PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan hukum islam setelah wafatnya Rasulullah SAW
berkembang sangat pesat. Hal ini dikarenakan muncul mutjahid yang terus
bekerja keras untuk mengetahui hukum-hukum syariat untuk disejalankan
dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh. Sejak kira-kira
abad pertengahan abad pertama Hijiriah sampai pada awal abad keempat,
tidak kurang dari sembilan belas aliran hukum sudah tumbuh dalam Islam.
Dalam berijtihad, tentu para mutjahid memiliki metode ijtihad
masing-masing sehingga menimbulkan perbedaan pendapat tentang suatu
hukum. Walaupun para mutjahid dalam menentukan suatu hukum sama-sama
berdasarkan apa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits, tetapi memang
Al-Quran dan Hadis itu sendiri bersifat multi interpretasi.
Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompok-kelompok fiqh
yang mulanya terdiri dari murid-murid para Imam Mutjahid. Kelompok-
kelompok ini berkembang dan tersebar. Selain itu, kelompok-kelompok ini
pun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian akhirnya terbentuklah
madzhab-madzhab seperti yang lihat sekarang ini.
Sebenarnya para Imam mutjahid sendiri tidaklah menganjurkan
untuk mengikuti mereka. Yang dianjurkan oleh para imam madzhab justru
kembali kepada dalil-dalil dalam berijtihad, meskipun dengan cara itu ada
kemungkinan hukum yang dihasilkan berbeda dengan pendapat mereka.
Dengan kata lain para imam mutjahid mendorong untuk berijtihad. Namun
jika kita tidak mampu berijtihad karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan
kita, maka kita harus mengikuti salah satu madzhab yang kita percayai. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S An-Nahl ayat 42 berikut ini.
1
”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (Q.S An-Nahl : 42)
Dari penjelasan diatas, penulis akan membahas lebih lanjut
mengenai perbedaan madzhab-madzhab tersebut. Selanjutnya diharapkan
dengan pembahasan tersebut, dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kita terutama mengenai madzhab-madzhab fiqih yang masih dalam ruang
lingkup perkembangan hukum islam.
Dalam perkembangan madzhab-madzhab fiqh telah muncul banyak
madzhab fiqh. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah
berbeda pendapat sekitar bilangan madzhab-madzhab. Tidak ada kesepakatan
ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya madzhab-madzhab
yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak madzhab yang pernah ada, maka hanya
beberapa madzhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Dalam makalah
ini, penulis hanya akan membahas beberapa madzhab yang tetap eksis hingga
kini, terutama madzhab-madzhab yang berkembang di Indonesia
diantaranya : Madzhab Hanafi, Madzhab Hambali, Madzhab Syafii, Madzhab
Maliki, dan Madzhab Ja’fariyah (Syi’ah).
2
B. Rumusan Masalah
Berikut ini masalah – masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya:
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya jika kita mengatakan
madzhab syafi’i, itu artinya adalah fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.
Kata madzhab secara lughoh memiliki makna “pergi” dan bisa juga
bermakna “pendapat”. Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna:
1. Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid
dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan
Hadits.
2. Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau peristiwa
yang diambil dari AL-Qur’an dan AL-Hadits3.
مع أدلتها فى المسألة الواحدة المختلف فيها و مقابلة هذهBجم ُع آرا ِء األئمة المجتهدين
األدلة بعضها مع بعض ليظهر بعد مناقشتها أيّ األقوال أقوى دليال
1
Pengantar Perbandingan Madzhab, Prof. Dr. H. HuzaemahTahido Yanggo, M.A., hal. 92
2
Ibid
3
Ibid, hal. 80
4
Ibid, hal. 92
5
C. Proses Lahirnya Madzhab
Mulai pada awal kedua hijriyah, yaitu masa Tabi’-tabi’in, kedudukan
ijtihad sebagai istinbath semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa
itu muncullah madzhab-madzhab-madzhab dalam bidang hukum Islam, baik
dalam golongan Ahlu Hadits maupun dari golongan Ahlu ar-Ro’yi.5
Syekh Abu Malik Kamal menyebutkan, bahwa setelah abad kedua
muncullah di tengah-tengah mereka sikap bermadzhab pada mujtahid
tertentu, dan jarang sekali ada orang yang tidak berpegang pada bermadzhab
mujtahid tertentu.6
Mengutip dari buku Fiqh 4 Madzhab : Fiqh dan Ushul Fiqh yang
ditulis oleh Dr. H. Opik Taupik K, M.Ag dan Ali Khosim Al-Mansyur,
M.Ag, madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah
yang merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
“The Golden Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak
kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu
juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi
dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa
Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan
besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
Banni Abbas mewarisi imperium besar Bani umayah. Hal ini
memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena
landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode
kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa madzhab fiqih yang panji-
panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan
fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadikan landasan
kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
5
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., Pengantar Perbandingan Mazhab, cetakan keempat,
Penerbit: Gaung Persada (GP) Press, Ciputat, 2011 M., hlm. 80.
6
Syaikh Abu Malik Kamal bin Assayyid Salim, Shohih Fiqih Sunnah, Penerbit: Pustaka At Tazkia
Jakarta, Cetakan ke-7 Jumadil Akhir 1433 H. / April 2012 M., hlm. 34.
6
Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode
sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili
madzhab-madzhab ahli hadits dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya
madzhab-madzhab fiqh, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan
pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah
merupakan era kelahiran madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian
madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam
dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakuan istinbat hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan karakteristik
tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan
beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madzhab
seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan
lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-
kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan
para Imam Madzhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan
jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan
berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash Al-
Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan
jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para
imam madzhab tersebut berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya
dan tanpa ia sadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali
hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya
doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat
perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab
yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam
melakukan istinbath hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh para imam
madzhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia
menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologiyang sistematis
7
dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka
metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqh ihktilaf terus berlangsung, mereka tetap
berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan
mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi
anatara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang cenderung
rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang
mewajibkan madzhab dan yang melarangnya.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai kapanpun dan di
mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan umat
Islam, karena pola pikir terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang
kemudian melahirkan madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi
pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut memiliki
pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan
dan pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan
mereka terhadap kedudukan Al-Quran dan al-Sunnah.
D. Macam-Macam Madzhab
b. Madzhab Maliki
c. Madzhab Syafi’i
d. Madzhab Hanbali
e. Madzhab Zhohiri7
7
Ibiid, hal. 84-86
8
2) Madzhab Syi’ah
بيBBار من النBBة المختBBو الخليفBBالب هBBيعة على أن علي بن أبي طBBويتفق الش
الىBارك و تعBوان هللا تبB و أنه أفضل الصحابة رض, صلى هللا عليه و سلم
عليهم
3) Madzhab Khowarij
9
kholifah dengan mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu. Meeka disebut khowarij
disebabkan mereka keluar dari Ali rodhiyallohu ‘anhu12.
12
Pengantar Perbandingan Madzhab, Prof. Dr. H. HuzaemahTahido Yanggo, M.A., hal. 178
10
Dengan demikian Imam Abu Hanifah mempunyai banyak guru di
Kufah, Basrah, Mekkah dan Madinah. Beliau bekeliling ke kota-kota yang
menjadi pusat ilmu masa itu dan banyak mengetahui hadits-hadits, yang
menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah :
a. Sangat rasional, mementingkan maslahat dan manfaat.
b. Lebih mudah dipahami daripada madzhab yang lain.
c. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang
nonmuslim).
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya
menyebarkan ke masyaraat luas, namun kadang-kadang ada pendapat
murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu
ciri khas fiqh Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya
terhadap ulama fiqh yang hidup dimasanya.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqih
Akhbar, Al’Alim Walmutam dan Musnad Fiqih Akhbar. Adapun ulama
Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih diantarnya Jami’ al-Fushulai, Dlarar
al-Hukkam, kitab al-Fiqih dan Qawaid al-Fiqih, dan lain-lain.
Adapun yang dijadikan pokok pegangan dalil madzhab hanafi ialah
: Al-Quran, As-Sunah, Aqwalus Sahabat, Ijma’, Qiyas, Istisan, dan ‘Urf.
Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke
negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini madzhab hanafi
merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Madzhab
ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan,
Muslimin India dan Tiongkok.
Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah.
Meskipun Abu Hanifah seorang ulama besar, beliau tidak merasa
memonopoli kebenaran. Hal itu terbukti dari pernyataannya :”Saya
mengambil pendapat ini, karena pendapat ini benar, tapi mengandung
kemungkinan salah. Dan saya tidak mengambil pendapat itu, karena
pendapat itu salah, tapi menganung kemungkinan benar”.
11
2) Imam Malik (93 – 179 H/ 711-795 M)
Imam Malik dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Nama
lengkapnya Malik bin Anas bin ‘Amar. Kakek Imam Malik yaitu ‘Amar
berasal dari Yaman. Keluarganya bukan orang kaya, tetapi hal ini tidaklah
menghalanginya untuk menuntut ilmu. Beliau pernah bertemu dengan Abu
Hanifah ketika Abu Hanifah ke Madinah dan sangat menghargainya. Abu
Hanifah tiga belas tahun lebih tua dari Malik bin Anas.
Malik bin Anas adalah orang yang saleh, sangat sabar, ikhlas dalam
berbuat, mempunyai daya ingat dan hafalan yang kuat, serta kokoh dalam
pendiriannya. Beliau ahli dalam bidang fiqh dan hadits, yang diterima dari
guru-gurunya di Madinah. Guru-guru Malik bin Anas antara lain : Ibn
Hurmuz, Rabi’ah, Yahya ibn Sa’ad al-Anshari, dan Ibn Syihaab Azhuri.
Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai dua tempat
pengajian yaitu Masjid dan rumahnya sendiri. Yang disampaikannya
pertama hadits dan kedua masalah-masalah fiqh. Dalam hal mengajar,
Imam Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa.
Oleh karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau
belum yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri
(saya tidak tahu).
Imam Malik, meskipun dikelompokan kepada Ahlu al-Hadits,
tetapi tidak berarti hanya menggunakan hadits saja dalam menetapkan
hukum. Sebab beliau juga menggunakan Mafkhum Mukhlafah, Dzari’ah,
dan terutama al-Maslahah. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 173
H.
Kitab yang dinisbahkan kepada Imam Malik adalah Al-Muwatho
yang merupakan kitab Hadits tapi juga sekaligus kitab Fiqh. Disamping itu
juga fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan murid-muridnya, seperti
Ibn Qosim dan Sahmun, telah tersusun menjadi sebuah kitab al-
Muwadanah al-Kubra yang merupakan kitab standar dalam madzhab
Maliki. Diantara murid-murid kesayangannya adalah Muhammad bin Idris
As-Syafi’i. Yang kemudian lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i.
12
3) Imam al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 822 M)
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Manaf. Silsilah Imam Al-Syafi’i
dari ayahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdu
Manaf. oleh karena itu, beliau termasuk Suku Quraisy. Ibunya dari Suku
al-Azdi di Yaman. Beliau dilahirkan di Gaza, salah satu kota di Palestina
pada tahun 150 H. Ayahnya meningga ketika beliau masih bayi. Sehingga
Imam Syafi’i dibesarkan dsalam keadaan yatim dan fakir.
Muhammad bin Idris ketika berumur kurang lebih 10 tahun dibawa
oleh ibunya ke Mekkah, ketika itu beliau telah hafal Al-Qur’an. Di
Mekkah beliau banyak mendapatkan hadits dari para ulama hadits. Karena
kefakirannya sering memungut kertas-kertas yang telah dibuang kemudian
dipakainya untuk menulis. Ketika semangatnya untuk menuntut ilmu
semakin kuat dan menyadari bahwa Al-Quraan itu bahasanya sangat indah
dan maknanya sangat dalam, maka beliau pergi ke Kabiah Hudzail untuk
mempelajari dan mendalami Sastra Arab serta mengikuti saran hidup
Muhammad SAW. Pada masa kecilnya. Disana beliau sampai hafal
sepuluh ribu bait sayair-syair Arab.
Di Mekkah, Muhammad bin Idris berguru kepada Sufyan bin
Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah
untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelum pergi ke Madinah beliau
telah membaca dan hafal kitab al-Muwatha. Beliau membawa surat dari
wali Mekkah ditujukan untuk wali Madinah agar mudah betemu dengan
Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin Idris sudsah berumur 20
tahun. Kemudian berguru kepada Imam Malik selam 7 tahun.
Karena terdesak oleh kebutuhan hidupnya, Imam Syafi’i kemudian
bekerja di Yaman. Tragedi pernah menimpanya ketika ia bekerja di
Yaman, ia dituduh terlibat gerakan Syiah sehingga dihadapkan kepada
Khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad. Oleh karena ilmunya yang tinggi
dan atas bantuan Muhammad bin Hasan Asyaibani serta bertempat tinggal
dirumahnya.
13
Muhammad bin Hasan Asyaibani pernah belajar kepada Imam
Malik selama tiga tahun. Dari Muhammad bin Hasan Asyaibani beliau
mendapat pelajaran fiqh Imam Abu Hanifah selama dua tahun. Kemudian
kembali lagi ke Mekkah. Pada kesempatan musim haji beliau bertemu
dengan ulama-ulama yang pergi ke Mekkah naik haji dari seluruh dunia
Islam. Dengan demikin fiqh Imam Syafii menyebar ke seluruh wilayah
Islam.
Beliau bermukim di Mekkah selama tujuh tahun. Kemudian pada
tahun 195 H kembali lagi ke Baghdad dan sempat berziarah ke kuburan
Abu Hanifah ketika itu umurnya 45 tahun. Di Baghdad beliau memberikan
pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang sangat terkenal
adalah Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah bertemu dengan Imam
Al-Syafii di Mekkah. Ahmad Ibn Hanval sangat mengagumi kecerdasan
dan kekuatan daya ingat Imam syafii serta kesederhanaan dan
keikhlasannya dalam bersikap. Setelah dua tahun di Baghdad kembali lagi
ke Madinah tetapi tidak lama dan pada tahun 198 H, beliau kembali lagi ke
Baghdad, selanjutnya terus ke Mesir dan sampai di Mesir tahun 199 H.
Di Mesir beliau memberi pelajaran fatwa-fatwanya kemudian
terkenal dengan nama Qaul Jadid. Sedangkan fatwanya ketika di Baghdad
disebut Qaul Qodim. Imam Al-Syafii meninggal di Mesir pada tahun 204
H atau 822 M. Pada waktu meninggal Imam Al-Syafii, Gubernur Mesir
ikut memandikan dan menyalatkan jenazahnya.
Dari riwayat hidupnya tampak juga bahwa Imam al-Syafii adalah
seorang ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara
metode ijtihad Imam Malik dan metode Imam Abu Hanifah, sehingga
menemukan metode ijtihadnya snediri yang mandiri. Beliau sangat hati-
hati dalam berfatwa, sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbangan
antara rasio dan rasa.
Bagi Imam al-Syafii ibadah itu harus membawa kepuasan dan
ketenangan dalam hati. Untuk itu diperlukan kehati-hatian. Oleh karena
14
itu, konsep ikhtiyat (prinsip kehati-hatian) mewarnai pemikiran Imam
Syafi’i. Diantara kitab-kitab yang beliau karang ialah :
a. Kitab Al-Risalah. Yang merupakan kitab Ushul Fiqh yang pertama kali
dikarang dan karenyan Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu
Ushul Fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Imam al-
Syafi’i dalam menetapkan hukum.
b. Kitab al-Umm. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas
berdasarkan pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam al-
Risalah.
15
sahabat dan tabi’in serta sejarah Nabi, dan para sahabat. Beliau belajar
Fiqh dari Abu Yusuf muridnya Abu Hanifah dan dari Imam Al-Syafii,
tetapi perhatiannya kepada hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar
hadits di Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, dan Yaman. Beliau
selalu menuliskan hadits dengan perawi-perawinya dan cara ini pun
diharuskannya kepada murid-muridnya.
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki daya ingat yang kuat dan ini
adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli hadits. Beliau juga
sangat sabar dan ulet, memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam
pendirian. Di samping itu seperti imam-imam yang lain, beliau adalah
orang-orang yang sangat ikhlas dalam perbuatannya.
Imam Ahmad bin Hanbal yang menetang pendapat muktazilah,
pernah dijatuhi hukuman dan dipenjara oleh Khalifah al-Ma’mum yang
menganut paham muktazilah. Ketika Khalifah al-Ma’mum wafat, Imam
Ahmad masih tetap dalam penjara di masa Mu’tashim Billah. Sesudah
keluar dari penjara, beliau sakit-sakitan dan akhirnya wafat pada tahun 241
H.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam berijtihad memiliki warna
tersendiri. Prinsip madzhabnya adalah Al-Qur’an, As-sunah, dan beliau
sangat kuat memegang fatwa para sahabat yang tidak diperselisihkan. Di
samping itu juga Imam Ahmad bin Hanbal terkenl sekali sebagai ulama
yang tidak percaya adanya ijma. Karena menurutnya tidak mungkin ada
ijma, karena demikian banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah
furu. Menurut Dr. Abu Zahrah ijma yang ditentang oleh Ahmad bin
Hanbal adalah Ijma’ sesudah masa sahabat. Adapun ijma’ pada masa
sahabat diakui kebenarannya.
Awal perkembangannya, madzhab Hanbali berkembang di Bahdad,
Irak dan Mesir pada waktu yang sangat lama. Pada abad ke-12 Raja Abdul
Aziz al-Saudi menjadikan madzhab Hanbali sebagai madzhab resmi
pemerintahan Saudi Arabia. Hingga sekarang menjadi pengikut terbanyak
madzhab ini.
16
5) Imam Ja’far al-Shaddiq (80 – 148)
Banyak ulama-ulama dari golongan Syi’ah yang ahli dalam fiqh,
seperti Muhamma al-Bakir, Zaid bin Ali Zaenal Abidin, Ja’far al-Shaddiq,
dan lain sebagainya. Seluruh keturunan Rasulullah SAW. Salah seorang
dari mereka yaitu Imam Ja’far al-Shaddiq di bawah ini diuraikan singkat
riwayat hidupnya.
Beliau putra Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin
Husein bin Ali Karamallahu Wajhahu. Sedang ibunya Umu Farwah binti
al-Qosim bin Muhammd bin Abi Bakar Shiddiq Radiyallohu Anhu.
Imam Ja’far al-Shaddiq tokoh Syi’ah Ja’fariyah, Imam Zayd tokoh
Syi’ah Zaydiah dan Imam Abu Hanifah tokoh Ahlu Sunnah hidup pada
waktu yang sama. Sehingga ketiganya pernah bergaul dan bertemu pada
waktu menuntut ilmu. Imam Abu Hanifah pernah menceritakan waktu
pertemuannya yang pertama kali dengan Ja’far al-Shaddiq. “Waktu saya
melihat Ja’far al-Shaddiq terasa olehku kehebatan dan kewibawaannya.
Kehebatan dan kewibawaan semacam itu pada diri Khalifah Ja’far al-
Mansur”.
Ja’far al-Shaddiq mulai belajar dari ayahnya, Imam Muhammad
Al-Bakir mengenai ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits, dan juga akhlak. Sesudah
itu dari keluarga ayahnya dan keluarga ibunya. Beliau juga menguasai
Ilmu Alam, Ilmu Kimia dan Ilmu-ilmu dalam Taurat, Injil, dan Ilmu para
nabi-nabi lainnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa beliau memiliki
Ilmu Laduni dan memiliki intuisi yang tajam.
Imam Ja’far adalah ulama yang sangat taqwa kepadaa Allah, sangat
ikhlas, memiliki wibawa keilmuan dan haibah kejiwaan, berakhlak mulia,
sabar pada tempatnya, dan berani pada tempatnya serta memiliki kearifan
yang sangat tinggi. Beliau termasuk salah seorang guru dari imam
mutjahid Abu Hanifah dan Malik serta ulama-ulama terkemuka seperti
Sufyan Atsauri dan Sufyan bin Uyaenah.
Dengan pengetahuannya yang dalam tentang Al-Quran beliau
menarik mutiara-mutiara dari pengertian-pengertian dan nash-nash Al-
17
Quran. Kemudian dari sunnah, sesudah itu mengambil maslahat dari akal
pikiran yang sehat.
Diceritakan bahwa muridnya yang bernama Ja’far bin Hayyan
mengumpulkan risalah-risalah yang dikarang oleh Imam Ja’far al-Shaddiq,
maka terkumpulah tidak kurang dari lima ratus risalah.
Imam Ja’far meninggal tahun 148 H. Serta dimakamkan di Baqie,
yaitu tempat dimana dimakamkan ayahnya Muhammad al-Bakir,
kakeknya Zaenal Abidin, dan Hasan bin Ali.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, Fiqh dan Ushul Fiqh merupakan
salah satu disiplin ilmu yang senantiasa sarat dengan wacana menarik.
Keberadaan fiqh sebagai bagian dari syariat islam tak pelak menjadi bahasan
yang tidak pernah terhenti sepanjang zaman. Wajah fiqh yang identik dengan
aturan dan doktrin Islam tentang ibadah sering menimbulkan pendapat
dikalangan para ulama dan umat akibat adanya perbedaan dalam metode
berijtihad. Walaupun para mutjahid dalam menentukan suatu hukum sama-
sama berdasarkan apa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits, tetapi
memang Al-Quran dan Hadis itu sendiri bersifat multi interpretasi. Selain itu
unsur subjektifitas para ulama itu sendiri juga mempengaruhi hasil ijtihadnya
mengenai suatu hukum.
Kendatipun demikian, justru dengan adanya perbedaan itulah kita
mempunyai perbendaharaan yang sangat banyak dalam hukum dan bisa
menimbang-nimbang berdasar sinar wahyu Illahi dan akal yang sehat
sehingga bisa menemukan hukum yang lebih tepat. Imam Abu Hanifah
berkata : “Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling banyak tahu
tentang perbedaan di kalangan manusia”.
Perbedaan sangat wajar tentunya jika disikapi dengan kedewasaan
berpikir dan mengedepankan toleransi. Namun tidak jarang yang terjadi justru
sebaliknya, perbedaan pendapat yang seyogianya menjadi rahmat bagi umat,
malah justru menjadi laknat (embrio perpecahan umat). Fanatisme golongan
dan truth claim menjadi dalil dari segala keyakinan.
19