Setelah Anda mempelajari materi di atas, silakan kerjakan tugas berikut untuk
menguji pemahaman Anda...!!
1. Buatlah keseluruhan arus migrasi pada masa pra aksara dalam satu peta
migrasi nenek moyang bangsa Indonesia!.
2. Mengapa dalam pembagian zaman pra aksara masa logam, zaman besi
dinyatakan merupakan zaman yang berada sesudah masa perunggu!.
Jelaskan!
3. Jelaskan mengapa peninggalan masa pra aksara ditemukan juga di
wilayah Indonesia Timur, sedangkan masa Hindu Budha tidak ditemukan
peninggalannya di wilayah Indonesia Timur!
KB 2
Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama dan dianggap sebagai pendiri
kerajaan Sriwijaya. Namanya sering disebut-sebut pada beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir
abad VII yang menceritakan perjalanan sucinya mencari berkah dan menaklukan wilayah di
sekitarnya. Menurut catatan-catatan ini, Sriwijaya mengalahkan Jambi, Palembang, Selatan Lampung,
Pulau Bangka, bahkan melancarkan serangan di pulau Jawa, yang kemungkinan menyebabkan
runtuhnya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat
Selanjutnya pada kekuasaan Raja Wisnu, kekuasaan Sriwijaya semakin meluas hingga ke Thailand dan
Kamboja. Pada abad ke-7. pelabuhan Champa di timur Indochina membuat banyak kapal pedangan
beralih dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal itu, Maharaja Dharmasetu atau Raja Wisnu melancarkan
serangan ke kota-kota pantai di Indochina sehingga kota Indrapura di tepi sungai Mekong berada di
bawah kendali Sriwijaya.
Karena kekuasaannya yang luas inilah kerajaan Sriwijaya sering disebut sebagai kerajaan yang luas
dan menyatukan nusantara. Meski begitu, kekuaasaan terbesar Sriwijaya pada masa keemasannya
hanya meliputi Sumatera, Jawa Barat hingga Jawa Tengah, Semenanjung Malaya, Thailand dan
Kamboja.
Sumpah Palapa tersebut berbunyi, “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa,
sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
ingsun amukti palapa”.
Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, potongan teks tersebut berarti: “Gajah Mada sang
Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada “Selama aku belum menyatukan Nusantara,
aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau
Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.”
Palapa di sini diartikan sebagai rempah-rempah atau rempah kehidupan yang berarti Patih Gajah
Mada tidak akan menikmati kehidupan dunia sebelum sumpahnya tercapai.
Sejumlah orang memang meragukan sumpahnya, namun saat menjabat sebagai Patih, ia
hampir berhasil menaklukan nusantara meskipun tidak seluruhnya seperti wilayah NKRI sekarang ini.
Beberapa kerajaan yang ditaklukan antara lain Bedahulu (Bali), Lombok, Palembang, Swarnabhumi
(Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan beberapa negeri lainn di Sumatera. Selanjutnya juga Pulau
Bintan, Tumasik (Singapura),Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas,
Katingan, Sampit, Kotalingga, Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Samadang, Tirem, Sedu,
Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Meski begitu, ada argumen lain yang menyebutkan bahwa kekuasaan Majapahit sebenarnya tidak
seluas itu dan hanya seluas Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nusantara yang dimaksud adalah koalisi
antara kerajaan yang saling bekerja untuk kepentingan bersama seperti keamanan dan perdagangan
regional. Koalisi tersebut berupa mitra dalam kedudukan yang sama. Kemungkinan, anggapan bahwa
Majapahit menguasai Nusantara adalah karena keinginan Presiden pertama Indonesia untuk
menyatukan negara dan Muhammad Yamin kemudian menggunakan gagasan Nusantara sebagai
bentuk negara kesatuan.
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk
menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri
Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang
mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk
dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot
dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide
dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat
diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan
ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai
Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya
atas perintah Raja Kertanegara.
Arca Amoghapasa
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura
(Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan
dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari
Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia
mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya
yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan
bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian
besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang
(Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua
arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan
pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk
istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga
beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik
memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan
diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria
Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi
kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh
Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari
dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai
dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha
(Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang
sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik Dalam Negeri:
1. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
2. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang
bernama Ardharaja menjadi menantunya.
3. Memperkuat angkatan perang.
1. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan
Sriwijaya di Selat Malaka.
2. Menguasai Bali.
3. Menguasai Jawa Barat.
4. Menguasai Malaka dan Kalimantan.
5.
KB 3
Tradisi ini berasal dari kebiasaan orang-orang Hindu dan Budha yaitu kenduri,
selamatan dan sesaji. Dalam agama Islam tradisi ini tidak dapat dibenarkan karena
mengandung kemusyrikan.
Dalam tahlilan sesaji digantikan dengan berkat atau nasi dan lauk-pauk yang dibawa
pulang oleh peserta. Ulama yang mengubah tradisi ini adalah Sunan Kalijaga
dengan maksud agar orang yang baru masuk Islam tidak terkejut karena harus
meninggalkan tradisi mereka, sehingga mereka kembali ke agamanya
Takbiran
Takbiran dilakukan pada malam 1 Syawal (Idul Fitri) dengan mengucapkan takbir
bersama-sama di masjid/mushalla ataupun berkeliling kampung (takbir keliling).
5. Muludan
RIBUAN lelaki berpakaian serba putih tumpah ruah di jalan protokol Pasar Kuto-Pelabuhan
Boom Baru, Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (21/5/2017).
Mereka berjalan beriringan dari satu makam ulama dan pendiri Kesultanan Palembang
Darussalam ke makam-makam lainnya di sepanjang jalan itu.
Massa yang tampak seperti aliran sungai berair susu itu merupakan jemaah puncak ziarah
kubro, tradisi khas Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), dalam menyambut bulan suci
Ramadhan. Ziarah kubro ibarat pawai.
Para jemaah berada pada baris paling depan, sedangkan ulama di baris paling belakang.
Ulama berjalan dikawal sejumlah relawan. Mereka dipayungi dengan payung kuning khas
Melayu.
Di depan ulama, sejumlah pemuda berpakaian adat Melayu Palembang membawa bendera
ulama. Mereka berjalan bersama dari satu makam ke makam lainnya.
Warga yang tak ikut ziarah kubro menyambut antusias. Ada yang berebut menyentuh tubuh
ataupun mencium tangan ulama. Bagi warga, bisa menyentuh tubuh ataupun mencium
tangan ulama merupakan berkah tersendiri.
Ada pula yang menawarkan minuman dan makanan gratis kepada jemaah. Mereka berupaya
merayu jemaah agar mengambil minuman dan makanan yang disajikan agar mendapat
berkah. Suasana yang terbangun mirip saat Lebaran.
Ziarah kubro hanya dilakukan lelaki. Para perempuan berkontribusi menyiapkan minuman
dan makanan gratis untuk jemaah. Saat hari kegiatan, perempuan asyik menyaksikan dari
pinggir jalan dan di dalam rumah
KB 4
1. Terjadinya perlawanan :
Pangeran Diponegoro
Suryomataram
Ario Prangwadono
Pangeran Serang
Notoprojo
Sentot Prawirodirjo
Pngeran Ariokusmo
Kiai Mojo
1. Terjadinya perlawanan :
1. Tokoh perlawanan :
Raja Bone
Raja Ternatte
Raja Suppa
1. Akhir perlawanan :
Kaum Padri adalah kelompok masyarakat yang ingin menegakkan agama Islam dari
tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran alquran. Sikap itu mendapat
tentangan keras dari kaum adat. Kaum adat yang tetap ingin mempertahankan
kebiasaanya. Akibat pertentangan itu masyarakat Minangkabau terpecah menjadi
dua kelompok yang saling bermusuhan. Permusuhan makin sengit ketika kaum adat
meminta bantuan kepada Belanda.
2. Tokoh Perlawanan :
Tuanku Pasaman
Tuanku Hitam
Kaum Padri berjuang mati-matian tetapi akibat persenjataan kurang Benteng Bonjol
jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol tertangkap dan dibuang ke Cianjur
dan kemudian dipindahkan ke Minahasa hingga wafat (1864). Tuanku Imam Bonjol
dimakamkan di Pineleng dekat Manado.
Pada abad ke19, pemerintahan Belanda ingin menguasai Bali untuk memperkuas
wilayah.Pada tahun 1844, kapal Belanda terdampar di Buleleng.Hal ini sesuai dengan
hukum tawan karang, yaitu hukum adat yang berlaku di Bali. Kemudian Belanda
menuntut penghapusan hukum Tawan Karang serta raja-raja di Bali mau mengakui
kekuasaan Belanda dan melindungi perdagangannya di Bali. Kalau tutututan itu tidak
dipenuhi, Bali akan diserang. Diprakarsai oleh Patih Buleleng, I Gusti Ketut Jalantik,
raja-raja Bali menolak tuntutan itu dan siap bertempur menghadapi Belanda.
Patih Buleleng
Raja Bali
Jatuhnya kerajaan Buleleng, menyebabkan raja-raja Bali lainnya bersikap lunak
terhadap Belanda, bahkan bersedia membantunya. Akhirnya kedua kerajaan
tersebut jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik
meloloskan diri pada tahun 1849. Setelah kerajaan Buleleng dapat dikuasai, Belanda
berusaha menaklukan kerajaan Bali lainnya. Hal ini memaksa para raja Bali
mengambil alternatif terakhir untuk mempertahankan kehormatannya, yaitu perang
puputan (perang terakhir sampai mati).
Perlawanan Rakyat Banjar
Belanda dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan
sultan Adam. Setelah Sultan Adam wafat tahun 1857, Belanda mulai turut campur
dalam urusan pergantian tahta kerajaan. Akibatnya, rakyat tidak menyukai Belanda.
Belanda dengan sengaja dan sepihak melantik Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan.
Ditengah tengah perebutan tahta, meletuslah perang Banjar pada tahun 1859
dengan Pangeran Antasari sebagai pemimpinnya.
Sultan Adam
Pangeran Antasari
Pangeran Hidayatulloh
H.Nasrun
H.Bayasin
Kiai Lalang
Gusti Matseman
Pangeran Antasari melakukan pertempuran bersama rakyat. Bahkan, pada bulan
Maret 1862 Antasari diangkat menjadi Sultan dengan gelar Panembahana Amiruddin
Khalifatul Mukminin.Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan
oleh putranya bernama Gusti Matseman namun, perlawanan rakyat Banjar makin
hari makin melemah.
Tindakan Aceh yang menjalin hubungan dengan bangsa lain sangat dikhawatirkan
oleh Belanda.Oleh karena itu, Belanda sering memancing keributan dengan
menggeledah dan menangkap pelaut Aceh yang baru kembali dari negara lain.
Rakyat Aceh pun sering membalas dengan menyergap kapal-kapal Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse
yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu
dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.Taktik berikutnya yang dilakukan
Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya
Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten
menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5
Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap
Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya
ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan
beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan
menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim
menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak
Panglima Polim.Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat
Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz.
Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya,
yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.Taktik terakhir menangkap Cut
Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya,
dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
5. Perang Aceh
Aceh dihormati oleh Inggris dan Belanda melalui Traktat London pada 1824, karena Terusan
Suez diuka, yang menyebabkan kedudukan Aceh menjadi Strategis di Selat Malaka dan
menjadi incaran bangsa barat. Untuk mengantisipasi hal itu, Belanda dan Inggris
menandatangani Traktat Sumatra pada 1871.
Melihat gelagat ini, Aceh mencari bantuan ke luar negeri. Belanda yang merasa takut disaingi
menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatannya di Nusantara. Namun Aceh menolaknya,
sehingga Belanda mengirim pasukannya ke Kutaraja yang dipimpin oleh Mayor Jendral
J.H.R Kohler. Penyerangan tersebut gagal dan Jendral J.H.R Kohler tewas di depan Masjid
Raya Aceh.
Serangan ke – 2 dilakukan pada Desember 1873 dan berhasil merebut Istana kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Letnan Jendral Van Swieten. Walaupun telah dikuasai secara militer, Aceh
secara keseluruhan belum dapat ditaklukkan. Oleh karena itu, Belanda mengirim Snouck
Hurgronye untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, Aceh kehilangan Teuku Cik Ditiro, lalu pada 1893, Teuku Umar menyerah
kepada Belanda, namun pada Maret 1896, ia kabur dan bergabung dengan para pejuang
dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas di
Meulaboh. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Dhien.
Pada November 1902, Belanda menangkap 2 isteri Sultan Daudsyah dan anak – anaknya.
Belanda memberi 2 pilihan, menyerah atau keluarganya dibuang. Lalu pada 1 Januari 1903,
Sultan Daudsyah menyerah. Demikian pula Panglima Polim pada September 1903.
Pada 1905, Cut Nyak Dhien tertangkap di hutan, Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Baru
pada 1912, perang Aceh benar – benar berakhir.
6. Perang Bali
Pulau Bali dikuasai oleh kerajaan Klungkung yang mengadakan perjanjian dengan Belanda
pada 1841 yang menyatakan bahwa kerajaan Klungkung di bawah pemerintahan Raja Dewa
Agung Putera adalah suatu negara yang bebas dari kekuasaan Belanda.
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng dan
terkena hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai kapal dan
isinya. Pada 1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal.
Serangan ke – 2 pada 1849, di bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van
Swieeten berhasil merbut benteng kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini diberi
nama Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan – kerajaan Bali
dengan Belanda untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Diantaranya Puputan
Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).
7. Perang Banjarmasin
Sultan Adam menyatakan secara resmi hubungan kerajaan Banjarmasin – Belanda pada 1826
sampai beliau meninggal pada tahun 1857. sepeninggal Sultan Adam, terjadi perebutan
kekuasaan oleh 3 kelompok :
Di tengah kekacauan tersebut, terjadi perang Banjarmasin pada 1859 yang dipimpin Pangeran
Antasari, seorang putra Sultan Muhammad yang anti Belanda. Dalam melawan Belanda,
Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dalam pertempuran
dengan Belanda pada tahun tersebut, Pangeran Antasari tewas.
Imperialisme bertujuan untuk menanamkan pengaruh pada semua bidang kehidupan negara yang
bersangkutan.
a. kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang
menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari
pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan
hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu. Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem
tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat melarat
dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan
(1849).
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan
sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan
pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada
tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang
menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula). Menghadapi berbagai reaksi yang ada,
pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa
secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria). Meskipun tanam
paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap
rakyat, yaitu:
Secara umum bagi bangsa Indonesia tanam paksa sangat menyengsarakan rakyat, apalagi dengan
adanya Cultuurprocenten yang merupakan semacam hadiah bagi para pegawai Belanda, bupati dan
kepala desa pelaksana tanam paksa yang mampu mencapai atau melebihi target produksi yang
dibebankan pada tiap-tiap desa. Semakin besar hasil yang dicapai maka semakin besar prosentase
imbalan yang diterimanya. Akibatnya muncullah apa yang disebut vested interest yaitu mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Cara-cara ini akan menimbulkan penderitaan rakyat yang
semakin hebat karena mereka akan dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan
produksi tanaman. Selain itu, sawah dan ladang para petani juga terbengkalai karena ditinggal kerja
rodi, beban mereka semakin berat karena harus menanggung panen yang gagal dan membayar
pajak. Namun dari itu semua sistem tanam paksa juga membawa dampak positif bagi bangsa
Indonesia dimana dalam pelaksanaan tanam paksa diperkenalkan jenis-jenis tanaman baru yang
merupakan komoditi ekspor serta cara merawat dan tempat-tempat yang cocok untuk menanam jenis
tanaman tertentu. Bangsa Indonesia juga menjadi tahu cara-cara mengolah tanah dan cara memanen
yang baik sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Dan ada pula bukti kuantitatif maupun
kualitatif bahwa di daerah-daerah tertentu Tanam Paksa justru meningkatkan kemakmuran, seperti di
Pekalongan, penanaman tebu yang disertai dengan pembukaan pabrik gula mengakibatkan ekonomi
yang meluas dan pembayaran pajak berjalan lancar. Gejala yang sama terjadi pula di Priyangan,
dimana ada tanda-tanda peningkatan kesejahteraan petani. Terbukti dari adanya pertambahan
jumlah penduduk dan hewan ternak, semakin lajunya usaha pembukaan lahan, kenaikan produksi
pangan secara merata dan bertambah larisnya penjualan garam.
Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada
masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan
ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga
telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi,
tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat
dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan
bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya
etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi
pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia,
namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat
Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana
berikut:
1. Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk
diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila,
lada, tebu.
2. Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah
masyarakat Jawa.
3. Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup
masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi
hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan
penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
4. Berkembangnya industialisasi di pedesaan
Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi kearah yang lebih baik dengan mendorong pemerintah Belanda
mengubah kebijakkan ekonominya. Oleh karena itu, dibuatlah peraturan-peraturan agrarian yang baru, yang antara lain
mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan
dan yang tidak boleh. Pada pelaksanaannya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan pribumi, tapi malah
menambah penderitaan rakyat karena hasil-hasil perkebunan dan pertambangan justru mengalir ke negeri Belanda. Dengan
hasil bumi tersebut, Belanda menjadi pusat perdagangan di Eropa. Keuntungan maksimal diperoleh Belanda, baik
pemerintah kolonial maupun pihak swasta. Sementara bagi rakyat Indonesia, terjadi kemerosotan tingkat kesejahteraan
penduduk. Hasil bumi mengalir ke pihak Belanda dan usaha-usaha rakyat kalah bersaing oleh usaha-usaha asing yang masuk
karena kebijakan pintu terbuka. Rakyat juga menderita karena masih diterapkannya sistem kerja rodi dan adanya hukuman