Anda di halaman 1dari 1

***Pada masa Tarwiyahnya, Ibrahim merenungkan mimpinya yang entah benar atau salah.

Yang lantas diperjelas dalam Arafahnya


lalu di ambillah keputusan dengan mengorbankan buah cintanya. Entah bagaimana campur aduknya perasaan Ibrahim. Isyarat yang
mampir membuatnya hampir tak habis pikir.

Mungkin jika isyarat itu mampir padaku, aku akan berdalih dengan seribu logika, bagaimana caranya agar “keberuntungan” itu tetap
ku genggam. Meskipun berulang kali kita dengar, dalam sabda-sabda suci yang ditebar di masjid-masjid dan surau-surau kecil,
mengorbankan berarti menyadari apapun yang (sepertinya) kita miliki, akan kembali pada pemilik abadi.

Kenyataannya, saat momen penjemputan menghampiri, kita bersih keras, seolah kita punya otoritas pada apa saja yang mampir
pada diri, lalu kita melawan sepenuh-penuhnya seperti kita punya hak mutlak atasnya. Jika Ibrahim saja berserah, kapan kita
mengalah? (self-reminder)***

@OmahLiterasiAl-Amin

Anda mungkin juga menyukai