diameter, tipis dindingnya. Tiing buluh buluh bilah digunakan untuk alas trajang
kedampal biasanya tumbuh melengkung dan komponen badan bade. Selain itu,
sedangkan tiing buluh lengis dan tiing bambu juga dimanfaatkan dalam dunia
buluh batu tumbuhnya tegak. Dilihat dari kuliner, masyarakat Bali sering
ukurannya, tiing buluh kedampal memiliki memanfaatkan embung „rebung‟ untuk
tinggi buluh yang paling tinggi karena diolah dan dimakan. Tingkat keakraban
tinggi minimalnya 10 cm dan maksimal 12 (degree of familiarity) masyarakat dengan
cm sedangkan tiing buluh suling tinggi bagian bambu yaitu rebung sangat tinggi
minimal 7 cm dan maksimal 12 cm, dan jika dilihat dari pemanfaatannya. Memilih
tiing buluh lengis maksimal 10 cm., tiing rebung dan cara mengolahnya pun menjadi
buluh kedampal (2-5 cm) lebih besar penguat tingginya tingkat keakraban.
daripada tiing buluh lengis (3 cm), dan tiing Embung tiing tabah biasanya langsung bisa
buluh batu memiliki batang yang paling diolah tanpa melalui proses perebusan
kecil dari keduanya (1-3 cm). sedangkan embung tiing petung harus
melalui proses perebusan berjam-jam
4.2 Model Ekolinguistik dialektikal sebelum diolah, berbeda dengan embung
(Sosiologis, Biologis, dan Ideologis) tiing gesing rasanya pahit sehingga harus
Dalam model ekolinguistik direbus dan dicuci air mengalir sebelum
dialektikal terdapat penutur (s1), mitra tutur diolah menjadi masakan.
(s2), orang ketiga atau unsur sosial yang Berkaitan dengan biologis, tanaman
memengaruhi penutur dan mitra tutur ke bambu memiliki akar yang kuat sehingga
konteks sosial (s3) dalam satu lingkungan dapat mencegah erosi tanah, selain itu
bahasa (topos), dengan keberadaan objek organisme lain menjadikan bambu tempat
(O) yang dipengaruhi faktor sosiologis, berlindung dan menjadikannya makanan
biologis, dan ideologis. Leksikon tiing sehingga dapat dikatakan bambu
„bambu‟ jika dilihat dari sisi sosiologisnya, memberikan keuntungan pada makhluk
bambu memiliki nilai tertentu. Misalnya hidup lain yang ada di sekitarnya dan ikut
tiing sudamala yang khusus digunakan menjadi tempat hidupnya agar tidak terjadi
untuk upacara pecaruan dan pemarisudaan longsor. Sedangkan elemen ideologis,
jagat (keselamatan alam semesta), selain elemen ketiga pembentuk model
itu bambu tersebut juga memiliki nilai ekolinguistik dialektikal, menjadikan
ekonomis, bentuknya artistik, mungil, dan masyarakat dalam hal ini penutur bahasa
tahan saat dipangkas membuatnya sering Bali menjaga lingkungan khususnya bambu
dijadikan tanaman hias dan pagar hidup. dengan memaknai dan menjadikan
Begitu juga tiing gesing yang dijadikan alat hubungan tersebut prinsip sehingga
penangkap ikan laut dan air tawar yang keharmonisan terjaga. Ideologi masyarakat

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


75
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

Bali tentang hubungan manusia dengan V. SIMPULAN


Tuhan, lingkungan, dan manusia lainnya Berdasarkan uraian di atas dapat
adalah konsep Tri Hita Karana. Dalam Tri disimpulkan bahwa terdapat hubungan
Hita Karana ada Parahyangan (hubungan makna leksikon bambu dan jenis-jenisnya
manusia dengan Tuhan), pawongan dalam bahasa Bali berupa meronimi dan
(hubungan manusia dengan manusia taksonomi hiponim. Pengetahuan penutur
lainnya), dan palemahan (hubungan bahasa Bali dalam mengenal jenis-jenis
manusia dengan lingkungannya). Dengan bambu sudah mulai bergeser pada generasi
memegang ideologi tersebut, bambu yang tua atau bahkan hilang pada generasi muda
merupakan tanaman yang hidup di karena berkurangnya intensitas interaksi
lingkungan tempat hidup manusia jika dan juga karena entitasnya sudah tidak ada
dijaga dengan baik lingkungan tidak akan di lingkungan guyub tutur bahasa Bali.
rusak, tanaman bambu juga bisa Berkaitan dengan model
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, ekolinguistik dialektikal ekolinguistik,
sebagai alat mencari penghidupan dan juga bambu memiliki nilai ekonomis, nilai
dijadikan alat upacara untuk menjaga religius, dan memiliki peran penting dalam
hubungan dengan Tuhan. Cara pandang kehidupan masyarakat karena manfaatnya
masyarakat seperti “bambu bernilai tinggi” sebagai alat pencari penghidupan. Ideologi
juga bisa menjadi pegangan dan prinsip yang ada karena interaksi dan saling
sekaligus menjadi pendorong sifat ekologis bergantung antara manusia dan tanaman
manusia sehingga upaya-upaya untuk bambu dapat mendorong sifat ekologis
melestarikan lingkungan dapat terlaksana manusia untuk menjaga lingkungan dan
dengan kesadaran sendiri. melestarikan jenis-jenis bambu berpopulasi
sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
Arinasa, Ida Bagus dan I Nyoman Peneng. 2013. Jenis-jenis bambu di Bali dan potensinya.
Jakarta: LIPI Press
Black, James A. Dean J. Champion 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Penerjemah:
E. Koeswara, Dira Salam, Alfin Rushendi. Bandung: Eresco
Bogdan, Robert and Steven J. Taylor, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif.
Terjemahan Ali Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.
Bundasgaard, Jeppe & Sune Steffensen. 2000. “The Dialectics of Ecological Morphology or
the Morphology of Dialectics” dalam: Ana Vibeke
Lindø & Jeppe Bundasgaard, editor. 2000. Dialectical Ecolinguistics. Odense: University of
Udense. Hal. 8--35.
Cassier, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan USA
Cruse, D.A. 1987. Lexical Semantics. New York: Cambridge University Press.
Denzin, Norman & Lincoln Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fill, Alwin, Peter Muhlhausler (Eds.) 2001. The Echolinguistics Reader: Language, Ecology,
and Environment. London and New York: Continuum.

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


76
ISSN 2442-6865
Vol. 3 No. 1. Januari 2017 E-ISSN 2548-7639

Foucault, Michael 2007. Order of Thing. Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan.The Order of


Things, An Archaeology of Human Sciences. Terjemahan B.Priambodo dan Pradana
Boy. Yogyakarata: Pustaka Pelajar.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Haugen, Einer 1972. The Ecology of Language. California: Stanford University Press.
Keraf, Sony. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan
(bersama Fritjof Capra). Yogyakarta: Kanisius.
Mbete, Aron Meko. 2014. ”Bahasa dan Diskursus Kekuasaan dalam Culutralstudies”. Dalam
seminar Budaya Politik Menyongsong Pemilu 2014 yang berperadaban. Kendari: PS
Kajian Budaya PPs Univ. Halu Oleo
Saeed, John Ibrahim. 1997. Semantics. Oxford: Backwell Publisher Ltd.
Verhaar, J.W.M, 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Litera Jurnal Bahasa Dan Sastra 2017


77

Anda mungkin juga menyukai