Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
A. LATAR BELAKANG
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut
adalah minyak6[6]. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak mencemari lingkungan
laut7[7]. Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh
perusahaan Montana Australia8[8], yang menurut Balai Riset Kelautan dan Perikanan
(BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran
mencapai 16.420 kilometer persegi.
Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak hanya
dapat secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya
bagi suplay makanan dan habitat lingkungan laut yang merupakan sumber kekayaan alam
bagi suatu Negara khususnya bagi kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak
bergantung pada hasil perikanan. Dalam hal ini terdapat beberapa aturan hukum lingkungan
internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan laut yaitu:
(1). United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
(2).international Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention)
(3). Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other
Matter 1972 (London Dumping Convention).
(4). The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation
1990 (OPRC).
(5). International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine
Pollution).
B. TUJUAN
Modul ini dibuat sebagai upaya untuk memberikan informasi tentang bagaimana cara
mengatasi penyebab pencemaran polusi lingkungan laut dengan benar.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
A. MARPOL 1973
1. SEJARAH KONVENSI MARPOL
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan
penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian,
maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah
Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah
pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal
lainnya.
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and
includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or
floating platform”.
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan
yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di
dasar laut.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi
konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran
cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi
oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut
menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan
untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan
dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan
melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin
peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan
diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
- a. Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang
melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta
untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai
dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus
memuat keterangan:
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal
wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan
beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan
menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah. Mulai
berlaku 6 April 1987
Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk
Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia,
baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap
Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan sebagai negara
bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara berdera kapal, Negara Pantai dan Negara
pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa :
“ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara
anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar dilakukan berdasarkan
Undang-Undang Negara anggota itu”
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar
Internasional (antara lain MARPOL 73/78).
Tugas utama dari negara bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka
memnuhi standar teknik di dalam MARPOL 73/78 yakni :
Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada
semua kapal yang memasuki teoritialnya dan, tindakan ini dibenarkan oleh peraturan
UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai
(innocent passage) dan ada bukti yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran.
Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal
yang berkunjung ke palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang
bukan anggota.
Ini berarti ketaatan pada peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh
memasuki pelabuhan semua Negara anggota.
Adalah wewenang dari Negara pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat
tentang pencegahan pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun demikian sesuai
UNCLOS 1982 peraturan seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk
disebar luaskan.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan
tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor :
Pemerintah
Administrasi bidang hukum
Administrasi bidang maritim
Pemilik kapal
Syahbandar (port authorities)
a. Pemerintah
Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang
fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada pertimbangan karena :
Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung
jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun demikian di lain pihak
mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota
lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan
meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk
melaksanakan peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam daerah teritorial
Negara anggota).
Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti
kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan sesuai MARPOL 73.78
untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
b. Administrasi hukum
Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan
yang dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan
pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan
Administrasi maritim yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan dan
melaksanakannya.
Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka
peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim perundang-undangan Nasional.
Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.
c. Administrasi maritim
Tugas dari Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama
dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-tugas tersebut
guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan bagaimana
memberlakukannya.
d. Pemilik Kapal
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang
memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai. Syahbandar juga bertugas
untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal
berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan V MARPOL.
Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam diagram di atas
adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya dilakukan
oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai yang ditentukan oleh kantor
pusat Administrasi maritim.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
1. Dampak ekologi
2. Tempat rekreasi
3. Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga
4. Instalasi Industri
5. Perikanan
6. Binatang Laut
7. Burung Laut
8. Terumbu Karang dan Ekosistim
9. Tumbuhan di pantai dan Ekosistim
10. Daerah yang dilindung dan taman laut
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Air yang bercampur minyak dari tanker dilarang dibuang ke laut kecuali dalam
keadaan seperti dibawah ini :
1. Tanker sedang berlayar
2. Kecepatan pembongkaran dari minyak yang terkandung didalam campuran tidak boleh
lebih dari 60 liter/mil.
3. Tanker harus berada pada lokasi laut yang jarak dari pantai terdekat lebih dari 50 mil.
4. Jumlah minyak yang boleh dibuang 1/15.000 kapasitas angkut tanker.
Maksud dari persyaratan tersebut di atas selain untuk membatasi pembuangan
minyak adalah bahwa minyak bisa dengan cepat dicerai-beraikan dan dimusnahkan dalam
waktu 2-3 jam saja.
Penerapan Konvensi Marpol 73/78 di Indonesia berlaku sejak tanggal 2 Oktober
1983. Setelah Indonesia meratifikasi konvensi Marpol 73/78 dengan Keppres nomor 46/86
tanggal 9 September 1986, maka kapal-kapal yang berbendera Indonesia yang berlayar ke
luar negeri terhitung sejak tanggal 27 Oktober 1986 sudah harus dilengkapi dengan
Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak (IOPP Certificate) dan bagi
kapal-kapal Indonesia yang melakukan pelayaran dalam negeri sejak tanggal itu harus
memiliki IOPP tersebut.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Dispersant tidak akan berguna pada daerah pesisir karena adanya unsur timbal yang
terlarut. Perlu ditambahkan bahwa dispersant yang makin baik selalu menggunakan
pelarut yang lebih beracun untuk kehidupan laut.
Teknika Kapal Penangkap Ikan
17
1.5.1.5. Pembakaran
Membakar minyak di laut lepas umumnya kurang berhasil, karena minyak ringan
yang terkandung telah menguap secara cepat. Selain itu panas dari api akan diserap
oleh air laut sehingga pembakaran tidak akan efektif.
Masalah pencemaran di laut tidak akan ada habisnya selama manusia masih
melakukan aktivitas atau kegiatan produksi di laut seperti menangkap ikan dengan
menggunakan mesin, membuang air bilge, pengeboran lepas pantai, dan
pembuangan minyak serta membuang bahan-bahan berbahaya yang seenaknya tanpa
menghiraukan faktor lingkungan, jadi untuk menjaga keindahan laut serta
keanekaragaman biotanya yang merupakan sumber daya alam diperlukan kesadaran
dari kita akan kelestarian alam.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
BAB II. MEMAHAMI PENGARUH BAHAYA DARI TIAP – TIAP BAHAN PENYEBAB POLUSI
1. “Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude oil) bahan
bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil penyulingan (refined
product)
2. “Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan berbahaya hasil
produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus (chemical tanker)
Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan
kadar bahayanya.
Kategori A : Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas
pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh dibuang ke laut.
Kategori C : Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan
secara serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara bertahap. Tanggal 2
Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid Substances in
Bulk) tanggal 6 April 1987. Disusul kemudian Annex V (Sewage), tanggal 31 31 Desember
1988, dan Annex III (Hamful Substances in Package) tanggal 1 juli 1982. Sisa Annex IV
(Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini.
Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh
tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23 Regulation.
Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk
mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi juga
tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha
terbaik untuk menanggulanginya.
Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk mengisi buku laporan
(Oil Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal
menangani muatan minyak, bahan bakar minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa
minyak dengan cairan lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang
berwajib melakukan kontrol pencegahan pencemaran laut.
Kewajiban untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.
Appendix I Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL
73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut.
Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP
Certificate” dan suplemen mengenai data konstruksi dan kelengkapan kapal tanker dan
kapal selain tanker. Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi
peraturan dalam reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal,
kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL
73/78.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Appendix III, Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian dek yang wajib diisi
oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di
Pelabuhan.
Usaha mengendalikan dan/atau pencegahan pencemaran laut oleh minyak sudah dimulai sejak
tahun 1920. Pada tahun 1954 diadakan konvensi Internasional tentang pencegahan pencemaran laut
oleh minyak dan mulai diundangkan mulai tanggal 26 Juli 1958.
Didalam MARPOL 73, hasil konvensi IMO tahun 1973, terdapat aturan-aturan yang tercantum
didalam Annex-Annexnya, ditambah 20 artikel. MARPOL 73 selanjutnya ditambah dengan Protokol 1978
(9 artikel), Protokol I yang berkaitan dengan zat-zat berbahaya (5 artikel) dan Protokol II mengenai
Arbritase, yang berisi 10 artikel. MARPOL 73/78 masih terus diamandemen dan ditambah dengan
berbagai peraturan yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan yang terjadi sesudahnya
51
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Peraturan dalam MARPOL 73/78 sangat kompleks, memuat banyak kreteria dan
spesifikasi. Karena itu memerlukan kesabaran dan ketelitian untuk mempelajari dan
melaksanakannya. Penting untuk diketahui waktu atau tanggal berlakunya suatu peraturan
karena berbeda satu dengan yang lainnya, dan kaitannya dengan kapal bangunan baru (New
Ships ) dan kapal yang sudah ada ( Existing Ships ).
Pasal 65 ayat (1) UU. No.21 Th.1992 menegaskan bahwa setiap kapal dilarang
melakukan pembuangan limbah atau bahan lainnya apabila tidak memenuhi persyaratan
yang ditentukan. Pembuangan limbah atau bahan lain yang dilarang itu antara lain :
Pembuangan (dumping) limbah air got dari kapal tanpa prosedur, membuang
sampah/kotoran dan sisa-sisa muatan (dirty Sweeping), membuang air cleaning dari
tangki muat kapal dan lain sebagainya.
Menurut pasal 67 UU.21 Th.1992, setiap Nakhoda atau Pemimpin perusahaan kapal
mempunyai kewajiban dalam upaya menanggulangi atau mencegah pencemaran laut yang
bersumber dari kapalnya. Wajib segera melaporkan kepada pejabat pemerintah/instansi
yang berwenang yang menangani penanggulangan pencemaran laut , mengenai terjadinya
pencemaran laut yang disebabkan oleh kapalnya, atau oleh kapal lain atau apabila melihat
adanya pencemaran di laut.
Perikanan, termasuk akuakultur, merupakan sumber pangan,
kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi yang
sangat penting bagi penduduk seluruh dunia, baik untuk generasi kini
maupun generasi mendatang dan karena itu usaha perikanan harus
dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab.
65
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Menurut Fauzi dan Suzi (2005), salah satu alternative analisis sederhana
yaitu secara kuantitatif yang dapat dilakukan untuk hal tersebut di atas adalah
66
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 1
SIFAT DAN RUANG LINGKUP TATALAKSANA
Tatalaksana ini bersifat sukarela akan tetapi bagian tertentu dari tatalaksana ini
didasarkan pada aturan hukum internasional yang relevan, termasuk yang
tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember
1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang mungkin berupa atau telah
diberi efek mengikat dengan perangkat hukum lain yang bersifat obligatori
diantara pihak-pihak. Seperti misalnya persetujuan memajukan pemenuhan
dengan Langkah Konservasi dan Pengelolaan Internasional oleh Kapal
Penangkap Ikan di laut lepas tahun 1993 yang menurut Konferensi FAO resolusi
15/93 paragraf 3, membentuk suatu bagian integral dari tatalaksana ini.
67
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Tatalaksana ini menyediakan asas dan standar yang bisa diterapkan pada
konservasi. Pengelolaan dan pembangunan perikanan. Tatalaksana juga
mencakup penangkapan, pengolahan dan perdagangan ikan serta produk
perikanan, operasi penangkapan, akuakultur/budidaya, penelitian perikanan dan
keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir.
PASAL 2
TUJUAN TATALAKSANA
68
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 3
KETERKAITAN DENGAN PERANGKAT HUKUM
INTERNASIONAL LAIN
3.1. Tatalaksana ini ditafsirkan dan diberlakukan sesuai dengan aturan hukum
internasional yang relevan, seperti tercermin dalam Konvensi PBB tentang
hukum laut. 1982. Dalam tatalaksana ini tidak ada perasangka terhadap
hak, yuridiksi dan kewajiban dari negara–negara di bawah hukum
internasional seperti yang tercermin di dalam konvensi.
3.2. Tatalaksana juga ditafsirkan dan diberlakukan:
a. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan
Straddling dan stok ikan peruaya jauh.
b. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan
Straddling dan stok ikan peruaya jauh.
c. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan
Straddling dan stok ikan peruaya jauh.
d. Sesuai dengan aturan hukum internasional yang berlaku, termasuk
kewajiban masing-masing negara sesuai dengan persetujuan
internasional yang ditandatanganinya, dan
e. Mempertimbangkan deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 tentang
Lingkungan dan Pembangunan, serta Agenda 21 yang disetujui oleh
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED ),
69
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 4
PELAKSANAAN, PEMANTAUAN DAN PEMUTAKHIRAN
4.1. Semua anggota dan bukan anggota FAO, intensitas penangkapan ikan dan
organisasi subregional, regional dan global yang relevan, baik pemerintah
maupun non pemerintah, dan semua yang peduli dengan konservasi,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan serta perdagangan
ikan dan produk perikanan harus bekerjasama dalam pemenuhan dan
pelaksanaan dari tujuan dan asas tatalaksana ini.
4.2. FAO, sesuai dengan perannya dalam lingkup sistem PBB, akan memantau
aplikasi dan pelaksanaan dari tatalaksana dan pengaruhnya terhadap
perikanan dan Sekretariat akan melapor kepada Komite Perikanan FAO
(COFI). Semua Negara–negara baik anggota maupun bukan anggota FAO,
demikian pula organisasi internasional yang relevan, baik pemerintah
maupun non pemerintah harus secara aktif bekerjasama dengan FAO
dalam tugas ini.
4.3. FAO melalui badannya yang berwenang, boleh merevisi tatalaksana ini
dengan memperhatikan perkembangan perikanan dan laporan kepada
COFI mengenai implementasi tatalaksana ini.
4.4. Negara–negara dan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non
pemerintah harus meningkatkan pemahaman akan tatalaksana oleh mereka
yang ikut terlibat dalam perikanan, termasuk bilamana bisa dipraktekan
dengan cara pengenalan pola yang akan meningkatkan penerimaan
tatalaksana dan penerapannya yang efektif secara sukarela.
PASAL 5
KEBUTUHAN KHUSUS NEGARA BERKEMBANG
70
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 6
ASAS UMUM
6.1. Negara–negara dan para pengguna sumber daya hayati akuatik harus
melakukan konservasi ekosistem akuatik. Dalam hak menangkap ikan
terkandung pula kewajiban untuk melakukan konservasi dengan cara yang
bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga dapat menjamin konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati akuatik yang efektif.
71
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
72
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
73
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
74
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 7
PENGELOLAAN PERIKANAN
7.1. Umum
7.1.1. Negara–negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan
75
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
76
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
77
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
aturan lainnya yang sah. Dasar dan maksud dari langkah tersebut harus
diterangkan kepada para pemanfaat sumber daya dalam rangka
memberikan kemudahan penerapannya dan dengan demikian
memperoleh tambahan dukungan dalam penerapan langkah tersebut.
78
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
79
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
80
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
81
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
82
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
83
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
7.7. Pelaksanaan
7.7.1. Negara–negara harus menjamin bahwa sebuah kerangka kerja hukum
administratif yang efektif pada tingkat lokal dan tingkat nasional
selayaknya ditetapkan untuk pengelolaan konservasi sumber daya dan
pengelolaan perikanan.
7.7.2. Negara–negara harus menjamin bahwa hukum dan perundang–undangan
memuat sanksi, yang dapat diterapkan sepadan dengan beratnya
84
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
85
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 8
OPERASI PENANGKAPAN IKAN
86
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
87
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
8.2.3. Kapal penangkap ikan yang diotorisasikan menangkap ikan di laut lepas
atau di perairan lingkup yuridiksi suatu negara selain dari negara
bendera, harus diberi tanda sesuai dengan sistem penandaan kapal yang
seragam dan diakui secara internasional seperti misalnya, standar
spesifikasi dan pedoman bagi penandaan dan identifikasi kapal
penangkapan ikan dari FAO.
8.2.4. Alat penangkap ikan harus diberi tanda sesuai dengan peraturan
perundang-undang nasional supaya pemilik dari alat tangkap itu dapat
diidentifikasi. Persyaratan penandaan alat tangkap harus memperhatikan
sistem penandaan alat tangkap yang seragam dan diakui secara
internasional.
8.2.5. Negara bendera harus memastikan kepatuhan nelayan dan kapal
penangkap ikan terhadap persyaratan keselamatan yang tepat sesuai
dengan konvensi internasional, kode-kode praktek yang sudah disepakati
secara internasional dan pedoman yang bersifat sukarela. Negara harus
menggunakan persyaratan keselamatan yang tepat untuk seluruh kapal
kecil yang tidak dicakup oleh konvensi internasional, kode praktek atau
pedoman suka rela tersebut.
8.2.6. Negara–negara yang tidak menandatangani persetujuan untuk
memajukan kepatuhan Langkah–langkah konservasi dan pengelolaan
internasional oleh kapal ikan yang menangkap di laut lepas harus
didorong untuk menerima persetujuan tersebut dan menggunakan hukum
dan perundang–undangan dan peraturan yang konsisten dengan
ketentuan-ketentuan persetujuan tersebut.
8.2.7. Negara bendera harus mengambil langkah penegakan terhadap kapal
penangkap ikan yang diberi hak untuk mengibarkan bendera mereka
yang tidak mematuhi langkah konservasi dan pengelolaan yang bisa
diberlakukan, jika perlu termasuk menganggap ketidakpatuhan tersebut
sebagai suatu pelanggaran menurut peraturan perundang–undangan
nasional. Sangsi yang bisa diberlakukan berkenaan dengan pelanggaran
harus cukup berat agar efektif dalam pemastian ketaatan dan untuk
menangkal pelanggaran yang terjadi dimanapun dan harus mencegah
para pelanggar untuk memperoleh manfaat yang diperoleh dari kegiatan
mereka yang tidak sah. Sanksi bagi pelanggaran yang serius dapat
88
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
89
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
90
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
91
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
92
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
93
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
8.9.6. Pengaturan untuk menanggulangi efek erosi dan silitasi harus dibuat.
8.9.7. Negara–negara harus menetapkan sebuah kerangka kelembagaan bagi
seleksi atau perbaikan lokasi untuk pelabuhan bagi kapal penangkap ikan
yang memungkinkan konsultasi diantara otoritas yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan kawasan pesisir.
94
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 9
PEMBANGUNAN AKUAKULTUR
95
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
96
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
97
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 10
INTEGRASI PERIKANAN
KE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR
98
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
99
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
10.4 Pelaksanaan
10.4.1. Negara–negara harus menetapkan mekanisme kerjasama dan
koordinasi diantara otoritas nasional yang terlibat dalam perencanaan,
pembangunan, konservasi, dan pengelolaan kawasan pesisir.
10.4.2. Negara–negara harus menjamin bahwa otoritas atau otoritas-otoritas
yang mewakili sektor perikanan dalam proses pengelolaan pesisir
mempunyai kapasitas teknis dan sumber pembiayaan yang memadai.
PASAL 11
PRAKTEK PASCA PANEN DAN PERDAGANGAN
100
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
101
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
102
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
103
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
104
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
PASAL 12
PENELITIAN PERIKANAN
105
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
106
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
107
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
108
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
109
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
110
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
111
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
umum, untuk mencerminkan isu yang berkembang dalam pasal tematik dari
tatalaksana.
17. Komite mendukung usul yang disahkan oleh sidang ke 107 Dewan
mengenai mekanisme untuk penyelesaian akhir tatalaksana. Susunan kata
akhir dari asas yang berkenaan terutama dengan isu-isu yang menyangkut
stok ikan peruaya jauh, yang hanya merupakan bagian kecil dari
Tatalaksana, harus ditelaah dengan memperhatikan hasil Konferensi PBB.
Kelompok juga merekomendasikan bahwa bila persetujuan telah tercapai
mengenai substansi tersebut, maka akan diperlukan untuk menyerasikan
aspek-aspek hukum, teknis dan idiomatik dari tatalaksana, guna
memberikan kemudahan bagi persetujuan akhir.
18. Laporan dari kelompok kerja terbuka telah disajikan ke Sidang Menteri
tentang Perikanan, diadakan pada tanggal 14-15 Maret 1995, sehubungan
dengan sidang COFI. Consensus Roma mengenai Perikanan Dunia yang
bermula dari pertemuan ini telah mendesak agar “ Pemerintah-pemerintah
dan organisasi internasional mengambil tindakan segera untuk
menyelesaikan tatalaksana internasional bagi perikanan yang bertanggung
jawab dengan maksud menyerahkan naskah akhir kepada Konferensi FAO
Oktober 1995.”
19. Sebuah versi tatalaksana yang direvisi telah disajikan pada sidang ke 128
dari Dewan. Dewan menetapkan sebuah komite teknis yang mengadakan
sidang pertama sejak 5 sampai 9 Juni 1995, dengan kehadiran para
anggota regional secara luas. Sejumlah organisasi antar pemerintah dan
non-pemerintah juga turut serta.
20. Dewan dibertitahukan oleh Komite Teknis bahwa Komite telah melakukan
tinjauan menyeluruh pasal 1 sampai 5 termasuk pendahuluan. Memeriksa
mengubah dan menyepakati pasal 8 sampai 11. Dewan juga telah
diberitahukan bahwa komite telah memulai revisi pasal 6.
21. Dewan telah menyetujui kerja yang dilakukan oleh Komite Teknis dan
meluluskan rekomendasinya bagi sidang ke 2 yang akan diadakan pada
tanggal 25-29 september 1995 untuk menyelesaikan revisi dari Tatalaksana
saat sekretariat sudah menyerasikan naskah secara linguistik dan secara
yuridis, dengan memperhatikan hasil dari Konferensi PBB mengenai stok
ikan straddling dan stok ikan peruaya jauh.
112
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
22. Sebuah versi Tatalaksana direvisi seperti yang disetujui oleh Komite Teknis
pada sidang pertamanya (5-9 Juni 1995) dan telah disyahkan oleh sidang ke
108 dari Dewan telah diterbitkan, baik sebagai dokumen Konferensi (C
95/20) maupun sebagai sebuah makalah kerja bagi sidang kedua dari
Komite Teknis. Unsur-unsur yang persetujuannya tertunda diidentifikasi
dengan jelas.
23. Dalam rangka memudahkan penyelesaian akhir keseluruhan Tatalaksana.
Sekretariat telah mempersiapkan dokumen “Usulan Sekretariat untuk pasal
6. Pengelolaan perikanan dan pasal 7, Operasi Penangkapan, dan CCRF”,
dengan memperhatikan persetujuan yang berkaitan dengan konservasi dan
pengelolaan stok. Ikan Straddling dan stok ikan Peruaya jauh, yang disetujui
oleh Koperensi PBB Agustus 1995, sekretariat juga telah menyelesaikan
usulan bagi penyerasian dari naskah mengenai aspek-aspek hukum dan
linguistic dan menyediakannya untuk komite dalam tiga bahasa bagi sidang
(Inggris, Prancis dan Spanyol).
24. Sidang kedua dari Komite Teknis Terbuka dari Dewan telah bersidang sejak
25 sampai 29 september 1995, dengan diwakili secara luas dari wilayah dan
organisasi berkepentingan. Komite bekerja dengan semangat penuh
kerjasama. Dengan sukses menyelesaikan tugasnya, mengakhiri dan
mengesahkan semua pasal dan Tatalaksana secara utuh. Komite Teknis
menyepakati bahwa negosiasi naskah dari Tatalakasana telah diakhiri.
Sebuah kelompok Informal Terbuka mengenai Penyerasian Bahasa
mengadakan sidang tambahan dan bersama dengan sekretariat.
Menyelesaikan penyerasian berdasarkan naskah yang disetujui dan
disahkan pada sidang penutupan. Komite teknis menginstruksikan
sekreteriat untuk segera menyerahkan versi yang selesai sebagai suatu
dokumen Konferensi yang direvisi kepada sidang ke 109 dari Dewan dan
kepada sidang ke 28 dari Konferensi untuk disetujui. Dewan telah
mengesahkan Tatalaksana seperti yang diselesaikan oleh komite teknis.
Sekretariat telah diminta untuk mempersiapkan naskah resolusi yang
dibutuhkan bagi Konferensi, termasuk pula undangan pada negara untuk
meratifikasi, sebagai hal yang mendesak, persetujuan pemenuhan yang
telah disetujui pada sidang terakhir dari Konferensi. Sidang ke 28 dari
Konferensi telah setuju mengesahkan pada 31 oktober 1995, secara
113
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
RESOLUSI KONFERENSI
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
114
di laut lepas, dan bahwa persetujuan ini akan merupakan sebuah bagian
integral dari Tatalaksana.
B. PENCEMARAN LAUT
1. Sumber-sumber Pencemaran
a. Penyebab pencemaran laut
Dari ladang minyak dibawah dasar laut baik melalui rembesan maupun
kesalahan pengeboran pada operasi minyak lepas pantai,
Dari kecelakaan pelayaran seperti misalnya kandas,tenggelam dan tabrakan
kapal-kapal tanker atau barang yang mengangkut minyak / bahan bakar,
Dari operasi tanker dimana minyak terbuang kelaut sebagai akibat dari
pembersihan tangki atau pembuangan air ballast dan lain-lain,
Dari kapal-kapal selain tanker melalui pembuangan air bilge ( Got ),
Dari operasi terminal pelabuhan minyak dimana minyak dapat timpah pada
waktu memuat / membongkar muatan atau pengisian bahan bakar ke kapal,
Dari limbah pembuangan Refinery,
Dari sumber-sumber darat misaknya minyak lumas bekas atau cairan yang
mengandung hydrocarbon, Dari hydrocarbon yang jatuh dari atmosfir misalnya
; cerobong asap pabrik, cerobong kapal, pesawat terbang dan lain sebagainya.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
b. Tumpahan minyak kelaut dari kapal tanker / kapal lainnya dapat dibagi
dalam 4 kelompok :
1. Pembuangan minyak yang timbul sebagai akibat dari pengoperasian kapal
selama menyelenggarakan pencucian tangki.
2. Pembuangan air bilge ( got ) yang mengandung minyak,
3. Tumpahan yang berasal dari kecelakaan pelayaran antara lain kandas,
tenggelam, tabrakan dan lain-lain,
4. Tumpahan minyak selama Loading, discharging atau bunkering
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Pengaruh jangka pendek dari tumpahan minyak ini telah banyak diketahui,
tetapi pengaruh jangka panjang sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Beberapa jenis burung laut di daerah tumpahan minyak akan musnah karena
mereka tidak bisa hinggap di atas lapisan minyak. Salah satu jenis burung yang tampak
hidup di laut adalah burung camar.Burung camar merupakan komponen kehidupan
pantai yang langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Bahaya utama diakibatkan penyakit fisik dari pada pengaruh lingkungan kimia
dari minyak. Burung harus selalu menjaga temperatur tubuhnya tetap hangat yang
dilakukan karena kemampuan bulu-bulu lembut bagian bawah dalam mengisolasikan.
Bulu-bulu itu tidak menyerap air tapi menyerap minyak, oleh karena itu minyak yang
menempel pada bulu tersebut akan melekat terus dan tidak bisa terbilas oleh air.
Lapisan minyak yang tipis tidak akan masuk ke bagian dalam dan mengganggu
kemampuan bulu dalam isolasi. Kehilangan daya sekat tersebut menyebabkan
hilangnya panas tubuh burung secara terus menerus sehingga menimbulkan :
- Kebutuhan pemasukan makanan yang lebih besar
- Penggunaan cadangan dalam tubuh
- Burung yang terkena minyak cenderung kehilangan nafsu
Yang paling terpengaruh oleh tumpahan minyak adalah burung yang menghabiskan
sebagian besar atau seluruh hidupnya di air. Dalam urutan kepekaan makin rendah ,
jenis-jenis burung yang terkena bahaya tumpahan minyak adalah : Penguin, Auk
(sejenis burung laut dari Utara), Burung penyelam, Unggas air (bebek,angsa), dan
burung camar. Ikan paus bunuh diri kepantai disebabkan oleh tumpahan minyak,
beberapa kerang-kerang juga mati oleh minyak. Tetapi adabeberapa kerang yang
masih bertahan meskipun konsentrasi minyak cukup tinggi, asalkan waktu ekposnya
relatif singkat, tetapi hampir semua dispresi sangat berbahaya untuk kerang. Ikan-ikan
akan lebih tahan terhadap tumpahan minyak, karena dapat bergerak pindah tempat,
kecuali ikan tidak dapat ke luar dari daerah yang luas tertutup oleh sejumlah besar
tumpahan minyak maka ikan akan mati.
Pengaruh tumpahan minyak terhadap tanaman-tanaman laut, bakteri dan
mahluk hidup kecil lainnya dalam laut tidak diketahui dengan jelas, karena faktor-
faktor alam yang terpengaruh amat banyak dan berfluktuasi.
Penyebab pencemaran laut dan lingkungan perairan berasal dari sumber
pencemaran antara lain:
1. Ladang minyak di bawah dasar laut, baik melalui rembesan maupun kesalaan
pengeboran pada operasi minyak lepas pantai.
2. Kecelakaan pelayaran misalnya kandas, tenggelam, tabrakan kapal tanker
atau barang yang mengangkut minyak/bahan bakar
3. Operasi tanker dimana minyak terbuang kelaut sebagai akibat darim
pembersiahn tanki atau pembuangan air ballast, dll.
4. Kapal-kapal selain tanker melalui pembuangan air bilge (got)
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
5. Operasi terminal pelabuhan minyak, dimana minyak dapat tumpah pada waktu
memuat/membongkar muatan atau pengisian bahan bakar ke kapal.
6. Limbah pembuangan refinery
7. Sumber-sumber darat misalnya minyak lumas bekas atau cairan yang
mengandung hidrokarbon
8. Hidrokarbon yang jatuh dari atmosfir misalnya asap pabrik, asap kapal laut,
asap pesawat udara, dll.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Suatu campuran 3.000 ton kalsium karbonat yang ditambah dengan 1 % sodium stearate
pernah dicoba dan berhasil menenggelamkan 20.000 ton minyak. Cara ini masih banyak
dipertentangkan karena dianggap akan memindahkan masalah kerusakan oleh minyak
kedasar laut yang relative merusakan kehidupan. Tetapi untuk laut-laut dalam hal ini tidak
memberikan efek yang berarti.
4.4. Oil Discharge Monitoring ( ODM )
Oil Discharge dipakai untuk memonitor dan mengontrol pembuangan ballast di kapal
tanker yang disesuaikan dengan peraturan / persyaratan. Oil Discharge Monitoring (ODM)
terdiri dari :
1. Oil content meter, meter supply pump dan homogenizer (Oilcon),
2. Flow rate indicating system,
3. Control section, recording device dan alarm (Central Control Unit : CCU),
4. Overboard discharge control
5. Ship’s LOG.
5.1. Ballast yang akan dibuang melalui overboard discharge akan diukur pada
measurement cell dari oilcon. Hasil dari pengukuran ini akan dirubah ke signal listrik
dan digunakan sebagai petunjuk pada control box yang terletak di cargo control
room, kadar minyak dari contoh air ditunjukan pada control box.
Besarnya buangan ballast yang melalui overboard discharge akan dideteksi oleh
odifice flow meter yangditempatkan pada discharge line. Hasil catatan ini dirubah ke
Pneumatic signal dan diteruskan ke P / E converter di cargo control room. Pencatatan
kecepatan kapal didapatkan dari ship’s yang diteruskan ke CCU di cargo control
room.
Dari CCU kemudian dihitung, hasil pencatatan di CCU kemudian dicatat jumlah
minyak yang terbuang. CCU
mengeluarkan tanda apabila kondisi sesuai dengan peraturan tanda di CCU berhenti
dan membunyikan alarm apabila kondisi melampaui peraturan.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Prinsip Dasar
Teknik pengukuran yang dipakai di oilcon adalah pada scattered light (pancaran
sinar). Pancaran sinar/cahaya lewat melalui sebuah cell pencatat.
Besarnya cahaya ( IS ) ditunjukan dengan sudut tergantung pada density dan jumlah
minyak yang dibuang dan gelombang radiasi. Oleh karena itu konsentrasi minyak
pada contoh air dapat diukur dengan mendeteksi kemampuan ID (direct light) dan IS
(scattered light).
Salah satu aspek kelaik-lautan kapal adalah kesehatan dan kesejahteraan awak kapal
dan penumpang. Hal yang menyangkut kesehatan secara International berada dibawah
World Health Organization (WHO) suatu organisasi Kesehatan sedunia, sehingga kita
mengenal adanya Buku Kuning selaku buku lesehatan untuk pelaut,fumigasi, sertifikat
hapus tikus ( derating certificate ) dan lain-lain yang berkaitan dengan kesehatan.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Demikian Karantina Pelabuhan adalah merupakan salah satu dari kegiatan WHO yang
diberlakukan secara universal di setiap negara.
Menurut Peraturan Internasional tentang kesehatan tahun 1969 bahwa definisi
Karantina Pelabuhan itu adalah sebagai berikut :
“Karantina Pelabuhan itu adalah suatu tindakan untuk mencegah tersebar luasnya
suatu penyakit atau suatu yang diduga sebagai penyakit tertentu seperti yang
dideskripsikan di dalam International Health Regulation, seperti Kolera, Pes, Cacar, dan
Demam kuning”.
Kapal dikatakan “ terjangkit “ apabila terdapat kasus penyakit karantina dalam waktu
yang sesuai dengan masa inkubasi penyakit tersebut, sebelum kapal tiba di Pelabuhan.
Kapal dikatakan “ tersangka “apabila terdapat kasus penyakit karantina dalam waktu
yang melebihi masa inkubasi penyakit tersebut, sebelum kapal tiba di Pelabuhan.
Kapal dikatakan “ sehat “ apabila pihak Kesehatan Pelabuhan mengadakan
pemeriksaan sangat puas dengan hasil pemeriksaan tersebut, sekalipun kapal datang dari
daerah terjangkit.
Daerah terjangkit daerah dimana dilaporkan adanya penyakit menular dan
kemungkinan besar menular karena mobilitas dan aktivitas penduduk serta sebab-sebab
kain.
1. Isolation : artinya pembatasan seseorang atau lebih, sebuah kapal atau lebih, dari
orang lain atau kapal lain,guna mencegah penularan penyakit.
2. In Quarantine : artinya suatu tindakan dari Dinas Kesehatan terhadap kapal atau
orang, guna mencegah berkembangnya penyakit, dari tempat
dimana kapal atau orang itu di karantina,
3. Disinsecting : artinyaatu tindakan dari Dinas Kesehatan untuk memusnahkan
serangga-serangga penyebab penyakit pada manusia, di kapal dan
ditempat-tempat lain,
4. Fumigation : artinya tindakan dari Dinas Kesehatan terhadap kapal untuk
memusnahkan serangga-serangga atau binatang lain penyebab
penyakit pada manusia di kapal.
5. Free Practique : adalah ijin yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Pelabuhan kepada
sebuah kapal yang dinyatakan sehat untuk dapat memasuki suatu
pelabuhan.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
2. Sewage Plant
3. Incinerator
54
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
55
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
BAB VIII. MENERAPKAN PENGOPEASIAN DAN PEAWATAN PEALATAN PENCEGAN
PENCEMARAN LAUT
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Efisiensi pemisahan secara gravitasi adalah perbedaan berta jenis antara air dengan
minyak, sedangkan efektifitas dari alat ini tergantung pada desain hidrolis dan waktu
tahannya. Semakin lama waktu tahannya maka proses pemisahannya akan semakin baik.
2. Separator Plat Pararel
Alat ini memerlukan ruang yang jauh lebih sedikit dengan yang dibutuhkan oleh
separator tipe konvensional. Luas permukaan separator dapat ditambah dengan memasang
alat plat pararel dibilik-bilik separator tersebut. Dengan adanya plat pararel dapat
mengurangi turbulensi dalam separator sehingga akan meningkatkan efisiensi separator.
Plat-plat tersebut dipasang dengan posisi miring guna mendorong minyak terkumpul
dibagian plat kemudian bergerak kepermukaan atas separator.
Minyak yang terkumpul dari separator plat pararel memiliki kandungan air lebih
rendah dibandingkan dengan tipe konvensional.
Alat Oily Water Separtor (OWS) digunakan untuk memisahkan minyak yang
tercampur dengan air got kemudian minyak tersebut akan ditampung dalam tangki dan
setelah air tersebut terpisahkan maka air dapat dibuang ke laut sedangkan minyak kotor
dipakai sebagai bahan bakar pada alat incenerator untuk membakar limbah padat.
3. Prinsip Kerja.
Limbah minyak didapat dari pompa sepanjang tank (bilge feed tank) mengalir
kedalam coarse separating chamber (ruang pemisah kasar) melalui oily water inlet pada
primary coloum (ruang pertama). Setelah limbah minyak yang tercampur dengan air kotor
masuk kedalam ruangan pemutar (chamber tangeentally).
Kemudian sebagai hasilnya minyak mengalir ke ruang pengumpul minyak (oily
collecting chamber) dan menuju keruang pemisah yang halus (fine separating chamber)
melalui bagian tengah buffle plate dan mengalir disekitarnya ke pipa pengumpul air (water
collecting pipe) melalui celah-celah diantara plat-plat
penangkap minyak (oily catch plates). Dalam proses ini minyak mengapung dan menempel
pada kedua sisi di masing-masing plat penangkap sehingga minyak dan air terpisah.
Sesudah pemisahan, air melewati lubang kecil pada water collecting pipe (pipa
pengumpul air) dan mengalir ke ruang pemisah kedua, dengan cara melalui tempat keluar
air (treated water outlet). Pada bagian lain minyak yang menempel pada plat. Lama
kelamaan bertambah banyak dan bergerak perlahan-lahan ke plat-plat sekelilingnya.
Kemudian minyak tertinggal disetiap plat mengapung dan mengalir dengan mudah
pada buffet plate yang berada dibawah aliran air yang berminyak dan akhirnya ke dalam
water collecting chamber melalui dua oil ascending pipes.
Gambar. 1.1. Oily Water Separator
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Butiran minyak yang tidak dapat disaring dalam fist stage dihilangkan dan air yang sudah
dibersihkan dipompakan keluar melalui tempat pembuangan air yang sudah dibersihkan
(purified water outlet). Sementara itu butiran minyak yang ditangkap dalam first stage filter
berkumpul membentuk gumpalan dan mengalir ke oil collection chamber pada bagian atas
dari gravity separating chamber.
4. Cara Pengoperasian.
Sebelum pelaksanaan pastikan bahwa sistem pipa berada pada posisinya sesuai
“piping arrangement” dan sambungan kabel untuk automatic oily controller sudah benar.
Adapun cara pengoperasian dari Oily Water Separator (OWS) adalah :
1. Membuka valve-valve line air laut pada bagian hisap pompa.
2. Membuka semua valve-valve pada bilge suction line dari bilge tank ke pompa.
3. Putar switch automatic oily level controller ke “on”.
4. Menghidupkan bilge feed pump untuk feed bilge ke separating tank.
5. Atur pressure regulating valve ke tekanan antara 0.5 sampai 2.0 kg/cm2.
Sebelum mengawali pekerjaan pengoperasiannya, lakukan pengisian air laut kedalam
separating tank dan biarkan air laut mengalir lebih dari 10 menit. Minyak yang sudah
dipisahkan dalam separating tank berada didalam oily collecting chamber pada bagian atas
ruangan. Minyak dibuang secara otomatis dengan oily level controller jumlah minyak
melebihi dari tinggi yang sudah ditentukan.
5. Stop Operation
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memberhentikan pengoperasian adalah :
1. Mengalirkan air laut lebih dari 10 menit untuk mencegah perubahan kualitas dari
campuran minyak yang tersisa didalam separating tank setelah pekerjaan membuang air
got selesai.
2. Menutup bilge feed pump dan semua valve-valve pada bilge discharge pipe line.
3. Memutar switch pada automatic oil level controller ke “off”.
6. Komponen Oily Water Separator (OWS)
Fungsi komponen-komponen utama dari oily water separator adalah sebagai berikut:
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
1. Tangki pengumpul minyak (oily collecting chamber) fungsinya adalah untuk menampung
minyak yang telah terpisahkan dengan air.
2. Tangki pengumpul air (water collecting pump) fungsinya adalah untuk menampung air
sebelum dikeluarkan dari lambung kapal.
3. Plat penangkap minyak (oily catch plates) fungsinya adalah sebagai tempat menempelnya
minyak setelah melewati plat-plat.
4. Ruangan pemutar (chamber tangentially), fungsinya untuk memutarkan limbah minyak
dalam air got melalui oily water inlet dengan perlahan-lahan.
5. Pompa bilga (bilge pump) fungsinya adalah sebagai pompa untuk membuat air got keluar
lambung kapal.
2. Incinerator
Incinerator adalah tungku pembakar yang merupakan kelengkapan dari OWS atau
sebagai alat pencegah pencemaran di laut.
Gambar. 1.2. Incinerator
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
2. Membakar majun bekas, serbuk kayu, kertas, dan sebagainnya.
3. Membakar minyak pelumas bekas
3. Cara Menjalankan atau Pengoperasian
Langkah-langkah persiapan yang perlu dikerjakan sebelum menjalankan
1. Panasi tangki minyak kotor sampai dengan 600 C
2. Cerat air yang mungkin masih ada di tangki minyak kotor
3. Cerat udara dari pipa-pipa waste oil dan diesel oil melalui saringan isapnya
4. Hidupkan main-switch (source) : periksa lampu-lampu indikator, yakinkan tidak ada yang
menunjuk pada “abnormal” dan sirene alarm tidak berbunyi
5. Aduk waste oil melalui agitating switch (on).
6. Buka damper pemasukan udara dan pengeluaran gas bekas.
7. Masukkan majun melalui pintu pemasukan ke ruang pembakaran.
8. Buka dan atur kerang-kerangan supply & return dari diesel oil dan waste oil.
Cara menjalankan:
1. Tekan tombol “on” dari fan dan burner. Gas yang tidak di dalam ruang pembakaran
dihembus ke luar.
2. Tekan tombol/select switch “on” dari waste oil pump.
3. Tekan tombol/select switch “on” dari ignitor. Percikan bunga api dapat dilihat melalui
lubang/kaca intip. Pompa diesel oil akan hidup.
4. Tunggu/biarkan menyala + 10 menit untuk pemanasan ruang pembakaran.
5. Tekan tombol “on” Solenoid valve. Main burner (waste oil) akan menyala, ditandai dengan
menyalanya lampu hijau dari fire, kalau tidak menyala tekan tombol Reset dan ulangi
langkah 3 – 4.
6. Untuk mendapatkan pembakaran yang stabil, gunakan pembakaran secara simultan
(diesel oil & waste, dua-duanya menyala).
7. Matikan “ignitor”, pemantik akan mati dan pembakaran berjalan normal .
Cara menghentikan:
1. Tutup kerangan pemanas dan matikan agitator dari waste oil tank
2. Bilas pipa waste oil dengan cara mengalirkan diesel oil ke pipa tersebut (dengan
membuka/ menutup kerangka yang perlu).
3. Tekan tombol “off” Solenoid valve, api di brander akan padam.
4. Tekan tombol “off” dari “waste oil pump”.
5. Tekan tombol “off” dari “source”.
6. Selagi incinerator masih hangat dibersihkan automizing cup dan kaca lubang-lubang intip.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
3. Emergency Boom
Emergency boom digunakan untuk penanggulangan tumpahan minyak yang cukup
banyak dan terjadi di perairan terbuka. Pengoperasian emergency boom dapat dilakukan
melalui dua bentuk (konfigurasi) bentangan, yaitu :
1. Konfigurasi U ( Usingle sweep dan U double sweep)
Untuk membentangkan oil boom dengan konfigurasi U single sweep dan double sweep
ini hanya diperlukan satu buah sarana apung/kapal. Tetapi untuk konfigurasi U single sweep,
pada salah satu bagian lambung kapal dan untuk konfigurasi U double sweep pada kedua
lambung kapal, harus dibuatkan dudukan untuk tempat pemasangan arm/JIB yaitu suatu
alat untuk menarik oil boom.
2. Konfigurasi J (double J, J single sweep dan J double sweep)
Untuk membentangkan oil boom dengan konfigurasi J ini, diperlukan 2 buah kapal.
Pada konfigurasi double J diperlukan 3 buah sarana apung, sedangkan untuk
membentangkan oil boom dengan konfigurasi J single sweep dan J double sweep hanya
diperlukan 1 buah sarana apung/kapal. Di dalam pengoperasian sarana apung tersebut
harus dilengkapi dengan arm/JIB pada bagian lambung kapal serta harus tersedia alat untuk
menghisap minyak dan tangki untuk menampung minyak yang telah terkumpul oleh oil
boom.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian emergency boom ini adalah bila
tumpahan minyak yang terkurung oil boom tersebut masih ada yang lolos melalui bawah oil
boom (biasanya disebabkan oleh kuatnya arus air). Bila keadaannya demikian maka harus
segera dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Lakukan perubahan konfigurasi oil boom agar kekuatan arus air tersebut tidak hanya
tertahan di 1 titik bentangan oil boom tersebut. Perubahan ini dilaksanakan secara terus
menerus sambil dilaksanakan pengisapan dengan oil skimmer.
2. Atau lakukan pergeseran-pergeseran konfigurasi oil boom tersebut searah dengan arus
air, sampai dilaksanakan pengisapan dengan oil skimmer.
3. Perawatan / Pemeliharaan
Macam-macam perawatan yang dilakukan antara lain :
1. Furnace body.
Tahapannya sebagai berikut :
1. Check dan bersihkan ruangan dapur setiap selesai dipakai.
2. Check semen dan batu tahan apinya.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
3. Pintu atau lobang masuk dapur, periksa packing, bila sudah mati agar diganti
dengan yang baru.
2. Brander
Tahapannya sebagai berikut :
1. Bersihkan saringan hisap dan atomizing cup setelah dipakai.
2. Setiap 6 bulan buka/check/ bersihkan waste oil pump, bersihkan solenoid valve
dan bersihkan regulation valve.
3. Check dan bersihkan nozzle tube dan elektroda pemantik.
4. Tekanan/Aliran Waste Oil Rendah
Untuk mengatasi tekanan atau aliran waste oil agar tidak rendah, dapat melakukan
tahapan sebagai berikut :
1. Cari kebocoran.
2. Bersihkan saringan.
3. Pastikan semua kerangan terbuka.
4. Pastikan jumlah waste cukup.
5. Periksa pompa, valve regulator dan solenoid valve.
6. Periksa manometer nya.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
tombol “on” dari “fan and burner” dan tekan tombol ”on” dari pemantik, cek bila bunga api
lemah stel jarak elektroda atau ganti trasformer.
7. Brander Waste Oil (Main Burner) Tidak Nyala
Cara mengatasi brander waste oil (main burner) yang tidak menyala dengan
melakukan tahapan sebagai berikut :
1. Pastikan tiap relay berfungsi atau tidak.
2. Bila kelebihan udara, kurangi pembukaan damper udara.
3. Bila waste nilai kalornya rendah, campurlah dengan kalor tinggi.
PERAWATAN / PEMELIHARAAN
2. Brander
Tahapannya sebagai berikut :
1. Bersihkan saringan hisap dan atomizing cup setelah dipakai.
2. Setiap 6 bulan buka/check/ bersihkan waste oil pump, bersihkan solenoid valve dan
bersihkan regulation valve.
3. Check dan bersihkan nozzle tube dan elektroda pemantik.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
1. Waste oil mengandung bahan high calory campur dengan minyak yang low calory.
2. Stel sensor gas temperatur detektor ke temperatur yang lebih tinggi.
3. Periksa dan test thermo couple & limit switch.
5. Door Limit Switch Tidak Berfungsi
Cara mengatasinya sebagai berikut :
1. Tekan handle switch, cabut, bersihkan dan test responsnya.
2. Bila ada respons, setel ke posisi yang diinginkan.
3. Bila tidak ada respons, ganti baru.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat
peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut pada dasarnya sama
dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal
untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran
minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk
mencegah seminimum mungkin minyak yang mencemari laut.
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan menitik
beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti yang dimuat didalam
Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating
Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems”.
Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori
dengan garis besarnya sebagai berikut :
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
1. Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran.
Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang
diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan yang diangkut, bahan bakar
yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah
dan segala bentuk kotoran.
Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan
peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak pencemaran, mulai dari
penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi
tumpahan sampai kepada prosedur dari petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak
dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.
Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan
Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat
dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran terhadap
peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus mendapat hukuman atau denda sesuai
peraturan yang berlaku.
Khusus bahan pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis
besar dibahas sebagai berikut :
Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker
dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan sebagai berikut :
1. Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks Ballast and
Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan
minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang paling tidak salah satu dari
ketiga sistem pencegahan :
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Segregated Ballast Tanks (SBT)
Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki
bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air balas tidak boleh melewati
tanki muatan minyak.
Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut,
bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas permukaan air dan apabila
dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring), minyak dalam air tidak
boleh lebih dari 13 ppm.
Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci tanki
yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan minyak tersisa dalam tanki.
MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil
Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua bentuk termasuk
minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn lain dan
fuel oil, tetapi tidak termasuk produk petrokimia (Annex II)
Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam,
Laut Merah dan daerah Teluk.
Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan
Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar
Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /natical mile
Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank”
dan kapal tanker ukuran 70.000 tons dead weight (DWT) atau lebih paling kurang dilengkapi
“slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal.
Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat
kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang disetujui oleh pemerintah,
berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat
untuk mencatat berapa banyak minyak yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut
harus disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus
dengan otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut
terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a) “Control of Discharge
of Oil”.
Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran
400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki penampungan dimana ukurannya
disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal
untuk menampung sisa minyak yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian
bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar mesin.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai. 2011. Serdang Bedagai dalam
Angka 2011. Katalog BPS. Kabupaten Serdang Bedagai.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Das, M. dan Mishra B. 1990. On The Biology of Psettodes erumei (Bloch &
Schn.), An Indian Halibut. Indian Fish., 37 (2): 79-92.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai, 2008. Data Base
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai, 2009. Data Base
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
70
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai, 2011. Data Base
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai, 2013. Data Base
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2012. Data Kawasan Konservasi
Kabupaten Serdang Bedagai. Diunduh dari http://kkji.kp3k.kkp.go.id pada
tanggal 9 Maret 2014.
Fauzi, A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fishbase, 2014. Ikan Sebelah (Psettodes erumei) Bloch & Schneider, 1801.
Diunduh dari www.fishbase.org pada tanggal 9 Maret 2014.
Food Agriculture Organization (FAO). 1994. The State of World Fisheries and
Aquaculture Opportunities and challenges. Rome.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
71
KAPI KKP, 2014. Database Direktorat Kapal Perikanan dan Kapal Penangkap
Ikan. Jakarta.
Miranti, 2007. Perikanan Gillnet di Pelabuhan Ratu: Kajian Teknis dan Tingkat
Kesejahteraan Nelayan Pemilik. Skripsi. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
72
Realino, B., Wibawa, T. A., Zahrudin D. A dan Napitu, A. M. 2006. Pola Spasial
dan Temporal Kesuburan Perairan Permukaan Laut di Indonesia.
Jembrana. Bali.
Soewito, Subono, Soeparso, M., V. Soetanto, Slamet, S., Soehardi, Rustam B.,
Martono. H. T. Asikin, Siti, R,. 2000. Sejarah Perikanan Indonesia.
Yasamina. Jakarta.
Spare, P. dan Venema, SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku 1.
Penterjemah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Sudirman dan Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Syofyan, I., Syaifuddin, Cendana, F. 2010. Studi Komparatif Alat Tangkap Jaring
Insang Hanyut (Drift Gillnet) Bawal Tahun 1999 dengan Tahun 2007 di
Desa Meskom Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.
Jurnal Perikanan Dan Kelautan 15(1) : 62-70.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Vivekanandan, E., Zacharia, P. U., Feroz Khan M., and Nair R. J. 2003. Status of
Exploited Marine Fishery Resources of India Flatfishes. Central Marine
Fisheries Research Institute (Indian Council of Agricultural Research).
India.
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Modul Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of Counduct For
Responsible Fisheries/CCRF)
Oleh : SAPRIYUN,S.ST.Pi