Anda di halaman 1dari 16

TUGAS STASE FORENSIK

Periode 24 – 30 Agustus 2020

Nama : Alifta Ridzky Pratitan

NIM : 18309 12310 115

Pembimbing : Dr. Iwan Aflanie, dr., M.Kes., Sp.F., S.H

Tugas :

1. Butir-butir kaidah Prima Facie

2. Contoh 2 kasus dilemma etik

3. Makalah “apakah diperbolehkan membuka identitas pasien COVID-19?”

Butir-butir Kaidah Dasar Etika Kedokteran (Prima Facie)

➢ Beneficence

Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati

martabat manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya

dirawat dalam keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa

perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien. Beneficence membawa arti

menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah

positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk.

Ciri-ciri prinsip beneficence, yaitu;


o Mengutamakan Alturisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa

memerhatikan diri sendiri.

o Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya

menguntungkan seorang dokter.

o Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan

dengan suatu keburukannya

o Menjamin kehidupan baik-minimal manusia

o Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan

o Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti

yang orang lain inginkan.

o Memberi suatu resep yang paling sesuai.

➢ Non-malficence

Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak

melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang

paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno First, do no harm,

tetap berlaku dan harus diikuti.

Non-malficence mempunyai ciri-ciri:

o Menolong segera pasien emergensi

o Mengobati pasien yang luka

o Tidak membunuh pasien

o Tidak memandang pasien sebagai objek

o Melindungi pasien dari serangan

o Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter


o Tidak membahayakan pasien karena kelalaian

o Tidak melakukan White Collar Crime

➢ Justice

Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter

memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan

pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama,

kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak

dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.

Justice mempunyai ciri-ciri :

o Memberlakukan segala sesuatu secara universal

o Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan

o Menghargai hak sehat pasien

o Menghargai hak hukum pasien

➢ Autonomy

Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia.

Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak

menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir

secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki,

menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya

sendiri.

Autonomy mempunyai ciri-ciri :


o Menghargai hak menentukan nasib sendiri.

o Berterus terang menghargai privasi.

o Menjaga rahasia pasien

o Melaksanakan Informed Consent.


Contoh 2 Kasus Dilema Etik

 Kasus Dilema Etik 1

Pada suatu malam, tiba-tiba mobil ambulans datang membawa seorang

pasien yang terluka parah setelah mengalami perampokan di jalan saat

berkendara. pasien diduga mengalami pendarahan di otak dan harus sesegera

mungkin di operasi, bila tidak segera di operasi, pasien akan sangat mungkin

untuk meninggal, dan bila dioperasi kondisi pasien masih bisa untuk ditolong.

Namun untuk memulai operasi tentu saja diperlukan izin pasien ataupun

keluarganya. Akan tetapi kondisi pasien saat ini sedang tidak sadar dan tidak

ditemani oleh keluarga ataupun temannya. Identitas pasien pun tak diketahui

karena pasien kehilangan dompetnya saat dirampok. Dokter yang bertugas untuk

menyelamatkan nyawa pasien sesaat menjadi kebingungan, dia harus sesegera

mungkin mengoperasi pasien, namun tanpa persetujuan pasien ataupun

keluarganya tentu tidak boleh dilaksanakan operasi. Karena jika terjadi sesuatu,

dokter tersebut harus menerima segala konsekuensinya. Namun demi

menyelamatkan pasien, akhirnya dokter tersebut pun mengoperasi pasien tersebut.

Dilema etik antara Autonomy dengan Beneficence. Yang dimenangkan

dalam kasus tersebut adalah Beneficence


 Kasus Dilema Etik 2

Pada suatu hari di tempat praktik seorang dokter sedang ramai dikunjungi

pasien. Terdapat hingga 7 orang pasien yang sedang mengantre di ruang tunggu

dan satu orang pasien sedang dalam ruang pemeriksaan dokter. Ketika pasien di

dalam ruang periksa telah selesai dan dokter akan memanggil pasien selanjutnya,

tiba-tiba datang seorang ibu membawa anaknya dengan keadaan demam tinggi

dan kejang. Dokter kemudian langsung menangani anak tersebut sebelum

memanggil pasien yang sebelumnya telah mengantre di ruang tunggu.

Dilema etik antara Justice dan Non-malficence. Yang dimenangkan dalam

kasus tersebut adalah Non maleficence.


Bolehkah Membuka Identitas Pasien COVID-19 ?

Didalam melakukan praktik kedokteran, dokter terikat dengan prinsip

dasar moral atau kaidah dasar bioetika. Di antara kaidah dasar bioetika tersebut

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Beauchamp dan Childress yaitu

menghargai otonomi pasien (respect for autonomy), berbuat baik (beneficence),

tidak berbuat yang membahayakan (nonmaleficence) dan adil (justice).

Selain itu terdapat prinsip kejujuran, kesetiaan, kerahasiaan dan privasi

dan lain sebagainya. Kewajiban menyimpan rahasia ini merupakan fondasi

kepercayaan didalam hubungan terapeutik dokter-pasien.

Kerahasiaan pasien harus dijaga oleh dokter, karena jika dilanggar merupakan

pengkhianatan terhadap kepercayaan dan privasi pasien. Didalam deklarasi

universal tentang bioetika dan hak manusiawi dari UNESCO artikel 9 juga

menyebutkan bahwa "privasi seseorang dan kerahasiaan informasi pribadinya

harus dihormati, penggunaan informasi dari seseorang harus sesuai dengan yang

disetujuinya dan sesuai dengan hukum internasional tentang hak manusiawi"

Di Indonesia, prinsip kerahasiaan medis/rahasia kedokteran diatur oleh

aspek etika melalui kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Sumpah

Dokter "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena

keprofesian saya" serta peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Mentri

Kesehatan (PMK) nomor 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran, yang


dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan

seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan

pekerjaan/profesi.

Ruang lingkup rahasia kedokteran adalah termasuk identitas pasien, hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis,

pengobatan dan/atau tindakan kedokteran serta hal lain yang berkenaan dengan

pasien.

Sedangkan tenaga kesehatan yang dimaksud wajib untuk menyimpan

rahasia medis tersebut adalah dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lain,

pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga yang berkaitan dengan

pembiayaan pelayanan kesehatan, tenaga lain yang mempunyai akses terhadap

data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, badan

hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan, mahasiswa/siswa yang

bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen

informasi di fasiltas pelayanan kesehatan.

Wabah COVID19 menyebabkan kekhawatiran semua pihak, sehingga

antisipasi terhadap bocornya rahasia medis yang ditulis dan dibagikan melalui

media sosial menjadi luput dari perhatian, terutama diawal-awal terjadinya

pandemi COVID19. Maksudnya mungkin saja baik, yaitu untuk memangkas

waktu koordinasi dengan pihak terkait, namun perlu dipahami bahwa media sosial

memang punya kekuatannya sendiri.


Jika ditinjau dari sisi legal, maka rahasia medis dapat dibuka pada

beberapa keadaan. Menurut PMK No 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran

terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan dokter atau tenaga kesehatan

untuk membuka rahasia kedokteran yaitu untuk kepentingan kesehatan pasien,

dalam rangka penegakan hukum, atas permintaan pasien sendiri dan untuk

kepentingan umum yang salah satunya adalah pada saat adanya ancaman wabah.

Bagaimanakah menurut aspek etika? Secara etika, pelayanan kedokteran

ditujukan untuk kesejahteraan bersama atau bonum commune. Jika informasi yang

didapatkan pada praktik kedokteran dapat mengganggu keadaan bonum

commune tadi, maka rahasia medis boleh dibuka.

Pembukaan rahasia medis ini dapat dilakukan oleh Dokter

Penanggungjawab Pelayanan (DPJP), Pimpinan Fasyankes bila DPJP tidak ada,

ketua tim bila perawatan dilakukan oleh tim dan anggota tim bila ketua tim tidak

ada kepada pihak yang berwenang menangani masalah kesehatan, dalam hal

wabah COVID19 tentunya pihak tersebut adalah Dinas Kesehatan dan pihak

terkait lainnya.

Maka jelas menurut etika dan hukum, rahasia medis pasien COVID19

dapat dibuka, namun untuk tidak dikonsumsi umum. Terkait kerahasiaan pasien

COVID19 ini juga telah diatur oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) nomor 015/PB/K.MKEK/03/2020

tentang fatwa etik kedokteran, kebijakan kesehatan dan penelitian dalam konteks

pandemi COVID19 bahwa Identitas pasien atau orang dengan maupun tanpa


gejala klinis dengan diagnosis positif COVID19 (kasus confirm) pada prinsipnya

tetap harus dilindungi.

Dalam keadaan tertentu dapat dibuka sebatas inisial nama, jenis kelamin, status

kesehatan singkat (meninggal/klinis kritis berat/sembuh), usia dan kronologi

terbatas hanya yang relevan dengan penularan, misalnya penjabaran lokasi

potensi penularan dengan maksud menjadi kewaspadaan publik dan penelusuran

kontak (penyelidikan epidemiologis).

Adapun informasi klinis terperinci, penyakit penyerta dan tatalaksana sebaiknya

tidak dibuka. Pengecualiaan hanya dapat dilakukan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, termasuk antara lain membuka nama pejabat

publik dan nama tenaga medis dan nama tenaga kesehatan yang menjadi korban

untuk kemudian diberikan penghargaan oleh dunia profesi kedokteran dan

negara.

Pada akhirnya dapat penulis simpulkan bahwa ditinjau dari sisi etika dan

hukum, dokter dan tenaga kesehatan berkewajiban untuk menyimpan rahasia

pasien. Membuka rahasia medis merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum

menurut Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 4 Tahun 2011 tentang

Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yang pelakunya bisa dikenakan

sanksi etik, sanksi disiplin dan sanksi hukum.

Ada situasi tertentu yang memperbolehkan dan mewajibkan dokter untuk

membuka rahasia medis, seperti pada saat terjadinya wabah COVID19 yang

mengancam kesehatan masyarakat dan yang paling penting diingat adalah tugas
dokter untuk melindungi masyarakat kedudukannya lebih utama dibandingan

perorangan.

Pembukaan rahasia medis harus dilaksanakan oleh petugas medis yang

berwenang dan dibuka kepada instansi/orang yang berwenang pula, rahasia medis

pasien tidak boleh disebarluaskan untuk konsumsi masyarakat, karena pada

dasarnya rahasia medis adalah manifestasi bentuk kepercayaan pasien terhadap

dokter, yang berasaskan prinsip etika confidentiality dan privacy.

Kerahasiaan Identitas Pasien

Pada dasarnya, setiap pasien mempunyai hak mendapatkan privasi dan

kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Ini diatur

dalam Pasal 32 huruf i Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit.

Hak serupa juga diatur dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Kesehatan (“UU Kesehatan”) dan Pasal 17 huruf h angka 2 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU

KIP”) yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak atas rahasia

kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara

pelayanan kesehatan dan setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap

pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali, salah

satunya, mengenai riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik,


dan psikis seseorang, karena bila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi

publik dapat mengungkapkan rahasia pribadi.

Masih menyangkut hak pasien dan kewajiban rumah sakit, setiap rumah sakit

harus menyimpan rahasia kedokteran, yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan

kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam

rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang

ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat

dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia. Rumah sakit dapat

menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan

rahasia kedokteran.

Kemudian, dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU 29/2004”) disebutkan setiap dokter atau

dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia

kedokteran. Selain itu, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Sedangkan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan

dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dokumen rekam medis

harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan

pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Sehingga bisa disimpulkan, rekam medis


merupakan rahasia kedokteran yang memuat identitas pasien positif COVID-19

yang harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit atau dokter yang

bertugas.

Patut dipahami bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah

menghormati dan melindungi hak-hak pasien. Pelanggaran atas kewajiban rumah

sakit akan dikenakan sanksi admisnistratif berupa teguran, teguran tertulis, atau

denda dan pencabutan izin rumah sakit.

Sehingga, jika rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif

COVID-19, maka rumah sakit dapat dikenai sanksi administratif tersebut.

Dalam hal pelaku penyebaran identitas pasien di atas adalah dokter atau

dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 46 ayat

(1) dan Pasal 51 huruf c UU 29/2004, maka dapat dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp50 juta berdasarkan Pasal 79 huruf b dan c UU

29/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 (hal. 120).

Di samping itu, bagi badan publik yang melanggar berlaku Pasal 54 ayat (1) UU

KIP:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau

memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana

diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i,

dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan

pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


 

Orang yang dimaksud adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum,

atau badan publik. Badan publik yang dimaksud adalah lembaga eksekutif,

legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan

dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) dan/atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”), atau organisasi non pemerintah

sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD,

sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Sedangkan menurut Dewan Pakar PB IDI, M Nasser, menambahkan,

memang ada kebijakan pemerintah yang mengatakan rahasia pasien yang perlu

dirahasiakan dan tidak bisa dibuka. "Tetapi itu dalam kondisi umum. Kemudian

ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terinfeksi virus itu kemudian ada

indikasi pemerintah berubah, maka organisasi profesi kesehatan segera

menyampaikan pandangan," ujar pria yang juga Ketua Asosiasi Dosen Hukum

Kesehatan Indonesia itu. Beliau menambahkan, meski kerahasiaan data pasien

diatur dalam empat undang-undang (UU) Lex Specialis yaitu pertama, pasal 48

UU Praktik Kedokteran, kedua Pasal 57 UU Kesehatan, ketiga diatur pasal 38 UU

RS, dan terakhir diatur di pasal 73 UU 36 tetapi peraturan menteri kesehatan

(permenkes) nomor 36 tahun 2012 yang menyatakan rahasia medis bisa dibuka

atas nama kepentingan umum. Karena itu IDI meminta pemerintah membuka

identitas pasien untuk kepentingan umum.


"Justru pembukaan data pasien (orang terknfeksi Covid-19) berupa nama dan

alamat maka orang kemudian tahu kalau sudah komunikasi (dengan orang positif

Covid-19) maka akan sangat mudah diketahui orang yang menjalin kontak dan ke

rumah sakit. Jadi tidak memudahkan upaya penularan," ujarnya. Apalagi, dia

menambahkan, infeksi Covid-19 bukanlah sebuah keadaan yang memalukan

sehingga tidak akan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat

Sedangkan menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri

Kombes Asep Adi Saputra, ancaman pidana ini berdasarkan Pasal 26 dan Pasal 45

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Bahwa tidak

boleh orang sembarangan membeberkan data pribadi ke publik tanpa izin. UU ini

mengatur bila perbuatan melawan hukum itu terbukti, dapat diancam hukuman 4

tahun penjara dan denda Rp 750 juta," kata Asep di Gedung Bareskrim Polri,

Jakarta Selatan, Kamis (5/3/2020).

Membuka identitas pasien corona diperbolehkan dikarenakan untuk

kepentingan umum. Dalam menangani penyakit corona, petugas diharuskan juga

memeriksa masyarakat yang telah terkontak dengan pasien. Selain itu karena di

indonesia terjadi pandemi yang lama. Diharapkan kesadaran dari masyarakat

secara umum tentang pentingnya kesehatan. Tetapi juga harus diawasi oleh

petugas keamanan untuk menenangkan masyarakat.

Sumber :
1. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e7c4201bb923/jerat-

hukum-bagi-penyebar-identitas-pasien-positif-covid-19/

2. https://republika.co.id/berita/q7aalu384/idi-identitas-pasien-positif-

covid19-boleh-diungkap

3. https://nasional.kompas.com/read/2020/03/06/07525711/ancaman-penjara-

dan-denda-bagi-penyebar-identitas-pasien-positif-corona?page=all

4. https://corona.riau.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-

Peraturan-Pedoman-Penanganan-Covid-19.pdf-

compressed_compressed_2.pdf

5. https://fk.unand.ac.id/id/berita/item/744-rahasia-medis-di-era-

disruption.html

Anda mungkin juga menyukai