Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum ke 6 Hari, tanggal : Jumat, 09 Maret 2018

Teknik Persiapan dan Dosen : Dr drh Gunanti S MS


Drh Henny Endah A MSc
Perawatan Pasca Operasi Drh Heryudianto Vibowo MSi
Drh Tetty Barunawati MSi
Drh Surya Kusuma W MSi
Asisten Dosen : Nafisah Zahra, A.md

Aplikasi Obat dan Terapi Cairan Serta Pemasangan Infus


Kelompok 5 /P2

Nama Nim TTD

1. Ade Rachman J3P116002 1.


2. Fiqri Arahman J3P116020 2.
3. Natasya Agustine J3P116047 3.
4. Tari S Tarigan J3P116063 4.
5. Edi Sugiarto J3P216101 5.
6. Imam Luthfi A J3P216104 6.

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER

PROGRAM DIPLOMA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2018
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemberian obat menjadi salah satu tugas perawat yang paling penting.
Perawat adalah rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien.Perawat
bertanggung jawab pada obat yang diberikan dan memastikan bahwa obat tersebut
diberikan dengan benar (Sumardjo 2009). Pemberian obat pada pasien harus
memperhatikan beberapa aspek diantaranya dosis obat disesuaikan dengan umur,
berat badan , protein serum, dan jaringan lemak pasien. Pemberian obat atau terapi
cairan dapat dilkukan dengan cara per oral, injeksi, rectal,intra vagina, topical,dan
inhalasi.
Kebutuhan akan cairan sangat penting dalam menunjang setiap proses
fisiologis berbagai jaringan dan organ tubuh. Pada hewan dengan kondisi fisiologis
yang menunjukkan gejala sakit, sangat berpeluang kehilangan jumlah cairan tubuh
dalam jumlah yang besar. Pada kondisi hewan seperti ini,  perlu penanganan yang
cepat dari seorang dokter hewan, paramedik veteriner untuk dapat memberikan terapi
cairan yang tepat. Selain itu aplikasi obat secara tepat dengan dosis sesuai yang
dilkukan akan mendukung proses persembuhan pada pasca operasi. Aplikasi yang
salah dalam pemberian obat-obatan akan memperburuk keadaan. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan praktis tentang cara aplikasi obat dan terapai cairan yang
benar.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui,mempersiapkan,
dan menjelaskan macam-macam pengaplikasian obat dan terapai cairan serta
pemasangan infus pada hewan.

2. METODE
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan ialah spoit 1 ml, syringe 3 cc dan 1 cc, handuk,lampu
operasi,tiang infus, infusion set, iv catheter, needle 24, dan 22, tempat pakan dan
minum,gunting lurus tumpul-tumpul, clipper, dan meja operasi. Sedangkan bahan
yang digunakan kapas alkohol, tampon,tissue, plester, sodium chloride, nacl
fisiologis, pakan kucing, air, dan alkohol 70 %.
2.2 Prosedur Kerja
2.2.1 Preoral tablet
Hewan dihandle oleh salah satu orang dengan kuat namun tidak
menyakiti hewan tersebut. Salah seorang lainnya memasukan obat secara
preoral. Tangan kanan memegang obat/kapsul sedangkan tangan kiri untuk
membuka mulut. Sisi mulut hewan dibuka dengan cara tangan kiri dimasukan
sedikit sisi mulut hewan kedalam. Hal ini bertujuan untuk menghindari
hewan mengigit jari. Selanjutnya, dua jari tangan kanan yaitu ibu jari dan jari
telunjuk yang memegang obat dimasukan kepangkal lidah lalu didorong
kedalam dengan jari tengan, mulut hewan ditutup. Tunggu hingga terdapat
refleks menelan dari hewan tersebut.

2.2.2 Preoral cairan


Hewan dihandle oleh salah satu orang dengan kuat namun tidak
menyakiti hewan tersebut. Salah seorang lainnya memasukan obat cair secara
preoral. Obat cair dimasukan kedalam syringe tanpa jarum. Sisi mulut hewan
dicubit dengan tangan kiri, lalu dimasukan syringe tanpa jarum mengarah ke
ventral pangkal lidah. Setelah itu disemprotkan syringe yang berisi obat cair
lalu mulut hewan ditutup. Tunggu hingga terdapat refleks menelan dari hewan
tersebut.

2.2.3 Intra vena


Hewan dihandle oleh salah satu orang. Setelah itu, kaki depan hewan
disejajarkan pada sisi pinggir meja dengan salah satu kaki depan yang akan
disuntik diluruskan. Dimasukan obat/NaCl Fisiologis kedalam syringe ukuran
needle 24. Setelah itu ditentukan tempat yang akan disuntik, penyuntikan
secara intra vena dapat dilakukan di daerah vena cepalica anti brachii dorsalis.
Rambut sekitar vena cepalica anti brachii dorsalis dicukur menggunakan
clipper. Dilakukan bendungan dengan tourniqued dilengan yang dekat
jantung. Preperasi dengan disinfektan dengan dioleskan kapas alkohol
didaerah yang akan disuntik. Syringe dipegang dengan tangan kanan dan
diarahkan jarum 30-45 derajat dengan vena cephalica anti brachii dorsalis
dengan lubang jarung dihadapkan ke bawah/miring. Dilakukan aspirasi sedikit
untuk memastikan needle tepat di vena. setelah itu, obat lalu dimasukan secara
intra vena. diletakan kapas kering didaerah yang disuntik, serta bendungan
dilepaskan. Syringe ditarik secara perlahan dan luka bekas suntikan ditutup
dengan kapas kering.

2.2.4 Subcuttan
Hewan dihandle oleh salah satu orang dengan kuat namun tidak
menyakiti hewan tersebut. Penyuntikan subkuttan dilakukan didaerah yang
longgar seperti dorsolateral dari leher. Setelah ditentukan tempatnya,
dilakukan disinfektan didaerah yang akan disuntik dengan kapas alkohol.
diarahkan jarum 45 derajat dengan kulit dan lubang mengarah kebawah.
Jarum yang telah diisikan obat/NaCl Fisiologis dimasukan dan dilakukan
aspirasi sedikit, jika tidak terdapat darah berarti tempat sudah tepat. Jika
sudah, jarum dilepaskan dan bekas suntikan ditutup dengan kapas kering.
Daerah kulit yang dilakukan penyuntikan di massage untuk mempercepat
penyerapat obat.
2.2.4 IM
Hewan dihandle oleh salah satu orang dengan kuat namun tidak
menyakiti hewan tersebut. Hewan diposisikan secara lateral recubency.
Penyuntikan secara intra muskuler dapat dilakukan di mucullus semi
membranosus. Setelah ditentukan tempatnya, dilakukan preparasi dengan
kapas alkohol. Arahkan jarum tegak lurus / 90 derajat dari otot. Setelah jarum
masuk dilakukan aspirasi sedikit, jika tidak terdapat darah dilanjutkan dengan
pemberian obat secara intra muscular. Lalu, ditarik jarum dan ditekan dengan
kapas beralkohol. Dilakukan massage untuk mempercepat penyerapan obat.
2.2.5 IP
Hewan yang digunakan adalah tikus jantan, lalu dilakukan handle
dengan tangan kiri. Syringe yang telah terisi obat diletakan dicaudal umbilikal
pada garis linea alba. Dilakukan aspirasi sedikit dan juka terdapat gelembung
berarti sudah masuk didalam rongga abdominal. Cairan dalam syringe
dimasukan secara perlahan. Syringe ditarik lalu ditekan dengan kapas alkohol
untuk menghindari peritonitis atau pankreatitis.

2.2.6 Pemasangan iv catheter


Hewan dihandle oleh salah satu orang dengan kuat namun tidak
menyakiti hewan tersebut. Tempat yang digunakan adalah divena cepalica
anti brachii dorsalis. Rambut sekitar vena dicukur dengan clipper. Lalu
bendung dengan torniqued dan dipreparasi dengan kapas alkohol. IV Catheter
yang digunakan berukuran 24. Ditusukan IV Catheter dengan arah 30-45
derajat dari vena. jika sudah terdapat darah jarum dicabut secara perlahan dan
dimasukan lapisan luar IV Catheter sampai pangkalnya. Disambungkan
dengan infus set, dan jangan sampai ada udara pada selang infus. Jika, cairan
infus sudah masuk, dipasang plester sebanyak tiga kali plester. Jika sudah
diatur regulator pada infus set dan hewan sudah dalam keadaan terinfus.

3. PEMBAHASAN
3.1 Aplikasi pemberian obat
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan
timbulnya efek yang merugikan. Pada praktikum ini, hewan uji yang digunakan
adalah kucing. Kucing dihandle ddngan baik dan benar, bertujuan agar kucing tidak
stress sehingga kucing tenang dan mudah di pegang. Untuk menghandle kucing
diperlukan cara-cara yang khusus sehingga mempermudah cara perlakuannya. Secara
alamiah kucing cenderung menggigit dan mencakar bila mendapat sedikit perlakuan
kasar. Dalam pemberian obat harus memperhatikan bentuk sediaan yang diberikan
karena akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan
demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sedian
obat dapat memberi efek obat secara local atau sistemik, Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah dapat diperoleh dengan cara
oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal, parental dengan cara intravena,
intramuskular dan subkutan, inhalasi langsung ke dalam paru-paru sedangkan efek
lokal adalah efek obat yang hanya berkerja setempat misalnya salep. Efek lokal dapat
diperoleh dengan cara ntraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada
mata, hidung, telinga, intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru dan rektal,
uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan
kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan
badan. (Anief, M. 1994).

3.1.1 Pemberian obat rute per oral


Dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum sonde dan
pemberian tablet obat pada pangkal lidah. Jarum sonde tersebut
dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan
melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian
masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan dalam cara pemberiannya.
Jika keliru, cairan dapat keluar dari hidung atau masuk ke dalam saluran
pernafasan/paru-paru sehingga dapat menyebabkan gangguan
pernafasan dan kematian.
Keuntungan pemberian obat dengan cara oral yaitu mudah,
ekonomis, tidak perlu steril. Sedangkan kerugiannya rasanya yang tidak
enak dapat mengurangi kepatuhan (mual), kemungkinan dapat
mengiritasi lambung dan usus, menginduksi mual, dan pasien harus
dalam keadaaan sadar.Selain itu obat dapat mengalami metabolisme
lintas pertama dan absorpsi dapat terganggu dengan adanya makanan.
3.1.2 Pemberian obat rute sub cutan
Rute pemberian secara sub cutan adalah rute pemberian obat
melalui bawah kulit. Jarum suntik yang digunakan pada rute pemberian
ini adalah jarum suntik yang ujungnya runjing, hal ini dilakukan agar
jarum suntik dapat menembus kulit hewan. Pada praktikum kali ini,
kucing diinjeksi melalui kulit didaerah tengkuk. Posisi kucing pada saat
pemberian injeksi adalah posisi duduk atau berbaring. Penyuntikan
secara sub kutan ini dilakukan pada bagian tengkuk kucing karena pada
bagian ini kulit kucing lebih tipis sehingga jarum suntik akan lebih
mudah  masuk dan memiliki daerah turgor kulit yang luas.
Pemberian obat melalui sub kutan  hanya boleh dilakukan untuk
obat yang tidak iritatif terhadap jaringan. Absorpsi dari rute ini biasanya
berjalan lambat dan konstan, sehingga efeknya bertahan lebih
lama.Absorpsi menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat
yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi.Pemberian
obat bersama dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat
absorpsinya Adapun kelebihan dari pemberian rute ini adalah
deiperlukan latihan yang lebih sederhana, absorbsi cepat obat larut air
dan mencegah kerusakan sekitar saluran cerna. Namun disisi lain, rute
ini juga memiliki kekurangan yaitu akan terasa sakit dan dapat
menimbulkan kerusakan kulit, tidak dapat dipakau jika volume obat
besar, bioavibilitas bervariasi sesuai lokasi dan efeknya lambat.
3.1.3 Pemberian obat rute intra muscular
Intra muscular (IM) adalah penyuntikan yang dilakukan ke dalam
jaringan otot, misalnya penyuntikan antibiotika atau dimana tidak
banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya pada otot pantat
atau lengan (Anonim 2008). Pada percobaan pada mencit ini
penyuntikan dilakukan di pangkal paha bagian dalam karena di tempat
tersebut terdapat banyak jaringan otot mencit dan tidak terdapat banyak
pembuluh darah dan syaraf. Penyuntikan tidak boleh terlalu dalam agar
tidak terkena pembuluh darah. Pada percobaan penyuntikan secara intra
muskular kelompok kami berhasil melakukannya karena pada kucing
tidak mengalami luka atau mengeluarkan darah dari tempat
penyuntikan, sedangkan jika gagal ditandai dengan keluarnya darah dari
paha kucing yang berarti penyuntikan tidak pas ke jaringan otot tetapi
terkena ke pembuluh darah.
Pemberian obat secara intra muskular memiliki kekurangan dan
kelebihan. Kelebihannya antara lainefeknya timbul lebih cepat dan
teratur dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada
penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah, sangat
berguna dalam keadaan darurat. Sedangkan kekurangannya yaitu
sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti
waktu dan cara pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah
terlatih, bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan
efek fisiologisnya, terapi parenteral akan menimbulkan komplikasi dari
beberapa penyakit seperti infeksi jamur, bakteri, sehingga interaksinya
tidak bisa dikendalikan, kemajuan dalam manufaktur atau pabrikasi
kemasan menimbulkan beberapa masalah dalam sterilisasi partikulasi,
pirogenitasi, sterilisasi, dll (Ratna Ambarwati 2009). Selain itu
penyuntikan intra muskular apabila tidak hati-hati akan berbahaya yaitu
terjadi kerusakan jaringan otot yang dalam dan ada resiko menginjeksi
obat langsung ke pembuluh darah.
3.1.4 Pemberian obat rute intra peritoneal
Pemberian obat dilakukan dengan cara menyuntikkan pada daerah
abdomen sampai agak  menepi dari garis tengah dengan volume 0,5
ml. Tikus dipegang, memegang tikus dengan menjepit bagian tekuk
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan ekornya dijepit diantara jari
manis dan kelingking kemudian diposisikan telentang, pada penyuntikan
posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Posisi jarum suntik sepuluh
derajat  dari abdomen berlawanan arah dengan kepala (arah jarum ke
bagian perut). Jarum disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah yang
menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung
kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikan pada
hati. Intraperitoneal (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
(Anonim 1995).
Pemberian obat dengan cara  intraperitoneal (injeksi yang dilakukan
pada rongga perut) ini jarang digunakan karena rentan menyebabkan
infeksi. Keuntungan adalah obat yang disuntikkan dalam rongga
peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat
terlihat. Hal ini umumnya disukai ketika jumlah besar cairan pengganti
darah diperlukan, atau ketika tekanan darah rendah atau masalah lain
mencegah penggunaan pembuluh darah yang cocok untuk penyuntikan.
Pada hewan, injeksi IP digunakan terutama dalam bidang kedokteran
hewan dan pengujian hewan untuk pemberian obat sistemik dan cairan
karena kemudahan administrasi parenteral dibandingkan dengan metode
lainnya.
3.1.5 Pemberian obat rute intra vena
Pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh
darah vena dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah
vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan darah ke jantung.
(Joyce, K & Everlyn, R.H. 1996).
Memasukkan cairan obat langsung kedalam pembuluh darah vena
sehingga obat langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Injeksi
dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18
detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh
jaringan. Tetapi, lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini
digunakan untuk mencapai penakaran yang tepat dan dapat dipercaya,
atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut
dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
(Smeltzer & Suzanne C. 2001).
Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya
zat-zat koloid darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda
asing” langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah
mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila injeksi
dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah
meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi intravena
sebaiknya dilakukan amat perlahan, antara 50-70 detik lamanya. (Potter,
Perry. 2006).
Kelebihan drai injeksi intra vena ini yaitu obat yang diberikan
melalui jalur intravena sangat cepat bereaksi karena obat tersebut    
langsung masuk ke dalam sirkulasi darah pasien. Kekurangan dari
injeksi intra vena yaitu inflamasi (bengkak ,nyeri, demam) dan infeksi di
lokasi pemasangan   infuse, daerah lengan bawah pada pasien gagal
ginjal. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil
yang aliran darahnya lambat misalnya pembuluh darah vena di tungkai
dan kaki.

3.2 Teknik restrain hewan untuk persiapan aplikasi infus

Sumber: Sumoprastowo
1997
3.3 Terapi cairan pada hewan
Terapi cairan merupakan tindakan pengobatan esensial untuk pasien dalam kondisi
kritis atau memerlukan perawatan intensif. Terapi cairan harus menjadi pilihan dan
mendapat perhatian yang serius terutama pada pasien anjing dan kucing yang telah lama
tidak mau makan dan minum (Mar Vista Medical Center 2006). Hewan masih dapat hidup
dalam beberapa minggu tanpa makan, tetapi akan mati hanya dalam beberapa hari atau
beberapa jam jika tidak ada air.Air berfungsi sebagai pelarut zat-zat makanan dalam tubuh.
Air dan elektrolit tidak dapat dipisahkan dari komponen diet, karena keseimbangan air
sangat diperlukan dalam metabolisme dan

melarutkan hasil metabolisme untuk dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh. Tujuan

utama dari terapi cairan untuk mengatasi dehidrasi, memulihkan volume sirkulasi

darah pada keadaan hipovolemia atau shock, mengembalikan dan mempertahankan elektrolit
(Na+ dan K+), dan asam basa dalam tubuh ke arah batas normal (Suartha 2010).

Kehilangan cairan tubuh dapat terjadi secara normal melalui respirasi, kulit, feses,
dan urin. Secara abnormal kehilangan cairan melalui muntah, dan diare. Tujuan utama terapi
cairan adalah mengembalikan volume darah yang bersirkulasi, menggantikan cairan yang
hilang secara normal dan abnormal. Kebutuhan cairan tubuh secara normal pada anjing dan
kucing untuk menggantikan cairan yang hilang melalui sistem urinasi, respirasi, kulit, dan
feses sebanyak 40 –60 ml/kgBB/hari. Pergantian seluruh cairan tubuh yang hilang minimal
sebanyak 70-80% dalam 24 jam atau mengganti secara cepat setengah dari cairan yang hilang
selama 4-8 jam pertama (Suartha N I 2010).

Jumlah cairan yang diperlukan untuk penggantian cairan yang hilang bergantung atas status
dari hewan. Perhatian pertama ditujukan pada status volume darah, dan perhatian selanjutnya
ditujukan pada pengembalian total air tubuh dan elektrolit. Ada tiga fase dalam terapi cairan,
yaitu fase emergensi (darurat), fase replacement (penggantian), dan fase maintenan
(mempertahankan). Fase emergensi adalah cairan yang harus segera diberikan ke dalam
tubuh hewan akibat tubuh kehilangan cairan yang banyak dalam waktu singkat seperti pada
kasus kecelakaan, operasi bedah yang mengakibatkan banyak darah yang keluar, dan luka
bakar. Fase replacement adalah pemberian cairan yang harus diberikan ke dalam tubuh
hewan selama periode dehidrasi. Fase ini berdasarkan atas kebutuhan cairan untuk
mengembalikan status cairan tubuh hewan menjadi normal, penggantian cairan tubuh yang
hilang secara normal, dan mengganti cairan tubuh yang hilang secara abnormal (Lorenz et al
1987).

Perhitungan perkiraan jumlah kekurangan cairan tubuh dengan memperhatikan: 1.Perkiraan


cairan tubuh yang hilang dari normal, 2. maintenan harian cairan tubuh, dan 3. kehilangan
cairan tubuh secara abnormal. Perkiraan cairan tubuh yang hilang adalah jumlah dari cairan
tubuh hewan yang hilang sebelum pasien / hewan dibawa ke dokter hewan, diperkirakan dari
sejarah penyakit , perubahan berat badan hewan,dan data laboratorium.
Cairan maintenan adalah cairan dalam tubuh pasien yang hilang secara normal, dibedakan
menjadi dua, pertama kehilangan yang dapat diukur, yang keluar dalam bentuk urin (sensible
loss). Volumenya sebanyak 2/3 dari total volume cairan maintenan (27 –40 ml/kg BB/hari).
Kedua, kehilangan cairan secara normal yang tidak dapat diukur (insensible loss) yaitu cairan
yang hilang pada saat respirasi, terengah-engah dan keringat, dan melalui feses. Volumenya
sebanyak 1/3 dari

volume cairan maintenan (13 –20 ml/kgBB/hari). Jadi secara total volume cairan maintenan
yang dibutuhkan berkisar 40 –60 ml/kgBB/hari. Ada juga yang melaporkan cairan yang
hilang lewat urin sebanyak 20ml/kg BB/hari, dan cairan yang keluar lewat feses dan respirasi
sebanyak 20 ml/kgBB/hari. Cairan ini harus dihitung dan diberikan ketika pasien
tidak mampu untuk makan dan minum (Lorenz et al 1987).

Pada pasien yang tidak mau makan dan minum, dilaporkan oleh para ahli,

kebutuhan air dan energi adalah sama. Dilaporkan 1 kcal energi = 1 ml air, tetapi ada juga
yang melaporkan kebutuhan energi dan air berbeda.Diperkirakan airyang diperlukan meliputi
50 ml/kg BB/hari, sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih akurat disarankan
menggunakan perhitungan: Kebutuhan cairan untuk maintenance = {(30x kg BB) + 70}
(Wingfield 2009).

Pada anjing yang shock diperlukan dosis cairan 40-90 ml/kg/jam sedangkan pada kucing 20 –
60 ml/Kg/jam (Baldwin 2001b). Contoh :

1. Seekor anjing dengan berat badan 10 kg mengalami dehidrasi dengan tingkat 7%,
dan mengalami muntah. Berapakah cairan yang diperlukan selama setelah 24 jam.

Jawab :

Volume (ml) cairan yang diperlukan = volume cairan yang hilang + volume maintenance

= (10 kgx0,07x1000x0,80)+[(10x30)+70] = (560) + (370) = 930 ml

Kehilangan cairan tubuh secara abnormal diperkirakan dari frekuensi hewan itu muntah atau
diare dan jumlah cairan yang keluar setiap muntah atau diare. Perkiraan yang hilang itu
kemudian dikalikan dua perhitungan perkiraan kehilangan jumlah volume cairan pada hewan:

Cairan yang hilang = BB (kg) x % dehidrasi x 1000

Cairan Manitenance= BB (kg) x 40 –60 ml / (BB x 30) + 70

Cairan hilang abnormal secara kontinyu= diperkirakan jumlah yang hilang (ml/kg)

Sebagai contoh:
2. Anjing dengan berat badan 20kg, mengalami dehidrasi karena anoreksia, diare profus
selama 3 hari. Pasien menunjukkan gejala elastisitas kulit turun, membran mukosa
kering, CRT sedikit lebih lama, PCV 57%, plasma protein 8.6 g/dl, BUN 38mg/dl,
dan BJ urine 1.060. Tingkat dehidrasi diperkirakan 8%. Pertanyaannya berapa
volume cairan yang diperlukan oleh pasien itu? Berapa jumlah cairan yang harus
diberikan dalam 24 jam (1 hari)?

Jawab :

Cairan yang hilang (ml) = 20 kg x 0.08 (8%) x 1000 = 1600

Cairan Maintenance (ml)= 20kg x 50 = 1000

Perkiraan Cairan hilang secara kontinyu (ml)= 400Total(ml)= 3000

Cairan yang harus diberikan dalam 24 jam : 20 kg x 0.08 x 1000 x 0.8= 1200 ml* 1000 ml =
1 kg

3. Anjing dengan berat badan 30 kg tidak mau makan dan minum selama 4 hari.

Anjing itu muntah 6 kali sehari selama 2 hari. Sangat sedikit urin yang dikeluarkan selama 4
hari. Hitunglah jumlah kehilangan cairan dari anjing itu?

Jawab.

Kehilangan cairan yang tak terelakan selama 4 hari (20 ml/kg/24 jam)= 4 x 30 x 20 = 2400
ml,

Produksi urin perhari 20ml/kg/24 =20 ml x 30=600 ml

Kehilangan lewat muntah 30 ml/muntah, sebanyak 12 kali=360 ml

Jumlah total air yang hilang = 2400 ml + 600 ml + 360 ml= 3360 ml

Total cairan ekstraseluler yang hilang adalah 1/3 x 3360= 1120 ml

Volume cairan sirkulasi yang berkurang adalah 1/3×1/4×3360 = 280 ml

Perlu diingat bahwa sangat sulit untuk mengganti seluruh cairan tubuh yang hilang dalam
waktu 24 jam karena hewan akan melakukan urinasi dan respirasi juga saat mengalami
dehidrasi. Sehubungandengan hal tersebut minimal dapat diganti sebanyak 70-80%
kekurangan cairan itu dalam 24 jam, dan sangat perlu diperhatikan penambahan volume
cairan maintenan harian, jika hewan tidak mau

makan dan minum.


Jenis cairan yang digunakan dalam terapi cairan dikelompokkan menjadi larutan kristaloid
dan koloid. Larutan kristaloid adalah larutan yang dapat menembus membran sel dengan
mudah. Larutan ini mengandung elektrolit dalam berbagai macam komposisi.Kandungan
utamanya adalah natrium. Apabila dimasukkan ke dalam tubuh, lebih dari 75% larutan
kristaloid akan meninggalkan ruang intravaskular dalam waktu 30 menit setelah pemberian
(Willyanto 2010).

Larutan koloid adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi dari cairan ekstraseluler.
Larutan koloid tidak dapat menembus dinding pembuluh darah dan menjaga tekanan osmotik
cairan darah. Pemberian cairan koloid bersamaan dengan cairan kristaloid pada waktu
resustensi atau maintenance akan memulihkan dan mempertahankan tekanan intravaskular.
Larutan Kristaloid secara umum larutan polionik dan isotonic seperti larutan laktat ringer
adalah larutan serbaguna karenakomposisinya mirip dengan larutan ekstraselular. Laktat
ringer adalah larutan alkalin karena mengandung laktat sebagai precursor bicarbonate.
Larutan ringer mengandung sejumlah chlor sebagai pengganti laktat yang berfungsi sebagai
larutan penetral asam. Laktat ringer dan larutan ringer mengandung kalium (kalium) dalam
jumlah kecil. Penambahan kalium chlorida (KCl) pada larutan diperlukan untuk pasien
dengan kondisikehilangan kalium yang banyak (hipokalemia) (Lorenz et al 1987).

Larutan hipotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih rendah dari serum darah
(cairan ekstraseluler) contoh larutan hipotonik adalah 0,45% NaCl atau 2,5% dektrose/NaCl.
Larutan ini tidak digunakan dalam keadaaan shock, tetapi dapat digunakan sebagai cairan
maintenance pada pasien yang memiliki risiko retensi cairan atau gagal jantung.Larutan
isotonik adalah larutan yang

memiliki osmolalitas sama dengan serum darah. Sangat berguna untuk maintenance dan
terapi shock. Contoh larutan isotonik: Lactated ringer’s solution, Normosol, dan NaCl 0,9%.
Natrium chloride (0.9%) atau saline sering disebut larutan fisiologis, mengandung 154 mEq
natrium (Na) dan 154 mEq Chloride. Tidak mengandung kalsium. Kalium, dan magnesium.
Konsentrasi natrium (Na) mirip dengan cairan ekstraselular tetapi konsentrasi chloridanya
lebih tinggi. Peningkatan jumlah chloride dapat menyebabkan keasaman cairan ekstraselular
meningkat (hiperchloremik metabolic acidosis). Larutan ini harus dihindari pada pasien yang
menderita gagal jantung,hipertensi, dan asidosis metabolik (Baldwin 2001b). Larutan lactate
ringers solution (LRS) mengandung kalsium, kalium dan laktat. Kandungan laktatnya akan
diubah menjadi karbonat oleh hati. Larutan ini harus dihindari pada pasien penderita penyakit
hati, kanker, hiperkalsemia, dan hiperkalemia. Normosol menyerupai LRS tetapi
mengandung magnesium dan mengandung asetat dan glukonat, asetat dan glukonat
dimetabolisme di otot (Willyanto 2010).

Larutan hipertonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi dari serum.
Contohnya adalah 7,5% NaCl. Cairan ini baik diberikan pada penderita shock untuk
meningkatkan tekanan intravaskular. Biasanya diberikan dalam bentuk bolus kecil (3-
5ml/kg). Cairan ini bekerja dengan cara menarik cairan dari rongga interstitial dan
intraseluler.Larutan glukosa 5% juga bersifat isotonis. Awalnya digunakan untuk menyuplai
air untuk mengurangi dehidrasi karena kehilangan air murni (pure water) (hipernatremia)
seperti pada kasus kelelahan karena hipertermia. Air murni tidakdapat diberikan secara
parenteral karena bersifat hipotonik dan menyebabkan eritrosit bengkak dan hemolisis.
Karena glukosa 5% tidak mengandung elektrolit maka tidak baik diberikan pada pasienyang
kehilangan elektrolit. Larutan glukosa 10%, 20% dan 50%dapat diberikan secara intra vena
secara perlahan-lahan sampai terlarut dengan baik. Awalnya diberikan untuk mensuplai
kalori dan penderita diuresis osmotic pada penderita insufisiensi renal. Larutan glukosa hanya
dapat diberikan secara intravena (Baldwin 2001b).

Ada tiga macam larutan koloid sintetik yang biasa digunakan, yaitu Hetastarch, larutan ini
memiliki berat molekul yang lebih tinggi daripada cairan ekstraseluler, karena itu akan tetap
berada di dalam buluh darah selama 12 –48 jam. Dektran, memiliki beratmolekul yang lebih
rendah dari hetastarch, tetapi ukuran molekul lebih bervariasi dan memiliki daya osmotik
lebih kuat. Berada dalam buluh

darah selama 4 –8 jam. Oxyglobin adalah larutan hemoglobin sapi yang telah

mengalami pemurnian dicampur dalam LRS yang sudah dimodifikasi. Larutan

oxyglobin dapat berfungsi sebagai sistem transportasi oksigen dalam tubuh. Sangat baik
diberikan pada penderita anemia hemolitik dan trauma. Kapasitas pengankutan oksigen dapat
dipertahankan sampai 40 jam (Willyanto 2010).

4.PENUTUP
4.1 Simpulan
Rute pemberian obat maupun terapi cairan pada hewan berbeda-beda
lokasinya tergantung dengan mudahnya pengaplikasian dan kecepatan. Hal-hal yang
dapat mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat yaitu bentuk sediaan obat yang
diberikan. Pemberian obat dan cairan pada hewan juga harus memperhatikan takaran
pemberian atau dosis yang kepada penderita agar menghasilkan efek yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

A Potter, & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.
Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Anonim, 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Anonim. 2008. Farmakologi Jilid I. Jakarta : Pusdiknakes
Baldwin K. 2001b. Fluid Therapy for the companion animal. Atlantic coast veteriner
conference (ACVC).http://www.vin.com. [Diakses pada tangal 13 Maret
2018].
Joyce LK, Maura C, Hayes ER, Maura C, Evelyn RH. 2000. Antidepressent agent.
3 rd ed. Pharmacology Nursing Process Approach
Lorenz MD, Cornelius LM, Ferguson DC. 1987. Small animal medical
therapeutics.JB lippincott Co.Philadelphia New York.
Mar Vista Animal Medical Center. 2006. Fluid Therapy. The Cornerstone of
treatment.Http://marvistavet.com. [Diakses pada tangal 13 Maret 2018].
Ratna Ambarwati, Eni. 2009. KDKP Kebidanan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT.
Kawan Pustaka
Suartha N I. 2010.Terapi cairan pada anjing dan kucing. Bali (ID) : Fakultas
Kedokeran Hewan Universitas Udayana.
Sumardjo D. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran
dan Program Studi Sastra Fakultas Bioeksakta. Jakarta (ID) : ECG.
Sumoprastowo, 1997. Ternak piaraan – cara memperlakukan berbagai jenis ternak.
Penerbit bhratara-jakarta
Suzanne, C. Smeltzer. 2001. Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Willyanto I. 2010. Terapi Cairan: memilih larutan terbaik untuk tiap pasien. Seminar
Sehari continuing Education APDHKI Denpasar. Bali 30Januari 2010.
Wingfield WE. 2009. Fluid and Elektrolite
therapy.http://www.cvmbs.colostate.edu/clinsci/wing/fluids/fluids.htm.
[Diakses pada tangal 13 Maret 2018].

Anda mungkin juga menyukai