Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Insomnia

1. Definisi Insomnia

Insomnia adalah kondisi yang menggambarkan dimana seseorang

kesulitan untuk tidur. Kondisi ini bisa meliputi kesulitan tidur, masalah

tidur, sering terbangun di malam hari, dan bangun terlalu pagi. Kondisi

ini mengakibatkan perasaan tidak segar pada siang hari dan kesulitan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan tidak tercukupinya kebutuhan

tidur yang baik (Respir, 2014).

Insomnia berasal dari kata in artinya tidak dan somnus yang berarti

tidur, jadi insomnia berarti tidak tidur atau gangguan tidur. The

diagnostic and statistical of mental Disorder (DSM-IV) mendefinisikan

gangguan insomnia primer adalah keluhan tentang kesulitan mengawali

tidur dan menjaga keadaan tidur atau keadaan tidur yang tidak restorative

minimal satu bulan terakhir (Heny, 2013).

Erliana dalam Heny (2013), berpendapat kesulitan tidur atau

insomnia adalah keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang

disebabkan karena sulit memasuki tidur, sering terbangun malam

kemudian kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi, dan tidur

yang tidak nyenyak.

2. Faktor- faktor Penyebab Insomnia

Secara garis besar ada beberapa faktor yang menyebabkan insomnia

(Dewi, 2013) yaitu:

10
11

a. Stress, individu yang didera kegelisahan yang dalam, biasanya

karena memikirkan permasalahan yang sedang dihadapi.

b. Depresi, selain mnyebabkan insomnia, depresi juga menimbulkan

keinginan untuk tidur terus sepanjang waktu karena ingin

melepaskan diri dari masalah yang dihadapi, depresi bias

menyebabkan insomnia dan sebaliknya insomnia menyebabkan

depresi.

c. Kelainan-kelainan kronis, kelainan tidur seperti tidur apnea,

diabetes, sakit ginjal, arthritis, atau penyakit mendadak seringkali

menyebabkan kesulitan tidur.

d. Efek samping pengobatan, pengobatan untuk suatu penyakit juga

dapat menjadi penyebab insomnia.

e. Pola makan yang buruk, mengkonsumsi makanan berat sesaat

sebelum pergi tidur bisa menyulitkan untuk tertidur.

f. Kafein, nikotin, dan alkohol. Kafein dan nikotin adalah zat stimulant.

Alkohol dapat mengacaukan pola tidur.

g. Kurang berolah raga juga bisa menjadi faktor sulit tidur yang

signifikan.

3. Jenis- jenis Insomnia

Menurut Dewi (2013), insomnia dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:

a. Transient insomnia

Mereka yang menderita transient insomnia biasanya adalah

mereka yang termasuk orang yang tidur secara normal, tetapi

dikarenakan suatu stres atau suatu situasi penuh stres yang


12

berlangsung untuk waktu yang tidak terlalu lama (misalnya

perjalanan jauh dengan pesawat terbang yang melampaui zona waktu,

hospitalisasi, dan sebagainya), tidak bisa tidur. Pemicu utama dari

transient insomnia yaitu, penyakit akut, cedera atau pembedahan,

kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, perubahan

cuaca yang ekstrim, menghadapi ujian, perjalanan jauh, masalah

dalam pekerjaan

b. Short-term insomnia

Mereka yang menderita short-term insomnia adalah mereka

yang mengalami stres situasional (kehilangan/kematian seorang yang

dekat, perubahan pekerjaan dan lingkungan pekerjaan, pemindahan

dan lingkungan tertentu ke lingkungan lain, atau penyakit fisik).

Biasanya insomnia yang demikian itu lamanya sampai tiga minggu

dan akan pulih lagi seperti biasa.

c. Long-term insomnia

Yang lebih serius adalah insomnia kronik, yaitu long-term

insomnia. Untuk dapat mengobati insomnia jenis ini maka tidak boleh

dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan fisik dan psikiatrik yang

terinci dan komprehensif.

4. Klasifikasi Insomnia

Menurut Susilowati (dalam Noviana, 2011) insomnia dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu:

a. Insomnia Primer yaitu merupakan gangguan kesulitan tidur yang

berlangsung dalam jangka waktu lama atau kronis, sering


13

mengakibatkan terjadinya komplikasi kecemasan dan depresi sehingga

mengakibatkan gangguan kesulitan tidur semakin parah. Insomnia

primer dapat diistilahkan sebagai insomnia panjang atau kronis (long

term insomnia). Ditandai dengan kesulitan untuk tidur nyenyak pada 1

atau beberapa malam selama lebih dari 6 bulan.

b. Insomnia Sekunder yaitu merupakan gangguan kesulitan tidur yang

berlangsung dalam jangka waktu pendek atau sementara. Insomnia

sekunder dibagi menjadi dua, yaitu

1) Insomnia Sementara yaitu terjadi pada seseorang yang dapat tidur

dengan normal, namun adanya stres sementara atau ketegangan

sementara mengakibatkan orang tersebut mengalami kesulitan

tidur. Seseorang yang mengalami insomnia sementara mengalami

kesulitan untuk tidur dengan nyenyak selama kurang lebih 1 malam

dan kurang dari 4 minggu.

2) Insomnia Jangka Pendek yaitu terjadi pada seseorang yang

mengalami stres situasional atau mengalami sakit fisik. Seseorang

yang mengalami insomnia jangka pendek mengalami kesulitan

tidur nyenyak selama 4 minggu hingga 6 bulan.

2.2 Konsep Foot Massage

1. Definisi

Foot Massage adalah manipulasi jaringan ikat melalui pukulan,

gosokan atau meremas untuk memberikan dampak pada peningkatan

sirkulasi, memperbaiki sifat otot dan memberikan efek relaksasi (Potter

& Perry, 2011).


14

Terapi massage adalah suatu teknik yang dapat meningkatkan

pergerakan beberapa struktur dari kedua otot dan jaringan subkutan,

dengan menerapkan kekuatan mekanik ke jaringan. Pergerakan ini dapat

meningkatkan aliran getah bening dan aliran balik vena, mengurangi

pembengkakan dan memobisi serat otot, tendon dengan kulit. Dengan

demikian, terapi massage dapat digunakan untuk meningkatkan

relaksasi otot untuk mengurangi rasa sakit, stress, dan kecemasan yang

membantu pasien meningkatkan kualitas tidur dan kecepatan

pemulihan. Selain itu, terapi massage dapat meningkatkan pergerakan

pasien dan pemulihan setelah operasi, yang memungkinkan pasien

untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Anderson & Cutshall, 2007).

Dari beberapa penelitian menggambarkan bahwa metode foot maasage

adalah salah satu metode yang paling umum dari terapi komplementer.

Terapi pijat dan repleksi merupakan pendekatan terapi manual yang

digunakan untuk memfasilitasi penyembuhan kesehatan, dan dapat

digunakan oleh perawat di hampir setiap pelayan perawatan (Kaur,J. &

Bhardwaj, 2012).

2. Teknik Massage

Terdapat lima teknik dasar dalam melakukan massage yaitu:

efflurage, petrisage, perkusi, friksi, dan vibrasi.

a. Efflurage

Usapan yang lembut dan berirama. Biasanya dilakukan

mengikuti arah aliran darah. Contoh: dari pergelangan kaki

menuju betis. Dalam gerakan ini praktisi massage dapat


15

menggunakan seluruh bagian telapak tangannya. Peningkatan tekanan

pada saat massage dilakukan secara bertahap.

b. Petrisage / kneading

Gerakan meremas, menekan dan memutar sekelompok otot,

praktisi massage akan meregangkan sejumlah jaringan/bagian

tubuh, mengencangkan regangan dan melepaskan regangan.

c. Friction

Tekanan tetap /gerakan sirkuler yang kuat melintasi serat otot.

gerakan ini biasanya dilakukan disekitar sendi.

d. Percussion

Gerakan seperti memukul drum pada area tubuh yang

luas, biasanya dilakukan di punggung.

e. Vibration

Vibrasi melibatkan gerakan cepat dari praktisi massage yang

digunakan untuk menghantarkan getaran pada pasien.Teknik yang

digunakan dalam foot massage adalah efflurage, kneading dan

friction.

3. Manfaat

Foot massage mampu memberikan efek relaksasi yang mendalam,

mengurangi kecemasan, mengurangi rasa sakit, ketidaknymanan secara

fisik, dan meningkatkan kualitas tidur pada seseorang. Foot massage

dapat memberikan efek untuk mengurangi rasa nyeri karena pijatan

yang diberikan menghasilkan stimulus yang lebih cepat sampai ke otak

dibandinkan dengan rasa sakit yang dirasakan, sehingga meningkatkan


16

sekresi serotonin dan dopamine. Sedangkan efek pijatan merangsang

pengeluaran endorfin, sehingga membuat tubuh terasa rileks karena

aktifitas saraf simpatis menurun.

Efek massase pada sistem saraf mempengaruhi saraf sensori dan

reseptornya. Respon yang diterima tergantung tipe gerakan massase

yang dilakukan. Teknik Friction dan perkusi serta vibrasi

mendukung stimulasi. Efflurage secara lembut, friction sedang dan

kompresi meningkatkan relaksasi. Massase yang singkat dan kuat

dapat meningkatkan produksi epinefrin dan nor epinefrin. Massase

juga dapat meningkatkan kadar serotonin dan dopamine sehingga

memicu penurunan stress dan depresi.

4. Prosedur Foot massage

Lama sesi massage bervariasi tergantung dengan tujuan setiap

sesi dan pada siapa dilakukan. Menurut (Kaur, Kaur, dan Bhardwaj

2012) menyatakan bahwa foot massage yang dilakukan selama 5 menit

pada pasien sakit kritis dapat memberikan efek meningkatkan relaksasi

karena adanya perubahan pada tekanan darah sistolik, tekanan darah

diastolik, denyut nadi, kelelahan, dan suasana hati setelah intervensi

tersebut diakuan. Contohnya: massage untuk tujuan pemeliharaan

kesehatan secara umum biasanya dilakukan selama ½ sampai dengan

1 1/2 jam, biasanya dilakukan pada tempat spa atau klinik

massase. Massage dengan menggunakan kursi untuk para pekerja

bisnis selama 15-20 menit. Atlet dilakukan massage sebelum

bertanding 15 menit dan memelihara tubuh secara umum selama 30


17

menit -1 jam. Massage untuk keperluan terapi minimal 10 menit. foot

massage membutuhkan waktu antara 10-20 menit.

Mekanisme foot massage yang dilakukan 10 menit dimulai dari

pemijatan pada kaki yang diakhiri dari pemijatan pada kaki yang

diakhiri pada telapak kaki diawali dengan memberikan gosokan pada

permukaan punggung kaki, diamana gosokan yang berulang

menimbulkan peningkatan suhu diarea gosokan yang mengaktifkan

sensor syaraf kaki sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan

getah bening yang mempengaruhi aliran darah meningkat, sirkulasi

darah menjadi lancar ( Aditya.dkk, 2013).

5. Teknik foot massage

Foot massage merupakan teknik dimana kedua kaki menerima

beberapa teknik di berbagai posisi, dengan memijat lembut dan

berirama untuk mendapatkan respon relaksasi.

Adapun langkah- langkah penatalaksanaan foot massage yang dilakukan

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 : Teknik Foot massage

No Metode Langkah-Langkah Foot massage


1 Dengan menggunakan bagian tumit telapak tangan

gosok dan pijat telapak kaki pasien secara perlahan

dari arah dalam ke arah sisi luar kaki pada bagian

terluas kaki kanan selama 15 detik.


2 Dengan menggunakan tumit telapak tangan

dibagian yang sempit dari kaki kanan, gosok dan

pijat secara perlahan bagian telapak kaki pasien


18

dari arah dalam ke sisi luar kaki selama 15 detik.


3 Pegang semua jari-jari kaki oleh tangan kanan, dan

tangan kiri menopang tumit pasien, kemudian

putar pergelangan kaki tiga kali searah jarum jam

dan tiga kali ke arah berlawanan arah jarum jam

selama15 detik.
4 Tahan kaki diposisi yang menunjukkan ujung jari

kaki mengarah keluar, gerakan maju dan mundur

tiga kali selama 15 detik untuk mengetahui

fleksibilitas.
5 Tahan kaki diarea yang lebih luas bagian atas

dengan menggunakan seluruh jari (ibu jari di

telapak kaki dan empat jari di punggung kaki) dari

kedua belah bagian kemudian kaki digerakkan ke

sisi depan dan belakang tiga kali selama 15 detik.


6 Tangan kiri menopang kaki, kemudian tangan

kanan memutar dan memijat masing –masing jari

kaki sebanyak tiga kali di kedua arah , untuk

memeriksa ketegangan selama 15 detik.


7 Pegang kaki kanan dengan kuat dengan

menggunakan tangan kanan pada bagian

punggung kaki sampai ke bawah jari-jari kaki dan

tangan kiri yang menopang tumit. Genggam

bagian punggung kaki, berikan pijatan lembut

selama 15 detik.
19

8 Posisi tangan berganti, tangan kanan menopang

tumit dan tangan kiri yang menggenggam

punggung kaki sampai bawah jari kaki kemudian

di pijat dengan lembut selama 15 detik.


9 Pegang kaki dengan lembut tapi kuat dengan

tangan kanan peneliti di bagian punggung kaki

hingga ke bawah jari-jari kaki dan gunakan

tangan kiri untuk menopang di tumit dan

pergelangan kaki dan berikan tekanan lembut

selam 15 detik.
10 Menopang tumit menggunakan tangan kiri dan

dengan menggunakan tangan kanan untuk

memutar setiap searah jarum jam kaki dan

berlawanan arah jarum jam serta menerapkan

tekanan lembut setiap 15 detik.


11 Menopang tumit dengan menggunakan tangan kiri

dan memberikan tekanan dan pijatan dengan

tangan kanan pada bagian sela-sela jari bagian

dalam dengan gerakan ke atas dan ke bawah

gerakan lembut selama 15 detik.


12 Tangan kanan memegang jari kaki dan tangan kiri

memberikan tekanan ke arah kaki bagian bawah

kaki menggunakan tumit tangan dengan

memberikan tekanan lembut selama 15 detik.

2.3 Diabetes Melitus

1. Pengertian
20

Diabetes melitus adalah kondisi kronis yang terjadi ketika ada

peningkatan kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak dapat

menghasilkan atau cukup hormon insulin atau menggunakan insulin

secara efektif (IDF Diabetes Atlas Eighth, 2017). Diabetes melitus adalah

penyakit kronis yang kompleks yang membutuhkan perawatan medis

berkelanjutan dengan strategi pengurangan risiko multifaktor di luar

kendali glikemik (ADA, 2015).

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kelainan metabolism

yang disebabkan kurangnya hormon insulin (Maulana 2016). Diabetes

adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan

insulin yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif

menggunakan insulin yang dihasilkan. Hiperglikemia, atau gula darah

yang meningkat, merupakan efek umum dari diabetes yang tidak

terkontrol dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada

banyak sistem tubuh, khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO,

2012). Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa

didalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau

menggunakan insulin secara adekuat (Irianto 2015).

Jadi Diabetes Melitus adalah penyakit kronik yang ditandai dengan

kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemi) yang disebabkan oleh

pangkreas tidak dapat menghasilkan hormon insulin atau insulin tidak

dapat bekerja sebagaimana mestinya.

2. Klasifikasi

Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori yaitu :


21

a. Diabetes tipe 1

Diabetes Melitus tipe 1 disebut juga dengan Juvenile Diabetes

atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Tipe ini disebabkan

karena kerusakan sel-β, sehingga terjadi defisiensi insulin secara

absolut. Kerusakan sel β memiliki tingkat yang bervariasi, kerusakan

menjadi cepat jika terjadi pada bayi dan anak-anak dan menjadi

lambat jika terjadi pada orang dewasa. Pasien dengan tipe ini memiliki

insulinopenia permanen dan rentan terhadap ketoasidosis (ADA,

2015).

b. Diabetes tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Adult Onset Diabetes. Pada tipe ini

pankreas relatif menghasilkan insulin tetapi insulin yang bekerja

kurang sempurna karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan.

Faktor genetis dan pola hidup juga sebagai penyebabnya. Faktor

resiko DM tipe 2 adalah: obesitas, stress fisik dan emosional,

kehamilan umur lebih dari 40 tahun, pengobatan dan riwayat keluarga

diabetes melitus. Hampir 90% penderita diabetes melitus adalah

diabetes melitus tipe 2 (ADA, 2015).

c. Diabetes melitus dengan kehamilan atau Diabetes Melitus Gestasional

(DMG)

Merupakan penyakit DM yang muncul pada saat mengalami

kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu normal.

Tipe ini akan normal kembali setelah melahirkan. Faktor resiko pada
22

DMG adalah wanita yang hamil dengan umur lebih dari 25 tahun

disertai dengan riwayat keluarga dengan DM, infeksi yang berulang,

melahirkan dengan berat badan bayi lebih dari 4 kg (ADA, 2015).

d. Diabetes tipe lain

Diabetes tipe ini disebabkan karena defek genetik fungsi sel

beta, defek genetik fungsi insulin, penyakit eksokrin pankreas,

endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi dan sindrom genetik

lain yang berhubungan dengan DM. Beberapa hormon seperti hormon

pertumbuhan, kortisol, glukagon, dan epinefrin bersifat antagonis atau

melawan kerja insulin. Kelebihan hormone tersebut dapat

mengakibatkan DM tipe ini (ADA, 2015).

3. Kriteria Diagnosa Diabetes Melitus

Bagi orang dewasa normal, pendeteksian DM dilakukan dengan

pemeriksaan kadar glukosa dalam darah puasa. Terutama bagi mereka

yang memiliki faktor resiko DM. Batasan kadar glukosa darah sewaktu

dan puasa sebagai screening (penyaring) dan diagnosa DM adalah

sebagai berikut (Iskandar, 2004 dalam Suiraoka, 2012):

Tabel 2.3 : Kriteria Diagnosa Diabetes Melitus

Penderita
Kadar Glukosa Darah Bukan DM Diduga DM
DM
Sewaktu/tidak puasa :
a. Plasma vena < 140 140 - 200 ≥ 200
b. Darah kapiler < 80 80 – 200 ≥ 200
Puasa
a. Plasma Vena < 110 110 – 126 ≥ 126
b. Darah Kapiler < 90 90 – 110 ≥ 110
Sumber : Suiraoka, 2012.
23

Kriteria diagnostik yang dipergunakan dalam menegakkan

diagnosa diabetes terdiri dari 3 cara dan setiap hasil tersebut masih

memerlukan konfirmasi pada waktu yang berbeda oleh cara yang lainnya

dengan :

a. Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl

b. Kadar glukosa 2 jam PP dengan Test Toleransi Glukosa (TTG) > 200

mg/dl

c. Gejala spesifik dengan kadar glukosa sewaktu > 200 mg/dl

Pemeriksaan HbA1C dapat juga dijadikan sebagai salah satu

kriteria diagnosis DM. Pemeriksaan ini sangat penting untuk

mengevaluasi pengendalian gula darah. Ketika kadar gula darah tidak

terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka kadar gula darah akan

berikatan dengan haemoglobin. Oleh karena itu, rata-rata kadar gula

darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila

kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu maka kadar HbA1C

akan tinggi pula. Kadar HbA1C normal antara 4% sampai dengan

6,5% (Bilous, 2014).

4. Etiologi

Menurut Suiraoka (2012), Secara garis besar faktor penyebab

Diabetes Melitus dikelompokan menjadi 2 yaitu :

a. Faktor yang tidak dapat diubah :

1) Umur

Umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan semakin

bertambahnya umur kemampuan jaringan mengambil glukosa


24

darah semakin menurun. Penyakit ini lebih banyak pada orang

berumur diatas 40 tahun daripada ornag yang lebih muda

2) Keturunan

Diabetes Melitus bukan penyakit menular tetapi diturunkan.

Namun bukan berarti anak dari kedua orang tua yang diabetes

pasti akan mengidap diabetes juga, sepanjang bisa menjaga dan

menghindari faktor resiko yang lain. Sebagai faktor resiko secara

genetik yang perlu diperhatikan apabila kedua atau salah seorang

dari orang tua, saudara kandung, anggota keluarga dekat

mengidap diabetes.

b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi atau diubah

1) Pola makan yang salah

Pola makan yang salah dan cenderung berlebih menyebabkan

timbulnya obesitas. Obesitas sendiri merupakan faktor

predisposisi utama dari penyakit diabetes melitus.

2) Aktivitas fisik kurang gerak

Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kurangnya

pembakaran energi oleh tubuh sehingga kelebihan energi dalam

tubuh akan disimpan dalam bentuk lemak dalam tubuh.

Penyimpanan yang berlebihan mengakibatkan obesitas.

3) Obesitas

Diabetes terutama DM tipe II sangat erat hubungannya

dengan obesitas. Laporan Internasional Diabetes Federation


25

(IDF) tahun 2004 menyebutkan 80% dari penederita diabetes

ternyata mempunyai berat badan yang berlebihan.

4) Stress

Reaksi setiap orang ketika stres melanda berbeda-beda.

Beberapa orang mungkin kehilangan nafsu makan sedangkan

orang lainnya cenderung makan lebih banyak. Stres mengarah

pada kenaikan berat badan terutama karena kortisol, hormon stres

yang utama. Kortisol yang tinggi menyebabkan peningkatan

pemecahan protein tubuh, peningkatan trigliserida darah dan

penurunan penggunaan gula tubuh, manifestasinya meningkatkan

trigliserida dan gula darah atau yang dikenal dengan istilah

hiperglikemia.

5. Patofisiologi

Tubuh manusia membutuhkan bahan bakar berupa energi untuk

menjalankan berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut

bersumber dari zat gizi karbohidrat, protein, lemak yang di dalam tubuh

mengalami pemecahan berupa zat yang sederhana dan proses pengolahan

lebih lanjut untuk menghasilkan energi. Proses pembentukan energi yang

bersumber dari glukosa memerlukan prose metabilisme yang rumit.

Dalam proses metabolisme tersebut, insulin memegang peranan yang

sangat penting, di mana isnulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam

sel untuk selanjutnya diubah menjadi energi (Suiraoka, 2012).

Pada keadaan normal, glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin

yang diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga kadarnya di dalam


26

darah selalu dalam batas aman baik pada keadaan puasa maupun sesudah

makan. Kadar glukosa darah normal berkisar antara 70-140 mg/dl

(Suiraoka, 2012).

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta

pankreas pada pulau langerhans. Tiap pankreas mengandung 100.000

pulau langerhans dan tiap pulau berisikan sekitar 100 sel beta

(Syahbudin, 2004 dalam Suiraoka, 2012). Insulin memegang peranan

penting dalam pengaturan kadar glukosa darah dan koordinasi

penggunaan energi oleh jaringan. Insulin yang dihasilkan oleh sel beta

pankreas dapat diibaratkan anak kunci yang dapat membuka pintu

masuknya glukosa ke dalam sel agar dapat dimetabolsime menjadi

energi. Bila insulin tidak ada atau tidak dikenali oleh reseptor pada

permukaan sel, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam darah sehingga

kadarnya akan meningkat. Tidak adanya glukosa yang dimetabolisme

menyebabkan tidak ada energi yang dihasilkan sehingga badan menjadi

lemah (Smeltzer and Bare, 2013).

Pada keadaan DM, tubuh relaktif kekurangan insulin sehingga

pengaturan glukosa darah menjadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah

sudah tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa melalui

glukoneogenesis di hati tidak dapat dihambat karena insulin yang kurang

atau resisten sehingga kadar glukosa darah terus meningkat. Kadar gula

darah yang tinggi mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorbsi

dan glukosa keluar bersama urin. Akibatnya terjadi gejala-gejala khas

DM seperti poliuri, polidipsi, polifagi, lemas, dan berat badan menurun.


27

Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, berakibat terjadi kegawatan

Diabetes Melitus yaitu ketoasidosis yang sering menimbulkan kematian

(Suiraoka, 2012).

6. Tanda dan Gejala

Menurut Suiraoka (2012), secara umum tanda dan gejala penyakit

DM dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala akut dan kronis.

a. Tanda dan gejala akut, meliputi :

1) Penurunan berat badan, rasa lemas dan cepat lelah

2) Sering kencing dengan jumlah air seni banyak (poliuri)

3) Banyak minum (polidipsi)

4) Banyak makan (polifagi).

b. Tanda dan gejala kronis, meliputi :

1) Gangguan pengelihatan, berupa pandangan yang kabur dan

menyebabkan seing ganti kaca mata.

2) Gangguan saraf tepi berupa rasa kesemutan.

3) Gangguan fungsi seksual, berupa gangguan ereksi dan impoten

4) Rasa tebal pada kulit

5) Mudah mengantuk

6) Pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin

dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

7. Karakteristik penderita diabetes mellitus

Menurut Noor (2014), dalam epidemiologi deskriptif dikenal

beberapa karakteristik penderita Diabetes Melitus yang saling berkaitan

satu dengan yang lainnya, yaitu :


28

a. Umur

Umur merupakan salah satu karakteristik tentang orang yang

sangat utama karena umur juga mempunyai hubungan yang erat

dengan resiko terhadap penyakit dan sifat resistensi pada berbagai

kelompok umur tertentu. Yang harus diperhatikan adalah jumlah

penderita yang yang ada di pelayanan kesehatan tertentu, tanpe

mengetahui keadaan populasi pada umur tersebut sehingga yang

didapatkan adalah gambaran proporsi penyakit menurut umur dan

bukan gambaran resiko menurut umur.

Diabetes tipe 1 banyak ditemukan pada balita, anak-anak, dan

remaja. Sedangkan, Diabetes Melitus tipe II terjadi pada usia 35-40

tahun ke atas dan resiko semakin meningkat pada usia lansia karena

adanya resistensi insulin (Hasdianah, 2012). Seiring berjalannya usia,

kemampuan organ tubuh mengalami kemunduran, hal ini juga dialami

penderita DM, dimana terjadi resistensi insulin yang menyebabkan

berkurangnya kemampuan sel untuk menggunakan insulin. Jika

Diabetes Melitus sudah dirasakan pada usia muda, tentunya resiko

penurunan fungsi kognitif semakin besar terjadi. Menurut Copel

(2007), awitan tipe dini gangguan kognitif terjadi pada usia 65 tahun

atau lebih awal dan awitan tipe lanjut terjadi pada usia setlah 65 tahun.

b. Jenis kelamin

Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin dapat timbul

karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal yang berbeda.

Rasio jenis kelamin harus selalu diperhitungkan karena bila suatu


29

penyakit lebih tinggi frekuensinya pada pria dibanding wanita, tidak

selalu berarti bahwa pria mempunyai resiko lebih tinggi, karena hal

tersebut juga dipengaruhi oleh rasio jenis kelamin pada populasi

tersebut (Noor, 2014).

Pria lebih beresiko mengalami Diabetes Melitus daripada

wanita. Hal ini dikarenakan perbedaan prevalensi ini dipengaruhi oleh

distribusi lemak tubuh. Pada laki-laki, penumpukan lemak

terkonsentrasi di sekitar perut sehingga memicu obesitas sentral yang

lebih berisiko memicu gangguan metabolisme (Suiraoka, 2012).

Namun, penelitian beberapa ahli menjelaskan bahwa prevalensi

Diabetes melitus paling tinggi diderita oleh wanita, hal ini disebabkan

karena pada perempuan memiliki LDL atau kolesterol jahat tingkat

trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki – laki, dan hal

tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit

Diabetes Mellitus. Wanita mengalami menopause di usia 45-65,

apalagi memiliki riwayat DM sangat rentang mengalami penurunan

fungsi kognitif. Penurunan suplai darah ke otak karena adanya

penurunan kadar estrogen yang berperan dalam metabolisme lemak

yang bersifat melebarkan pembuluh darah semakin berkurang, hal ini

memperparah kejadian ateroskleroris pada otak yang mengakibatkan

penurunan fungsi kognitif akibat komplikasi jangka panjang penderita

Diabetes Melitus.

c. Hubungan garis keturunan


30

Penderita Diabetes Melitus umumnya diturunkan oleh generasi

sebelumnya. Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara

kandung yang menderita diabetes lebih beresiko tinggi mengalami

Diabetes Melitus karena adanya kesamaan paparan lingkungan,

kebiasaan hidup dan faktor genetik (Bilous, 2014).

d. Kelompok etnis

Variasi insiden diabetes tipe I antara dan dalam populasi sangat

bervariasi dan Finlandia merupakan negara dengan kasus tersering (49

kasus per 100.000 penduduk pertahun). Untuk diabetes tipe II, angka

tertinggi saat ini ditemukan di benua Mediterania Utara dan Timur

tengah diikuti oleh Amerika Utara dan Amerika Selatan.

e. Sosial ekonomi atau Gaya hidup

Diabetes Melitus erat kaitannya dengan sosial ekonomi

menengah keatas yang umumnya terjadi di negara maju dan gaya

hidup yang buruk. Di zaman modern segalanya serba instan, gaya

hidup yang buruk pencetus utama meningkatnya kejadian Diabetes

Melitus (Hasdianah, 2012).

8. Komplikasi

a. Komplikasi akut

Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang

meningkat atau menurun dengan tajam dalam waktu relative singkat.

Kadar glukosa darah bisa menurun drastis jika penderita menjalani

diet yang terlalu ketat. Perubahan yang besar dan mendadak dapat
31

berakibat fatal. Dalam komplikasi akut dikenal beberapa istilah

sebagai berikut (Maulana, 2016):

1) Hipoglikemia yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa

darah dibawah nilai normal. Gejala hipoglikemi ditandai dengan

munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-

debar, pusing, gelisah dan penderita bisa menjadi koma.

2) Ketoasidosis diabetic-koma diabetik yang diartikan sebagai

keadaan tubuh yang sangat kekuarangan insulin dan bersifat

mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yang

terlalu bebas, atau stress.

3) Koma hiperosmoler non ketotik yang diakibatkan adanya

dehidrasi berat, hipotensi, dan shock. Karena itu Koma

hiperosmoler non ketotik diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa

penimbunan lemak yang menyebabkan penderita menunjukkan

pernapasan yang cepat dan dalam (kusmaul).

4) Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan

asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat.

Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat dan

seseorang bisa mengalami koma.

b. Komplikasi kronik

Menurut Hasdianah (2012), komplikasi kronik yang sering terjadi

pasien DM yaiu :

1) Mikrovaskuler
32

Komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah, terutama pada

pembuluh darah kecil pada organ tubuh, seperti :

a) Ginjal (Nefropati Diabetik)

Nefropati Diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat

kebocoran selaput penyaring darah. Kadar gula darah yang

tinggiakan merusak selaput penyaring ginjal atau glomerulus.

b) Mata (Retinopati Diabetik)

Gula yang berlebih dalam darah menyebabkan bocornya

pembuluh darah pada retina mata. Bila pembuluh darah mata

bocor atau terbentuk jaringan parut di retina, bayangan yang

dikirim ke otak menjadi kabur. Hal ini menyebabkan

penurunan fungsi pengelihatan pasien DM.

2) Makrovaskuler

Komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah besar, yang

memperdarahi organ tubuh, seperti :

a) Jantung (Kardiopati Diabetik)

Kardiopati Diabetik adalah gangguan jantung akibat diabetes.

Gula darah yang tinggi dalam jangka waktu lama akan

menaikkan kadar kelosterok dalam darah sehingga lama-

kelamaan akan terjadi aterosklerosis yang berdampak pada

jantung.

b) Kaki (Gangren)

Respon imun yang turun akibat glukosa darah yang tinggi,

menyebabkan penderita DM rentan mengalami infeksi, salah


33

satunya pada kaki. Infeksi pada kaki mudah timbul karena

pada penderita DM kronis dan dikenal sebagai penyulit

gangren atau ulkus.

c) Otak

Komplikasi akibat kadar glukosa yang tinggi berdampak pada

otak. DM merupakan salah satu pencetus munculnya stroke

akibat infrak. Apabila komplikasi menyerang bagian

hipokampus, maka akan berdampak pada fungsi kognitif

dimana hipokampus merupakan pusat pengaturan kognitif.

d) Neuropati Diabetik

Neuropati Diabetik mengacu kepada sekelompok penyakit

yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer

(sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak

beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi sel saraf

yang terkena.

9. Penatalaksanaan

Menurut Perkeni (2015), penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari :

a. Edukasi

Diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola hidup

dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan

penyandang diabetes melitus memerlukan partisipasi aktif pasien,


34

keluarga, masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam

menuju perubahan perilaku. Edukasi yang di berikan meliputi:

1) Edukasi untuk pencegahan primer yaitu edukasi yang ditunjukkan

untuk kelompok resiko tinggi.

2) Edukasi untuk pencegahan sekunder yaitu edukasi yang

ditunjukkan untuk pasien baru. Materi edukasi berupa pengertian

diabetes, gejala, penatalaksanaan, mengenal dan mencegah

komplikasi akut dan kronik.

3) Edukasi untuk pencegahan tersier yaitu edukasi yang ditunjukkan

pada pasien tingkat lanjut, dan materi yang diberikan meliputi:

cara pencegahan komplikasi dan perawatan, upaya untuk

rehabilitasi dan lain-lain.

b. Makanan

Membiasakan makan dengan pola makan gizi seimbang yang

mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan

kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman,

aktivitas fisik, kebersihan dan berat badan (Kurniasih, 2010).

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani sangat penting dalam pelaksanaan diabetes

karena dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor

resiko kardiovaskuler. Latihan menurunkan kadar glukosa darah

dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan

memperbaiki pemakaian insulin. Latihan juga dapat meningkatkan


35

kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta

trigliserida (ADA, 2015).

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur

(3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit), dengan total 150

menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari

berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut

jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia

pasien (Perkeni, 2015). Menurut ADA (2012), ada beberapa pedoman

umum untuk melakukan latihan jasmani pada penderita DM yaitu:

1) Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindungan

kaki lainnya.

2) Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin.

3) Periksa kaki setelah melakukan latihan.

4) Hindari latihan pada saar pengendalian metabolik buruk

d. Terapi farmakologis

Pengobatan DM secara menyeluruh mencakup diet yang benar,

olahraga yang teratur, dan obat-obatan yang diminum atau suntikan

insulin. Pasien DM tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap

hari. Pasien DM tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat anti DM

secara oral atau tablet. Pasien diabetes memerlukan suntikan insulin


36

pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan

tablet (ADA, 2017).

2.4 Kerangka Teori


Insomnia rating scale Tanda dan gejala DM
1. Lamanya tidur 1. BB menurun
Foot Massage 2. Sering kencing
2. Mimpi-mimpi
1. Relaksasi yang . 3. Banyak makan &
mendalam 3. Kualitas tidur
minum
2. Mengurangi 4. Masuk tidur 4. Gangguan
kecemasan 5. Bangun malam hari pengelihatan
3. Mengurangi rasa sakit 6. Kembali tidur 5. Gangguan saraf tepi
4. Ketidaknyamanan setelah bangun 6. Rasa tebal pada kulit
secara fisik 7. Mudah mengantuk
malam hari
5. Meningkatkan 8. Gangguan fungsi
kualitas tidur pada 7. Bangun dini hari
seksual
seseorang 8. Perasaan segar
9. Keguguran/kematan
diwaktu bangun janin

Foot Massage Insomnia Diabetes Melitus

Kontraindikasi Faktor penyebab: Penatalaksanaan


1. Phlebitis, a. Stress. 1. Edukasi
2. Trombosis b. Depresi. 2. Makanan
c. Kelainan-kelainan 3. Latihan jasmani
3. Reaksi inflamasi kronis. 4. Terapi farmakologis
4. Selulitis d. Efek samping
5. Ganguan pengobatan.
perdarahan e. Pola makan yang
6. Kerusakan buruk.
Ketera f. Kafein, nikotin,
kulit/luka.2.1. : Kerangka Teori
Gambar dan Pengaruh
alkohol. Foot Massase Terhadap Insomnia
Pada Pasieng.Diabetes
Kurang Melitus.
berolah Modifikasi Teori (Dewi, 2013)
(Potter & Perry,raga.
2011 & ADA, 2015).

Anda mungkin juga menyukai