FKM – MKM UNDIP Biaya Kesehatan : dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga dan masyarakat. Ada dua sudut pandang: 1. Penyedia/produsen/ provider upaya kes Biaya kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan (paripurna). Penyedia: Pemerintah dan swastat. Besarnya dana : Biayainvestasi (Investment Cost) pembelian barang/ alat/sarana investasi (gedung, peralatan) Biayaoperasional (Operational Cost) biaya penyelenggaraan upaya kes (gaji, bahan2 habis pakai, aneka rekening, obat) Penyedia upaya kesehatan berusaha untuk tidak rugi pendapatan total (Total Revenue) lebih besar atau sama dengan biaya total (Total Cost) pelayanan baik. Operasionalisasi upaya kesehatan ketersediaan, keterjangkauan, efisiensi dan efektivitas penggunaan dana . Ada kecenderungan meningkatnya pemakaian kaidah2 ekonomi pada pengelolaan upaya kesehatan.
2. Konsumen/ pemakai upaya kes:
Biaya kesehatan: besarnya dana yng hrs disediakan utk memanfaatkan upaya kesehatan. Konsumen individu, keluarga, kelompok Pemerintah turut mempersoalkan terjaminnya pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakatnya aspek keterjangkauan , pemerataan dan keadilan bagi masyarakat. Sebagian besar biaya kesehatan dari konsumen/ pemakai upaya kes berwujud out of pocket (tunai) Biaya yang out of pocket ini sulit dikendalikan meningkatkan inflasi biaya kesehatan. Sumber biaya kesehatan : Tidak sama, tergantung sistem politik negara. Total biaya kesehatan penjumlahan dana yang dikeluarkan oleh para pemakai upaya kesehatan (swasta & masyarakat) dan penyelenggaraan upaya kes (swasta & pem) Pada semua negara di dunia selalu ada peran pemerintah konsep welfare state. Sumber biaya kesehatan: Seluruhnya oleh anggaran pemerintah tak ada yankes swasta, gratis, biasanya di negara komunis Sebagian ditanggung masy/ swasta ada peran masy & swasta, negara menanggung biaya yankes/ program kes dgn eksternalitas, dianut banyak negara (tergantung pada besarnya peran swasta/masy atau pemerintah) Macam biaya kesehatan: 1. Biaya pelayanan kedokteran : Lebih banyak untuk upaya kuratif dan rehabilitatif. Jenis : tunai (fee for services) dan pembayaran dimuka (prepaid / pra upaya) spt. Askes. Di Indonesia umumnya bersifat tunai sulit dikontrol & membebani masy.miskin. 2. Biaya pelayanan kesmas: Banyak utk preventif & promotif (program2 kes) Biaya ini lebih dititikberatkan pada penyedia upaya kes yang didominasi oleh pemerintah dalam bentuk penyediaan anggaran kesehatan. Kepada konsumen seringkali tidak diterapkan tarif, bahkan sebagian besar bersifat gratis. - Mekanisme pembiayaan kesmas a.Sentralisasi : perencana & penentu ad.pemerintah pusat, semua biaya ditanggung oleh pemerintah pusat dan disalurkan sec. berjenjang ke daerah. b.Desentralisasi : - Otonomi : Pemda diberi keleluasan/ kebebasan utk mengatur & bertgjwb pd pemby.kes - Semi otonomi: Pemda mempy. tgjwb terbatas sesuai peraturan, pemrth pusat masih banyak mengatur. Pokok utama dalam pembiayaan kesehatan adalah: 1.Mengupayakan kecukupan/adekuasi dan kesinambungan pembiayaan kesehatan pada tingkat pusat dan daerah2. 2.Mengupayakan pengurangan pembiayaan OP dan meniadakan hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan melalui pengembangan jaminan 3.Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat pokok yaitu: 1.Jumlah Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup. Yang dimaksudcukup adalah dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan yang dibutuhkan sertatidak menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya. 2.Penyebaran Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan pe nyelenggaraan setiap upayakesehatan. 3.Pemanfaatan Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaat annya tidak mendapat pengaturan yang optimal, niscaya akan bany ak menimbulkan masalah, yang jika berkelanjutanakan menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Untuk dapat melaksanakan syarat – syarat pokok tersebut perlu dilakukan beberapa hal, antara lain 1.Peningkatan efektifitasnya a. Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau alokasi penggunaan sumber dana agar tepat sasaran. b. Pengurangan pembiayaan Out Of Pocket (OOP) dan meniadakan hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompokmiskin dan rentan (pengembangan asuransi kesehatan sosial) yang dilakukanmelalui :- promosi pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan dan utilisasipel ayanan,- pencapaian universal coverage dan penguatan jaminan kesehatanmasyar akat miskin dan rentan c. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan yang dilakukanmelalui :- kesesuaian tujuan kesehatan nasional dengan reformasi pembiayaan yan gditerjemahkan dalam instrument anggaran operasional dan rencanapembiayaan,- penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan pemberipel ayanan kesehatan (providers),- pengembangan best practices Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu: 1.Fee for Service ( Out of Pocket ) Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, Pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar langsung kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK).PPK (dokter atau rumh saki t) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima. Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar- kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. secara tidak langsun g PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak. 2.Health Insurance (Asuransi/ Jaminan Kesehatan) : Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak asuransi (bisa pemerintah atau swasta) setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system). Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga asuransi kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran dimuka sejumlah dana sebesar perkalian anggota (kapita) dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Pemerintah Indonesia telah berpengalaman beberapa kali menerapkan model ini : 1. Askes untuk PNS/ Pensiunan/ pejuang/ TNI dan Polisi : PT. Askes Indonesia (persero) yang kemudian pada tahun 2014 direformasi menjadi BPJS Kes2hatan 2. Askes (jaminan kesehatan) untuk pegawai (formal) swasta yang bersama dengan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dikelola oleh PT. Jamsostek (persero) yang pada tahun 2015 direformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu jenis Jaminan kesatannya diserahkan BPJS Kesehatan. 3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang berupa u=nit swasta yang difasilitasi oleh Departemen Kesehatan untuk menyelenggrakan jaminan kesehatan bagi masyarakt dengan sendi2 “managed care” yaitu kendali biaya dan kendali mutu layanan. Model ini diadopsi dari model HMO (Health Maintenance Organization) di USA. JPKM dilaksanakan mulai pertengahan tahun 80an sampai sekitar tahun 2000 dan gagal (tidak berkembang). 4. Bantuan sosial untuk orang miskin yang dimulai secara terprogram dan berkelanjutan sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 sampai 2000. Krisis Ekonomi ini mengakibatkan meningkatnya pengangguran, jumlah penduduk miskin, masalah kesehatan dan gizi yang serius, krisis multidimensi termasuk sosial politik karena ketidaktercayaan pada Orde Baru (Presiden Soeharto) yang kemudian turun dari jabatan presiden [ada bulan Mei 1998. 1. Program JPS BK (Jaring Perlindungan Sosial bidang Kesehatan) diluncurkan pada tahun 1998 sampai 2001 dengan dana pinjaman ADB (Asian Development Bank). JPSBK tidak hanya untuk membantu pembiayaan pengobatan keluarga miskin, tetapi juga program KIA, GIZi dan program preventif promotif lainnya juga dicakup. 2. PKPS BBM (Program Kompensasi Pemberian Subsidi Bahan Bakar Minyak) dilaksanakan untuk melanjutkan program sejenis JPSBK dengan dana dari APBN serta dilakukan beberapa penyempurnaan hasil dari evaluasi JPSBK. PKPS BBM berlangsung dari tahun 2001 sampai 2004. 3. Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Msikin) berlangsung dari tahun 2005 sampai 2007 dibawah peerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Program Askeskin ini Departemen Kesehatan bekerjasama dengan PT. Askes Indonesia untuk mengelola biaya kesehatan (kuratif) untuk masyarakat miskin. Fokus pada kuratif. 4.Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program kelanjutan Askeskin dengan perbaikan berdasar hasil evaluasi Askeskin. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan dan berlangsung dari tahun 2008 sampai 2013. Fokus Jamkesmas pada kuratif (pengobatan) tetapi masih dimungkinkan untuk membiaya upaya preventif dan promotif). 5.Jampersal (Jaminan persalinan) dilaksanakan hampir bersamaan dengan Jamkesmas. Program ini dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB yang masih tinggi. Fokur pada jaminan biaya untuk persalinan keluarga miskin. Bidan desa, Puskesmas dan Rumah Sakit terhubung dalam jejaring pelayanan Jampersal. 6. Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) : Jamkesda berkembang karena masih cukup banyknya warga miskin yang tidak tercakup Jamkesmas sementara daerah (kabupaten/kota dan propinsi mempunyai dana dan berkomitmen menyantuni warganya). Anggaran Jamkesda berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Masing-masing daerah mempunyai model pengelolaan dan peraturan yang berbeda. Banyak daerah yang kemudian terbebani dengan melonjaknya biaya kesehatan masyarakat miskin tersebut. Fokus Jamkesmas pada kuratif. Jamkesda berkembang sekitar tahun 2008 sampai dengan era JKN. Tahun 2018 merupakan tahun final kehidupan jamkesda karena mereka harus integrasi kedalam JKN dan dana APBD untuk Jamkesda dikelola oleh BPJS Kesehatan. 7. JKN dengan peserta PBI (penerima bantuan iuran) khusus topik JKN akan diuraikan pada pokok bahasan selanjutnya. Asuransi kesehatan swasta membayar biaya pelayanan kesehatan pesertanya secara reimbursement (sesuai jumlah biaya yang diajukan faskes), tetapi pada saat peserta masuk rumah sakit harus tetap membawa uang karena pengajuan penggantian biaya kepada perusahaan asuransi baru diperoleh beberapa hari kemudian (bisa beberapa minggu). Asuransi Kesehatan swasta mulai beroperasi di Indonesia sekitar tahun tujuhpuluhan. Premi/ iuran Askes swasta ini biasanya mahal, mencakup masyakarat sosial ekonomi menengah keatas. Askes swasta ini dapat berupa produk sampingan dari asuransi jiwa atau asuransi kerugian, dikelola oleh badan asuaransi asli dalam negeri atau cabang dari perusahaan asuransi di luar negeri. Dalam perkembangannya perbankan juga menawarkan produk jaminan rawat inap dan sejenisnya. Fokus asuransi ini pada kuratif. Sekarang juga berkembang asuransi kesehatan swasta yang menerapkan kendali biaya seperti yang dikembangkan oleh sistem “manager care”. Sementara itu di masyarakat juga tumbuh model Dana Sehat yang diidentifikasi sejak tahun 1950an kelompok gotong royong di pedesaan tumbuh menjadi embrio Dana Sehat. Warga iuran dengan uang atau hasil bumi, dikelola oleh PKK untuk menyantuni warga yang sakit, bersalin atau kena musibah lainnya. Sampai sekarang model Dana Sehat ini masih berkembang terutama di masyarakat pedesaan sesuai dengan perilaku gotong royong bangsa Indonesia. Kemenkes pernah mengembangkan dan membina Dana Sehat dan dikelompokkan menjadi Dana Sehat Pratama, Madya dan Purnama. BAGAIMANA DI INDONESIA ?. 1. Pada era Orde Baru (1968 – 1998) Berdasarkan UU no 5 tahun 1974 tentang Pokok- pokok pemerintah Daerah menganut tiga asas: Asas Desentralisasi pembiayaan sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemda, contoh : Balai Pengobatan, KIA dan UKS. Asas Dekonsentrasi karena adanya keterbatasan kemampuan Pemda maka beberapa pelayanan kesmas menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, contoh: Rumah Sakit Tipe A. Asas perbantuan adanya keterbatasan kemampuan Pemda maka pemerintah pusat memberi bantuan, contoh : program P2M. Sumber anggaran pemerintah (Orde Baru) Pemerintah pusat : APBN pembangunan – DIP. APBN rutin – DIK. Inpres. SBBO (Subsidi Bantuan Biaya Operasional). Dana bersumber departemen lain Dephankam, Depdiknas, Depag, Dep.transmigrasi, Dep.PU, Depdagri, Depsos, Depnaker (Jamsostek). Dana bersumber dari BUMN Depkes Kimia Farma, Bio Farma, Indo Farma, Askes. Dana dari APBD tk I pelengkap anggaran pusat anggaran pembgn & rutin (subsidi gaji pegawai) Dana dari APBD tk.II anggaran pembangunan dan rutin pelengkap anggaran pusat dan Dati I. Sumber anggaran pemerintah (Orde Reformasi 1998 sampai sekarang) Dapat dibaca pada ppt Desentralisasi Kearah Otonomi Daerah Sumber anggaran pemerintah pusat dan daerah (Propinsi dan kabupaten/ kota) Anggaran kesehatan Indonesia tidak hanya berasal dari anggaran di Kementerian Kesehatan tetapi juga kementerian / lembaga lain yang terkait dengan kesehatan misal : Kementerian PU PR, Kemensos, BKKBN, BAPPENAS dll. Penggunaan anggaran pemerintah utk kesehatan: a. Upaya kesehatan Puskesmas program2 Puskesmas sebag. Besar preventif & promotif. b. Anggaran rumah sakit mendukung operasional RS pemerintah, hampir semua utk kuratif . c. Pendidikan & pelatihan nakes (khususnya teknis) & utk pembgn gedung diklat. c. Penelitian dan pengembangan kesehatan untuk biaya penelitian / riset kesehatan dan kedokteran. d. Administrasi dan pemantapan manajemen dari pusat sampai daerah & pembinaan aparatur neg. e. Unit kesehatan lain untuk anggaran POM (Pengawasan Obat & Makanan), laboratorium serta kesehatan gigi. Sumber pembiayaan dari masy/ swasta: Out of pocket ke sarana yankes dan pembelian obat dan pendidikan terbesar Pengeluaran perush swasta utk kes. karyawan reimbursement , poliklinik perusahaan atau Jamsostek. Pengeluaran kpd Fasilitas pelayan kesehatan oleh askes pemerintah dan swasta
Dengan terbitnya UU no.40 tahun 2004 tentng Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan UU no.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka pemerintah mereformasi sistem pembiayaan kesehatan dari dominasi out of pocket menjadi pra upaya (sistem asuransi kesehatan) MASALAH PEMBIAYAAN KES INDONESIA: 1.Keterbatasan jumlah dana : Jumlah dana baik (pemerintah & masy/ swasta) masih terbatas kesadaran pembuat kebijakan (berbagai level) akan pentingnya sektor kesehatan masih rendah sektor kes dianggap sektor konsumtif bukan produktif. Potensi masy/ swasta cukup besar (65%), sementara dana kesehatan dari pemerintah sekitar 35% (tahun 2015) Pada tahun 2018 anggaran pemerintah untuk Kementerian Kesehatan sekitar 7% dari APBN Belanja pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sebesar Rp 2.204,3 triliun. Terbagi atas belanja pemerintah pusat Rp 1.443,2 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 761 triliun. 10 Kementerian dengan anggaran terbesar tahun 2018: Kementerian PUPR Rp 106,9 triliun Kementerian Pertahan Rp 105,7 triliun Kementerian Agama Rp 62,2 triliun Kementerian Kesehatan Rp 59,1 triliun (sekitar 37% dari belanja pemerintah ) Kementerian Perhubungan Rp 48,2 triliun Kementerian Keuangan Rp 45,7 triliun Kementerian Ristek Dikti Rp 41,3 triliun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 40,1 triliun Kementerian Sosial Rp 34 triliun Kementerian Pertanian Rp 23,8 triliun Pada tahun 2019 pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan senilai Rp121,9 triliun (naik 200% dari tahun 2018), yang terdiri dari Rp88,2 triliun melalui belanja pusat dan Rp33,7 triliun melalui transfer ke daerah. 2.Pemanfaatan dana masih cenderung kuratif: Sebelum era JKN (sebelum tahun 2014) Anggr. pemerintah terbanyak utk kuratif (RS & obat) dan Departemen Kesehatan tidak hanya mengurusi program2 kesehatan juga fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) tetapi juga mengurusi pembiayaan kesehatan (program2 JPSBK, Askeskin, Jamkesmas) Setelah tahun 2014 Kemenkes lebih terfokus pada program2 kesehatan yang lebih bersifat preventif dan promotif serta penyedia pelayanan kesehatan pemerintah (Rumah sakit pemerintah, puskesmas dll) dan regulasi (kebijakan) kesehatan. JKN (BPJS Kesehatan) bersifat kuratif da bersifat konsumtif tidak produktif karena terkait dengan orang sakit. Jumlah biaya yang dikelola BPJS Kesehatan untuk dibayarkan ke faskes makin besar , begitu juga defisit nya (iuran premi yang terkumpul tak dapat menutupi besarnya klaim biaya yang diajukan faskes yang kerjasama dengan BPJS Kes 3.Pemanfaatan dana blm efisien: Alokasi dana tak sesuai dgn.prioritas program yg berdampak thd peningkatan derajat kes. Kesalahan pemanfaatan nakes, pemanfaatan waktu kerja nakes yg tdk efisien krn nakes pem bekerja “paruh waktu” pd sarana swasta, nakes Puskesmas di Posyandu dll. Dengan terbitnya UU Praktek Kedokteran maka ada pembatasan seorang dokter bisa praktek di 3 tempat termasuk praktek pribadi. Faskes swasta (Rumah sakit) masih sangat tergantung pada dokter spesialis yang “home based” nya di RS pemerintah. 4.Pengelolaan dana belum sempurna: Manajemen keuangan sistem pencatatan - pelaporan serta perencanaan belum baik, dana hangus/ tidak terserap masih cukup besar. Pengetahuan/ketrampilan pengelola keuangan untuk kegiatan rutin dan program masih lemah, diatasi dengan pendidikan dan pelatihan Sikap mental pengelola yang tidak terpuji menyebabkan kebocoran dana yang tinggi (korupsi) 3. Distribusi pemanfaatan dana yg tidak merata: Terbentur masalah geografis dan penyebaran penduduk, faskes & SDM Kes terpusat di P.Jawa. Penduduk di perkotaan dan sosek menengah atas lebih menikmati yankes & mendapatkan subsidinya. Hal ini masih terjadi pada era JKN. Mereka lebih mudah akses ke faskes. Kendala geografi dan biaya transportasi masih belum teratasi sepenuhnya. 4. Kurang koordinasi dan integrasi: Terutama pada anggaran pemerintah krn berasal dari berbagai macam sumber aturan berbeda dan kaku. berpengaruh pada penyerapan anggaran, tidak sesuai dg prioritas, sebagian pelaksanaannya tdk sesuai dgn perencanaan. Anggaran kes utk non Kemenkes (misal kementerian PUPR, Kemensos,Kemenristek Dikti, Bappenas dsb belum terkoordinasi & terintegrasi dgn baik. Masing2 berjalan sendiri2, sesuai dengan program masing2. 5. Mobilisasi sumber dana: Potensi masy/ swasta sangat besar, diatur dengan sistem JKN (asuransi kesehatan), juga potensi lain pajak dan cukai rokok (cukai rokok setahun mencapai Rp.140 trilyun), dan bantuan dari para pilantropi yang bermurah hati menjadi donatur berbagai kegiatan termasuk pembangunan fasilitas dan program kes. Aturan ICW 1928 menyulitkan sarana kesehatan pemerintah. Pengenaan retribusi Puskesmas dan RS di beberapa daerah seringkali menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yg penting (PAD dari orang yang sakit ??) Walau banyak daerah mengumumkan kebijakan tarif Puskesmas gratis, yang gratis adalah bayar karcis /retribusi ke PAD, sementara tindakan pelayanan masih dipungut biaya (ditetapkan dengan Perda (peraturan Daerah) Pada sistem JKN, pelayanan puskesmas gratis karena Puskesmas (FKTP) sudah dibayar secara kapitasi oleh BPJS Kesehatan. Sementara pelayanan rumah sakit sebagian besar gratis kecuali naik kelas atau ada obar diluar formularium BPJS Kes, BPJS Kesehatan membayar faskes Rumah sakit secara Ina CBG (Indonesia Case based Grup) yaitu paket pembayaran biaya kepada faskes berdasarkan diagnosis penyakit pasien. 6. Inflasi biaya kesehatan : - Sekitar 12 % - 15% > inflasi umum (4% - 8%) per tahun - Penyebab inflasi biaya kesehatan: a. Inflasi biaya umum, b. Demand (pembelian ) masy tinggi karena jumlah penduduk besar c. Transisi epidemiologi d. Kemajuan Iptek kes/ kedokteran e. Pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit adalah bersifat padat karya (berbagai keahlian) & spesialisasi. f. Program pengendalian biaya blm berjalan, terutama di dalam fasilitas kesehatan. Dengan JKN maka faskes “dipaksa” untuk lebih efisien dalam menyelenggarakan pelayanan karena tarif Ina CBG seringkali tidak cukup untuk menutup biaya sesungguhnya yang dikeluarkan oleh RS terutama pada kasus penyakit dengan tindakan (operasi) atau penggunaan teknologi yang mahal. Beberapa upaya mengatasi masalah tsb: - Peningkatan jumlah anggaran kesehatan perjuangan sektor kesehatan utk mendapatkan alokasi anggaran kesehatan lebih tinggi advokasi kepada pemerintah. - Perbaikan penyebaran (distribusi), pemanfaatan dan pengelolaan dana penyempurnaan sistem pelayanan kesehatan ( peningkatan perhatian kepada upaya kes preventif promotif, peningktn sistem rujukan medis & kes - Peningkatan kemampuan dan ketrampilan manajemen keuangan bagi pengelola kesehatan. - Meningkatkan mekanisme pengawasan dan pengendalian penggunaan dana/ anggaran agar kebocoran anggaran (korupsi) berkurang. Pengendalian biaya kesehatan peraturan sertifikat kebutuhan fasilitas di sarana kesehatan, keharusan studi kelayakan/ proyek investasi kesehatan, pengembangan sarana/fasilitas secara terencana, penetapan standar baku pelayanan (prosedur pemeriksaan, perawatan dan obat-obatan) lewat penerapan program menjaga mutu pada semua institusi yankes. Pengaturan dan penyempurnaan peraturan tentang tarif pelayanan baik pelayanan pemerintah maupun swasta. Mengembangkan dan meningkatkan peran asuransi kesehatan nasional menjadi keharusan. Hal tersebut termasuk alasan mengapa sistem pembiayaan secara asuransi/ jaminan kesehatan harus diberlakukan. JKN dengan BPJS Kesehatan diharapkan dapat membuat sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yang dimaksud untuk peningkatan efisiensi pembiayaan kesehatan yaitu: Penerapan Standar Minimal Pelayanan. Tujuannya adalah menghindari pemborosan. Pada dasarnya ada duamacam standar minimal yang sering dipergunakan yakni: 1).Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit dan standar minimal laboratorium. 2). Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan perawatan penderita, dan daftar obat-obat esensial. Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan dapat dihindari, efisiensi juga dapat ditingkatkan dan sekaligus dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan. b.Mengembangkan Kerjasama. Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai sarana pelayanan kesehatan. Terdapat dua bentuk kerjasamayang dapat dilakukan yakni: 1). Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama membeli peralatan kedokteran yang mahal dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakai an bersama ini dapatdihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari penggunaan peralatan yang rendah.Dengan demikian efisiensi juga akan meningkat 2).Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni adanya hubungan kerjasama timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan lainnya. c. Penerapan konsep Penataan Terpadu (managed care) : Managed Care dikembangkan di USA yang dari dulu sampai sekarang sistem pembiayaan kesehatannya dimonopoli keberadaan asuransi swasta yang tentu saja “for profit” atau mencari laba/ keuntungan. Model ini dipelopori oleh dr. Garfield, seorang dokter perusahaan Kaiser Permanente di California dan kemudian berkembang di USA menjadi perusahaan2 asuransi kesehatan yang memakai cara-cara managed care (managed care organisation-MCO). Dr. Garfield mengembangkan model kendali biaya dan kendali mutu dengan menerapkan beberapa peraturan yang ketat kepada faskes yang bekerjasama dan kepada peserta. Peserta membayar iuran/ premi, peserta dikenai aturan cukup ketat antara lain : berobat tidak pada fasilitas jejaring maka harus membayar sendiri, peserta harus membayar sejumpah uang tertentu untuk mendapatkan layanan kesehatan (co-sharing atau co-payment) dll. Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dibayar denga model kapitasi, anggaran, perdiem (perhari) atau DRG (diagnostic relateg group), faskes harus melakukan Utilization Review, penatalaksanaan pasien dari awal masuk sampai keluar rawat inap, obat diluar formularium harus dibayar peserta dll. Sebagian aturan2 Managed care ini telah dilaksanakan oleh PT. Askes Indonesia, program JPKM dan BPJS Kesehatan. Managed Care memang terbukti berefek positif pada kendali biaya, tetapi untuk kualitas layanan sebagian pihak mempertanyakan. Yang jelas pihak faskes banyak mengeluhkan ketidakbebasan dan berada dibawah kendali badan asuransi. Dokter juga merasa terkekang otonominya karena harus banyak mengikuti standar dan aturan termasuk pemberian obat juga harus sesuai formularium yang diatur oleh perusahaan asuransi. TERIMA KASIH