Anda di halaman 1dari 14

Laporan praktikum faramakologi

Efek obat sistem saraf otonom (pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik
terhadap kelenjar saliva dan mata)

Dosen Pengempu :
1. Ainun wulandari, M.SE. Apt
2. Rika veriyanti, M Farm – Klin,Apt
3. Teodhora, M.Farm, Apt

Disusun Oleh :
Muhammad Haafizh Majidiansyah (18330004)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Pratikum

“Efek obat sistem saraf otonom (pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik terhadap
kelenjar saliva dan mata)”

1.2 Latar Belakang

Sistem saraf otonom disusun dengan serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik sangatlah berlawanan (antagonis). Dua
perangkat neuron didalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron
sensorik dan neuron motorik. Neuron aferen atau sensorik mengirim impuls ke sistem
saraf  pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen atau motorik yang
akan menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla
spinalis sampai ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf otonom menjadi
dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf
tersebut bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berbeda
agar tercapainya homeostatis atau keseimbangan. Kerja obat-obat pada sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang ataupun
menekan.

1.3 Tujuan Pratikum


Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbegai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau
antikolinergik pada neuroefektor parasimpatis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mengontrol
organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar yang ada
didalam tubuh. Pada Sistem ini dilakukan fungsi mengkontrol, semisal: kontrol tekanan
darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih,
proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain didalam tubuh. Karakteristik
utama sistem saraf otonom adalah berkemampuan pengaruh yang sangat cepat (semisal:
dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali dari pada
yang semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik dapat berubah
yabg awalnya normal menjadi tidak normal, berkeringat yang dapat terlihat setelah
dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan
sistem saraf ototnom tepat untuk melakukan unutk pengendalian terhadap homeostasis
mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat berpengaruhi oleh seluruh sistem
tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponenyang penting dari refleks
visceral.
Obat otonom adalah obat yang akan bekerja pada berbagai bagaian susunan
saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai ke tempat sel efektor. Banyak obat yang dapat
mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara sangat
spesifik dan bekerja pada dosis kecil pula. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi
penerusan susunan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu
sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon dan yang
berkhasiatnya atas reseptor spesifik di tubuh.
Berdasarkan macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada system saraf
otonom digolongkan menjadi bebrapa golongan :
1. Obat yang akan mempengaruhi sistem saraf simpatik : ·
a. Simpatomimetik/ adrenergik, yaitu obat yang meniru efek rangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik/ adrenolitik, yaitu obat yang akan meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan balik efek adrenergic. Contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.

2. Obat yang akan mempengaruhi sistem saraf parasimpatik :


a. Parasimpatomimetik/ kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin. Contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
b. Para simpatolitik/ antikolinergik, yaitu obat yang akan meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan balik efek kolinergik. Contohnya alkaloida
belladonna.
Obat kolinergik juga mempengaruhi efek neurotransmiter asetilkolin terhadap
reseptor tersebut, kolinergik pada sistem saraf parasimpatis ini. Reseptor kolinergik
pada mata ditemukan pada tempatnya yaitu otot levator palpebral superior, ganglion
servikal superior, ganglion siliaris dan spenopalatin, sfingter pupil, otot siliaris dan
kelenjar lakrimalis. Obat-obat kolinergik terdiri dariagonis kerja langsung, agonis kerja
tidak dapat langsung dan antagonis. Bila neuron saraf parasimpatis dirangsang,
timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis
yang fatal terpenting seperti, berikut ini :
1. Stimulasi pencernaan dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar
ludah dan getah lambung (HCl).
2. Sekresi air mata.
3. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah.
4. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menkecilkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak dapat diperbesar.
5. Kontraksi yang di rasakan pada otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis)
dan menurunnya tekanan intraokuler yang berakibat lancarnya pengeluaran air
mata.
6. Kontraksi yang berasa dikantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar
pengeluaran urin.
7. Dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada
permulaan menstimulasinya, dan lain-lain.
Obat antikolinergik akan bekerja pada reseptor muskarinik dalam sistem saraf pusat
dan perifer dengan akan menghambat respon asetilkolin secara kompetitif. Sistem
syaraf pusat pasien geriatrik sangat sensitif terhadap efek antikolinergik. Hal tersebut
terjadi karena pada pasien geriatrik terjadi penurunan neuron kolinergik atau reseptor
kolinergik yang banyak di dalam otaknya. Risiko penggunaan antikolinergik terkait
dengan gangguan kognitif seperti memori, perhatian, dan kecepatan psikomotor yang
telah dibuktikan pada penelitian eksperimental dan kohort. Gangguan kognitif lebih
spesifik mengacu pada penurunan kemampuan intelektual, seperti berpikir, bahasa,
memori, perhatian, persepsi, perencanaan, pengambilan keputusan, dan pemecahan
masalah 4. Obat antikolinergik sangat sering digunakan oleh pasien geriatrik walaupun
memiliki risiko terhadap penurunan fungsi kognitif namun penelitian mengenai obat
antikolinergik terhadap penurunan fungsi kognitif masih sangat kurang. Di Indonesia
belum ada penelitian mengenai penggunaan obat antikolinergik terhadap penurunan
fungsi kognitif pada pasien geriatrik.
BAB III
METODE KERJA

3.1 Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg


Obat : - Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
- Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM
- Atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass,
gelas ukur

3.2 Prosedur :

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

1. Siapkan kelinci.

2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.

3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.

4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.

5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.

6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Hewan Coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg


Obat : - Tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes
- Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
- Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes
- Larutan NaCl 0,9%
Alat : Senter, loupe, penggaris
Prosedur :

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.

2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram
dan pada penyinaran dengan senter.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:

a. Mata kanan : tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes


b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes

4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.

5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.

6. Uji respon refleks mata.

7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.

8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.

9. Catat dan tabelkan pengamatan.


10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua
mata kelinci.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PEMBAHASAN

Dalam percobaan ini digunakan kelinci dengan bobot tubuh 1,5 Kg.

Larutan obat yang tersedia adalah sebagai berikut:

Nama Obat Konsentrasi


Fenobarbital 1% (50mg dalam 5ml)
Pilokarpin HCl 2% (100 mg dalam 5 ml)
Atropin SO4 1% (50 mg dalam 5 ml)

Hitunglah dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci tersebut
(dosis obat sesuaikan dengan penuntun praktikum)!

Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut :

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi

Efek Obat Sistem Kelinci Pilokarpin Volume saliva yang 1,2 ml


Saraf Otonom HCl ditampung selama 5
pada Kelenjar menit
Atropin SO4 Volume saliva yang 0,3 ml
Saliva
ditampung selama 5
menit
2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata


Efek Obat Sistem Mata Kanan Cahaya Suram (cm) 1
Cahaya Senter (cm) 0,9
Saraf Otonom pada Kelinci
Setelah pemberian pilokarpin HCl 0,6
Mata
(cm)
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 0,9
(cm)
Mata Kiri Cahaya Suram (cm) 1
Cahaya Senter (cm) 0,9
Kelinci
Setelah pemberian pilokarpin HCl 0,7
(cm)
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 0,9
(cm)
Catatan: Dalam percobaan ini tidak menggunakan Fisostigmin, hanya Pilokarpin HCl
dan Atropine SO4

KELINCI BERAT BADAN Nama obatdan Dosis pemberiaan Volume pemberian


(gram) dosis obat (mg) (ml)
1 1,5g Fenobalbital 7mg 0,7ml
(50mg/5ml
2 1,5g Pilokarpin 7,5mg 0,375ml
(100mg/5ml)
3 1,5g Atropine 0,375mg 0,0375ml
SO4(50mg/5ml)

4.2 PERHITUNGAN
o Pilokarpin = 100mg/70kg |u =100mg/5ml
Kelinci bobot 1,5kg
Dosis kelincil 1,5kg = 1,5 kgx 5 mg=7,5 mg
7,5 mg
Volume kelinci 1,5 g= x 5 ml=0,375 ml
100 mg
o Fenobarbital = 100mg/70kg |u= 50mg/5ml
70kgBB manusia konversi ke kelinci 1,5kg= 0,07
Kelinci bobot 1,5kg
Dosis kelinci 1,5kg=0,07 x 100 mg=7 mg
7 mg
Volume kelinci1,5 g= x 5 ml=0,7 ml
50 mg
o Atropin SO4 = 0,25mg/kg |u =50mg /5ml
Kelinci bobot 1,5kg
Dosis kelinci1,5kg =1,5 kgx 0,25 mg=, 0375 mg
0,375 mg
Volume kelinci1,5= x 5 ml=0,0375mg
50 mg
4.3 PEMBAHASAN

Sistem saraf otonom merupakan sistem sarf eferen (motorik) yang mempersarafi
organ-organ dalam seperti otot polos,otot jantung dan berbagai kelenjar. Dalam
percobaan efek obat sistem saraf otonom hewan uji yang digunakan yaitu kelinci.
Kelinci digunakan karena termasuk hewan yang mudah dibiakan, ukurannya yang lebih
besar dari mencit sehingga proses pemberian obat juga lebih mudah. Percobaan dengan
mempengaruhi sistem saraf otonom dilakukan karena kemampuan mempengaruhi yang
sangat cepat hanya dengan beberapa detik hingga menit. Obat yang digunakan dalam
percobaan diantarnya yaitu pilokarpin HCIL, atropin SO4 dan larutan NaCL2 0,9 %.

Mulanya kelinci dengan berat 1,5 kg di uji kolinergik serta antikolinergiknya dengan
cara mempengaruhi sekeresi kelenjar saliva. Kelinci disuntikkan diazepam 5mg/2ml
sejumlah 0,7 ml secara intravena. Penyuntikan diazepam dimasksudkan agar kelici
melamai efek sedasi (terutama untuk pengurangan rasa sakit) sehingga mempermudah
untuk pemberian obatnya selama kurang lebih 5 menit. Setelah kelinci dirasa sudah
tenang disuntikkan obat ilokarpin HCL 20mg/ml sebanyak 0,07 ml yang dikonversikan
terlebih dahulu kedalam dosis manusia secara intramuskular. Pilokarpin HCL
merupakan amin tersier dan stabil dihidrolisis oleh asetilkoleneterase. Pemberian
pilokarpin 0,07 ml secara IM memberikan efek sekresi kelenjar ludah yaitu peningkatan
sekresi kelenjar ludah yang cukup banyak yaitu 3,1 ml dalam kurun waktu 5 menit. Hal
tersebut karena terjadinya rangsangan terhadap saraf parasimpatik oleh asetilkolin.
Dengan sejumlah sekresi yang dikeluarkan sesuai teori yaitu efek pilokarpin yang dapat
mempercepat sekresi kelenjar ludah.

Kemudian penyuntikan atropin SO4 10mg/ml secara intravena. Penyuntikan secara


intravena dimaksudkan agar atropin segera memberikan efek melawan kerja kolinergik
pada pilokarpin HCL. Penyuntikan sejumlah 0,07 ml selama 5 menit sekresi ludah yang
dikeluarkan menjadi berkurang, karena atriopin yang bersifat melawan kerja kolinergik
pada pilokarpin HCL. Sekresi ludah yang dikeluarkan sebanyak 1 ml. Hal tersebut
menunjukkan bahwa atropin bersifat sebagai antrikolinergik yang mampu bekerja
melawan kolinergik dengan adanya penurunan sekresi kelenjar ludah.

Selanjutnya, kolinergik dan antikolinergik pada mata. Sebelum ditetesi dengan obat
yang dapat mempengaruhi perangsangan saraf simpatik pupil kelinci terlebih dahulu
dikur, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Mata kanan : - cahaya suram : 0,9 cm

- cahaya senter : 0,8 cm

Mata kiri : - cahaya suram : 0,8 cm


- cahaya senter : 0,7 cm
pemberian sebanyak 3 tetes pilokarpin HCL pada mata kanan kelinci setelah
diamati selama 1 menit, pupil akan mengalami miosis (yaitu terjadinya penyempitan
pupil mata) mata kanan : 0,4 cm, mata kiri : 0,6 cm. Hal tersebut karena pilokarpin
memiliki efek kerja yaitu adanya kontraksi pada otot siliaris sehingga terjadinya
penyempitan pupil mata. Pilokarpin juga berkeja membuka anyaman tiasekuler
sehingga menyebabkan penurunan tekanan bola mata baik glukoma besudut sempit
maupun bersudut lebar (pilokarpin HCL bekerja sebagai obat kolinergik.
Setelah pemberian pilokarpin yang bersifat sebagai kolinergik diberikan kembali
atropin SO4 sebanyak 3 tetes pada masing-masing mata kanan dan kiri kelinci amati
selama kurang lebih 1 menit. Hasil yang diperoleh setelah pemberian atropin SO 4 mata
kanan : 0,7 cm, mata kiri : 0,8 cm. Dari data yang diperoleh menunjukkan pupil mata
mengalami efek midriasis yaitu pelebaran pupil mata setelah miosis akibat pemberian
pilokarpin HCL. Atropin bekera sebagai antikolinergik yaitu menekan atau meleawan
kerja obat kolinergik. Selanjutnya setelah pengematan selesai diberikan larutan NaCL
0,9% ke masing-masing mata kelici yang bertujuan untuk menetralizir pemberian obat
pada mata kelinci.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafi organ-organ dalam seperti otot polos,otot jantung dan berbagai
kelenjar.
2. Pilokarpin HCL bekerja sebagai obat kolinergik yang memberikan respon miosis
pada pupil mata.
3. Sedangkan atropin SO4 bekerja sebagai obat antikolinergik yang melawan kerja
kolinergik dengan ditandainya midriasis pada pupil mata.
DAFTAR FUSTAKA

 Modul Praktikum Farmakologi ISTN


 Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
 Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
 Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas
Indonesia Press, Jakarta,hal.

 Cai X, Campbell N, Khan B, Callahan C, Boustani M. Long-term


anticholinergic use and the aging brain. Alzheimer’s Dement. 2013;9(4):377-
385. doi:10.1016/j.jalz.2012.02.005.

Anda mungkin juga menyukai