PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang sering ditemui,
dapat dicegah, dan diobati dengan karakteristik berupa gejala respirasi persisten dan
obstruksi saluran nafas yang progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi
saluran nafas abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya. Obstruksi saluran nafas
kronik pada PPOK disebabkan oleh campuran kelainan pada saluran nafas kecil
(seperti bronkitis), kerusakan parenkim paru (emfisema), dan faktor risiko lain yang
berbeda antar individu.1
PPOK saat ini menjadi penyebab kematian keempat di dunia dan
diprediksikan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta
orang meninggal akibat PPOK pada tahun 2012 terhitung sebanyak 6% dari semua
kematian secara global. PPOK merupakan tantangan bagi masalah kesehatan penting
dalam pencegahan dan pengobatan. PPOK adalah penyebab morbiditas kronis dan
mortalitas didunia,. Jumlah perokok yang terus meningkat dan jumlah usia lanjut
yang terus bertambah adalah faktor utama dalam lonjakan prevalensi PPOK di
seluruh dunia.1,2
PPOK merupakan penyakit paru kronis dengan manifestasi sistemik yang
signifikan dan berhubungan dengan komorbiditas yang berdampak pada kualitas
hidup. Merokok dan polusi udara diketahui sebagai faktor risiko terjadinya PPOK.
Kerusakan dan kematian sel yang terjadi pada PPOK berkaitan dengan stres oksidatif.
Hanya 15-20% perokok berkembang menjadi PPOK dan penghentian merokok tidak
menghentikan progresivitas penyakit, dengan inflamasi yang berlanjut pada sel paru
dan stres oksidatif.3
Obstruksi saluran nafas pada PPOK berhubungan dengan respon inflamasi
yang abnormal di paru terhadap paparan kronis dari asap rokok, partikel debu, dan
polusi udara lainnya, yang mengakibatkan paru kehilangan elastisitasnya. Disamping
adanya reaksi inflamasi, dominasi proteinase melebihi antiproteinase dan stres
oksidatif juga merupakan faktor penting pada patogenesis PPOK. Terdapat bukti
1
bahwa insiden PPOK sangat berkorelasi dengan kecanduan merokok. Reactive
oxygen species (ROS) menjadi penyebab utama kerusakan sel dan jaringan yang
berhubungan dengan banyak penyakit paru inflamasi kronis, termasuk PPOK. Stres
oksidatif pada sel dan jaringan diinduksi oleh ketidakseimbangan pembentukan dan
pembuangan ROS. ROS dapat dihasilkan dari inflamasi yang menginduksi sel
(netrofil, makrofag) yang dalam jumlah banyak bermigrasi ke paru, juga memainkan
peranan penting pada keseimbangan oksidan-antioksidan pada PPOK.4
Mekanisme etiopatogenesis PPOK belum sepenuhnya diketahui. Peningkatan
beban oksidatif dan gangguan keseimbangan oksidan-antioksidan dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya PPOK. Sistem pertahanan antioksidan sangat penting
untuk mempertahankan keseimbangan tersebut. Jaringan manusia mempunyai enzim
yang memberi perlindungan terhadap radikal bebas. Pada tahun 1954, Gerschman
dkk di Amerika Serikat mengemukakan bahwa efek merusak oksigen disebabkan
oleh pembentukan radikal oksigen, teori oksigen superoksida, kemudian pada tahun
1968 ditemukan enzim superoxide dismutase (SOD), spesifik untuk menghilangkan
substrat radikal bebas. Secara sederhana teori ini menjelaskan bahwa toksisitas
oksigen terjadi karena peningkatan pembentukan radikal superoksida (O 2.-) dan SOD
adalah pertahanan antioksidan penting. SOD mengubah superoksida menjadi H2O2.
Hidrogen peroksida dimetabolisme oleh enzim lain seperti catalase dan glutathione
peroxidase. Kemudian Glutathione (GSH) mengikat H2O2 ketika digunakan untuk
mengoksidasi substrat yang ada di semua sel.4,5
Berhenti merokok adalah cara terbaik untuk mencegah onset dan progresivitas
PPOK. Angka mortalitas PPOK bervariasi tergantung pada kebiasaan merokok,
polusi udara, dan diet antioksidan. Progresifitas beban inflamasi saluran nafas,
oksidan, dan protease bahkan setelah berhenti merokok dan tidak respon terhadap
inhalasi steroid dikenali sebagai tantangan pada terapi PPOK. Berdasarkan
pengetahuan tentang patogenesis PPOK, aktivitas PPOK dapat dibatasi atau dikontrol
oleh penurunan pembentukan ROS enzimatik endogen atau dengan pemberian
antioksidan kuat menggunakan dosis tunggal atau kombinasi antioksidan dengan
regimen modulasi redoks. Antioksidan mempunyai potensi untuk mencegah dan
2
mengobati PPOK.6 Melalui tinjauan kepustakaan ini, penulis mencoba mengulas
tentang peranan antioksidan pada patogenesis dan penatalaksanaan PPOK.
3
BAB II
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
2.1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit yang sering, dapat dicegah,
dan diobati dengan karakteristik berupa gejala respirasi persisten dan obstruksi
saluran nafas yang progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi saluran nafas
yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya. Obstruksi saluran nafas kronik
pada PPOK disebabkan oleh campuran kelainan saluran nafas kecil (seperti
bronkiolitis obstruksi), kerusakan parenkim paru (emfisema), dan faktor risiko lain
yang berbeda antar individu. Perubahan pada saluran nafas tidak selalu terjadi secara
bersamaan, namun bersifat progresif dari waktu ke waktu. Inflamasi kronis
menyebabkan perubahan structural, mempersempit lumen saluran nafas kecil, dan
destruksi parenkim yang menyebabkan hilangnya perlengketan alveoli pada saluran
nafas kecil dan berkurangnya elastisitas paru. Semua perubahan ini mengurangi
kemampuan saluran nafas untuk tetap terbuka saat fase ekspirasi.1,2
Kelainan pada saluran nafas kecil ini menyebabkan hambatan pada pertukaran
udara dan disfungsi mukosilier yang juga merupakan karakteristik dari penyakit ini.
Hambatan aliran udara biasanya diukur dengan spirometry. Berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh the Global Initiative for Obstructive Lung Disease, obstruksi saluran
nafas didiagnosis jika pada spirometry di dapatkan rasio FEV1/FVC post-
bronkodilator < 0,7 dan tingkat keparahan penyakit ditentukan berdasarkan nilai
persentase FEV1 post bronkodilator dengan nilai prediksi FEV1.1,2
2.2. Epidemiologi
PPOK saat ini menjadi penybab kematian ke empat didunia dan diprediksikan
menjadi penyebab ketiga kematian pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang
meninggal akibat PPOK pada tahun 2012 terhitung sebanyak 6% dari semua
kematian secara global. PPOK merupakan tantangan bagi masalah kesehatan penting
dalam pencegahan dan pengobatan. PPOK adalah penyebab morbiditas kronis dan
4
mortalitas didunia. Jumlah perokok yang terus meningkat dan jumlah usia lanjut
yang terus bertambah adalah faktor utama dalam lonjakan prevalensi COPD di
seluruh dunia.2
Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervasiasi dari satu negara
dengan negara lain. PPOK merupakan suatu interaksi yang kompleks dari paparan
kumulatif jangka panjang dari partikel dan gas berbahaya, kombinasi dengan berbagai
faktor inang, seperti genetic, hiper-responsifitas jalan nafas, dan pertumbuhan paru
yang buruk selama masa anak-anak.2
5
hubungan saudara dengan penderita PPOK berat, hal ini menunjukkan bahwa genetik
dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi kerentanan individu. Gen tunggal, seperti
matriks pengkodean gen metalloproteinase 12 (MMP-12) dan glutathione S-
transfetase berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan risiko PPOK.1
6
tingginya polusi udara dalam ruangan. Paparan terhadap bahan bakar modern dan
tradisional yang digunakan untuk memasak meningkatkan risiko perempuan
menderita PPOK di negara berkembang. Polusi udara di perkotaan berdampak buruk
terhadap individu dengan penyakit paru dan jantung. Mekanisme polusi udara luar
ruangan sebagai faktor risiko PPOK masih belum jelas, tapi kejadiannya relatif lebih
rendah pada dewasa jika dibandingkan dengan merokok.1
2.3.5 Infeksi
Riwayat infeksi saluran nafas berat pada masa kanak-kanak dihubungkan
dengan berkurangnya fungsi paru dan peningkatan gejala pernafasan pada saat
dewasa. Kerentanan terhadap infeksi memainkan peranan pada kekambungan PPOK
namun pengaruh terhadap perkembangan penyakit masih belum jelas.1
7
2.4.1. Patologi
Perubahan patologis pada PPOK ditemukan di saluran nafas, parenkim paru,
dan pembuluh darah paru. Perubahan patologis yang ditemukan pada PPOK berupa
inflamasi kronis dengan peningkatan jumlah sel inflamasi spesifik pada bagian
berbeda di paru dan perubahan struktur yang dihasilkan oleh cedera dan perbaikan
berulang.1
2.4.2. Patogenesis
Inflamasi di saluran pernafasan pada pasien PPOK muncul sebagai modifikasi
respon inflamasi normal di saluran pernafasan terhadap iritasi kronis seperti asap
rokok. Walaupun beberapa pasien menderita PPOK tanpa riwayat merokok,
mekanisme respon inflamasi yang terjadi pada pasien tersebut masih belum jelas.
Mekanisme yang mendasari terjadinya PPOK sangat kompleks dan dapat melibatkan
inflamasi berulang, stres oksidatif, (ketidakseimbangan oksidan/antioksidan),
ketidakseimbangan protease/antiprotease, dampak lingkungan dan faktor genetik.
Pada perokok dan pasien PPOK terjadi peningkatan beban oksidan dan peningkatan
penanda stress oksidatif di paru, udara pernafasan, darah, sputum, dan urin.1,11,12
2.4.3. Patofisiologi
Terdapat pemahaman yang bagus tentang proses penyakit yang mendasari
PPOK yang menimbulkan karakteristik fisiologi abnormal dan menimbulkan gejala.
8
2.4.3.2. Abnormalitas pertukaran gas
Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnea dan
mempunyai beberapa mekanisme pada PPOK. Secara umum, transfer oksigen dan
karbondioksida memburuk sesuai dengan progresivitas penyakit. Penurunan ventilasi
menyebabkan terjadinya retensi karbon dioksida.1
9
BAB III
PERANAN ANTIOKSIDAN PADA PATOGENESIS PPOK
10
keseimbangan antara pembentukan dan eliminasi ROS/RNS dapat mempertahankan
integritas fungsi fungsional kaskade pensinyalan redox-sensitive yang mengatur
fenotipe seluler.2
Tabel 3.1, Radikal bebas (ROS,RNS) yang berperan pada stres oksidatif
Paru-paru rentan terhadap cedera yang disebabkan oleh stres oksidatif dari
lingkungan. Paru juga secara konstan terpapar oleh stress oksidatif endogen yang
dihasilkan oleh respirasi mitokondria dan respon inflamasi yang disebabkan oleh
infeksi bakteri dan virus di paru. Sumber lingkungan dari stress oksidatif di udara
adalah gas oksidan dan bahan partikel kecil dan nanopartikel dari polusi industri dan
asap kendaraan bermotor. Namun, satu-satunya faktor etiologi utama penyebab
PPOK di negara Barat adalah merokok dan menghirup hasil pembakaran dari api
memasak di ruangan tertutup sebagai etiologi tambahan di negara berkembang.
Sumber ROS endogen tidak hanya dari respirasi mitokondria. Sumber lain ROS
11
intraseluler dari enzim sitoplasma pembentuk ROS, seperti oksida NADPH (NOX)
dan sistem oksida Xantin serta peroksidase heme, kadar yang meningkat dalam cairan
bronkolavage dan sel inflamasi pada saluran nafas pasien dengan PPOK.5
12
pembentukan ROS/RNS, proses pembuangan atau detoksifikasinya melibatkan
mekanisme enzimatik dan non-enzimatik. Untuk mencegah atau setidaknya
mengurangi dampak spesies reaktif, tubuh manusia mempunyai agen antioksidan
yang dapat menetralisir oksidan atau merubahnya menjadi substasi yang tidak
merusak. Pertahanan antioksidan pada sel sehat dapat dengan efisien membatasi
dampak dari gangguan homeostasis, dimana penekanan pada pertahanan antioksidan
akan secara signifikan merubah keseimbangan oksidan dan antioksidan ke arah
oksidan.2,16
Sistem Antioksidan non-enzimatik merupakan pertahanan lini pertama
terhadap ROS/RNS. Antioksidan nonenzimatik dengan berat molekul kecil di paru
berupa glutathione, vitamin C dan E, beta karoten, asam urat, thiol, dan taurine.
Antioksidan dengan berat molekul besar berupa laktoferrin, albumin, ceruplasmin,
dan transferrin. Molekul-molekul ini melakukan fungsinya sebagai antioksidan
dengan mengikat logam berat, sehingga tidak tersedia untuk reaksi fenton yang akan
menghasilkan radikal bebas seperi radikal hydroksil. Aktivitas antioksidan
nonenzimatik berkisar pada pendinginan hidrofilik radikal bebas, perlindungan
kelompok sulfhydryl kritis pada protein untuk menghambat peroksidasi lipid.2,17,18,16
Walaupun antioksidan non-enzimatik merupakan lini pertama terhadap ROS,
beberapa antioksidan enzimatik bersama-sama dengan antioksidan non-enzimatik
untuk membentuk kumpulan antioksidan yang diatur dengan ketat. Komponen utama
pertahanan antioksidan enzimatik paru adalah Superoxide Dismutases (SOD),
catalase, dan glutathione peroxidase. Peroxiredoxines (PRXs), thioredoxin (TRXs),
glutaredoxine, heme oxygenases, dan reductase juga terlibat dalam adapatasi seluler
dan perlindungan terhadap stress oksidatif di paru. Reaksi enzimatik yang dikatalisasi
untuk mengeliminasi ROS/RNS disimpulkan pada table 3.1. Sistem redoks seluler
hanya dapat berfungsi jika tersedia protein, redoxin. Pada level molekuler, ROS dapat
menstimulasi sitokin inflamasi dengan meningkatkan transkripsi gen nya, sementara
faktor perlindungan bekerja untuk mempertahankan kondisi stabil dengan
meningkatkan aktivasi gen antioksidatif.18
13
Gambar 3.1. Proses Detoksifikasi ROS/RNS melalui mekanisme enzimatik
Lebih dari 200 enzim antioksidan dan detoksifikasi yang dikendalikan oleh
faktor transkripsi nuclear erythtroid-2-related factor 2 (Nrf2), yang mengatur
ekspresi gen melalui pengikatan elemen respon antioksidan dalam promotor banyak
gen antioksidan dan sitoprotektif. Pasien dengan PPOK mengalami penurunan
ekspresi gen yang responsif terhadap Nrf2 karena aktivitas Nrf2 berkurang.
Pemulihan aktivitas Nrf2 terbukti bermanfaat pada terapi PPOK.5
14
metabolisme normal atau kondisi inflamasi. SOD merupakan enzim yang
mengkatalisasi dismutase radikal O2·- menjadi oksidan yang lebih lemah,
H2O2. Fungsi SOD tidak hanya mengkatalisasi dismutase O 2·- namun juga
berperan pada pengaturan homeostasis normal sel. H2O2 yang dibentuk dari
reaksi katalisasi SOD berfungsi sebagai sinyal molekul pada konsentrasi
rendah. Dengan mengurangi konsentrasi O2·- yang dapat bereaksi dengan NO.
untuk membentuk ONOO-, SOD berperan untuk memicu vasoreaktivitas dan
mengurangi inflamasi.2,18
SOD dinamakan berdasarkan komponen logamnya (CuZnSOD,
MnSOD, FeSOD, ekstraseluler SOD [EcSOD]) dan merupakan enzim dengan
aktivitas melawan radikal superoksida.. Peningkatan level EcSOD di sputum
khususnya ditemukan pada perokok dan pasien PPOK. Sementara
polimorfisme gen EcSOD ditemukan berhubungan dengan kerentanan untuk
terjadinya emfisema. MnSOD dikonfirmasi sebagai antioksidan yang berguna
untuk melawan kerusakan pada epitel alveolus dan dapat diinduksi oleh TNF-
α dan aksidan dari rokok. Sebaliknya, MnSOD dapat dinonaktifkan oleh
beban oksidatif yang tinggi. EcSOD dan MnSOD mempunyai peran
perlindungan yang kuat pada PPOK.2,18,19
2. Glutathione peroxidases
Glutathione peroxidases (GSH-Pxs) adalah enzim tetramesik yang
mengandung selenosistein yang menggunakan glutation (GSH) tereduksi.
GSH merupakan tripeptide dengan berat molekul kecil yang terdapat pada
epitel alveoli yang mereduksi hidroperoksida organik dan melindungi dari
peroksidase lipid, selama terjadinya reaksi oksidatif, GSH adalah tripeptide
yang terdiri dari asam glutamate, sistein, dan glisin yang merupakan
antioksidan seluler utama. Mek anisme kerjanya dengan menymbangkan
elektrom dalam sel untuk menghasilkan bentuk teroksidasi yang dikonversi
kembali menjadi GSH oleh glutathione reductase. 20% GSH terletak di dalam
15
mitokondia dengan maksud untuk menetralisir reactive oxygen species (ROS)
endogen sebagai hasil metabolism.4,5
GSH dikonversi menjadi glutathione disulfide (GSSG), yang dalam
keadaan normal sebagian besar dalam bentuk GSH dan kurang dari 5% adalah
GSSG. Penurunan rasio GSH/GSSG tidak hanya menjadi biomarker stress
oksidatif tapi juga perluasan inflamasi, kecenderungan peradangan kearah
respon fenotip Th2, dan mengganggu persinyalan redox.2,17
Pada pasien PPOK, terdapat ketidakseimbangan yang signifikan pada
metabolism thiol saluran nafas. Pasien PPOK mempunyai level GSH yang
lebih tinggi, level ini dapat diturunkan oleh merokok aktif dan selama
eksaserbasi. Penurunan level GSH pada eksaserbasi akut mencerminkan
respon yang tidak adekuat terhadap stres oksidatif dalam bentuk aktivitas ℽ-
glutamyl cysteine synthetase atau hasil dari deplesi langsung oleh beban
oksidatif yang luar biasa dari ROS yang dilepaskan oleh neutrophil saluran
nafas yang teraktivasi. Merokok dapat mendeplesi GSH dengan membentuk
derivat glutathione aldehyde yang tidak dapat dirubah menjadi GSSG.
Ketidakseimbangan redox saluran nafas pada PPOK menyebabkan gangguan
respon antioksidan, memungkinkan ROS dan RNS menghasilkan perubahan
transkripsi redoks yang selanjutnya menyebarkan peradangan dan
memperburuk stress oksidatif.2
Glutathione peroxidase dapat mengkatalisasi biotransformasi banyak
peroksida organik dan inorganik, termasuk H2O2 dan peroksida lipid.
Terdapat 4 jenis GSH-Px, yaitu GSH-Px1, GSH-Px2, GSH-Px3, dan GSH-
Px4. GSH-Px1 merupakan bentuk intraseluler dan bentuk dominan yang
mengkatalis eliminasi peroksida inorganik, perosida lipid, dan hidroperoksida.
GSH-Px2 terlokalisasi di peitel gastrointestinal dengan substrat spesifik yang
sama dengan GSH-Px1. GSH-Px3 berbentuk sekret yang dapat mereduksi
hidroperosida lipid. Bentuk ekstraseluler ini terlibat dalam 57% aktivitas
GSH-Px di cairan lapisan epitel, sementara GSH-Px1 terlibat pada 40%
16
aktivitas. GSH-Px4 merupakan bentuk peroksidase intraseluler yang
mengkatalis peroksidasi hidroperoksida fosfolipid.2
3. Catalase (CAT)
Catalase, suatu enzim intraplasma yang sangat reaktif, terdapat pada
pada makrofag alveolar tipe II dan sel respiratori yang mengalami inflamasi.
H2O2 direduksi menjadi air oleh catalase (CAT) dan glutathione peroxidase.
CAT adalah enzim metaloprotein oksidoreduktase yang banyak diekspresikan
oleh sel paru. Pada keadaan peningkatan H2O2, CAT menjalani oksidasi dan
reduksi divalen alternatif. Catalase mendegradasi H2O2 menjadi O2 dan air.
Namun catalase tidak dapat memetabolisme molekul peroksida yang besar
termasuk lipid peroxidase. Gen untuk catalase tidak diinduksi oleh stres
oksidatif.2,18
17
3.3. Stres Oksidatif pada PPOK
Oksigen ditemukan sekitar 250 tahun yang lalu oleh Carl Wilhelm Scheele
(1771) dan Joseph Priesty (1774), keduanya meneliti tentang proses pembakaran.
Sejak tahun 1960an, ketika reactive oxygen species (ROS) pertama kali
dideskripsikan, oksigen diketahui bermanfaat dan berbahaya untuk kehidupan.
Helmut Sies telah berkontribusi penting ketika mendeskripsikan stres oksidatif
berpotensi merusak keseimbangan oksidan-antioksidan. Gangguan tersebut
disebabkan oleh molekul reaktif, termasuk radikal bebas dan spesies reaktif non-
radikal, disimpulkan sebagai spesies reaktif yang terdiri dari ROS dan reactive
nitrogen species (RNS). Pada respirasi normal, diperkirakan sekitar 2% oksigen yang
dihirup ada dalam bentuk ROS, dimana setengahnya mungkin merusak protein dan
seperempatnya dapat merusak DNA.18
Berdasarkan kondisi anatomi dan fisiologi pernafasan, paru-paru secara
langsung terpapar dengan 8.000 liter udara setiap hari, yang mengandung oksigen,
patogen, polutan, atau alergen, yang berpotensi untuk menginduksi stres oksidatif.
Pada sel sehat, pertahanan antioksidan dapat dengan efisien untuk membatasi dampak
ROS terhadap homeostasis. Penambahan sumber lain oksigen reaktif dan nitric
species, terutama saat adanya gangguan pertahanan antioksidan, akan berkontribusi
secara signifikan terhadap keseimbangan oksidan-antioksidan dan menimbulkan
beberapa konsekuensi yang merusak.16
Sumber peningkatan stres oksidatif di saluran nafas adalah adanya sel
inflamasi di saluran nafas setelah terpapar oleh faktor pencetus. Sel yang aktif ini
dapat menghasilkan anion superosida (O2·-) melalui reduksi jalur oksidasi
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Disfungsi mitokondria pada
sel epitel saluran nafas, yang terjadi sebagai respon rangsangan mekanik dan
lingkungan, juga berkontribusi dalam pembentukan anion superoksida dan proses
stres oksidatif saluran nafas.17
Paru terpapar dengan ribuan liter udara setiap hari. Setiap kali bernafas akan
terbawa komponen dengan potensi oksidatif tinggi dalam jumlah besar, termasuk
polusi udara, serbuk sari, dan partikel. Walaupun partikel ukuran besar secara efisien
18
dapat dibersihkan hidung dan saluran nafas atas, partikel ukuran kecil dapat dengan
mudah masuk ke saluran nafas bawah dan meningkatkan oksidasi dan inflamasi
saluran nafas. Polusi udara dapat menyebabkan stres oksidatif melalui beberapa
mekanisme, seperti cedera oksidatif lansung oleh polutan fase gas seperti ozone atau
nitrogen oksida, atau memicu inflamasi saluran nafas.17
Merokok aktif dan pasif merupakan sumber paparan utama terhadap stres
oksidatif saluran nafas. Perokok aktif mempunyai level biomarker stres oksidatif yang
lebih tinggi. Biomarker ini meningkat selama eksaserbasi dan dihubungkan dengan
gejala bronkitis, air trapping, dan hilangnya fungsi paru. Paparan biomassa adalah
beban kesehatan masyarakat utama di negara berkembang dan dapat menyebabkan
stres oksidatif saluran nafas dan sistemik yang memainkan peranan penting dalam
perkembangan penyakit paru obstruktif yang berhubungan dengan biomassa dan
bronchitis.18
Penyakit paru obstruktif kronis suatu masalah kesehatan global. PPOK terjadi
pada lebih dari 10% populasi di atas 45 tahun, dan terjadi pada 50% perokok. Etiologi
utama penyakit ini adalah stres oksidatif di paru yang disebabkan oleh paparan jangka
panjang asap rokok atau produk pembakaran bahan bakar biomassa. Stres oksidatif
terjadi sebagai hasil dari gangguan pertahanan antioksidan endogen secara genetik
dan atau adanya reactive oxygen species yang berlebihan. Ini pada gilirannya dapat
menyebabkan stres karbonil, dimana kerusakan oksidatif disekitar jaringan dapat
menyebabkan terbentuknya molekul organic yang sangat reaktif yang dapat
memodifikasi protein nonenzimatik. PPOK mempunyai karakteristik berupa
inflamasi kronis dan remodeling pada saluran nafas kecil dan kerusakan parenkim
paru (emfisema). Hal yang mencolok dari PPOK adalah tidak adanya perbaikan
ketika paparan terhadap asap rokok dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
faktor endogen lain yang mempengaruhi, seperti autoimunitas atau infeksi persisten.5
Terdapat bukti adanya stress oksidatif pada PPOK, terutama pada keadaan
eksaserbasi akut. Makrofag alveolus pasien PPOK akan aktif dan melepaskan
sejumlah ROS dalam bentuk radikal superoksida dan peroksida hidrogen. Secara
bersamaan, akan mengaktifkan netrofil darah perifer yang juga melepaskan sejumlah
19
ROS. Penanda stres oksdidatif pada PPOK berupa peningkatan konsentrasi
nitrotirosin dan produk lipid peroksidase, seperti 8-isoprostane, 4-hydroxy-2-nonenal
dan meondialdehyde (MDA). Sebaliknya, konsentrasi antioksidan endogen
glutathione lebih rendah pada cairan BAL pasien PPOK dengan eksaserabsi sering
dibandingkan dengan PPOK stabil. Beberapa penanda stres oksidatif seperti hidrogen
peroksida, karbon monoksida, myeloperoksida (MPO) dan penanda kerusakan
jaringan oksidatif seperti 8-isoprostane dan stress karbonil dalam benduk MDA
secara konsisten menunjukkan peningkatan pada udara ekspirasi pasien dengan
PPOK.5
20
teradap asap rokok. Asap rokok meningkatkan beban oksidan di saluran pernafasan,
yang secara langsung melibatkan asap rokok atau dihasilkan oleh sel inflamasi,
mendeplesi pertahanan antioksidan dan kerusakan sel paru. Terdapat bukti hubungan
antara stress oksidatif dan kerusakan sel. Lisis sel dan permeabilitas epitel meningkat
setelah terpapar dengan asap rokok dan efek ini dapat dihambat oleh antioksidan
(seperti glutathione). 12
Temperatur di zona pembakaran rokok yang terbakar (800℃-950℃)
menghasilkan pirolisis tembakau yang lengkap. Penurunan suhu yang cepat (200℃-
600℃) dan kurangnya oksigen menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna.
Selanjutnya kompleks aerosol dihasilkan selama merokok, yang menghasilkan
droplet cairan kental (fraksi partikulat atau tar) yang tersuspensi dalam campuran
senyawa volatile/semivolatil dan gas pembakaran (fraksi gas). Satu kepulan asap
rokok secara kuantitatif mengandung 1017 radika bebas pada fase tar dan 10 15 pada
fase gas. Banyak senyawa oksidan telah diidentifikasi sekitar 4.000–7.000 konstituen
dalam asap rokok. Pada fase tar, phenol dan semiquinones ditemukan, sedangkan
superoxide (O2-), epoxides, peroxidesm nitric oxide (NO), nitrogen dioxide,
peroxynitrite (ONOO-), dan peroxynitrates ditemukan pada fase gas. (Fisher,
OMCL18) Radikal Superoxide (O2-) dan hydroxyl (.OH) dengan konsentrasi tinggi.
Pertahanan paru pertama adalah epithelial lining fluid (ELF), yang melindungi sel
epitel saluran nafas. Asap rokok bereaksi dengan antioksidan di ELF. Antioksidan
terpenting di ELF adalah catalase, lalu SOD, glutathione reductase, dan peroxidase.
Setelah melewati ELF, ROS dalam fase gas asap rokok akan beraksi dengan
membran sel plasma sel epitel yang menyebabkan efek patologis.16
Merokok menyebabkan pergeseran pada keseimbangan normal antara oksidan
dan antioksidan yang menimbulkan stes oksidatif di paru dan sistemik. Oksidan
(termasuk asap rokok) dapat menyebabkan cedera langsung pada sel dan jaringan,
menon-aktifkan mekanisme pertahanan, dan menginisiasi inflamasi, yang kemudian
meningkatkan stress oksidatif. Oksidan dapat menyebabkan hipersekresi mucus dan
gangguan bersihan mukosilar yang berkontribusi terhadap cedera pada PPOK.
21
Radikal bebas berbasis nitrogen juga terlibat pada PPOK. 3-nitrotyrosie yang
dibentuk dari nitrasi tyrosin ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pasien PPOK.12
Asap rokok menginduksi stres oksidatif dimulai dengan inisiasi beberaoa
reaksi seluler dan molekuler, termasuk aktivasi kaskade kinase dan faktor transkripsi,
pelepasan mediator inflamasi, inisiasi inflamasi, dan cedera sel dan apoptosis. Stres
oksidatif adalah faktor yang menginisiasi jalur dimana paparan terhadap asap rokok
seihingga menyebabkan timbulnya penyakit.12
Beberapa jalur diketahui memainkan peran pada patogenesis PPOK.
Gangguan keimbangan oksidan-antioksidan merupakan salah satu mekanisme yang
terlibat. Peningkatan beban oksidan oleh asap rokok dan peningkatan pelepasan
jumlah ROS dari leukosit dan makrofag berperan dalam respon inflamasi pada PPOK
yang menjadi sumber peningkatan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat persisten
setelah penghentian merokok, hal ini pada terjadi karena produksi ROS yang
berkelanjutan dari sumber endogen. Peningkatan level atau paparan yang lama
terhadap ROS dapat menimbulkan modifikasi patologis pada asam nukleat, protein,
karbohidrat atau lipid, dan berefek pada perubahan metabolism seluler.16
22
Adanya stres oksidatif yang berkelanjutan ini disebabkan oleh adanya sumber
endogen berupa mitokondria respirasi. Epitel saluran nafas ketika terpapar oleh stress
karbonil akan terinduksi untuk menghasilkan ROS dan sel otot polos saluran nafas
pasien PPOK menghasilkan lebih banyak ROS ketika mengalami stress peradangan
dari IL-1, TNF α, dan interferon ℽ. Rantai transpor elektron mitokondria, walaupun
dalam kondisi normal, akan melepaskan 1-2% dari semua elektronnya sebagai ROS.
Terdapat beberapa faktor intra dan ekstraseluler yang dapat meningkatkan jumlah dan
kontribusi yang signifikan terhadap gangguan keseimbangan oksidan-antioksidan.5,16
23
BAB III
PERANAN ANTIOKSIDAN PADA TERAPI PPOK
Berhenti merokok adalah cara terbaik untuk mencegah onset dan progresivitas
PPOK. Angka mortalitas PPOK bervariasi tergantung pada kebiasaan merokok,
polusi udara, dan diet antioksidan. Progresifitas beban inflamasi saluran nafas,
oksidan, dan protease bahkan setelah berhenti merokok dan tidak respon terhadap
inhalasi steroid dikenali sebagai tantangan pada terapi PPOK. Berdasarkan
pengetahuan tentang patogenesis PPOK, aktivitas PPOK dapat dibatasi atau dikontrol
oleh penurunan pembentukan ROS enzimatik endogen atau dengan pemberian
antioksidan kuat menggunakan dosis tunggal, atau lebih baik, kombinasi antioksidan
dengan regimen modulasi redoks. Antioksidan mempunyai potensi untuk mencegah
dan mengobati PPOK.6
Tujuan pemberian terapi antioksidan pada PPOK, menetralisasi beban
oksidatif local dan sistemik, penurunan biomarker secara bersamaan (MPO, NO),
meningkatkan pertahanan antioksidan endogen, pertahanan terhadap radikal bebas,
menghambat ekspresi gen inflamasi, Menekan inflamasi saluran nafas,
mengamplifikasi konsentrasi antioksidan non-enzimatik, menghambat perkembangan
penyakit sistemik, memperbaiki penurunan fungsi paru, menurunkan kejadian
eksaserbasi, menurunkan gejala respirasi, memperbaiki respon steroid, mengatasi
hipersekresi mukus, memperlambat disfungsi dan atrofi otot rangka, antioksidan
targer sel, mengkombinasikan efek antioksidan, bioavailabiliti tinggi dan toksisitas
rendah. (donej2014). Suatu regimen antioksidan yang efektif untuk terapi intervensi
harus mampu memperbaiki gejala utama PPOK, seperti hipersekresi mukus,
mukostasis, inflamasi saluran nafas kronis, dan harus dapat mengatasi resistensi
steroid.6
Merokok adalah faktor etiologi utama pada pathogenesis PPOK dan
mengandung lebih dari 1015-17 molekul oksidan/radikal bebas perpuff, yang dapat
meningkatkan beban oksidan pada paru-paru perokok. Sejak banyaknya mekanisme
patogenik pada PPOK termasuk stres oksidatif, stres oksidatif harus menjadi target
24
terapi yang mungkin mempunyai efek pada proses penyakit yang mendasari. Hal ini
dapat dicapai dengan mengurangi pembentukan oksidan atau dengan meningkatkan
antioksidan.6
25
mukosiliar. NAC diseasetilasi menjadi sistein di saluran pencernaan yang berperan
sebagai precursor glutathione. Dengan mereduksi ikatan disulfide, NAC dapat
menetralisir spesies oksidan. Selama NAC dapat mereduksi cysteine intraseluler
menjadi sistein, dapat meningkatkan GSH intraseluler secara in vivo di paru.
Mengingat pentingnya GSH sebagai antioksidan di paru, NAC terutama digunakan
untuk meningkatkan GSH paru pada pasien dengan PPOK.6
Pemberian terapi oral agen reduksi kuat dan precursor seluler GSH, suatu
mukolitik, menunjukkan perbaikan pada keseimbangan redoks GSH dan sintesis GSH
intraseluler di paru. Berdasarkan penelitian oleh BRONCUS (Bronchitis Randomized
on NAC Cost Utility Study), dalam 3 tahun berturut-turut, pasien dengan PPOK II dan
III tidak dapat secara signifikan menurunkan angka eksaserbasi atau memperlambat
penurunan volume ekspirasi paksa (FEV1) dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya,
asupan 600 mg NAC dua kali sehari dalam 2 bulan berturut-turut menyebabkan
penurunan secara signifikan terhadap biomarker oksidatif pada pasien merokok, tapi
juga pada penurunan hipersekresi bronkus dan penurunan FEV1.19
Pada penelitian PANTHEON, yang melibatkan 1.006 pasien dengan PPOK II
dan III derajat sedang-berat, asupan oral NAC 600 mg dua kali sehari terbukti sebagai
terapi jangka panjang yang efisien, signifikan menurunkan kejadian eksaserbasi dan
lamanya eksaserbasi bebas dari inhalasi kortikosteroid.6
4.2. Carbocysteine
S-carboxymethylcysteine (carbcystein or S-CMC), yang merupakan suatu
mukoaktf, bentuk dari antioksidan dan antiinflamasi. Sediaan oral tersedia dalam
bentuk carbosistein berupa S-CMC dan garam lisinnya (S-CMC-lys). Residu lisin
pada S-CMC-lys memberalah di saluran gastrointestinal untuk menjadi bentuk obat
aktif S-CMC. Mekanisme aksi mukoaktif corbosistein berbeda dengan mukolitik lain,
seperti NAC dan erdosteine yaitu dengan meningkatkan konten sialomusin yang
mempengaruhi property reologikal pada mukus dengan menghambat kinin.
Carbocysteine juga memfasilitasi percepatan buangan mukosiliar, terutama pada
pasien dengan bronchitis kronis. 6
26
Pada suatu penelitian Hanoka et al 2011, carbocysteine menunjukan
perlindungan terhadap emfisema yang diinduksi oleh asap rokok pada tikus.
Penatalaksanaan pasien PPOK dengan S-CMC-Lys selama 6 bulan signifikan
menurunkan level produk lipid peroksidase 8-isoprostane dan sitokin proinflamasi:
IL-6, mengindikasikan peran obat tersebut sebagai antioksidan dan antiinflamasi.21,22
Karena kemampunannya untuk mengurangi infeksi bakteri saluran pernafasan
pada PPOK, carbocysteine bekerja dengan menghambat perlengketan patogen pada
sel. Hal ini didukung oleh penelitian in vitro, dimana terapi carbocysteine
menghambat perlengketan Moraxella catarrhalis (suatu bakteri yang sering
menyebabkan eksaserbasi PPOK) pada sel epitel faringeal, baik pada subjek sehat
dan pada pasien bronchitis kronis, ketika dibandingkan dengan plasebo.23
4.3. Erdostein
Erdostein adalah antioksidan thiol mukoaktif. Obat ini digunakan untuk agen
mukolitik dan bekerja dengan memecah ikatan disulfide pada mukus glikoprotein.,
berefek pada bentuk fisik mukus, yang meningkatkan bersihan mukus tersebut.
Erdostein berperan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti bacterial.
Equalife, suatu randomisasi, penelitian klinis dengan kontrol plasebo melalui
pemberian 300 mg erdostein 2 kali sehari selama 8 bulan memberikan perbaikan yang
signifikan pada kualitas kesehatan dan mengurangi eksaserbasi dibandingkan dengan
plasebo.24 Pemberian erdostein 300 mg selama 7-10 hari juga memperbaiki gejala dan
menurunkan lama rawatan rumah sakit pada pasien dengan eksaserbasi PPOK. Terapi
erdostein (600 mg/hari) menunjukkan perbaikan produksi ROS yang diinduksi rokok
oleh makrofag alveolus dan level sitokin kemotaksis IL-6 dan IL-8 pada sekresi
bronkus pada perokok dengan PPOK.25 Efek antiinflamasi erdostein juga ditunjukkan
dengan penurunan level proinflamasi eicosanoid di darah pada pasien PPOK yang
diterapi dengan erdostein.
27
4.4. Antioksidan enzimatik
ROS seluler dapat dengan efektif dinetralisir oleh antioksidan enzimatik,
seperti SOD, catalase, dan glutathione peroksidase, yang ekspresi dan aktivitasnya
diubah dalam berbagai kondisi penyakit yang melibatkan stress oksidatif. Pemulihan
aktivitas antioksidan enzimatik yang berubah dapat dicapai dengan molekul kecil
yang mempunyai sifat katalitik yang dapat meniru aktivitas antioksidan enzimatik,
seperti pemberian SOD mimetics dan glutathione peroxidase (GPx) mimetics.6
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Stres oksidatif merupakan penyebab utama terjadinya PPOK
2. Stres oksidatif terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan oksidan dan
antioksidan
3. Pertahanan antioksidan penting dalam menjaga homeostasis redoks
4. Pertahanan antioksidan terdiri dari pertahanan enzimatik dan non-enzimatik
5. Dengan mengetahui peran antioksidan pada pathogenesis PPOK, terapi PPOK
menggunakan antioksidan dapat dipertimbangkan
4.2. Saran
Perlu pemahaman lebih lanjut dalam tentang peranan antioksidan pada
pathogenesis dan terapi PPOK
29