Bab214121120011 PDF
Bab214121120011 PDF
BAB II
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM SECARA UMUM
Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi
kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak. Adapun tujuan
pendidikan Islam menurut Arifin (2014: 54) yakni penggambaran nilai-nilai
islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia didik pada akhir dari
proses tersebut.
Dengan istilah lain, tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-
nilai islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik
muslim melalui proses yang tercermin pada hasil yang berkepribadian Islam
yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup
mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.
Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal tersebut memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
a. Mengandung prinsip universal (syumuliyah) antara aspek kaidah, bidah,
akhlak, dan muamalah; Keseimbangan dan kesederahanaan (tawazul dan
iqtisyadiyah) antara aspek pribadi, komunitas, dan kebudayaan;
Kejelasan (tabayyun), terhadap aspek kejiwaan manusia (qalb, akal dan
hawa nafsu) dan hukum setiap masalah; Kesesuain atau tidak
bertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya; Realisme
dan dapat dilaksanakan, tidak berlebih-lebihan, praktis, realistik, sesuai
dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik dan sosiokultural
yang ada; Sesuai dengan perubahan yang diinginkan, baik pada aspek
rohaniah dan nafsaniyah, serta perubahan kondisi psikologi, sosiologi,
pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik
untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan; Menjaga
perbedaan individu, serta prinsip dinamis dalam menerima perubahan
dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta lingkungan
dimana pendidikan itu dilaksanakan.
b. Mengandung keinginan untuk mewujudkan manusia yang sempurna
(insan kamil) yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu
menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi
(Abuddin Nata, 2012: 63).
23
3) Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu
beribadah kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
Dijelaskan lebih lanjut oleh Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin
Nata (2008: 265) bahwa pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan
memperhambakan diri kepada Allah sebagai tujuan pendidikan dan telah
disepakati pula oleh umumnya para pakar dalam pendidikan Islam.
Muhammad Natsir mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah tujuan
hidup manusia. Memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba
Allah, inilah tujuan hidup kita di dunia ini dan oleh sebab itulah pula tujuan
24
kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-
masing.
c. Tujuan Pendidikan Islam Secara Nasional
Tujuan pendidikan Islam nasional ini adalah tujuan pendidikan Islam
yang dirumuskan oleh setiap negara (Islam). Dalam kaitan ini, maka setiap
negara merumuskan tujuan pendidikannya dengan mengacu kepada tujuan
universal sebagaimana tersebut di atas. Tujuan pendidikan Islam secara
nasional di Indonesia, tampaknya secara eksplisit belum dirumuskan, karena
Indonesia bukanlah negara Islam.
Untuk itu tujuan pendidikan Islam secara nasional dapat dirujuk
kepada tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional sebagai berikut (Sukarno,
2003. 5).
“Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi,
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rsa seni, serata
bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.
oleh Sri Minarti (2013: 108) yaitu kata ‘alim bentuk jamaknya adalah ‘ulama
atau mudarris yang berarti pengajar (orang yang memberi pelajaran). Namun
secara umum, mu’allim lebih banyak digunakan daripada kata mudarris.
Sementara itu, kata mu’addib merujuk kepada guru yang secara khusus
mengajar di istana. Lain halnya dengan kata ustadz yang mengacu kepada
guru yang khusus mengajar agama Islam. Terakhir, syaikh digunakan untuk
merujuk kepada guru dalam bidang tasawuf.
Setelah mengetahui pengertian pendidik dalam pendidikan Islam, jika
dilihat dari pengertiannya saja bahwa salah satu faktor yang paling
menentukan berhasilnya proses belajar mengajar dalam kelas adalah pendidik
atau guru. Karena itu, guru tidak saja mendidik melainkan bertugas
profesional memindahkan ilmu pengetahuan atau penyalur ilmu pengetahuan
yang dikuasai kepada anak didik.
Manusia memiliki potensi jiwa yaitu kekuatan yang tidak terlihat dan
tidak diketahui materi dan cara kerjanya yaitu alat untuk mengadakan kontak
dengan Tuhan. Potensi-potensi rohaniah tersebut antara lain pendengaran,
penglihatan dan hati sanubari.
Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa iman adalah merupakan salah
satu karunia yang terbesar dari Allah dan kekuatan rohani yang diisi dengan
iman itulah yang kemudian dapat menjadi penuntun kepada kebenaran dan
merupakan penghubung antara manusia dengan Tuhan, ia merupakan
kekuatan yang paling besar, paling hebat dan paling kuat dalam berhubungan
dengan alam nyata.
Potensi berikutnya Abuddin Nata (2008: 275) menyebutkan potensi
yang dimiliki oleh manusia adalah potensi akal yang merupakan salah satu
kekuatan manusia yang paling besar dan merupakan pemberian Tuhan yang
tidak dapat dinilai harganya dengan apapun.
Dalam hubungan dengan potensi akal tersebut al-Qur’an menegaskan:
“Katakanlah: ‘Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati’, tetapi amat sedikit kamu
bersyukur’.” (QS. al-Mulk, 67: 23). (Depag RI, 2000: 957).
31
Kata ‘hati’ yang terdapat dalam ayat tersebut menurut Muhammad Quthb
adalah dipakai untuk pengertian akal atau kekuatan menangkap atau
mengindera pada umumnya. Dengan ayat tersebut menjadi jelas, bahwa akal
adalah pemberian Allah dan itu harus disyukuri dengan memelihara,
mendidik dan memakainya seoptimal mungkin.
Selanjutnya ayat yang menerangkan tentang akal yaitu sebagai berikut.
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab
(Taurat)?, maka tidakkah kamu berfikir?.” (QS. al-Baqarah, 2: 44).
(Depag RI, 2000: 16).
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. pengertian serupa ini sejalan
dengan keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an yang lebih menunjukkan
kepada aktifitas berfikir dan bukan pada mempermasalahkan substansi akal
itu sendiri.
Sehubungan dengan adanya akal itulah, maka pendidik dalam pendidikan
Islam hendaknya memiliki tingkat intelektual yang baik, sehingga memiliki
keterampilan berfikir dan memecahkan permasalahan. Kemampuan berpikir
dengan menggunakan akal secara cepat, tepat dan benar itu sangat dibutuhkan
oleh seorang hamba yang akan sekaligus menjadi khalifah di muka bumi.
Menurut Muzayyin Arifin (2011: 118) guru juga menjadi pemimpin atau
pendidik dan pembimbing di kalangan anak didiknya. Oleh karena itu sebagai
seorang pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan ide-
ide yang perlu dikembangkan guna tercapainya pembelajaran yang efektif,
pendidik pun harus mampu mengarahkan dan membina untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan anak didik serta meningkatkan
kejiwaan dan jasmaninya.
32
Menurut Muhaimin yang dikutip oleh Mahmud dan Tedi (2008: 126)
pendidik dalam pendidikan Islam paling tidak harus memiliki tiga kompetensi
dasar, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetensi personal religius; kemampuan dasar menyangkut kepribadian
agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai yang hendak
ditraninternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran,
keadilan, kebersihan dan sebagainya. Nilai tersebut harus dimiliki oleh
seorang pendidik untuk memudahkkan mentransinternalisasi (pemindahan
dan penghayatan nilai-nilai) terhadap anak didik.
2. Kompetensi sosial religius; kemampuan menyangkut kepedulian terhadap
masalah sosial selaras dengan ajaran Islam, seperti tolong menolong,
gotong royong dan sebagainya.
3. Kompetensi profesional religius; kemampuan dasar menyangkut
kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dalam arti
mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu
mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya
dalam perspekti Islam.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas maka penulis menarik
kesimpulan bahwa pendidik dalam pendidikan Islam itu harus memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani serta tugas-tugas
sebagai pendidik demi terlaksananya tujuan pendidikan pendidikan Islam.
a. Tahap asuhan (uasia 0-2 tahun) neonatus, tahap ini individu belum
memiliki kesadaran dan daya intelektual. Pada tahap ini hanya mampu
menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air
susu ibunya.
b. Tahap jasmani (usia 2-12 tahun), pada tahap ini anak mulai memiliki
potensi biologis, pedagosis dan psikologis, sehingga seorang anak
sudah mulai dapat dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan
pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
c. Tahap psikologis (usia 12-20 tahun), pada fase ini anak mulai dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, yakni dimana pada
tahap ini anak sudah dapat dibina, dibimbing dan dididik untuk
melaksanakan tugas-tugas yang menuntut komitmen dan tanggung
jawab dalam arti yang luas.
d. Tahap dewasa (usia 20-30 tahun), yakni anak sudah disebut dewasa
dalam arti yang sesungguhnya. Pada tahap ini sudah memiliki
kematangan dalam bertinda, bersikap dan mengambil keputusan untuk
menentukan masa depannya sendiri.
e. Tahap bijaksana (30 sampai akhir hayat), pendidikan pada tahap ini
dilakukan dengan cara mengajak mereka agar mau mengamalkan
ilmu, keterampilan, pengalaman dan yang lainnya untuk kepentingan
bersama orang lain.
2. Karakteristik peserta didik berdasarkan teori fitrah
Di dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum, 30:
30). (Depag RI, 2000: 645).
37
Fitrah yang ada pada manusia ialah potensi dasar, yaitu berupa
kecenderungan untuk beragama dan menyukai kebaikan, kecenderungan
untuk berilmu dan menyukai kebaikan, kecenderungan untuk berilmu dan
menyukai kebenaran, kecenderungan untuk mengikuti nafsu biologis, nafsu
syahwat dan bakat bawaan yang diberikan oleh orang tua, serta naluri.
Semua potensi tersebut pada asalnya netral dan dapat menerima
pengaruh yang datang dari luar, yakni pengaruh orang tua, teman dekat,
informasi teknologi, lingkungan dan hidayah dari Tuhan. Karena demikian
adanya, maka pendidikan dan pengajaran dalam arti luas memiliki peranan
yang amat penting.
3. Karakteristik peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan
Memahami kecerdasan peserta didik dengan berbagai bentuk,
tingkatan dan variasinya maka sorang guru di samping dapat merancang
bahan pelajaran yang sangat cocok dan dapat menentukan metode serta
pendekatan yang paling tepat. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar mengajar
dimulai, setiap guru perlu memiliki data yang memadai tentang kondisi
setiap peserta didik yang akan mereka didik.
4. Karakteristik peserta didik berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya
Mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya tersebut, maka
seorang guru dapat menentukan metode dan pendekatan yang tepat dalam
memperlakukan mereka, serta membangun komunikasi yang tepat, wajar
dan proporsional, tanpa ada maksud untuk memberikan perlakuan yang
istimewa antara satu dan lainnya atau menampakkan sikap dan perlakuan
yang diskriminatif.
Dengan demikian tugas mendidik ialah tugas profesional yang antara lain
ditandai oleh kemampuan memahami keadaan pesserta didik dalam seluruh
aspeknya secara tepat, serta mampu menggunakannya untuk menentukan
desain atau rancangan materi pembelajaran, serta metode dan pendekatan yang
akan digunakan.
38
Menurut Al-Abrasy, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 183)
peserta didik harus memiliki akhlak mulia, antara lain:
1. Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
2. Memiliki sifat yang mulia
3. Meninggalkan kesibukan duniawi
4. Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru
5. Menyenangkan hati dan memuliakan guru
6. Menjaga rahasia dan menunjukkan sikap sopan santun kepada guru
7. Tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar
8. Memilih waktu belajar yang tepat
9. Belajar sepanjang hayat dan memelihara rasa persaudaraan dan
persahabatan.
b. Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu
agama.
c. Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika,
industri, pertanian, teknologi dan sebagainya.
d. Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Klasifikasi materi tersebut berpijak pada klasifikasi ilmu pengetahuan
dengan tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
a. Ilmu pengetahuan menurut kuantitas yang mempelajari
1) Ilmu fardhu’ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim
yang bersumber dari kitab Allah.
2) Ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian
orang muslim, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi
misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik pertanian, industri dan
sebagainya.
b. Ilmu pengetahuan menurut fungsinya
1) Ilmu tercela (madzmumah), yaitu ilmu yang tidak berguna untuk masalah
dunia dan masalah akhirat, serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu
sihir, nujum dan perdukunan.
2) Ilmu terpuji (mahmudah), yaitu ilmu-ilmu agama yang dapat menyucikan
jiwa dan menghindarkan hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat
mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.
3) Ilmu terpuji dalam batasan-batasan tertentu dan tidak boleh dipelajari
secara mendalam, karena akan mendatangkan atheis seperti ilmu filsafat.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi ilmu model ini kepada lima macam,
yaitu:
a) Olahraga (riyadhiyah), seperti ilmu teknik, matematika dan organisasi.
b) Ilmu logika (mantiq) yang digunakan untuk mendatangkan pemahaman
dan bukti dari dalil syar’i.
c) Ilmu teologi (uluhiyah), yaitu ilmu yang digunakan untuk
memperbincangkan Tuhan, seperti ilmu kalam.
41
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku; dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit’.” (Q.S. Al-Israa’, 17: 85). (Depag RI, 2000: 437).
sebagainya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu
kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu
tentang al-Qur’an dan as-Sunnah (tafsir, mushthalah, linguistik, ushul fiqh
dan sebagainya).
2. Materi yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Rumusan materi yang
berkaitan dengan perilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian
ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi,
sejarah, linguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogi, biologi,
kedokteran, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika dan
sebagainya.
3. Materi yang berorientasi pada “kealaman”. Rumusan materi yang berkaitan
dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan
untuk kepentingan manusia. bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia,
pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa,
geologi, geofisika, botani, zoologi, biogenetik dan sebagainya.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
(Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan
44
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun, 23: 1-2).
(Depag RI, 2000: 527).
6. Prinsip berkelanjutan, terlihat pada dana yang berasal dari wakaf yang
menegaskan bahwa sumber dana tersebut tidak boleh hilang atau dialihkan
kepada orang lain yang menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok
tersebut.
7. Prinsip keseimbangan dan proporsional, terlihat dari pengalokasian dana
untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan
(Abuddin Nata, 2012: 229-230).