Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di indonesia yang


disebabkanoleh infeksi sistemik salmonella typhi. Prevalens 91% kasus demam
tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan
penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi, 96% kasus demam tifoid
disebabkan salmonella typhi sisanya disebabkan salmonella paratyphi.

Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung


kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga
mencapai folikel limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman ikut aliran limfe
mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakterial primer) mencapai jaringan
RES(hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakterimia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain
(intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelia
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s pathc.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid


dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah
sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan
oleh spesies Salmonella entereditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada
demam tifoid maupun demam paratifoid.

B. Epidemiologi

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17


juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 kasus. Insiden di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka
kematian > 20.000 dan 77% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun. Menurut data
Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2008, demam tifoid
menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua umur. Pada tahun
2009 kasus demam tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka
kematian 1.013 kasus.
Demam Tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Menurut surveilans Departemen Kesehatan
RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan
pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.
Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan

2
1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari
19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Menurut data Bulletin
Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen Kesehatan, insiden demam tifod di
Bali pada minggu ke 51 pada tahun 2009 mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).

C. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagellar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
berbentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotik.

3
Gambar 2.1. Bakteri Sakmonella typhi

mempunyai 3 macam antigen, yaitu :


1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau


pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein
dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.

D. Patogenesis

1. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks:


a. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch.
b. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, nodus limfatikus mesentrikus, dan organ-organ ekstra
intestinal sistem retikuloendotilial.
c. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

4
d. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.
2. Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh:
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke
dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana
asam (pH<2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti
aklorhidrida, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin
H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan
mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus
halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel
limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan
ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati
dan limpa.salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe.
Setelah melalui periode inkubasi yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka Salmonella
typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari
darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat meninvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui
feses.
3. Peran endotoksin:
Perannya tidak jelas, hal ini terbukti dengan tidak terdeteksinya
endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga

5
endotoksin darin Slamonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik.
4. Respon imunologik
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular
baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi
bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan
maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti.
Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah
limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier
memperlihatkan gangguan reaktivitas selular terhadap antigen Salmonella
typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil
virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam feses,tanpa
memasuki epitel pejamu.

E. Manifestasi klinis

Pada anak periode antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu
step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua
pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam
hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis
sampai koma.

6
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan.
Pada kasus dengan klinis yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/
sakit berat.bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan
syok dan hipovolemik sebagai akibat kurangnya masukan cairan dan makanan.
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid pasien dapat mengeluh diare,
obstipasi, atau obstipasi yang disusul episode diare, meteorismus banyak
dijumpai, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah,
sedangkan di tepi dan ujungnya kemerahan (hiperemi). Kadang-kadang dijumpai
hepatomegali dan splenomegali.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan


ukuran 1—5 mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid, bradikardi relatif jarang dijumpai
pada anak.

F. Diagnosis

a. Tanda dan gejala

Keluhan dan Tanda Klinis Gambaran klinis demam tifoid pada anak
umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1 tahun lebih sulit diduga karena
seringkali tidak khas dan sangat bervariasi. Masa inkubasi demam tifoid
berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.Kemudian
menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.

Gejala Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada


awal penyakit. Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan
suhu tidak terlalu tinggi. Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap
menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam
hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi. Dalam minggu kedua

7
penderita akan terus menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara
tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada minggu
keempat.1 Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak
beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan
diare. Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare.

Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian


sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk,
lemah dan tidak nafsu makan.

Tanda Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid
antara lain adalah pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri
perabaan, antara lain hepatomegali dan splenomegali. Penelitian yang
dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada hepar
berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain
yang menyebutkan dari mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus
kosta. Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda klinis yang biasa
ditemukan tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena
emboli dalam kapiler kulit. Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif
bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun.

b. Pemeriksaan penunjang:

1) Darah tepi
Anemia normokromi mikrositik terjadi sebagai akibat pendarahan
usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun
jarang dibawah 3.000/µl3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah
leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/µl3.

8
Trombositopenia sering dijumpai, kadang- kadang berlangsung
beberapa minggu.
2) Pemeriksaan serologi
a) Uji Widal
Suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah
tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin
O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin
tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada waktu paling sedikit 5
hari. Peningkatan titer agglutinin empat kali lipat selama 1
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
(a) Titer O yang tinggi ( >1/200) menunjukkan adanya infeksi
akut
(b) Titer H menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
(c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita


a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

9
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita
mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai
puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.

d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid
tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada
penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer
aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau
2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik.
f. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella
sebelumnya

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif,


walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik
demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-
orang yang sehat.

2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi
aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan

10
reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu
spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat
ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji
widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.
3) Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)

1. Pemeriksaan biakan salmonella

 Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan


penyakit.

 Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-


4.

4) Pemeriksaan radiologik
Foto toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia, foto
abdomen apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau pendarahan saluran cerna. Pada perforasi usus
tampak :
 distribusi udara tak merata
 airfluid level
 bayangan radiolusen di daerah hepar
 udara bebas pada abdomen
d. Kriteria diagnosis
Berikut ini kriteria diagnosis Demam Tifoid :

1. Gambaran klinis demam tifoid tanpa uji Widal, didiagnosis dengan


possible demam tifoid.
2. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal titer
O dan H 1/160 pada 1 kali pemeriksaan, didiagnosis dengan
probable demam tifoid.

11
3. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji
Widal >4 kali lipat setelah satu minggu, memastikan diagnosis atau
definitif demam tifoid.
4. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal
tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640, memastikan
diagnosis atau definitif demam tifoid.
5. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
G. Diagnosis banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang


secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu inffluenza,
gastroenteritis, bronkitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu
dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma, dan
penyakit Hodkin dapat sebagai diagnosis banding.

H. Tatalaksana

1. Istirahat dan Perawatan


Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar
akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan peenyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang
akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin
menurun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

12
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Pemberian Antibiotika
Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam
tifoid, karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi
berhubungan dengan keadaan bakterimia. Pemberian terapi
antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan
angka kematian, memperpendek perjalan penyakit serta
memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi penurunan
demam. Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan
drug induce fever, yaitu demam yang timbul bersamaan dengan
pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab
demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma
dan lain lain. Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang
digunakan tersebut dihentikan. Kloramfenikol masih merupakan
pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan
apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat
tersebut. Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini
sudah menemukan strain Salmonella Typhi yang sensitivitasnya
berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain seperti
seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim dapat
digunakan sebagai pilihan terapi demam tifoid.

13
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi
demam tifoid yang bersifat bakteriostatik namun pada
konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap kuman-
kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat digunakan untuk
terapi bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol
terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat sintesa
bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses
sintesis protein kuman. Sedangkan mekanisme resistensi
antibiotik ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai faktor-R.Masa paruh eliminasinya
pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam.Dosis
untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh
kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu turun.Sedangkan
dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.
b. Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam
tifoid dimana bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap
berbagai obat. Antibiotik ini memiliki sifat bakterisid dan
memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik betalaktam
lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang
dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena untuk anak 50-
100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50 mg/kg/jam.
c. Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat
pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis
dinding sel mikroba. Pada mikroba yang sensitif, ampisilin akan
menghasilkan efek bakterisid. Dosis ampisilin tergantung dari
beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien. Untuk anak

14
dengan berat badan <20 kg diberikan per oral 50-100
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari dalam
4 dosis .Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis, sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
d. Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara
trimetoprim dan sulfametoksasol, dimana kombinasi ini
memberikan efek sinergis. Trimetoprim dan sulfametoksasol
menghambat reaksi enzimatik obligat pada
mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P
Amino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat,
sedangkan trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat
reduktase mikroba secara selektif. Frekuensi terjadinya
resistensi terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-
masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu
komponen antibiotik masih peka terhadap komponen lainnya.
Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan
dalam 2 dosis.
e. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap
berbagai kuman gram positif maupun gram negatif
aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik betalaktam, di mana
memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
mikroba.Mekanisme penghambatannya melalui reaksi
transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding
sel.Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 –
200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk neonatus 100
mg/kg/h dalam 2 dosis.

15
I. Komplikasi

Pada intraintestinal dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3% atau pendarahan


saluran cerna yang ditandai dengan suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri
tekan, bising usus menurun sampai menghilang, defance musculaire, dan pekak
hati menghilang.

Pada ekstraintestinal yaitu tifoid encefalopati, hepatitis tifosa, meningitis,


pneumonia, syok septik, plenonefritis, endokardius, osteomiltis.

J. Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka


setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi
setinggi 570C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas
suatu negara / daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene
pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menentukan angka kejadian demam
tifoid.

K. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%,biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastroentestinal atau
pendarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

16
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. Ser
typhi ≥3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi
karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun
karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.

17
Daftar Pustaka

Acharya G, Revoisier C, Butler T, Ho M, Tiwari M, Klaus SK, dkk.


Pharmacokinetics of ceftriaxone. Antimikcrob Agents Chemother 2011.

Anonymous. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. 2009. .

Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.


Geneva. 2014.

Brooks G, Butel J, Morse S. Mikrobiologi kedokteran. 23th ed. Jakarta : EGC.


2013

Dahlan A, Aminullah A. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid II. 11 th ed.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2017.

J Vandepitte. Prosedur Laboratorium Dasar untuk Bakteriologi Klinis. Edisi


kedua. Jakarta : EGC. 2010.

Mangunatmadja I, Munasir Z, Gatot D. Pediatrics update. Jakarta : Ikatan Dokter


Anak Indonesia. 2013.

Merdjani A, Syoeib A, dkk. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi kedua.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2016.

Patankar N, Shah I. Age related clinical and laboratory manifestations of enteric


fever in children. JK Science. 2009. Volume 11.

Prasetyaningtyas T, Huda N, Puspitasari D, Husada D, Darmowandowo W,


Soegijanto S, Basuki P, Ismoedijanto. Antimicrobial sensitivity features of
S.Typhi and the clinical improvement. Paediatrica Indonesiana. 2010.
Volume 50.

Rohim A, Saharso D. Ilmu penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta :


Salemba Medika. 2012.

18
Sidabutar S, Satari H. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak :
kloramfenikol atau seftriakson. Sari Pediatri. 2010. Volume 11.

Syarif A, Bahry B, Ganiswarna V, Utama H. Farmakologi dan terapi. 5 th ed.


Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2013.

TS Raghu, L Krishnamurty, PK Menon, Singh D, DG Jayaprakash. Clinical


profile and therapy in enteric fever. Indian Pediatrics. 1994. Volume 31.

19

Anda mungkin juga menyukai