Nefritis Lupus Pendahuluan
Nefritis Lupus Pendahuluan
PENDAHULUAN
Nefritis lupus merupakan salah satu manifestasi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
yang paling serius, biasanya timbul dalam waktu 5 tahun diagnosis, namun jarang terjadi
gagal ginjal.
Gejala nefritis lupus umumnya terkait dengan hipertensi, proteinuria, dan gagal ginjal.
Dengan munculnya terapi imunosupresif, keterlibatan ginjal dan kelangsungan hidup pasien
dengan nefritis lupus membaik.1
PATOGENESIS
Eritematosus sistemik lupus (SLE) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan keterlibatan multisistem dan beragam autoantibodies dengan target komponen sel. Di
antaranya antibodi terhadap DNA dan protein yang berperan dalam pembentukan deposits
komplek imun yang menyebabkan respons inflamasi yang selanjutnya dapat menyebabkan
1
gagal ginjal. Reaksi autoimun mempunyai peranan penting dalam pathogenesis nefritis
lupus. Reaksi imunologi meliputi produksi autoantibodi secara langsung terhadap elemen
sel. Autoantibodi membentuk komplek imun pathogen. Pengendapan kompleks imun pada
ginjal menyebabkan respon inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen dan rekruitmen
sel inflamasi yang dapat dilihat saat biopsi. Trombosis glomerulus merupakan mekanisme
lain yang berperan dalam pathogenesis nefritis lupus, terutama pada pasien dengan sindrom
antiphospholipid antibody yang merupakan respon terhadap kompleks phospholipid-
protein.1,2 Nukleosom mempunyai peranan penting dalam patogenesis nefritis lupus.
Meningkatnya apoptosis menyebabkan munculnya antibodi anti-DNA dan kompleks imun.
Nukleosom juga berperanan untuk memicu lesi jaringan, termasuk lesi glomerulus. Terdapat
dua mekanisme yang menjelaskan bagaimana autoantibodi menyebabkan kerusakan jaringan:
(a) pengendapan preformed kompleks imun di ginjal atau pembentukan kompleks in situ
melalui interaksi antara nukleosom yang sebelumnya sudah terdapat dalam glomerulus dan
anti-dsDNA atau (b) reaksi silang antibodi dengan komponen membran basal glomerulus.
Actinin telah diidentifikasi sebagai target cross-reaktif yang terikat oleh nephritogenic- anti
dsDNA. Actinin adalah protein aktin-bundling yang terdapat pada podosit, monosit, kapiler,
dan pembuluh darah besar. Terjadinya mutasi gen yang mengkode isoform actinin-4 telah
1
diidentifikasi dalam fokal dan segmental glomerulosklerosis familial. Actinin juga menjadi
target anti-dsDNA pada manusia. Permukaan sel dan reseptor matriks pada berbagai tipe sel,
termasuk sel mesangial, fibroblas, dan monosit, dapat mengikat nukleosom di ginjal.2,3,4,5
Pada awal penyakit, sebelum anti-Antibodi DNA muncul, antibodi spesifik nukleosom dapat
memulai lesi ginjal. Perkembangan nukleosom memerlukan apoptosis. Sel yang mengalami
apoptosis merupakan autoantigens SLE (gambar 2).3
Gambar 2. Pengaruh apoptosis dan nukleosom pada pathogenesis SLE3
PERJALANAN PENYAKIT
Klasifikasi nefritis lupus telah mengalami banyak revisi. Saat ini klasifikasi yang digunakan
pemeriksaan dengan mikroskop elektron yang berasal dari biopsi ginjal, yang dirangkum
Selain klasifikasi berdasarkan patologis, terdapat indeks aktivitas dan indeks kronisitas yang
dapat memprediksi prognosis ginjal (progresivitas penyakit ginjal). Indeks aktivitas
mencerminkan keadaan peradangan aktif diamati pada biopsi, yang mungkin reversibel
dengan terapi medis. Indeks kronisitas mencerminkan jumlah fibrosis dan jaringan parut,
yang tidak respon terhadap terapi. Lesi ginjal dengan indeks aktivitas yang tinggi
memerlukan terapi agresif (pemberian obat sitostatika) karena bersifat reversibel, sedangkan
lesi ginjal dengan kronisitas tinggi harus dipikirkan untuk transplantasi ginjal karena bersifat
ireversibel. Indeks tersebut berfungsi sebagai alat prognostik dan panduan umum untuk
terapi.1
PREVALENSI
Prevalensi SLE di Eropa dan Amerika Utara adalah 40 per 100.000. Kejadian SLE 3
kali lebih besar pada ras kulit hitam dibandingkan kulit putih,kecuali pada negro Afrika. Pada
survei yang dilakukan di Inggris (UK) didapatkan risiko relatif SLE pada populasi Asia
adalah 6,7 dan 6,1 pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih. Lebih dari 80% kasus
SLE terjadi pada perempuan setelah masa pubertas. Pada masa prepubertas kejadian SLE
adalah 2:1 pada anak perempuan dan laki-laki, meningkat pada remaja 4,5:1 dan dewasa 8:1.
Pada anak SLE terjadi setelah usia 5 tahun dengan puncak pada akhir masa kanak-kanak dan
remaja. Dua puluh persen kasus SLE terjadi pada masa kanak-kanak. 3 Perkiraan keterlibatan
ginjal pada penderita SLE adalah 30-90% pada penelitian yang dipublikasikan. Prevalensi
nefritis lupus pada penderita SLE adalah sekitar 50% pada kelompok etnis tertentu dan pada
anak-anak. Anak-anak dengan SLE mempunyai risiko penyakit ginjal yang lebih tinggi
daripada orang dewasa 1,2,4
FAKTOR RISIKO
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya nefritis lupus, yaitu faktor genetik,
Umum
o Tujuan utama terapi nefritis lupus adalah mengoptimalkan fungsi ginjal dan
mencegah progresivitas kelainan ginjal.
o Biopsi ginjal pada pasien dengan nefritis lupus.
o Asesmen indeks aktivitas dan kronisitas.
o Pengobatan manifestasi ekstrarenal dan factor lain yang dapat mempengaruhi
ginjal.
Pengobatan
o Terapi kortikosteroid diberikan apabila terdapat kelainan ginjal. Penggunaan
obat imunosupresif seperti cyclophosphamide, azathioprine, atau mofetil
mycophenolate diberikan jika terdapat kelainan ginjal proliferatif agresif/
difus, dapat digunakan juga pada pasien yang tidak berespon dengan
kortikosteroid atau terdapat kontra indikasi kortikosteroid.
o Terapi hipertensi dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau
angiotensin II receptor blockers (ARBs) jika terdapat proteinuria tanpa
insufiensi ginjal yang jelas.
o Restriksi diit lemak atau dengan menggunakan statin untuk hiperlipidemia..
o Restriksi diit protein apabila terdapat gangguan fungsi ginjal.
o Pemberian suplementasi kalsium untuk mencegah osteoporosis jika pasien
mendapatkan kortikosteroid jangka panjang dan penambahan biposponat
sebagai binder pospat.
o Menghindari obat yang mempengaruhi fungsi ginjal, seperti NSAIDs,
terutama pada pasien dengan peningkatan kreatinin.
o Pasien dengan gagal ginjal terminal, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi
berdasarkan biopsi ginjal tidak akan berespon dengan terapi agresif. Pada
kasus seperti ini, terapi difokuskan terhadap manifestasi ekstra renal dan
kemungkinan untuk transplantasi ginjal.
Pilihan terapi untuk pasien dengan nefritis lupus bervariasi tergantung pada kelainan
histologis berdasarkan hasil biopsi ginjal.
Terapi pasien dengan kelainan ginjal minimal
Pasien dengan glomerulonefritis proliferatif mesangial II tidak memerlukan terapi khusus,
karena mempunyai kemungkinan kecil untuk berkembang menjadi progresif. Meskipun
demikian harus tetap dilakukan pemantauan rutin pada pasien agar kelainan ginjal tidak
bertambah berat.
Terapi pasien dengan glomerulonefritis fokal segmental
Pasien dengan glomerulonefritis fokal segmental dengan kelainan glomerulus <20%
memiliki prognosis jangka panjang yang baik. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
pengobatan untuk kelainan di luar ginjal , tetapi tidak memerlukan terapi spesifik untuk
kelainan ginjal. Sebaliknya jika terjadi kelainan glomerulus > 40% , perjalanan penyakit ini
mirip dengan glomerulonefritis proliferatif difus, dengan terapi yang sama.
Terapi pasien dengan glomerulonefritis proliferatif difus
Pasien dengan glomerulonefritis proliferatif fokal aktif dan glomerulonefritis proliferatif
difus mempunyai risiko tinggi menjadi penyakit ginjal stadium akhir apabila tidak
mendapatkan terapi yang adekuat. Menurut Pollak dkk dosis tinggi kortikosteroid
(prednison 1 sampai 2 mg / kg / hari) dapat memperbaiki glomerulonefritis proliferatif difus,
sedangkan dosis rendah tidak efektif. Namun, dosis tinggi prednison oral dapat memberikan
hasil jangka panjang yang buruk dan sering dikaitkan dengan efek samping yang serius.
Banyak penulis telah mengusulkan terapi awal dengan pulse metilprednisolon intravena yang
memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif yang lebih kuat dan cepat. Setelah pemberian
pulse metilprednisolon, gejala ekstrarenal dan serum kreatinin mengalami perbaikan lebih
cepat, sehingga dapat mengurangi komplikasi pengobatan steroid jangka panjang. Beberapa
penelitian menunjukkan perbaikan secara signifikan jika siklofosfamid atau azathioprine
ditambahkan ke kortikosteroid. Penambahan siklofosfamid atau azathioprine dapat
menurunkan insiden gagal ginjal sebesar 40% dibandingkan dengan kortikosteroid saja.
Tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas antara kedua kelompok. Pada penelitian yang
dilakukan Institut Kesehatan Nasional dari 111 pasien dengan nefritis lupus tidak terdapat
perbedaan kejadian gagal ginjal selama 5 tahun pertama, setelah 5 tahun didapatkan kejadian
gagal ginjal lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang menerima prednison saja
dibandingkan dengan pasien yang diberi siklofosfamid intravena. Terdapat kecenderungan
untuk hasil yang lebih baik pada pasien yang mendapatkan siklofosfamid intravena
dibandingkan dengan siklofosfamid oral tunggal atau dengan kombinasi azathioprine,
meskipun perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan. Terapi agresif dengan sitotoksik
diindikasikan pada pasien yang berisiko tinggi menjadi gagal ginjal, peningkatan kreatinin
saat biopsi ginjal, sindrom nefrotik berat, hematokrit < 25%, pembentukan crescent , penyakit
tubulointerstitial berat dan perubahan vascular. Cyclophosphamide diberikan secara pulse tiap
bulan dengan dosis awal 750 mg/m 2, dosis menjadi 1000 mg/m2 jika jumlah sel darah putih >
3000/mm3. Berdasarkan penelitian National Institute of Health dari 65 pasien dengan nefritis
lupus berat didapatkan bahwa cyclophosphamide pulse lebih efektif dibandingkan dengan
metilprednisolon pulse dalam mempertahankan fungsi ginjal dan penggunaan
cyclophosphamide pulse dapat mengurangi risiko kekambuhan. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa kombinasi metilprednisolon pulse dan cyclophosphamide pulse lebih
efektif dalam jangka panjang dan kurang toksik dibandingkan dengan terapi tunggal. Terapi
pada pasien dengan nefritis lupus berat adalah mulai dengan 3 kali metil prednisolon pulse
dilanjutkan dengan prednison oral 1,5 mg / kg / hari dan 6 kali siklofosfamid pulse tiap bulan.
Pada anak dengan penyakit ringan, pengobatan yang diberikan adalah metil prednisolon pulse
intravena dilanjutkan dengan prednison oral dosis 1,0-1,5 mg/kg berat badan per hari. Setelah
biopsi ginjal kedua dilakukan dan jika penyakit dapat dikendalikan, dapat diberikan
azathioprine atau mikofenolat dengan tapering off prednison. Preparat tersebut menurunkan
risiko neoplasia dan toksisitas kelenjar gonad dibandingkan dengan terapi siklofosfamid
jangka panjang. Terdapat risiko kambuh jika terapi imunosupresif dihentikan sebelum 2
tahun jika terdapat proteinuria, karena itu kortikosteroid dan imunosupresif hanya boleh
dihentikan setelah 3 tahun jika laju filtrasi glomerulus normal, proteinuria<1g/hari, dan
sedimen urin inaktif.
Terapi relaps
Relaps didefinisikan sebagai memburuknya gejala ginjal. Beberapa pasien menunjukkan
peningkatan kreatinin yang berhubungan dengan sedimen urin aktif dan proteinuria.
Terdapatnya silinder eritrosit dan lekosit merupakan prediksi relaps ginjal. Peningkatan titer
antibodi anti-DNA dan penurunan komplemen (C4 dan C3) sering dikaitkan dengan flare
ginjal, sehinggan parameter ini harus diperiksa secara berkala. Apabila fungsi ginjal
mengalami perburukan, biopsi ginjal ulang dapat dilakukan mungkin untuk memutuskan
penggantian terapi.
Terapi pasien dengan nefropati membranosa
Pasien dengan nefropati membrane murni, proteinuria ringan, dan fungsi ginjal normal
memiliki prognosis baik, dan tanpa pengobatan khusus . Pengobatan pasien dengan sindrom
nefrotik masih menjadi kontroversi. Pasien ini berisiko mempunyai komplikasi trombotik.
Pasien dengan fungsi ginjal menurun harus dilakukan ulangan biopsi ginjal karena nefropati
membran
dapat berkembang menjadi glomerulonefritis proliferatif.
Pendekatan terapi Lain
Plasmafaresis tidak dianjurkan karena tidak membantu pasien nefritis lupus.
Immunoglobulin intravena efektif pada pasien, termasuk pasien dengan nefritis lupus
proliferatif .
Dietetik
Pengelolaan diit spesifik pada tiap penderita tergantung dari penyakit yang menyertai, seperti
jika terdapat hipertensi diberikan diit rendah garam, pada keadaan hiperlipidemia diberikan
pembatasan lemak dan pada kelainan ginjal kronis diberikan protein 0,8-1,3 gram/kgbb/hari .
Prognosis1,5