Anda di halaman 1dari 37

SISTEM PEMBIAYAAN

KESEHATAN
(MAKRO)

Dr. Dra. Chriswardani Suryawati, MKes


FKM – MKM UNDIP
Biaya Kesehatan : dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga dan
masyarakat.
Ada dua sudut pandang:
1. Penyedia/produsen/ provider upaya kes
 Biaya kesehatan  untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan (paripurna).
 Penyedia: Pemerintah dan swastat.
 Besarnya dana :
 Biayainvestasi (Investment Cost)  pembelian
barang/ alat/sarana investasi (gedung, peralatan)
 Biayaoperasional (Operational Cost)  biaya
penyelenggaraan upaya kes (gaji, bahan2 habis pakai,
aneka rekening, obat)
 Penyedia upaya kesehatan berusaha untuk tidak rugi 
pendapatan total (Total Revenue) lebih besar atau sama
dengan biaya total (Total Cost)  pelayanan baik.
 Operasionalisasi upaya kesehatan  ketersediaan,
keterjangkauan, efisiensi dan efektivitas penggunaan dana .
 Ada kecenderungan meningkatnya pemakaian kaidah2 ekonomi
pada pengelolaan upaya kesehatan.

2. Konsumen/ pemakai upaya kes:


 Biaya kesehatan: besarnya dana yng hrs disediakan utk
memanfaatkan upaya kesehatan.
 Konsumen  individu, keluarga, kelompok
 Pemerintah turut mempersoalkan terjaminnya pemenuhan
kebutuhan kesehatan masyarakatnya  aspek keterjangkauan
, pemerataan dan keadilan bagi masyarakat.
 Sebagian besar biaya kesehatan dari konsumen/ pemakai
upaya kes berwujud out of pocket (tunai)
 Biaya yang out of pocket ini sulit dikendalikan 
meningkatkan inflasi biaya kesehatan.
 Sumber biaya kesehatan :
 Tidak sama, tergantung sistem politik negara.
 Total biaya kesehatan  penjumlahan dana yang
dikeluarkan oleh para pemakai upaya kesehatan (swasta &
masyarakat) dan penyelenggaraan upaya kes (swasta &
pem)
 Pada semua negara di dunia selalu ada peran pemerintah 
konsep welfare state.
 Sumber biaya kesehatan:
 Seluruhnya oleh anggaran pemerintah  tak ada
yankes swasta, gratis, biasanya di negara komunis
 Sebagian ditanggung masy/ swasta  ada peran masy &
swasta, negara menanggung biaya yankes/ program kes
dgn eksternalitas, dianut banyak negara (tergantung
pada besarnya peran swasta/masy atau pemerintah)
Macam biaya kesehatan:
1. Biaya pelayanan kedokteran :
 Lebih banyak untuk upaya kuratif dan
rehabilitatif.
 Jenis : tunai (fee for services) dan pembayaran
dimuka (prepaid / pra upaya) spt. Askes.
 Di Indonesia  umumnya bersifat tunai  sulit
dikontrol & membebani masy.miskin.
2. Biaya pelayanan kesmas:
 Banyak utk preventif & promotif (program2 kes)
 Biaya ini lebih dititikberatkan pada penyedia
upaya kes yang didominasi oleh pemerintah dalam
bentuk penyediaan anggaran kesehatan.
 Kepada konsumen seringkali tidak diterapkan
tarif, bahkan sebagian besar bersifat gratis.
- Mekanisme pembiayaan kesmas 
a.Sentralisasi : perencana & penentu
ad.pemerintah pusat, semua biaya
ditanggung oleh pemerintah pusat dan
disalurkan sec. berjenjang ke daerah.
b.Desentralisasi :
- Otonomi : Pemda diberi keleluasan/
kebebasan utk mengatur & bertgjwb
pd pemby.kes
- Semi otonomi: Pemda mempy. tgjwb
terbatas sesuai peraturan, pemrth
pusat masih banyak mengatur.
 Pokok utama dalam pembiayaan kesehatan adalah:
 1.Mengupayakan kecukupan/adekuasi
dan kesinambungan pembiayaan kesehatan pada tingkat pusat dan
daerah2.
 2.Mengupayakan pengurangan pembiayaan OP dan meniadakan
hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
terutama kelompok miskin dan rentan melalui
pengembangan jaminan
 3.Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan.
 Biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat
pokok yaitu:
 1.Jumlah
 Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah
yang cukup. Yang dimaksudcukup adalah dapat
membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan
yang dibutuhkan sertatidak menyulitkan masyarakat yang ingin
memanfaatkannya.
 2.Penyebaran
 Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika
dana yang tersedia
tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan pe
nyelenggaraan setiap upayakesehatan.
 3.Pemanfaatan
 Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaat
annya tidak mendapat pengaturan yang optimal, niscaya akan bany
ak menimbulkan masalah, yang jika berkelanjutanakan
menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
 Untuk dapat melaksanakan syarat – syarat pokok tersebut perlu dilakukan
beberapa hal, antara lain
 1.Peningkatan efektifitasnya
 a. Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau
alokasi penggunaan sumber dana agar tepat sasaran.
 b. Pengurangan pembiayaan Out Of Pocket (OOP) dan
meniadakan hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan terutama kelompokmiskin dan rentan (pengembangan asuransi
kesehatan sosial) yang dilakukanmelalui :-
promosi pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan dan utilisasipel
ayanan,-
pencapaian universal coverage dan penguatan jaminan kesehatanmasyar
akat miskin dan rentan
 c. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan
yang dilakukanmelalui :-
kesesuaian tujuan kesehatan nasional dengan reformasi pembiayaan yan
gditerjemahkan dalam instrument anggaran operasional dan
rencanapembiayaan,-
penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan pemberipel
ayanan kesehatan (providers),- pengembangan best practices
 Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2
sistem yaitu:
1.Fee for Service ( Out of Pocket )
 Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran
berdasarkan layanan,
Pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar langsung
kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK).PPK (dokter atau rumh saki
t) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang
diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula
pendapatan yang diterima.
 Kelemahan sistem Fee for Service
adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan
 (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship , dimana
PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk
pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-
kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang
ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan
didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. secara tidak langsun
g PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada
pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.
2.Health Insurance (Asuransi/ Jaminan Kesehatan) :
 Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak asuransi (bisa pemerintah atau swasta) setelah pencari layanan
kesehatan berobat.
 Sistem health insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system
Diagnose Related Group (DRG system).
 Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan
kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per
peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan
per periode waktu. Pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga
asuransi kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan
pembayaran dimuka sejumlah dana sebesar perkalian anggota (kapita)
dengan satuan biaya (unit cost) tertentu.
 Pemerintah Indonesia telah berpengalaman beberapa kali menerapkan
model ini :
 1. Askes untuk PNS/ Pensiunan/ pejuang/ TNI dan Polisi : PT. Askes
Indonesia (persero) yang kemudian pada tahun 2014 direformasi
menjadi BPJS Kes2hatan
 2. Askes (jaminan kesehatan) untuk pegawai (formal) swasta
yang bersama dengan jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kematian, jaminan hari tua dikelola oleh PT. Jamsostek
(persero) yang pada tahun 2015 direformasi menjadi BPJS
Ketenagakerjaan. Sementara itu jenis Jaminan kesatannya
diserahkan BPJS Kesehatan.
 3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang
berupa u=nit swasta yang difasilitasi oleh Departemen
Kesehatan untuk menyelenggrakan jaminan kesehatan bagi
masyarakt dengan sendi2 “managed care” yaitu kendali biaya
dan kendali mutu layanan. Model ini diadopsi dari model HMO
(Health Maintenance Organization) di USA. JPKM dilaksanakan
mulai pertengahan tahun 80an sampai sekitar tahun 2000 dan
gagal (tidak berkembang).
 4. Bantuan sosial untuk orang miskin yang dimulai secara
terprogram dan berkelanjutan sejak terjadinya krisis ekonomi
yang melanda Indonesia pada tahun 1997 sampai 2000.

Krisis Ekonomi ini mengakibatkan meningkatnya pengangguran,
jumlah penduduk miskin, masalah kesehatan dan gizi yang serius,
krisis multidimensi termasuk sosial politik karena ketidaktercayaan
pada Orde Baru (Presiden Soeharto) yang kemudian turun dari jabatan
presiden [ada bulan Mei 1998.
1. Program JPS BK (Jaring Perlindungan Sosial bidang Kesehatan)
diluncurkan pada tahun 1998 sampai 2001 dengan dana pinjaman ADB
(Asian Development Bank).
JPSBK tidak hanya untuk membantu pembiayaan pengobatan
keluarga miskin, tetapi juga program KIA, GIZi dan program preventif
promotif lainnya juga dicakup.
2. PKPS BBM (Program Kompensasi Pemberian Subsidi Bahan Bakar
Minyak) dilaksanakan untuk melanjutkan program sejenis JPSBK
dengan dana dari APBN serta dilakukan beberapa penyempurnaan
hasil dari evaluasi JPSBK. PKPS BBM berlangsung dari tahun 2001
sampai 2004.
 3. Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Msikin) berlangsung
dari tahun 2005 sampai 2007 dibawah peerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono. Program Askeskin ini Departemen Kesehatan
bekerjasama dengan PT. Askes Indonesia untuk mengelola biaya
kesehatan (kuratif) untuk masyarakat miskin. Fokus pada kuratif.
 4.Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program
kelanjutan Askeskin dengan perbaikan berdasar hasil evaluasi
Askeskin. Jamkesmas dikelola oleh Kementerian Kesehatan dan
berlangsung dari tahun 2008 sampai 2013. Fokus Jamkesmas pada
kuratif (pengobatan) tetapi masih dimungkinkan untuk membiaya
upaya preventif dan promotif).
 5.Jampersal (Jaminan persalinan) dilaksanakan hampir bersamaan
dengan Jamkesmas. Program ini dilakukan untuk menurunkan AKI
dan AKB yang masih tinggi. Fokur pada jaminan biaya untuk
persalinan keluarga miskin. Bidan desa, Puskesmas dan Rumah
Sakit terhubung dalam jejaring pelayanan Jampersal.
 6. Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) : Jamkesda berkembang
karena masih cukup banyknya warga miskin yang tidak tercakup
Jamkesmas sementara daerah (kabupaten/kota dan propinsi
mempunyai dana dan berkomitmen menyantuni warganya).
Anggaran Jamkesda berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah). Masing-masing daerah mempunyai model
pengelolaan dan peraturan yang berbeda. Banyak daerah yang
kemudian terbebani dengan melonjaknya biaya kesehatan
masyarakat miskin tersebut. Fokus Jamkesmas pada kuratif.
Jamkesda berkembang sekitar tahun 2008 sampai dengan era JKN.
Tahun 2018 merupakan tahun final kehidupan jamkesda karena
mereka harus integrasi kedalam JKN dan dana APBD untuk
Jamkesda dikelola oleh BPJS Kesehatan.
 7. JKN dengan peserta PBI (penerima bantuan iuran)  khusus topik
JKN akan diuraikan pada pokok bahasan selanjutnya.
 Asuransi kesehatan swasta membayar biaya pelayanan kesehatan
pesertanya secara reimbursement (sesuai jumlah biaya yang diajukan
faskes), tetapi pada saat peserta masuk rumah sakit harus tetap
membawa uang karena pengajuan penggantian biaya kepada
perusahaan asuransi baru diperoleh beberapa hari kemudian (bisa
beberapa minggu).
Asuransi Kesehatan swasta mulai beroperasi di Indonesia sekitar tahun
tujuhpuluhan. Premi/ iuran Askes swasta ini biasanya mahal,
mencakup masyakarat sosial ekonomi menengah keatas. Askes swasta
ini dapat berupa produk sampingan dari asuransi jiwa atau asuransi
kerugian, dikelola oleh badan asuaransi asli dalam negeri atau cabang
dari perusahaan asuransi di luar negeri. Dalam perkembangannya
perbankan juga menawarkan produk jaminan rawat inap dan
sejenisnya. Fokus asuransi ini pada kuratif.
Sekarang juga berkembang asuransi kesehatan swasta yang
menerapkan kendali biaya seperti yang dikembangkan oleh sistem
“manager care”.
 Sementara itu di masyarakat juga tumbuh model Dana
Sehat yang diidentifikasi sejak tahun 1950an kelompok
gotong royong di pedesaan tumbuh menjadi embrio
Dana Sehat. Warga iuran dengan uang atau hasil bumi,
dikelola oleh PKK untuk menyantuni warga yang sakit,
bersalin atau kena musibah lainnya.
Sampai sekarang model Dana Sehat ini masih
berkembang terutama di masyarakat pedesaan sesuai
dengan perilaku gotong royong bangsa Indonesia.
Kemenkes pernah mengembangkan dan membina
Dana Sehat dan dikelompokkan menjadi Dana Sehat
Pratama, Madya dan Purnama.
BAGAIMANA DI INDONESIA ?.
1. Pada era Orde Baru (1968 – 1998)
 Berdasarkan UU no 5 tahun 1974 tentang Pokok-
pokok pemerintah Daerah menganut tiga asas:
 Asas Desentralisasi  pembiayaan sepenuhnya
menjadi tanggungjawab Pemda, contoh : Balai
Pengobatan, KIA dan UKS.
 Asas Dekonsentrasi  karena adanya keterbatasan
kemampuan Pemda maka beberapa pelayanan
kesmas menjadi tanggungjawab pemerintah pusat,
contoh: Rumah Sakit Tipe A.
 Asas perbantuan  adanya keterbatasan kemampuan
Pemda maka pemerintah pusat memberi bantuan,
contoh : program P2M.
Sumber anggaran pemerintah (Orde Baru)
 Pemerintah pusat :
 APBN pembangunan – DIP.
 APBN rutin – DIK.
 Inpres.
 SBBO (Subsidi Bantuan Biaya Operasional).
 Dana bersumber departemen lain  Dephankam,
Depdiknas, Depag, Dep.transmigrasi, Dep.PU,
Depdagri, Depsos, Depnaker (Jamsostek).
 Dana bersumber dari BUMN Depkes  Kimia Farma, Bio
Farma, Indo Farma, Askes.
 Dana dari APBD tk I  pelengkap anggaran pusat 
anggaran pembgn & rutin (subsidi gaji pegawai)
 Dana dari APBD tk.II  anggaran pembangunan dan
rutin  pelengkap anggaran pusat dan Dati I.
 Sumber anggaran pemerintah (Orde Reformasi 1998 sampai
sekarang)
 Dapat dibaca pada ppt Desentralisasi Kearah Otonomi Daerah
 Sumber anggaran pemerintah pusat dan daerah (Propinsi dan
kabupaten/ kota)
 Anggaran kesehatan Indonesia tidak hanya berasal dari anggaran
di Kementerian Kesehatan tetapi juga kementerian / lembaga
lain yang terkait dengan kesehatan misal : Kementerian PU PR,
Kemensos, BKKBN, BAPPENAS dll.
Penggunaan anggaran pemerintah utk kesehatan:
a. Upaya kesehatan Puskesmas  program2
Puskesmas  sebag. Besar preventif & promotif.
b. Anggaran rumah sakit  mendukung operasional RS
pemerintah, hampir semua utk kuratif .
c. Pendidikan & pelatihan nakes (khususnya teknis) &
utk pembgn gedung diklat.
c. Penelitian dan pengembangan kesehatan  untuk
biaya penelitian / riset kesehatan dan kedokteran.
d. Administrasi dan pemantapan manajemen  dari
pusat sampai daerah & pembinaan aparatur neg.
e. Unit kesehatan lain  untuk anggaran POM
(Pengawasan Obat & Makanan), laboratorium serta
kesehatan gigi.
Sumber pembiayaan dari masy/ swasta:
 Out of pocket ke sarana yankes dan pembelian obat
dan pendidikan  terbesar
 Pengeluaran perush swasta utk kes. karyawan 
reimbursement , poliklinik perusahaan atau
Jamsostek.
 Pengeluaran kpd Fasilitas pelayan kesehatan oleh
askes pemerintah dan swasta

Dengan terbitnya UU no.40 tahun 2004 tentng Sistem


Jaminan Sosial Nasional dan UU no.24 tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka
pemerintah mereformasi sistem pembiayaan kesehatan
dari dominasi out of pocket menjadi pra upaya (sistem
asuransi kesehatan)
MASALAH PEMBIAYAAN KES INDONESIA:
1.Keterbatasan jumlah dana :
 Jumlah dana baik (pemerintah & masy/ swasta) masih
terbatas  kesadaran pembuat kebijakan (berbagai level)
akan pentingnya sektor kesehatan masih rendah  sektor
kes dianggap sektor konsumtif bukan produktif.
 Potensi masy/ swasta cukup besar (65%), sementara dana
kesehatan dari pemerintah sekitar 35% (tahun 2015)
 Pada tahun 2018 anggaran pemerintah untuk Kementerian
Kesehatan sekitar 7% dari APBN
 Belanja pemerintah dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sebesar
Rp 2.204,3 triliun. Terbagi atas belanja pemerintah
pusat Rp 1.443,2 triliun dan transfer ke daerah dan
dana desa sebesar Rp 761 triliun.
10 Kementerian dengan anggaran terbesar tahun 2018:
 Kementerian PUPR Rp 106,9 triliun
 Kementerian Pertahan Rp 105,7 triliun
 Kementerian Agama Rp 62,2 triliun
 Kementerian Kesehatan Rp 59,1 triliun (sekitar 37% dari
belanja pemerintah )
 Kementerian Perhubungan Rp 48,2 triliun
 Kementerian Keuangan Rp 45,7 triliun
 Kementerian Ristek Dikti Rp 41,3 triliun
 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 40,1 triliun
 Kementerian Sosial Rp 34 triliun
 Kementerian Pertanian Rp 23,8 triliun
Pada tahun 2019 pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan
senilai Rp121,9 triliun (naik 200% dari tahun 2018), yang terdiri dari
Rp88,2 triliun melalui belanja pusat dan Rp33,7 triliun melalui
transfer ke daerah.
2.Pemanfaatan dana masih cenderung kuratif:
 Sebelum era JKN (sebelum tahun 2014) Anggr. pemerintah
terbanyak utk kuratif (RS & obat) dan Departemen
Kesehatan tidak hanya mengurusi program2 kesehatan juga
fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) tetapi juga
mengurusi pembiayaan kesehatan (program2 JPSBK,
Askeskin, Jamkesmas)
 Setelah tahun 2014 Kemenkes lebih terfokus pada program2
kesehatan yang lebih bersifat preventif dan promotif serta
penyedia pelayanan kesehatan pemerintah (Rumah sakit
pemerintah, puskesmas dll) dan regulasi (kebijakan)
kesehatan.
 JKN (BPJS Kesehatan) bersifat kuratif da bersifat konsumtif
tidak produktif karena terkait dengan orang sakit. Jumlah
biaya yang dikelola BPJS Kesehatan untuk dibayarkan ke
faskes makin besar , begitu juga defisit nya (iuran premi
yang terkumpul tak dapat menutupi besarnya klaim biaya
yang diajukan faskes yang kerjasama dengan BPJS Kes
3.Pemanfaatan dana blm efisien:
 Alokasi dana tak sesuai dgn.prioritas program yg berdampak thd
peningkatan derajat kes.
 Kesalahan pemanfaatan nakes, pemanfaatan waktu kerja nakes
yg tdk efisien krn nakes pem bekerja “paruh waktu” pd sarana
swasta, nakes Puskesmas di Posyandu dll. Dengan terbitnya UU
Praktek Kedokteran maka ada pembatasan seorang dokter bisa
praktek di 3 tempat termasuk praktek pribadi. Faskes swasta
(Rumah sakit) masih sangat tergantung pada dokter spesialis
yang “home based” nya di RS pemerintah.
4.Pengelolaan dana belum sempurna:
 Manajemen keuangan  sistem pencatatan - pelaporan serta
perencanaan belum baik, dana hangus/ tidak terserap masih
cukup besar.
 Pengetahuan/ketrampilan pengelola keuangan untuk kegiatan
rutin dan program masih lemah, diatasi dengan pendidikan dan
pelatihan
 Sikap mental pengelola yang tidak terpuji  menyebabkan
kebocoran dana yang tinggi (korupsi)
3. Distribusi pemanfaatan dana yg tidak merata:
 Terbentur masalah geografis dan penyebaran
penduduk, faskes & SDM Kes terpusat di P.Jawa.
 Penduduk di perkotaan dan sosek menengah atas
lebih menikmati yankes & mendapatkan subsidinya.
Hal ini masih terjadi pada era JKN. Mereka lebih
mudah akses ke faskes. Kendala geografi dan biaya
transportasi masih belum teratasi sepenuhnya.
4. Kurang koordinasi dan integrasi:
 Terutama pada anggaran pemerintah krn berasal
dari berbagai macam sumber  aturan berbeda dan
kaku.  berpengaruh pada penyerapan anggaran,
tidak sesuai dg prioritas, sebagian pelaksanaannya
tdk sesuai dgn perencanaan.
 Anggaran kes utk non Kemenkes (misal kementerian
PUPR, Kemensos,Kemenristek Dikti, Bappenas dsb
belum terkoordinasi & terintegrasi dgn baik.
Masing2 berjalan sendiri2, sesuai dengan program
masing2.
5. Mobilisasi sumber dana:
 Potensi masy/ swasta sangat besar, diatur dengan sistem JKN
(asuransi kesehatan), juga potensi lain pajak dan cukai rokok
(cukai rokok setahun mencapai Rp.140 trilyun), dan bantuan dari
para pilantropi yang bermurah hati menjadi donatur berbagai
kegiatan termasuk pembangunan fasilitas dan program kes.
 Aturan ICW 1928 menyulitkan sarana kesehatan pemerintah.
Pengenaan retribusi Puskesmas dan RS di beberapa daerah
seringkali menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yg penting (PAD
dari orang yang sakit ??)
 Walau banyak daerah mengumumkan kebijakan tarif
Puskesmas gratis, yang gratis adalah bayar karcis /retribusi ke
PAD, sementara tindakan pelayanan masih dipungut biaya
(ditetapkan dengan Perda (peraturan Daerah)
 Pada sistem JKN, pelayanan puskesmas gratis karena
Puskesmas (FKTP) sudah dibayar secara kapitasi oleh BPJS
Kesehatan. Sementara pelayanan rumah sakit sebagian besar
gratis kecuali naik kelas atau ada obar diluar formularium
BPJS Kes, BPJS Kesehatan membayar faskes Rumah sakit
secara Ina CBG (Indonesia Case based Grup) yaitu paket
pembayaran biaya kepada faskes berdasarkan diagnosis
penyakit pasien.
6. Inflasi biaya kesehatan :
- Sekitar 12 % - 15% > inflasi umum (4% - 8%) per tahun
- Penyebab inflasi biaya kesehatan:
a. Inflasi biaya umum,
b. Demand (pembelian ) masy tinggi karena jumlah penduduk
besar
c. Transisi epidemiologi
d. Kemajuan Iptek kes/ kedokteran
e. Pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit adalah bersifat
padat karya (berbagai keahlian) & spesialisasi.
f. Program pengendalian biaya blm berjalan, terutama di dalam
fasilitas kesehatan. Dengan JKN maka faskes “dipaksa” untuk
lebih efisien dalam menyelenggarakan pelayanan karena tarif
Ina CBG seringkali tidak cukup untuk menutup biaya
sesungguhnya yang dikeluarkan oleh RS terutama pada kasus
penyakit dengan tindakan (operasi) atau penggunaan
teknologi yang mahal.
Beberapa upaya mengatasi masalah tsb:
- Peningkatan jumlah anggaran kesehatan  perjuangan
sektor kesehatan utk mendapatkan alokasi anggaran
kesehatan lebih tinggi  advokasi kepada pemerintah.
- Perbaikan penyebaran (distribusi), pemanfaatan dan
pengelolaan dana  penyempurnaan sistem pelayanan
kesehatan ( peningkatan perhatian kepada upaya kes
preventif promotif, peningktn sistem rujukan medis & kes
- Peningkatan kemampuan dan ketrampilan manajemen
keuangan bagi pengelola kesehatan.
- Meningkatkan mekanisme pengawasan dan pengendalian
penggunaan dana/ anggaran agar kebocoran anggaran
(korupsi) berkurang.
 Pengendalian biaya kesehatan  peraturan sertifikat
kebutuhan fasilitas di sarana kesehatan, keharusan
studi kelayakan/ proyek investasi kesehatan,
pengembangan sarana/fasilitas secara terencana,
penetapan standar baku pelayanan (prosedur
pemeriksaan, perawatan dan obat-obatan) lewat
penerapan program menjaga mutu pada semua
institusi yankes.
 Pengaturan dan penyempurnaan peraturan tentang
tarif pelayanan baik pelayanan pemerintah maupun
swasta.
 Mengembangkan dan meningkatkan peran asuransi
kesehatan nasional menjadi keharusan. Hal tersebut
termasuk alasan mengapa sistem pembiayaan secara
asuransi/ jaminan kesehatan harus diberlakukan. JKN
dengan BPJS Kesehatan diharapkan dapat membuat
sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia menjadi
lebih baik.
 Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai
mekanisme pengawasan dan pengendalian.
Mekanisme yang dimaksud untuk peningkatan efisiensi pembiayaan
kesehatan yaitu:
 Penerapan Standar Minimal Pelayanan.
 Tujuannya adalah menghindari pemborosan. Pada dasarnya ada
duamacam standar minimal yang sering dipergunakan yakni:
 1).Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit
dan standar minimal laboratorium.
 2). Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan
perawatan penderita, dan daftar obat-obat esensial.
 Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja
pemborosan dapat dihindari, efisiensi juga dapat ditingkatkan dan
sekaligus dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai
mutu pelayanan.
b.Mengembangkan Kerjasama.
 Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi
ialah memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai sarana
pelayanan kesehatan.
 Terdapat dua bentuk kerjasamayang dapat dilakukan yakni:
 1). Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama
membeli peralatan kedokteran yang
mahal dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakai
an bersama ini dapatdihematkan dana yang tersedia serta dapat
pula dihindari penggunaan peralatan yang rendah.Dengan
demikian efisiensi juga akan meningkat
 2).Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni
adanya hubungan kerjasama timbal balik antara satu sarana
kesehatan dengan sarana kesehatan lainnya.
c. Penerapan konsep Penataan Terpadu (managed care) :
Managed Care dikembangkan di USA yang dari dulu sampai
sekarang sistem pembiayaan kesehatannya dimonopoli
keberadaan asuransi swasta yang tentu saja “for profit” atau
mencari laba/ keuntungan.
Model ini dipelopori oleh dr. Garfield, seorang dokter
perusahaan Kaiser Permanente di California dan kemudian
berkembang di USA menjadi perusahaan2 asuransi kesehatan
yang memakai cara-cara managed care (managed care
organisation-MCO).
Dr. Garfield mengembangkan model kendali biaya dan
kendali mutu dengan menerapkan beberapa peraturan yang
ketat kepada faskes yang bekerjasama dan kepada peserta.
Peserta membayar iuran/ premi, peserta dikenai aturan cukup
ketat antara lain : berobat tidak pada fasilitas jejaring maka harus
membayar sendiri, peserta harus membayar sejumpah uang
tertentu untuk mendapatkan layanan kesehatan (co-sharing atau
co-payment) dll.
Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dibayar denga model
kapitasi, anggaran, perdiem (perhari) atau DRG (diagnostic relateg
group), faskes harus melakukan Utilization Review,
penatalaksanaan pasien dari awal masuk sampai keluar rawat inap,
obat diluar formularium harus dibayar peserta dll.
Sebagian aturan2 Managed care ini telah dilaksanakan oleh PT.
Askes Indonesia, program JPKM dan BPJS Kesehatan.
Managed Care memang terbukti berefek positif pada kendali
biaya, tetapi untuk kualitas layanan sebagian pihak
mempertanyakan. Yang jelas pihak faskes banyak mengeluhkan
ketidakbebasan dan berada dibawah kendali badan asuransi.
Dokter juga merasa terkekang otonominya karena harus banyak
mengikuti standar dan aturan termasuk pemberian obat juga harus
sesuai formularium yang diatur oleh perusahaan asuransi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai