Anda di halaman 1dari 7

Urbanisasi Covid-19, Urbanisasi Kapital1

Percepatan Pembangunan 10 Kawasan Metropolitan

Pada 21 Juli 2020, laman Badan Pembangunan Infrastruktur Wilayah (BPIW) kementerian
PUPR memuat satu entri yang bertajuk “BPIW Susun Rencana Pembangunan 10 Kawasan
Metropolitan”. Entri tersebut menyatakan bahwa “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak
Covid-19” pembangunan di 10 Kawasan Meteropolitan itu dipercepat. Hal ini sesuai dengan
apa yang disebut sebagai “amanat” Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu sebelumnya
menyatakan bahwa “pada masa krisis perasaan pejabat publik harus sama, rasa dalam krisis.”
Sebagai implementasi dari “rasa dalam krisis” tersebut, maka “kerja luar biasa dan terobosan-
terobosan baru” diperlukan. BPIW PUPR menerjemahkan “rasa dalam krisis” dan keperluan
akan “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” itu dalam bentuk percepatan
pembangunan 10 Kawasan Metropolitan.

Ke-10 kawasan metropolitan yang dimaksud adalah: Mebidangro (Kota Medan, Kota Binjai,
Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Karo), Patungraya Agung (Kota Palembang,
Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir),
Jabodetabekpunjur (DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Cianjur),
Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota
Cimahi), Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kota Semarang, Ungaran
Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi Kabupaten Grobogan),
Gerbangkertosusila (Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bangkalan), Banjar Bakula
(Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten
Tanah Laut), Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten
Tabanan), Mamminasata (Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Takalar), dan Bimin (Kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahas Utara).

Tulisan ini melihat bahwa rencana percepatan pembangunan 10 kawasan metropolitan ini
adalah satu manifestasi dari kondisi bahwa pemerintah lebih mementingkan pertumbuhan
ekonomi kapitalis daripada kesehatan/keselamatan warga negara. Pendapat ini akan
ditopang dengan cara mendudukkan kasus percepatan pembangunan ini dalam konteks
urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, dan inter-koneksi di antara keduanya.

1
Oleh Bosman Batubara. Substansi tulisan ini didiskusikan dalam acara diskusi daring via Zoom
bertajuk “New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik” yang diselenggarakan oleh Architecture
Sans Frontières Indonesia pada 11 Juli 2020, dalam kesempatan itu penulis menjadi salah satu
pemantik.

1
Urbanisasi Covid-19

Sampai saat ini (6 Agustus 2020) berdasarkan visualisasi melalui peta di laman Satuan Tugas
Penanganan Covid-19, di Pulau Jawa dengan cepat terlihat bahwa daerah yang memiliki risiko
tinggi kenaikan kasus adalah daerah-daerah perkotaan yang semuanya atau sebagian masuk
menjadi daerah yang dirancang sebagai bagian dari 10 kawasan metropolitan yang akan
dipercepat pengembangannya itu.

Penting disampaikan di sini, dalam laman yang dimaksud, disebutkan bahwa “Hasil
Pembobotan Skor dan Zonasi Risiko Daerah akan diperbaharui secara mingguan”. Namun
disebutkan juga di laman tersebut, ketika diakses pada 6 Agustus 2020, data yang tersaji
dalam “Peta Risiko” adalah data per 26 Juli 2020. Alias, “Peta Risiko” tidak diperbaharui
sesuai dengan yang dijanjikan (mingguan).

“Peta Risiko” itu membagi-bagi daerah berdasarkan risiko kenaikan kasus Covid-19 ke dalam
5 golongan, yaitu risiko tinggi, sedang, rendah, tidak ada kasus, dan tidak terdampak.

Kalau diurut dari Barat ke Timur, seperti yang tersaji dalam peta pada Gambar 1, maka
daerah-daerah yang memiliki “Risiko Tinggi” di Pulau Jawa tersebut adalah DKI Jakarta minus
Kota/Kabupaten Kepulauan Seribu. DKI Jakarta, dalam skema percepatan perencanaan
pengembangan 10 kawasan metropolitan masuk ke dalam area Jabodetabekpunjur.

Bergerak ke tengah, kelompok dengan kategori “Risiko Tinggi” yang terlihat sangat mencolok
di “Peta Risiko” adalah kawasan Kota Semarang dan sekitarnya, meliputi Kabupaten Kendal,
Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, dan Kabupaten
Jepara. Beberapa dari Kota/Kabupaten-kabupaten yang termasuk ke dalam risiko tinggi di
bagian tengah Pulau Jawa ini, dalam skema pengembangan 10 kawasan metropolitan yang
direncanakan oleh BPIW termasuk ke dalam area metropolitan Kedungsepur.

Masih di Pulau Jawa, bergerak ke arah timur, satu plot “Risiko Tinggi” yang di peta terlihat
berwarna merah adalah di sekitar Kota Surabaya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten
Jombang, dan Kota Batu. Beberapa dari area ini masuk ke dalam apa yang disebut sebagai
kawasan metropolitan Gerbangkertosusila.

2
Gambar 1: Peta Risiko Kenaikan Kasus Covid-19 di Pulau Jawa. Diekstrak dari laman
covid19.go.id pada 6 Agustus 2020.

Dari penampakan “Peta Risiko” dan daerah-daerah yang dikategorikan memiliki risiko tinggi
tersebut (atau biasanya disebut zona merah), terlihat satu pola: bahwa zona-zona merah itu
berada di wilayah perkotaan, terutama dalam hal ini daerah-daerah yang diproyeksikan untuk
dipercepat pengembangannya “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19“.

Dengan demikian, pertanyaan yang pertama sekali layak diajukan, atau pertanyaan yang
benar, sebelum mencanangkan percepatan proses pembangunan 10 kawasan metropolitan,
seharusnya adalah: relasi/koneksi internal apa yang ada (dibentuk dan membentuk) kawasan
metropolitan dan Covid-19 sehingga area-area perkotaan itu menjadi zona merah?

Dalam sebuah esei bertajuk “Global urbanization created the conditions for the current
coronavirus pandemic” di The Conversation beberapa geografer mengidentifikasi bagaimana
proses urbanisasi yang kapitalistik melalui momen urbanisasi yang diperluas (extended
urbanization) dan konsentrasi spasial (concentrated urbanization) menjadi mekanisme yang
mengendalikan hubungan manusia dengan non-manusia, yang dalam hal ini adalah SAR-CoV-
2, virus yang menyebabkan Covid-19.

Extended dan concentrated urbanization adalah dua gerak dialektis dalam proses urbanisasi.
Dialektis berarti yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Urbanisasi yang diperluas muncul
dalam berbagai bentuk seperti bagaimana proses produksi di perkotaan ditarik hingga molor
ke pedesaan untuk kepentingan pasokan bahan mentah dan buruh murah atau juga untuk
memasarkan komoditas (barang jualan). Posisi kawasan pedesaan yang tersubordinasi oleh
kawasan perkotaan ini membuat pakar menyebut kawasan pedesaan sebagai bentang alam
operasional (operational ladscape) yang dipetakan, digambar, dan didisain ulang menjadi
operasional untuk terkoneksi dengan kawasan perkotaan. Atau juga bagaimana kota-kota di

3
dunia sudah saling terhubung melalui proses mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh
infrastruktur transportasi.

Sementara concentrated urbanization adalah suatu pola konsentrasi moda-produsksi dan


buruh dalam satu area geografis untuk mempermudah ekstraksi surplus oleh kapital. Kota
adalah manifestasi empiris dari concentrated urbanization.

Dalam kasus Covid-19, kalau kita mengikuti ide yang ada dalam tulisan di The Conversation
itu, maka kedua elemen dalam proses urbanisasi ini menyumbang terhadap persebaran
Covid-19. Di satu sisi, extended urbanization menyebabkan koneksi yang kuat antara berbagai
ontologi spasial melalui mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur
transportasi. Koneksi/mobilitas ini menjadi media bagi Covid-19 untuk melebarkan cakupan
pengaruhnya ke hampir semua area di Planet Bumi.

Sementara, kepadatan penduduk di daerah perkotaan (concentrated urbanization)


menyebabkan persebaran Covid-19 di perkotaan menjadi lebih mudah. Hal ini sederhana
untuk dipahami; di kawasan perkotaan yang padat, ada manusia – inang SAR-CoV-2 – banyak.

Dalam kesempatan ini, tulisan ini ingin melengkapi perspektif yang sudah dibangun oleh
tulisan di The Conversation itu melalui identifikasi terhadap bagaimana extended dan
concentrated urbanization menjadi pola yang mengendalikan persebaran Covid-19 dengan
bagaimana ia berdampak pada orang/daerah tertentu.

Orang kaya, atau juga kota-kota di negara kaya, dapat melakukan work from home (kerja dari
rumah), physical distancing (jaga jarak), atau juga lockdown (mengunci teritori kota). Orang
miskin tidak dapat melakukan work from home, karena kadang-kadang apa yang disebut
“home” saja tidak punya. Lockdown juga tidak dapat dilakukan di kota seperti Jakarta karena
bermacam-macam hal, seperti keterdesakan warga untuk melakukan aktivitas di luar rumah,
atau juga kebutuhan pasokan bahan pangan yang harus dipenuhi dari luar kota. Demikian
juga dengan physical distancing. Ini susah dilakukan karena ada banyak tempat di kota
macam Jakarta dimana orang hidup berdesakan dalam satu ruang yang terbatas. Jadi,
lockdown dan semacamnya, demikian sebuah artikel membuatnya eksplisit, sama sekali tidak
ada/bisa dilakukan di kota macam Jakarta.

Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa pengaruh dari Covid-19 yang dialami oleh orang
miskin dan orang kaya, kota di negara miskin dan di negara kaya, tidaklah sama. Dampaknya
timpang. Dimensi ketimpangan ini yang tidak secara eksplisit disampaikan oleh tulisan di The
Conversation melalui lensa teori urbanisasi.

Dalam sebuah kesempatan, pembelajar urbanisasi yang lain menyebutkan bahwa selain
expanded dan concentrated urbanization, ada satu pola lagi yang bekerja dalam proses
urbanisasi, yaitu differential urbanization. Dimana yang terakhir ini mengacu pada dampak
proses urbanisasi yang berbeda terhadap orang/daerah yang berbeda.

4
Ketiga gerak dalam proses urbanisasi inilah (extended, concentrated, dan differential) yang
sejauh ini mengendalikan gerak persebaran/urbanisasi Covid-19. Maka tak mengherankan
apabila kawasan-kawasan konsentrasi spasial seperti tiga area yang termasuk zona merah di
Pulau Jawa seperti disebutkan di atas menjadi pusat dari persebaran Covid-19.

Kalau begitu adanya, mengapa BPIW masih mendorong percepatan perencanaan


pembangunan 10 kawasan metropolitan? Bukankah itu sama saja dengan mempercepat
penciptaan suatu kawasan yang rentan terhadap pandemi seperti Covid-19? Kondisi ini
semakin parah, karena, selain di Indonesia persebaran Covid-19 masih terus berlangsung dan
menunjukkan gejala yang tidak membaik dari sudut pandang manusia, kerusakan-kerusakan
lingkungan telah memosisikan manusia dan pemukimannya semakin rentan terhadap
pandemi di masa depan. Untuk memahami mengapa ini terjadi, saya perlu menjelaskan relasi
urbanisasi dan kapitalisme.

Urbanisasi Kapital

Dalam buku “Rebel Cities: From The Right to the City to the Urban Revolution” meskipun tidak
rigid/ketat, David Harvey menganalisis inter-relasi antara urbanisasi dan kapitalisme. Tidak
ketat maksud saya di sini, misalnya, tidak disertai dengan satu rumus/formula matematis,
apalagi mengaplikasikannya dalam ekonometri. Urbanisasi dan kapitalisme, demikian Harvey,
saling membutuhkan. Di satu sisi urbanisasi adalah proses darimana surplus diekstraksi. Di sisi
lain, ekstraksi surplus yang berujung pada akumulasi kapital membutuhkan urbanisasi untuk
menyerapnya.

Untuk sampai ke poin itu, Harvey melakukan kritik (atau melengkapi) sudut pandang
Marx(ist). Yang dominan dalam sudut pandang Marx, terutama dalam Capital I, adalah proses
eksploitasi nilai-lebih dari hasil kerja-lebih buruh di dalam pabrik oleh kapitalis. Buruh begitu
sentral dalam teori kapitalisme di pabrik yang dibangun oleh Marx. Bagi saya, ini tidak aneh,
karena Marx menulis dengan tujuan politis: melihat buruh se-dunia bersatu.

Proses eksploitasi nilai-lebih di dalam pabrik tidak merefleksikan proses ekstraksi surplus
melalui urbanisasi. Demikian kalau kita ikuti pemikiran Harvey. Kata-kata kunci dalam
urbanisasi misalnya, bukanlah buruh, tapi kredit, kota, properti, atau juga harga/sewa tanah.
Tentu saja untuk membangun kota dan properti seperti infrastruktur, apartemen, dan mall,
tenaga buruh tetap dibutuhkan. Itu selaras dengan narasi dominan dalam Capital I-nya Marx.
Yang baru adalah bagaimana sifat bisnis properti yang berbeda dengan pabrik.

Dalam pabrik, katakanlah pabrik sepatu, investasi kapital cepat kembali, seiring dengan
penjualan (realisasi) produk/komoditasnya dalam bentuk sepatu yang relatif cepat. Dalam
bisnis properti, kapital memiliki waktu-kembali (turn-over time) yang lama. Ini terjadi karena
harga properti seperti perumahan yang mahal, dan biasanya konsumen mendapatkannya
melalui mekanisme kredit dengan waktu yang relatif panjang sampai puluhan tahun.

5
Namun, meskipun turn-over time di sektor properti lama, kapitalis tetap senang untuk
berinvestasi di sana. Ini terjadi, menurut Harvey, karena adanya “kapital fiktif” (fictitious
capital). Kapital fiktif kira-kira adalah kapital semu yang diciptakan agar roda investasi tetap
berputar. Sebab, sebagai kapital, kapital akan mati kalau tidak diinivestasikan – tidak
diinjeksikan dalam satu sirkuit yang baru. Jadi, kapital yang terakumulasi di tangan kapitalis
(yang sering muncul dengan ekspresi minoritas jumlah orang yang menguasai mayoritas
kekayaan) harus tetap diputar/diinvetasikan/diinjeksikan agar kapital tidak mati. Di sinilah
sektor properti melalui kapital fiktif semakin mendapatkan ruangnya.

Metropolitan baru dan segala infrastrukturnya yang baru dianggap sebagai suatu kebutuhan
yang harus dilakukan. Untuk memuluskannya, pemerintah atau developer dapat meminjam
kepada lembaga-lembaga finansial sebagai modal awal. Kredit yang sama dapat dikucurkan
kepada konsumen, baik itu untuk membeli rumah/apartemen, atau mobil untuk
menggunakan infrastruktur seperti jalan tol yang akan dibangun itu.

Jadi, meskipun pada dasarnya konsumen tidak memiliki uang, namun kredit selalu ada. Ia
adalah kapital-semu, karena pada dasarnya dalam perputaran ini ia tidak untuk produksi
(seperti di pabrik) tapi untuk konsumsi (membeli properti). Dan uangnya disediakan (dalam
bentuk kredit). Surplus masuk ke tangan kapitalis melalui sewa dan/atau laba. Di sini, kapital
fiktif, dengan demikian, meminjam frase Harvey, adalah fiksi-fiksi (pembelian rumah, mobil,
apartemen oleh konsumen dengan menggunakan kredit) yang dibangun di atas fiksi
(pembangunan rumah dan apartemen atau infrastruktur melalui pendanaan yang didapat
dari mekanisme kredit), alias “fictions built upon fiction”.

Cara pandang dan kerja seperti ini sudah sangat mendominasi. Ia sudah menjadi kebijakan
negara. Bahwa “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19” 10 metropolitan akan
dipercepat pembangunannya. Cara pandang dan kerja kapital ini seolah-olah adalah satu-
satunya cara pandang dan kerja. Sama seperti urbanisasi Covid-19 yang sudah mendominasi
dunia, kapital juga sudah mengalami urbanisasi (urbanisasi kapital) dan mendominasi cara
pandang dan kerja pemerintah dalam hal bagaimana seharusnya dunia ini diatur.

Di sini, dengan mengambil kasus Jabodetabek, saya ingin melengkapi analisis Harvey. Bahwa
dalam inter-koneksi kapital-urbanisasi, menumpang satu proses yang menguntungkan
kapital: peredaman perlawanan. Jadi, bagi kapitalis, sekali tembak (pembangunan kota
melalui proses urbanisasi), ia mendapatkan dua mangsa (ekstraksi surplus melalui urbanisasi
dan peredaman perlawanan).

Bagi orang yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta, maka hidup adalah bangun pagi,
mungkin jam 5, naik KRL, dan pulang malam (mungkin jam 9). Sampai di rumah, pikiran dan
badan sudah lelah. Hidup adalah untuk bekerja, menjadi sekrup kapitalisme. Nyaris tak ada
ruang untuk memikirkan mengapa hidup seperti itu. Kota Jakarta yang banjir, macet dan
penuh polusi, diterima apa adanya. Kalau bisa, dinikmati.

6
Tatanan sosio-spasial seperti itu (yang macet dan menyita sebagian besar waktu orang untuk
berangkat kerja dan bekerja), saya identifikasi sebagai model ideal dari tatanan sosio-spasial
produk kapitalisme. Tak ada waktu untuk berfikir lebih politis-reflektif karena hidup adalah
pergi-pagi-pulang-malam. Dengan demikian, tampaknya, perlawanan sistematis terhadap
proses kehidupan perkotaan yang ekstraktif memang masih ada, namun ia membeku di
dalam buku-buku, menghuni perpustakaan atau berkas-berkas PDF, kadang-kadang hidup di
kepala beberapa orang yang memiliki waktu senggang untuk membaca.

Berbeda dari Harvey yang analisisnya melahirkan suatu cara pandang yang optimis akan
terjadinya sebuah revolusi perkotaan, ini adalah suatu cara pandang yang pesimis. Tetapi
setidaknya berguna bagi saya sendiri untuk menjelaskan mengapa kehidupan yang begitu
keras di kota macam Jakarta dan sekitarnya sangat susah menghasilkan perlawanan yang
radikal-revolusioner dari warganya. Bukan berarti saya mengabaikan atau menganggap tidak
penting semua bentuk perlawanan yang sejauh ini telah, dan akan tetap, muncul di Jakarta
dan sekitarnya. Namun fakta bahwa hari ke hari di mata saya Jakarta terlihat semakin
memburuk (dalam hal banjir, amblesan tanah, polusi, macet, ketimpangan, pandemi),
setidaknya berbicara sendiri bahwa perubahan ke arah yang lebih baik itu belumlah
mewujud.

Urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, sampai di titik ini, telah berpilin (dibentuk dan
membentuk). Persebaran atau urbanisasi Covid-19 sampai mendunia dibentuk melalui 3
momen dalam proses urbanisasi yang kapitalistik (extended, concentrated, dan differential).
Pada gilirannya, “pemulihan ekonomi” dari krisis yang dibentuk oleh Covid-19, menjadi
pembenar bagi percepatan pembangunan 10 kawasan metropolitan yang sudah pasti tidak
bisa lepas dari 3 momen dalam proses urbanisasi kapitalistik.

Dengan cara pandang seperti yang dipaparkan sepanjang tulisan ini, maka dapatlah
disebutkan bahwa keselamatanku dan/atau keselamatanmu (pembaca) bukanlah sesuatu
yang terlalu dihiraukan oleh kelompok macam BPIW. Sudah tidak penting lagi meskipun
model perkotaan metropolitan merefleksikan kerentanan terhadap Covid-19, dan dengan
demikian, membangun 10 kawasan metropolitan baru “dalam rangka pemulihan ekonomi”
kapitalistik sama saja dengan menciptakan secara massal kawasan yang rentan pandemi di
masa depan. Toh, dijerumuskan ke sana pun, orang tidak akan (mampu) mengorganisasikan
perlawanan. Ruang kendali sudah dikuasai oleh kepentingan kapital. Semua yang di luar itu,
(maaf!) tidak begitu penting.

Anda mungkin juga menyukai