Anda di halaman 1dari 2

DAMPAK VIRUS CORONA BAGI GLOBAL WARMING

Oleh : Husna Wati

Dalam hitungan bulan, dunia dengan cepat mengalami perubahan. Ribuan orang
meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya sakit karena terkena virus corona. Bumi
yang mulai rusak karena aktivitas manusia, mengalami perubahan iklim akibat virus
ini.

Badan Dunia WHO menyatakan bahwa virus ini telah menjadi pandemi global,
beberapa negara pun telah melakukan karantina diri atau yang disebut
dengan lockdown. Pemanasan global menjadi salah satu masalah yang dihadapi
sebelum wabah virus ini terjadi. Sebelum Corona mewabah, tiap negara 'berperang'
untuk menjaga kadar emisi karbon yang harus dikeluarkan agar tidak dituduh
sebagai penyebab efek rumah kaca. Tanpa disadari dampak perubahan iklim bakal
berpengaruh bagi kehidupan seluruh umat manusia di bumi. Beragam kejadian
bencana alam yang sudah merusak dan menyebabkan kematian, belum membuat
manusia tersadar.

Pada tahun 1997 terbentuklah Protokol Kyoto yang disepakati oleh negara-negara.
Isi protokol ini mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca. Kemudian pada tahun 2010 pemanasan global kembali membuat negara-
negara melakukan perjanjian, kali ini namanya Perjanjian Cancun. Negara-negara
yang terlibat berjanji akan menjaga pemanasan global dengan cara membatasi emisi
karbon di bawah 2 derajat celsius relatif terhadap tingkat suhu pra-industri.

Indonesia sendiri memiliki Perpres 61 dan 71 tentang Rencana Aksi Nasional dan
Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang dibuat pada tahun 2011.
Undang-undang ini disahkan agar Indonesia bisa terlihat dan terlibat dalam upaya
keras mengurangi emisi karbon dunia.

Di seluruh dunia penerbangan dibatalkan atau dibekukan, sehingga industri


penerbangan mulai terpuruk. Semua orang diperintahkan untuk tinggal di rumah
saja, kegiatan bekerja dan belajar dilakukan dari rumah masing-masing. Semua
langkah ini bertujuan mengendalikan penyebaran Covid-19, juga dengan harapan
mengurangi korban jiwa. Tapi semua perubahan ini juga menyebabkan hal-hal yang
tak terduga.

Banyak industri, jejaring transportasi dan perusahaan tutup, sehingga jumlah emisi
karbon di udara turun drastis. Transportasi, misalnya, menyumbang 23% dari total
emisi karbon global. Angka emisi karbon karena transportasi terlihat turun di negara-
negara yang membatasi pergerakan warganya sebagai kebijakan. Berkendara dan
penerbangan adalah penyumbang utama emisi dari transportasi, yakni 72% dan
11% dari gas rumah kaca dan gas emisi. Selama masa pandemi dan pengurangan
perjalanan masih terjadi, angka emisi ini dipastikan tetap rendah. Coba bayangkan,
tiap perjalanan yang kita lakukan di laut, udara dan darat akan menghasilkan sisa
emisi karbon. Bahkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan fosil
akan menghasilkan emisi. Semua emisi yang terbuang ke udara akan membentuk
lapisan yang kita kenal dengan efek rumah kaca.

Semoga saja dengan adanya 'tahap istirahat' ini, alam mampu untuk pulih. Manusia
pun diajar untuk tidak serakah dan menjaga alam seperti yang sudah seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai