Putusan - Sidang - 31 PUU 2012-Telah Baca 23 Okt 2012 PDF
Putusan - Sidang - 31 PUU 2012-Telah Baca 23 Okt 2012 PDF
Nomor 31/PUU-X/2012
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
hukum serta asas kepastian hukum dan keadilan. Meskipun faktanya akibat
penerapan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak
sejalan dengan konstitusi, asas negara hukum dan perlindungan serta
kepastian hukum, telah berakibat Pemohon dirugikan hak-hak
konstitusionalnya, karena penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh
Direktur Penyelidikan KPK dan perintah penyidikan tersebut, telah dilakukan
tanpa terlebih dahulu melakukan penghitungan Kerugian Negara oleh Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri yang eksistensinya secara
konstitusional dijamin secara sah oleh UUD 1945;
10. Bahwa menurut UUD 1945, Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Artinya badan yang
berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
adalah BPK yang bebas dan mandiri. Kemudian ketentuan konstitusi ini
dinormativisasi ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung-jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan Negara Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa
dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK;
11. Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 angka 1, ”BPK adalah lembaga negara yang
bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” kemudian pernyataan ini
dipertegas kembali pada Pasal 6 ayat (1) dinyatakan “BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. Akhirnya Pasal 10 ayat (1) menyatakan, ”BPK berwenang
menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
8
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara”.
14. Bahwa Badan yang berwenang memberikan penilaian, menetapkan dan
memutuskan adanya kerugian keuangan negara adalah Badan Pengawas
Keuangan (BPK). Hal ini ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang BPK, Pasal 10 ayat (2); menyatakan: “Penilaian kerugian
keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar
ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan BPK”.
15. Bahwa sesungguhnya BPKP hanya dapat melakukan perhitungan, penilaian,
dan penetapan kerugian negara, apabila mendapatkan delegasi/mandat,
atau penugasan dari BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang menyatakan:
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang: g. menggunakan tenaga
ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas
nama BPK;”
Di mana sesuai ketentuan di atas, BPKP bekerja untuk dan atas nama BPK.
Hal tersebut diatur juga dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor
1 Tahun 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari
Luar BPK;
16. Bahwa sesungguhnya kewenangan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) untuk melakukan penghitungan kerugian negara telah
dicabut oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Dalam Pasal 52 Keppres
tersebut ditegaskan “BPKP mempunyai tugas melaksanakan pemerintahan
dibidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku; Kemudian dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3)
dengan tegas dinyatakan BPKP adalah aparat pengawasan intern
pemerintah yang tidak berwenang melakukan audit atas pengelolaan
keuangan negara. Oleh karena itu, pemeriksaan Kerugian Negara yang
dilakukan oleh BPKP tidak memiliki landasan hukum yang sah, sehingga
10
kewenangan tersebut telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Dalam Pasal 52
ditegaskan “BPKP mempunyai tugas melaksanakan pemerintahan dibidang
pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku; Kemudian dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Pasal
47, Pasal 48, Pasal 49 dan dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) dengan tegas
dinyatakan BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang tidak
berwenang melakukan audit atas pengelolaan keuangan negara.
9. Bahwa menurut Pasal 52 dan Pasal 53 Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun
2005 tentang BPKP tidak lagi berfungsi dan berwenang memeriksa
pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara serta menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga tidak lagi bertugas memeriksa
dan mengevaluasi pelaksanaan good corporate dan governance serta laporan
akuntabilitas kinerja Badan Usaha Milik Negara.
10. Bahwa kedudukan BPKP sebagai bagian dari Pemerintah menurut Keputusan
Presiden Nomor 64 Tahun 2005 Pasal 52 dan Pasal 53, fungsi dan tugasnya
adalah melakukan:
a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan;
b. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan
dan pembangunan;
c. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP;
d. pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
pengawasan keuangan dan pembangunan;
e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan
rumah tangga.
Dengan demikian, BPKP tidak lagi berfungsi dan berwenang memeriksa
pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara serta menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga tidak lagi bertugas
memeriksa dan mengevaluasi pelaksanaan good corporate dan governance
15
serta laporan akuntabilitas kinerja Badan Usaha Milik Negara. Demikian juga
tidak berwenang memeriksa terhadap indikasi penyimpangan yang
merugikan negara, badan usaha milik negara, dan badan-badan lain yang di
dalamnya terdapat kepentingan pemerintah;
11. Bahwa meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi mengetahui BPKP tidak
berwenang dan berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab
keuangan negara serta menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara,
namun dengan menggunakan penjelasan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, telah menunjuk BPKP untuk menghitung kerugian negara atas
pekerjaan Roll-Out Customer Information System – Rencana Induk Sistem
Informasi (CIS-RISI) pada PT.PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan
Tangerang Tahun 2004-2006;
12. Bahwa pada kenyataannya sebagai akibat dari penunjukan BPKP oleh KPK
untuk melakukan penghitungan kerugian negara, Pemohon telah dinyatakan
sebagai tersangka dan terdakwa, kemudian dituntut oleh KPK dan dihukum
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena berdasarkan penilaian BPKP
telah terjadi kerugian negara atas pekerjaan Roll-Out Customer Information
System – Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) pada PT.PLN (Persero)
Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang Tahun 2004-2006;
13. Bahwa dalam Laporan Keuangan Konsolidasian PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero) untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2005 Nomor
20.B/Auditama V/GA/05/2006 tanggal 31 Mei 2006 yang pada pokok
pemeriksaan pekerjaan Roll Out CIS RISI menyatakan PLN Disjaya belum
optimal dan lebih bayar sebesar Rp. 536.096.000,- (lima ratus tiga puluh enam
juta sembilan puluh enam ribu rupiah), bukan seperti penghitungan oleh KPK
yang menyatakan ada kerugian Rp. 45.000.000.000-, (empat puluh lima miliar
rupiah), tidak juga seperti dihitung oleh BPKP yang menyatakan ada kerugian
sebesar Rp. 46.189.037.336,59 (empat puluh enam milyar seratus delapan
puluh sembilan juta tiga puluh tujuh ribu tiga ratus tiga puluh enam rupiah lima
puluh sembilan sen);
14. Bahwa pada bulan Mei 2006 BPK sebagai Badan yang bebas dan mandiri yang
secara konstitusional dijamin eksistensinya dalam UUD 1945 untuk melakukan
audit terhadap Lembaga Negara, BUMN telah menyatakan PT PLN (Persero)
16
Secara hierarki penjelasan tidak termasuk dalam struktur hierarki tata urutan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Bagir Manan
dan Kuntana Magnar dalam bukunya Beberapa masalah Hukum Tata
Negara mengemukakan pendapat sebagai berikut:
“Penjelasan resmi bukan kaidah, karena itu tidak mempunyai kekuatan
hukum sebagai kaidah. Para penegak hukum atau pelaksana hukum lainnya
dan siapapun juga terikat pada ketentuan dalam batang tubuh undang-
undang atau peraturan pemerintah tetapi tidak terikat pada penjelasan.
Hakim dapat mengenyampingkan penjelasan resmi dengan menggunakan
metode penafsiran lain, tapi hakim tidak dapat mengenyampingkan
ketentuan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah kecuali dalam
keadaan khusus, misalnya karena alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau penerapan undang-undang
tersebut akan menimbulkan ketidakadilan yang mendalam dalam
masyarakat”.
Pendapat tersebut bersesuaian dengan kebiasaan yang berlaku dalam
praktik pembentukan perundang-undangan yang baik serta semangat dalam
Lampiran II Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang–Undangan Butir E Lampiran penjelasan yang tak
terpisahkan dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
“176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa,
kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat
disertai contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat
perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-
undangan”.
23
IV. KESIMPULAN
1. Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus
permohonan pengujian Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini;
2. Bahwa Pemohon (selaku Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam permohonan pengujian Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK);
3. Bahwa Pemohon merupakan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak-
hak konstitusional yang dijamin konstitusi berhak mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam
naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada saat mengajukan permohonan ini
telah diadili dalam perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor;
4. Bahwa Pemohon selaku Warga Negara Indonesia seharusnya
memperoleh pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia berupa
jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945
Pasal 28D ayat (1). Namun pada kenyataannya, Pemohon telah ditetapkan
sebagai tersangka, terdakwa dan dituntut tanpa adanya kepastian hukum
yang adil, dengan menggunakan Pasal 6 dan Penjelasan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 dalam menghitung kerugian negara yang dilakukan
oleh BPKP. Padahal seharusnya menurut UUD 1945, Pasal 23E ayat (1)
Badan yang bertugas dan berwenang memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab Keuangan Negara serta menilai dan/atau menetapkan
jumlah kerugian negara adalah BPK;
5. Bahwa tugas dan wewenang BPK tersebut juga dijamin dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
35
2006 tentang BPK dan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK;
6. Bahwa Pemohon telah dinyatakan sebagai tersangka, terdakwa dan
dituntut oleh KPK karena berdasarkan penilaian BPKP telah terjadi
kerugian negara atas pekerjaan Roll-Out Customer Information System –
Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) pada PT.PLN (Persero)
Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang Tahun 2004-2006. Padahal pada
Mei 2007 BPK sebagai Badan yang secara konstitusional bertugas dan
berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan
Negara telah menyatakan PT PLN (Persero) memperoleh rapor paling
cemerlang dengan opini “wajar tanpa perkecualian”.
7. Bahwa kedudukan BPKP sebagai bagian dari Pemerintah, tidak lagi
berfungsi dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab
keuangan negara serta menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian
negara. BPKP juga tidak lagi bertugas memeriksa dan mengevaluasi
pelaksanaan good corporate dan governance serta laporan akuntabilitas
kinerja badan usaha milik negara, juga tidak berwenang memeriksa
indikasi penyimpangan yang merugikan negara yang dilakukan badan
usaha milik negara, dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan Pemerintah;
8. Bahwa untuk memperoleh kepastian hukum mengenai badan yang
bertugas dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara serta menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian
negara adalah BPK, maka ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 haruslah dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 23E serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Atau jika terdapat tafsir lain maka haruslah dinyatakan badan lain itu dapat
melakukan perhitungan, penilaian, dan penetapan kerugian negara,
apabila mendapatkan delegasi/mandat atau penugasan dari BPK sesuai
dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 tentang BPK dan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK.
9. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia telah ditetapkan sebagai
tersangka, terdakwa dan diadili serta dicegah untuk bepergian
36
menjadi preseden buruk yang dapat menghilangkan hak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi orang telah
ditetapkan secara semena-mena menjadi tersangka;
15. Bahwa Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut
telah merugikan Pemohon secara faktual, karena
(1) Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dituntut
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;
(2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicegah untuk
meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi;
(3) Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja, melakukan berbagai
kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi, karena
pemohon telah bersatus sebagai tersangka dan terdakwa tindak
pidana korupsi yang sedikit-banyaknya menimbulkan kesan yang
kurang baik di mata masyarakat awam yang kurang memahami asas
praduga tak bersalah;
(4) Pemohon telah mengalami penahanan terhitung sejak tanggal 24
Maret 2011 dan diadili di Pengadilan Tipikor sejak tanggal 15 Agustus
2011 dan perkara Pemohon tersebut diputus tanggal 21 Desember
2011;
16. Bahwa sejak terjadinya perubahan UUD 1945 politik legislasi berorientasi
memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia,
meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh
lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat
menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga Undang-Undang acap-
kali dapat diinterpretasikan dengan merugikan kepentingan rakyat dan
tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia;
17. Ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK, merupakan pasal yang potensial dikualifikasi
melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia. Oleh karenanya melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1)
dan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945;
38
V. PROVISI
1. Bahwa mengingat Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
menyatakan Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk
mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon
dengan cara memeriksa Pemohon sebagai Tersangka, mengadili dan
mencegah Pemohon, bepergian ke luar wilayah Negara RI, Pemohon
memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan
Sela yang memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
menghentikan, atau setidak-tidaknya menunda pengadilan perkara dugaan
tindak pidana korupsi yang melibatkan Pemohon sebagai Terdakwa dan
mencabut, atau sekurang-kurangnya menunda pelaksanaan Surat
Keputusan yang melarang Pemohon bepergian ke luar negeri;
2. Bahwa urgensi dari Pemohon mengajukan permohonan Provisi, karena
hak-hak konstitusional Pemohon telah dirugikan, dengan ditetapkannya
Pemohon sebagai Tersangka oleh Direktur Penyelidikan KPK serta
peroses peradilan terhadap Pemohon telah dilakukan tanpa terlebih
dahulu melakukan penghitungan Kerugian Negara oleh Badan Pemeriksa
Keuangan yang bebas dan mandiri yang eksistensinya secara
konstitusional dijamin secara sah oleh UUD 1945;
3. Bahwa secara nyata dan pasti Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas
dan mandiri yang eksistensinya secara konstitusional dijamin secara sah
oleh UUD 1945 setelah melakukan audit terhadap keuangan PT. PLN
(Pesero) menyatakan tidak ada kerugian negara terkait penandatanganan
perjanjian oleh Fahmi Mochtar selaku General Manager PT. PLN Disjaya
dan Tangerang dan Gani Abdul Gani selaku Direktur Utama PT. Netway
Utama;
4. Bahwa Mahkamah sudah pernah memutuskan putusan provisi ini dalam
perkara pengujian Undang-Undang dengan putusan Nomor 133/PUU-
VII/2009, yang Pemohon anggap sebagai yurisprudensi untuk mengatasi
kekurangan dan kekosongan hukum berkenaan tidak adanya pengaturan
tentang putusan provisi dalam perkara pengujian Undang-Undang.
Pemohon menyadari bahwa putusan provisi menurut ketentuan yang
tersurat dalam Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang
39
VI. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini Pemohon mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM PROVISI
1. Menerima permohonan Provisi Pemohon;
2. Memerintahkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk menghentikan, atau sekurang-kurangnya menunda
pemeriksaan perkara Pemohon di Mahkamah Agung yang didakwa melanggar
Pasal 2, Pasal 3,dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009
juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001; setidak-tidaknya sampai
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo
berkekuatan hukum tetap;
3. Memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencabut, atau
sekurang-kurangnya menunda berlakunya Surat Keputusan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi Nomor KEP.112/01/ III/2010, tanggal 3 Maret 2010
dan Surat Pimpinan KPK kepada Direktur Jendral Imigrasi Nomor R-750/01-
23/03/2010, tanggal 3 Maret 2010 serta Surat Plh. Direktur Penyidikan dan
Penindakan Keimigrasian, atas nama Direktur Jendral Imigrasi Nomor
IMI.5.GR.02.06-3.20150, tentang Pencegahan ke Luar Negeri An. Eddie
Widiono Suwondho, tanggal 11 Maret 2010, dan perpanjangan pelarangan
bepergian ke luar negeri berdasarkan Keputusan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor KEP-105/01/III/2011
tentang Perpanjangan Pelarangan Ke Luar Negeri, tanggal 8 Maret 2011
berlaku selama 1 (satu) tahun, termasuk untuk Gani Abdul Gani, yang
kemudian disampaikan kepada Direktur Jendral Imigrasi Departemen Hukum
dan HAM RI, sesuai dengan surat Nomor R-807/01-23/03/2011, tanggal 8
Maret 2011 dalam perkara pidana sampai adanya putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara a quo yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
42
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
46
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
Dalam Provisi
Bahwa norma yang diuji oleh Pemohon, yaitu Pasal 6 huruf a dan
Penjelasan Pasal 6 UU KPK mengatur mengenai tugas KPK untuk melakukan
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Pasal 6 huruf a tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut pada
Pasal 7 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a.
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi, b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi, c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait, d. melaksanakan dengar pendapat
atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
52
lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK) yang menyatakan,
“BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.” (vide Pasal 6 ayat (1) UU BPK). Dengan demikian, tugas dan
kewenangan dari masing-masing instansi seperti BPKP dan BPK telah jelas diatur
dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tugas dan kewenangan tersebut
tidak perlu disebutkan lebih lanjut dalam penjelasan UU KPK.
sahnya LPHKKN tersebut tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang
mengadilinya. Dengan perkataan lain, walaupun KPK memiliki kewenangan
diskresioner untuk menggunakan informasi tentang kerugian negara dalam bentuk
LPHKKN dari BPKP atau BPK dalam penyidikan, digunakan atau tidaknya
informasi tersebut dalam pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim
yang mengadili perkara. Oleh karena itu menurut Mahkamah, permasalahan yang
dihadapi oleh Pemohon merupakan ranah implementasi norma, bukan merupakan
masalah konstitusionalitas norma. Penyebutan instansi BPKP maupun instansi
lainnya dalam Penjelasan Pasal 6 UU KPK tanpa menyebut dan membatasi
wewenang dari masing-masing instansi tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai
ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, permohonan
Pemohon yang menginginkan agar KPK tidak lagi diperbolehkan untuk
berkoordinasi dengan BPKP adalah tidak tepat dan bertentangan dengan tujuan
pembentukan KPK, karena hal tersebut justru akan melemahkan pelaksanaan
fungsi dan kewenangan KPK sehingga dalil Pemohon tersebut harus dinyatakan
tidak beralasan;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Dalam Provisi:
Menolak permohonan provisi Pemohon;
KETUA,
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
td
Achmad Sodiki Anwar Usman
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Ery Satria Pamungkas