BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih dari 2
bulan dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari telinga
tengah dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau kental,
bening atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik ( OMSK) didalam
masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga berair.
Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang
biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak
memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi komplikasi. Biasanya komplikasi
didapatkan pada penderita OMSK tipe maligna seperti labirinitis, meningitis, abses
otak yang dapat menyebabkan kematian. Kadangkala suatu eksaserbasi akut oleh
kuman yang virulen pada OMSK tipe bening pun dapat menyebabkan suatu
komplikasi.
Bakteri aerob penyebab OMSK antara lain : Pseudomonas aeruginosa, Proteus
mirabilis, Stafilokokus aureus, Stafilokokus epidermidis, Streptokokus βhemolitikus,
Difteroid, Streptokokus viridan, Proteus dan Enterobakter sp. Bakteri anaerob yang
sering dijumpai antara lain : Bakteroides fragilis, Peptokokus, Peptostreptokokus,
Klosstridium sporogenes, Klosstridium perfringens dan Klostridium novyi. Para
peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada OMSK.
Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang dominan (48%
dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1. 6 Brook (1979) dan
Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai pada OMSK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald (1981) menemukan
kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa (36 dari 68 penderita)
sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita .
Pada dasarnya keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan
antibiotik merupakan hasil akhir dari 3 komponen, yaitu penderita, bakteri dan
antibiotika. Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi
klinik dari interaksi antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan infeksi
dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri.
Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan berdasarkan sekurang- kurangnya
mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit dan akan lebih baik lagi apabila disertai
dengan adanya hasil uji kepekaan pemeriksaan mikrobiologi. Ketidak patuhan
penderita dalam perawatan, kuman yang resisten, bentuk anatomi telinga, adanya
TUJUAN PENELITIAN
1.1.1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui jenis kuman- kuman dan uji kepekaan
terhadap Beberapa antibiotika pada penderita OMSK
1.1.2. Tujuan Khusus: Untuk dapat menentukan pengobatan yang tepat pada
penderita OMSK.
MANFAAT PENELITIAN
Untuk dapat menentukan pengobatan yang tepat pada OMSK dan
memberikan penyuluhan pada masyarakat sehingga dapat menghindari penyakit ini.
BAB II
TINJUAN KEPUSTAKAAN
4. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum.
Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan
suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat- serat ligamen.
Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah piramid, tempat
terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk
kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus
sigmoid.
Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan kearah
posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel- sel udara kearah
dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson
(1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9
mm kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke
bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana berhubungan dengan
dua fenestra dan promontorium.
5. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar
dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis
pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
6. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian
tulang berada diatas dan bawah membran timpani.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior
kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani.
sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum
dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk
oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada
ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik.
Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, disini
dapat dijumpai muara sel- sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal
tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang
berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang
sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum
mastoid, yaitu aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial
dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus
fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani
tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding
saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya
mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian- bagian tulang
lemah.
Malleus
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-tulang
pendengaran dan terletak paling lateral, lehe r, prosesus brevis (lateral), prosesus
anterior, lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm. kepala
terletak pada epitimpanum atau didalam rongga atik, sedangkan leher terletak
dibelakang pars flaksida membran timpani. Manubrium terdapat didalam membran
timpani, bertindak sebagai tempat perlekatan serabut-serabut tunika propria. Ruang
antara kepala dari maleus dan membran Shrapnell dinamakan Ruang Prussak.
Maleus ditahan oleh ligamentum maleus anterior yang melekat ke tegmen dan juga
oleh ligamentum lateral yang terdapat diantara basis prosesus brevis dan pinggir
lekuk Rivinus.
Inkus
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus brevis
dan prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus membentuk sudut
lebih kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5 mm pada pinggir dari
corpus, prosesus longus panjangnya 4,3 mm- 5,5 mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju antrum,
prosesus longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju ke bawah. Ujung
prosesus longus membengkok kemedial merupakan suatu prosesus yaitu prosesus
lentikularis. Prosesus ini berhubungan dengan kepala dari stapes.
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi
terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis
antara ligamentum maleus anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus
brevis.
Gerakan- gerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh
inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi gerakan seperti piston pada
stapes melalui sendi inkudostapedius.
Stapes
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti sanggurdi
beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm- 4,5 mm. Stapes terdiri dari kepala, leher,
krura anterior dan posterior dan telapak kaki ( foot plate), yang melekat pada
foramen ovale dengan perantara ligamentum anulare.
Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada permukaan
posterior dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian leher bawah yang
lebar dan krura anterior lebih tipis dan kurang melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai tepi superior yang
melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan melengkung di anterior dan ujung
posterior. panjang foot plat e 3 mm dan lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada fenestra
vestibuli dimana ini melekat pada tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum
anulare Tinggi stapes kira- kira 3,25 mm
Pleksus timpanikus
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan
nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada :
1. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba
eustachius, antrum mastiod dan sel- sel mastoid.
2. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor.
3. Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut- serabut
parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu
saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut saraf
parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion genikulatum.
Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang temporal, dilateral sampai nervus
petrosus superfisial mayor, diatas dasar fosa kranial media, diluar durameter.
Kemudian berjalan melalui foramen ovale dengan nervus mandibula dan arteri
Saraf fasial
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal melalui
meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial terutama
terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :
1. Saraf motorik untuk otot- otot yang berasal dari lengkung brankial kedua
(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik
dan m. stapedius.
2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali
parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui auditori
meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah posterior dalam
tulang diatas feromen ovale terus ke dinding posterior kavum timpani. Belokan
kedua terjadi dinding posterior mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial
keluar dari dasar tengkorak melewati foramen stilomastoidea. Pada belokan pertama
di dinding medial dari kavum timpani terdapat ganglion genikulatum, yang
mengandung sel unipolar palsu. Sel ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3
lidah dan palatum. Saraf petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial
VII pada ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke
fosa kranial tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan
sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian lain dari
saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan korda
timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus,
bergerak secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani
mengandung jaringan perasa dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari
ganglion submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.
2.3.2. KLASIFIKASI
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa
dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa
faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius,
infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal
pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran
bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi
sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan
2.2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit
atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya
kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan
kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna put ih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. kolesteatom
dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
a. Kongenital
b. Didapat.
ad a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan
Clemis (1965) adalah :
1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.
Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau
tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese,
tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
2.3.3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan,
kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi
yang jelek.
Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang
mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi
insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.
2.3.4. ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK
yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK
yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti
hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan
leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,
dimana kelompok sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi
sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media,
tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor
apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi
keadaan kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir
tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode
kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah
Gram- negatif, flora tipe- usus, dan beberapa organisme lainnya.
2.3.5. PATOGENESIS
Patogensis OMSK belum diketahui secara lengkap, tatapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah
terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder
2.3.6. PATOLOGI
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari
pada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan
stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini
disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini ditambah
dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
Secara umum gambaran yang ditemukan adalah :
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat
bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh
membrana dan terkenanya bagian- bagian dari anulus. Dalam proses
penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam ketelinga
tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau
dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang- kadang perluasan lapisan
tengah ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan kantong dan kolesteatom
didapat sekunder. Kadang- kadang terjadi pembentukan membrana timpani atrifik
dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode
infeksi aktif.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan tampak
normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia
mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal
dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah
pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid menetap akibat disfungsi
kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan penyebab terjadinya
perubahan mukosa menetap.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu- abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasinya. Dapat terlihat keping- keping kecil, berwarna putih,
mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah
berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga
dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang
encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang- tulang pendengaran. Biasanya
dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran
mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis.
Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa
rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai
TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.
38
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang
berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test
berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan
intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang
ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran
menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi
kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan
tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang- tulang pendengaran dapat
diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk
perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa
membantu :
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang- tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30- 50 dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih
utuh menyebabkan tuli konduktif 55- 65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran
dengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking
adalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.
2.3.8.3. Bakteriologi
Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi
akut, bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK
adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan
bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis.
Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri
anaerob adalah Bacteriodes sp.
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus, atau hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan
ini agak berbeda. Karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering
berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.
Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan
hasil kepekaan kuman. Bakteri penyebab OMSK dapat berupa :
2.3.9. PENATALAKSANAAN
Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-
faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu
pengobatan haruslah dievaluasi faktor- faktor yang menyebabkan penyakit menjadi
kronis, perubahan- perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta
menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis
kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat - obatan dapat
digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana
pengobatan dapat dibagi atas :
1. Konservatif
2. Operasi
Ad. 1 . Penyebaran ke selaput otak dapat terjadi akibat dari beberapa faktor;
- Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang
yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya
infeksi.
Labirin juga dapat dianggap sebagai jalan penyebaran yang sudah ada begitu telah
terinfeksi, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii media. Jalan lain
penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria menembus dinding mastoid ke
dura dan sinus durameter. Tromboflebitis pada susunan kanal haversian merupakan
osteitis atau osteomielitis dan merupakan faktor utama penyebaran menembus
sawar tulang daerah mastoid dan telinga tengah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Jumlah penderita yang diambil sebagai sampel sebanyak 40 orang, dimana 4 orang
diantaranya dikeluarkan dari penelitian ini oleh karena tidak memnuhi syarat.
Data- data yang dikumpulkan dibuat dalam tabel- tabel.
Dari tabel 4.1. didapatkan presentase tertinggi penderita OMSK pada umur 12 – 20
tahun (33,3%)
BAB V
PEMBAHASAN
Penderita yang tercakup dalam penelitian ini berumur dua belas tahun keatas
untuk memudahkan pengambilan bahan pemeriksaan. Meskipun kelompok umur
penderita OMSK ini bervariasi, seperti dilaporkan peneliti sebelumnya, frekuensi
yang terbanyak pada penelitian ini adalah antara umur 12-20 tahun (33,3%) seperti
terlihat pada tabel 4.1. Sunarjadi dan Wisnubroto pada tahun 1976 di Surabaya
menyimpulkan bahwa OMSK yang aktif maupun yang tidak aktif dipengaruhi oleh
faktor umur. 53 Delfitri Munir ( 1992) di Medan mendapatkan umur termuda 6 tahun
dan tertua 39 tahun, frekuensi terbanyak dijumpai antara umur 6- 15 tahun
(68,18%). 45 T. Yohanita di Medan ( 1995) melakukan penelitian pada penderita
dengan umur antara 10- 19 tahun (38,10%)53. Fitriah (1995) di Jakarta melakukan
penelitian pada penderita antara umur 12 sampai 62 tahun dan mendapatkan umur
rata- rata 22,5 tahun. 48 R. Suheryanto (1996) di Malang melakukan penelitian
dengan rentang umur 5-64 tahun, frekuensi yang terbanyak pada umur 20- 29
tahun. Palloan ( 1996) di Ujung Pandang mendapatkan frekuensi terbanyak pada
kelompok umur >5- 14 tahun. Ainul Mardhiah di Medan (1998) mendapatkan dari
semua penderita OMSK. Frekuensi terbanyak pada kelompok umur 20- 24 tahun
(25,4%). Indudharan di Malaysia (1995) mendapatkan frekuensi terbanyak pada
umur dibawah 20 tahun ( 69,3%).
Dari tabel 4.3 hasil uji kepekaan ternyata Stafilokokus aureus sensitif
terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin dan Debekasin, resisten terhadap
Seftriakson. Eserikia koli sensitif pada antibiotika golongan Siprofloksasin dan
Dibekasin, resiten terhadap Seftriakson dan Kloramfenikol. Proteus sensitif pada
golongan Siprofloksasin dan Dibekasin, resisten terhadap Seftriakson. Seluruh
kuman yang ditemuka n dalam penelitian ini sensitif terhadap Siprofloksasin dan
resisten terhadap Seftriakson, sedangkan Pseudomonas hanya sensitif terhadap
Siprofloksasin. Pada penelitian di UNHAS (1966) mendapatkan Stafilokokus aureus
sensitif terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin, Sefotaksin, Kloramfenikol,
Trimetropim – Sulfametoksasol dan resisten terhadap Penisilin G, Ampisilin,
Amoksisilin dan Streptomisin5 . Pada penelitian oleh Indudharan di Malaysia (1995)
mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap golongan Siproflokokus,
Kloksasilin, Kontrimoksasol, Gentamisin dan resisten pada Ampisilin dan Polimiksin
B. Fairbank (1981) mendapatkan antibiotika yang sensitif untuk Stafilokokus aureus
adalah Sefalosporin, Eritromisin dan Aminoglikosida. Penelitian oleh Spiric ( 1996) di
Finlandia mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap Ceftazidim,
Siprofloksasin dan Amikasin sedangkan resisten dengan Sulfonamid dan Trimetropin.
SARAN
Untuk lebih tepatnya pengobatan OMSK sebaiknya tiap- tiap kasus dipilih
antibiotika berdasarkan biakan dan uji kepekaan kuman.
DAFTAR PUSTAKA
Zainul A. Djaafar, Kelainan Telinga Tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.54- 7
Zainul A. Djaafar, Penyakit Infeksi Telinga Tengah pada Anak dan Pengobatannya
dengan Cara Operasi, Kumpulan Makalah Simposium Penatalaksanaan
Gangguan Pendengaran dan Demo Operasi Timpanoplasti, h. 17- 18
Nopember 2000;h. 22- 35.
Ainul M, Tesis Faktor Predisposisi yang Memepengaruhi Kejadian OMSK ditinjau dari
Aspek Sosial Ekonomi, FK USU, 1998;h.1,60.
Helmi, Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Edisi 3, 1997;h. 62- 5
Adenin A, Pemeriksaan Kuman- kuman Anaerob pada Otitis Media Perforata, Konas
VII, Surabaya, 1983;h.989- 94
Helmi, Penggunaan Rasional Sefalasporin Oral Pada Infeksi Saluran Nafas Atas,
Majalah Kedokteran Indonesia, vol.47, No.6, Juni 1997, h.306- 10.
Moore GF et.all, Anatomy and Embryology of the Ear, Dalam : Lee KJ, Editor Text
Book of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, New York, Elsevier,
1989 ; h.1 - 22.
Roeser, RJ., Audiology Desk Reference, A Guide to the Practice of Audiology, New
York, Thieme, 1996 ; h.1- 9.
Berkovitz BKB, Moxham BJ., Text Book of the Head and Neck Anatomy, Wolfe
Medical Publications Ltd, 1998 ; h. 362- 74
Wrigtht A., Anatomy and Ultra Structure of the Human Ear, Dalam : Scott- Brown’s
Otolaryngology, 6th Ed. Vol.1, Butterworth-Heinemann Ltd, 1997 h. ; 1/1/15-
1/1/26.
Becker W, Naumann H.H.,Plaftz CR, Ear, Nose and Troat Disease, A. Pocket
Reference, 2th ed, edited by Richard A Buckingham Georg. Thieme, Verlag,
Sturttgart, New York, 1994 ; h. 4- 10.
Hollinshead, W.H., Anatomy for Surgeons, The Head and Neck, Vo.1, New York,
Harper and Raw, 1996 ; h.171- 97
Ballenger JJ, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 2, Edisi
13, Alih Bahasa : Staf Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta, Binapura Aksara,
1997;h. 107- 18.
Zainul A. Djaafar, Kelainan telinga tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit, Telinga,
Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.49.
Wright A, Anatomy and Ultra of the Human Ear, Dalam : Scott- Brown’s
Otolaryngology, 5th Ed. Vol1, Butterworth- Heinemann Ltd, 1987; h. 14-25.
Indro Soetirto, Hendarto. H., Gangguan Pendengaran (tuli), Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997, h.35.
Bluestone CD, Klein JO ; Chronic Suppurative Otitis Media, Pediatric Otolaryngology,
vol 1, 2th ed, 1990 ; h. 502-515.
Zainul A. Djaafar., Diagnosis & Pengobatan OMSK, Pengobatan non operatif otitis
Media supuratif, editor Helmi dkk, Balai Penerbit FK-UI, 1990 ; P47- 56
Millis R.P., Management of Chronic Suppurative Otitis Media, Dalam : Scott- Brown’s
otolaryngology 6th ed, vol.3, Butterworth-Heinemann Ltd, 1997 ; h.3/10/1-
3/10/9.
Roland NJ et all, Chronic Suppurative Otitis Media, Key Topic in Otolaryngology and
Head Neck Surgery, Bios scientific, 1995 ; h. 51- 3
Paparella MM., et all Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid, Editor Effendi H, Santoso
K, Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT, Alih Bahasa : Dr. Caroline Wijaya,
Edisi 6, Jakarta, EGC, 1994 ; 88- 113.
Kumar S, Chronic Suppurative Otitis Media, fundamenta of Ear, Nose and Throat
Disease and Head Neck Surgery, Calcuta, 6th ed, 1996, h.100-7
Groves J et all., Disease of Middle Ear Cleft, A Synopsis of Otolaryngogoly, 4th ed,
Wright bristol, 1985 ; h. 96-104.
Adenin A., Kumpulan kuliah bagian THT, FK- USU, Medan ; h.45-50.
Becker W., Naumann H.H., Pfaltz CR, Chronic Otitis Media dalam : Ear, Nose and
Throat Disease, A. Pocket reference, 2nd ed, Edited by Richard A Buckingham
Georg. Thieme Verlag, Sturtt, New York, 1994 ; h.94- 101.
Ballenger J.J., Penyakit Telinga Kronis, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher, Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa, Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI,
Jakarta, Binapura Aksara, 1997 ; h. 392- 403.
Yanagisawa E, Kmucha S, Disease of The External and Middle Ear, Dalam : Lee KJ,
editor Text book of otolaryngology and Head and Neck Surgery, New York,
Elsevier, 1989 ; h. 76- 1
Helmi, Perjalanan Penyakit dan Gambaran Klinik Otitis Media Suppuratif Kronik,
Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai
Penerbit FK- UI, 1990 ; h. 17- 35.
Awarudin O., Mengape D., Sedjawidada, Penderita Otitis Media Kronik Bilateral Yang
mengeluh Gangguan Pendengaran, PIT, PERHATI, Batu Malang, 27- 29
Oktober 1996 ; h.307- 14.
Karma P., Jokipii L., Ojalo K., Jokipii A.M.A., Bacteriological of The Chronically
Discharging Middle Ear, Acta Oto-Laryngology 86, 1978 ; h.110- 114.
Fitriah, Helmi, F.H. Alfian, Bacteriological Spectrum of The Benign Active Chronic
Suppurative Otitis Media, ORLI, vol.27, Oktober- Desember 1996 ; h. 488- 92.
Spiric S., and Spiric P., Chronic Otitis Media Microbiological Study, Sydney 97 XVI
World Congress of Otorhirolaryngology Head and Neck Surgery, Sydney,
Australia, 2- 7 March 1997 ; h. 1031- 36.
Fairbanks D.N.F., Antimicrobial Therapy for Chronic Suppurative Otitis Media, Annals
of Otology Rhinology and Laryngology 90 ( supp.84), 1981 h. 58- 62.
Glasscock III M.E, Shambaugh GE, Pathology and Clinical Course of inflammatory
Discase of the Middle Ear, Dalam : Surgery of the Ear, 4th ed, Philadelphia,
WB. Saunders Company, 1990 ; h.184- 7.
Yati HI, Penggunaan Antibiotika pada Otitis Media Supuratif Kronik, Dalam :
Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai
Penerbit FKUI, 1990 ; H. 7- 16.
R. Suheryanto, Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta
Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Ujiklinis, Spektrum
dan Uji Kepekaan Kuman aerob, Cermin Dunia Kedokteran, No 128, 2000 ; h.
45- 8.
Ballenger J.J., Komplikasi Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Jilid 2, edisi 13, Alih Bahasa : Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta,
Binapura Aksara, 1997 ; h. 432- 7.