Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit menular hingga saat ini masih menjadi masalah utama

kesehatan masyarakat Indonesia dan merupakan penyebab tersering

mengakibatkan kematian pada penderitanya. Kementerian kesehatan

Indonesia telah menyusun prioritas sasaran penanggulangan penyakit

menular dalam rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2010 -

2014. Penyakit yang menjadi prioritas tersebut diantaranya adalah

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immuno

Deficiency Syndrome), TB (Tuberkulosis) paru, diare, pneumonia, dan

kusta.

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan

kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh

yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. AIDS adalah

sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan

daya tahan tubuh yang disebabkan oleh faktor luar (bukan dibawa

sejak lahir)[ CITATION Pad142 \l 2057 ].

Penyakit HIV/AIDS ini terus dan tetap menjadi masalah

kesehatan masyarakat global utama. Pada tahun 2016, diperkirakan

36,7 juta orang hidup dengan HIV (termasuk 1,8 juta anak) dengan

prevalensi HIV global 0,8% di antara orang dewasa. Sekitar 30% dari

orang yang sama ini tidak tahu bahwa mereka memiliki virus. Sejak
2

awal epidemi, diperkirakan 78 juta orang telah terinfeksi HIV dan 35

juta orang meninggal karena penyakit terkait AIDS. Pada tahun 2016,

1 juta orang meninggal karena penyakit terkait AIDS. Sebagian besar

orang yang hidup dengan HIV berada di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah, dengan sekitar 25,5 juta

orang yang tinggal di Afrika sub-Sahara. Diantara kelompok ini 19,4

juta tinggal di Afrika Timur dan Selatan [ CITATION UNA17 \l 2057 ].

Di Indonesia pada triwulan I tahun 2017 dilaporkan kasus HIV

baru yang terdeteksi pada periode Januari sampai dengan Maret

2017 mencapai 10.376 kasus. Kasus baru terdeteksi pada kelompok

umur 25-49 tahun (69.6%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun

(17.6%), dan kelompok umur di atas 50 tahun (6.7%). Perbandingan

antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sedangkan, laporan dari

Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan telah mengalami penurunan, jumlah

kasus HIV di Sulawesi Selatan pada tahun 2015 sebanyak 700

kasus, tahun 2016 sebanyak 993 kasus, Januari sampai dengan

Maret tahun 2017 sejumlah 333 kasus. Tapi tidak menutup

kemungkinan jumlah ini akan bertambah di triwulan ke-II ataupun

triwulan ke-III tahun 2017 [ CITATION RIK17 \l 2057 ].

Jika dilihat kembali dari data yang dikumpulkan oleh Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA) Bulukumba, yang mencatat sebanyak

226 orang positif terinfeksi HIV/AIDS pada tahun 2017 di Kabupaten

Bulukumba, dan dari data yang dikemukakan dalam


3

TribunBulukumba.com, jumlah penderita HIV menyebar di seluruh

kecamatan di Kabupaten Bulukumba dan yang terbanyak berada di

Kecamatan Ujung Bulu dengan jumlah 94 kasus, disusul Kecamatan

Bontobahari dengan jumlah 86 kasus dan yang paling terendah

adalah Kecamatan Kindang hanya 1 kasus.

Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi penyebar

HIV/AIDS, keberadaannya saat ini cukup mengkhawatirkan karena

aktivitas yang melekat dalam keseharian mereka. Aktivitas seksual

pada waria dianggap berisiko tinggi karena mereka mempunyai

banyak pasangan seksual pria dan kemungkinan besar pasangan

mereka juga mempunyai banyak pasangan seksual pria lainnya, baik

pria yang sudah/belum menikah (KPAN, 2011).

Masalah utama yang dihadapi waria yang menyebabkan

tingginya prevalensi IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV pada

mereka adalah selaras dengan buruknya distribusi kondom dan

pelumas, rendahnya pemahaman tentang manfaat pelayanan klinik.

Situasi ini membuat upaya untuk menanggulangi masalah HIV pada

waria cukup sulit. Hampir semua waria penjaja seks selama 10 tahun

terakhir mengalami situasi ini. Kemiskinan, pendidikan yang rendah

dan perilaku seks mereka yang berisiko menempatkan mereka, klien

mereka dan pasangan seks mereka berisiko tinggi untuk tertular HIV

(USAID, 2011).
4

Upaya pencegahan terhadap penularan HIV/AIDS pada waria

adalah dengan menggunakan kondom. Akan tetapi berdasarkan hasil

Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (2007) pada kelompok berisiko

terutama waria diketahui bahwa penggunaan kondom pada waria

masih rendah, tidak mencapai 50%. Hal ini disebabkan karena posisi

tawar waria yang rendah terhadap pelanggan, faktor ekonomi dan

kepuasan seks. Pada area Kabupaten Bulukumba sendiri, termasuk

salah satu daerah provinsi Sulawesi Selatan yang telah

mengeluarkan  perda AIDS yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun

2008 tentang Penanggulangan dan Upaya Pencegahan HIV/AIDS

yang didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan

edukasi pada masyarakat tentang HIV/AIDS, serta melaksanakan

pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko

tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria.

Faktor penyebab lainnya adalah Pengetahuan tentang

HIV/AIDS, dimana pengetahuan adalah mengerti setelah melihat,

menyaksikan, mengalami, atau diajar. Pengetahuan sangat penting

peranannya dalam memberikan wawasan terhadap terbentuknya

sikap yang selanjutnya akan diikuti dengan tindakan, Pengetahuan

orang yang baik di harapkan akan menghasilkan perilaku yang baik

pula terhadap penatalaksanaan (Herawati, 2008).


5

Namun demikian, informasi tentang tingkat pengetahuan dan

sikap waria terhadap tindakan pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten

Bulukumba Khusunya di Kecamatan Ujung Bulu belum banyak di

ketahui sehingga berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa perlu dan

tertarik untuk mengetahui: “Hubungan pengetahuan dan sikap

dengan tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria di

kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2018”

B. Rumusan Masalah

Hal yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa waria

merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap peningkatan

jumlah kasus HIV/AIDS, yang disebabkan oleh pengetahuan yang

masih rendah terhadap HIV/AIDS, sikap yang buruk terhadap tindakan

pencegahan penularan HIV/AIDS ataupun penggunaan kondom yang

masih rendah saat melakukan hubungan seksual. Berdasarkan uraian

singkat ini, memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan

pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan waria tentang HIV/AIDS di Kecamatan

Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019?

2. Bagaimana sikap waria terhadap HIV/AIDS di Kecamatan Ujung

Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019?

3. Bagaimana analisis tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS

pada waria di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba

tahun 2019?
6

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban atas pernyataan penelitian yang

telah dirumuskan (Notoatmodjo, 2012). Hipotesis dalam penelitian ini

yaitu:

1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tindakan

pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria di Kecamatan Ujung

Bulu, Kabupaten Bulukumba.

2. Ada hubungan antara sikap dan tindakan pencegahan penularan

HIV/AIDS pada waria di Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten

Bulukumba.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap dengan

tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria di

kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui tingkat pengetahuan waria tentang HIV/AIDS yang

ada di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun

2019.

b. Diketahui sikap waria tentang HIV/AIDS yang ada di Kecamatan

Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019.

c. Diketahui tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria

di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019.


7

d. Diketahui hubungan pengetahuan dengan tindakan pencegahan

penularan HIV/AIDS pada waria di Kecamatan Ujun Bulu

Kabupaten Bulukumba.

e. Diketahui hubungan sikap waria dengan tindakan pencegahan

penularan HIV/AIDS di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten

Bulukumba.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah

ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan acuan bagi

peneliti berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan

pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian yang

merupakan penerapan aplikasi ilmu pengetahuan terkait penyakit

HIV/AIDS khususnya bagi kalangan waria di Kabupaten

Bulukumba.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis Tentang HIV/AIDS dan Pencegahannya

1. Konsep HIV/AIDS

a. Defenisi HIV/AIDS

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis

virus yang menyerang atau menginfeksi sel darah putih yang

menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau

Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan

gejala penyakit yang timbul karena turungnya kekebalan tubuh

yang disebabkan infeksi dari HIV. Akibat menurunnya kekebalan

tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena berbagai

penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal.

Pengidap HIV memerlukan pengobatan Antiretroviral (ARV)

untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak

masuk ke dalam stadium AIDS. Sedangkan pengidap AIDS

memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi

oportunistik dengan berbagai komplikasinya [ CITATION Dit14 \l 2057

].

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome

merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem

kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV.

AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan


9

atau kerusakan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh faktor

luar (bukan dibawa sejak lahir) (Padila, 2014). Sedangkan

menurut (Soedarto, 2012) AIDS atau Acquired

Immunedeficiency Sindrome adalah sindrom yang disebabkan

oleh infeksi virus HIV atau Human Immunodeficiency Virus yang

ditularkan melalui hubungan seksual pria dengan pria, hubungan

heteroseksual atau ditularkan melalui penggunaan satu jarum

suntik secara bergantian, selain itu juga bisa ditularkan dari ibu

penderita AIDS kepada bayi yang di kandungnya pada waktu

proses kelahiran maupun melalui air susu ibu.

b. Etiologi HIV/AIDS

Penyebab AIDS adalah HIV, yaitu retrovirus RNA tunggal.

Virus ini telah diisolasi pada Institut Pasteur di Paris pada tahun

1983. HIV-1 merupakan penyebab pada sebagian besar kasus

AIDS di dunia. HIV- 2 yaitu retrovirus lain yang berkaitan dengan

HIV-1, ditemukan terutama di Afrika Tengah. HIV-2

perkembangannya lebih lambat namun memiliki spectrum

penyakit yang serupa[ CITATION Soe10 \l 2057 ].

AIDS disebabkan oleh virus yang nama ilmiahnya disebut

Human Immunodefeciency Virus (HIV) yang berupa ageng viral

yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan

punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Padila, 2014).


10

c. Cara Penularan HIV/AIDS

Desmawati, (2013) mengatakan bahwa jalur penularan

infeksi HIV serupa dengan infeksi hepatitis B. pada

homoseksual pria, anal intercourse atau anal manipulation akan

meningkatkan kemungkinan trauma pada mukosa rectum dan

selanjutnya akan memperbesar peluang untuk terkena virus HIV

lewat secret tubuh. Peningkatan frekuensi praktik dan hubungan

seksual ini dengan partner yang bergantian juga turut

menyebarkan penyakit ini. Berikut ini beberapa hal seputar

penularan HIV/AIDS:

1). Virus HIV dapat diisolasikan dari cairan semen, sekresi

serviks/vagina, limfosit, air mata, air seni dan air susu ibu.

Namun tidak berarti semua cairan tersebut dapat

menjalarkan infeksi karena konsentrasi virus dalam

cairan- cairan tersebut sangat bervariasi. Sampai saat ini

hanya  darah dan cairan semen (air mani) dan seksresi

serviks/vagina yang terbukti sebagai sumber penularan serta

ASI yang dapat menularkan HIV dari ibu ke bayinya.

2). Virus HIV ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi

darah.

  a) Melalui hubungan seksual

HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita,

tetapi yang terbukti berperang banyak terhadap


11

menularnya penyakit HIV/AIDS adalah air mani, cairan

vagina dan darah yang dapat menyebar melalui hubungan

seksual “yang sangat rawan” dari pria ke wanita, dari

wanita ke pria dan dari pria ke pria, cara hubungan seksual

yang rawan tersebut dapat berlangsung dengan berbagai

macam cara diantaranya yaitu:

1) Penis mitra seksual pengidap HIV masuk kelubang

dubur pasangannya.

2) Penis orang sehat masuk ke lubang dubur mitra seksual

pengidap HIV.

3) Penis mitra seksual pengidap HIV masuk kevagina

orang sehat.

4) Penis orang sehat masuk ke vagina mitra seksual

pengidap HIV.

5) Melakukan senggama terputus dengan mitra seksual

pengidap penyakit HIV/AIDS (NASKAH, 2011).

b) Melalui transfusi darah

Darah merupakan media yang sangat cocok untuk

penyebaran berbagai macam bakteri ataupun virus tak

terkecuali itu virus HIV/AIDS yang berada di dalam tubuh

individu yang telah terinfeksi dan berisiko menular kepada

orang lain yang belum terinfeksi, penularan HIV/AIDS


12

melalui darah ini dapat terjadi dengan berbagai bentuk

diantaranya:

1) Transfusi darah yang mengandung HIV/AIDS.

2) Jarum suntik atau alat suntik lainnya (akupuntur, tato,

tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa

disterilkan dengan baik.

3) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai

orang pengidap HIV/AIDS (NASKAH, 2011).

Djoht (2003), dari hasil penelitiannya menyimpulkan

bahwa risiko penularan HIV/AIDS dikalangan waria sangat tinggi

karena :

1) Hubungan seksual berganti pasangan cukup tinggi,

2) Pemanasan sebelum hubungan seksual seperti minuman

keras, ganja dan lem aibon membuat kesadaran melemah

dan mudah terjadi luka sebagai jalan masuk virus HIV,

3) Pasangan seksual adalah heteroseksual sehingga pasangan

mudah

tertular dari orang lain dan menularkan pada Waria

4) Penggunaan kondom sangat rendah

5) Bentuk seksual anus dan oral sangat memungkinkan

terjadinya penularan HIV/AIDS karena mudah terjadi luka

sebagai jalan masuk virus HIV.


13

6) Air mani mengalir ke dalam anus dan mulut dalam kegiatan

seksual Waria berpeluang menularkan virus HIV karena virus

ini juga tinggal atau berada dalam cairan kelamin.

Dari hasil penelitian Astindari & Lumintang, (2014) pada

kasus HIV/AIDS di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun

2006-2010 didapatkan 3.090 kasus, dengan perbandingan

pasien laki-laki lebih banyak dari pasien perempuan. Cara

penularan tertinggi melalui hubungan seksual yaitu 63,5%. Cara

penularan berikutnya melalui penasun 24,8%, penasun +

seksual 6,3%, dan perinatal 3,2%. Cara penularan melalui

heteroseksual makin meningkat dari tahun 2006 sebanyak 186

orang (47,1%) menjadi 509 orang (71,9%) pada tahun 2010.

d. Tanda dan gejala HIV/AIDS

Penderita yang mengalami HIV dapat dikelompokkan menjadi 4

golongan, yaitu :

1) Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa

inkubasi yang berlansung antara 7 bulan sampai dengan 7

tahun lamanya.

2) Persistent Generalized Lymphadenopaty (PGL) dengan

gejala limfadenopaty umum.

3) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah , demam

dan gangguan system imun.


14

4) Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala

klinik AIDS yang berat berupa diare kronis, hepatomegali,

kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi opotunistik

(Soedarto, 2009).

Menurut kriteria WHO gejala klinik AIDS untuk penderita

dewasa meliputi minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor

1) Gejala major adalah:

a) Berat menurun lebih dari 10%,

b) Diare kronis lebih dari 1 bulan,

c) Demam lebih dari 1 bulan.

2) Gejala minor

a) Batuk lebih dari 1 bulan,

b) Pruritus dermatitis menyeluruh,

c) Infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau

herpes simpleks,

d) Kandidiasis mulut dan orofaring.


15

2. Konsep Tindakan Pencegahan

a. Defenisi Pencegahan

Tindakan pencegahan penyakit mendapat tempat yang

utama, karena dengan tindakan pencegahan akan diperoleh

hasil yang lebih baik, serta memerlukan biaya yang lebih murah

dibandingkan dengan usaha pengobatan maupun rehabilitasi.

Tindakan preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu

dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.

Preventif secara etimologi berasal dari bahasa latin, pravenire

yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau mencegah

untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas,

prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan

untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian

bagi seseorang atau masyarakat. (Nugraha, Wiyatini, &

Wiradona, 2018).

L’Abate dalam Nugraha, Wiyatini, & Wiradona, (2018)

mengatakan bahwa sebagian besar program preventif yang

efektif memliki karakteristik sebagai berikut:

1) Fokus terhadap pemahaman mengenai resiko dan masalah

dari perilaku yang ingin dicegah dalam kelompok sasaran,

2) Desain untuk merubah “life trajectory” dari kelompok sasaran,

dengan menyediakan pilihan dan kesempatan dalam jangka

panjang yang sebelumnya tidak tersedia,


16

3) Kesempatan untuk mempelajari keterampilan hidup baru yang

dapat membantu partisipan untuk menghadapi stress dengan

lebih efektif dengan dukungan sosial yang ada,

4) Fokus dalam menguatkan dukungan dasar dari keluarga,

komunitas atau lingkungan.

b. Tindakan Pencegahan HIV/AIDS

Harus diingat bahwa belum ada vaksin untuk mencegah

HIV/AIDS, dan pengobatannya juga belum ada yang benar-benar

bisa menyembuhkan. Pencegahan sangat tergantung pada

kampanye kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku

individu dalam lingkungan yang mendukung, yang memerlukan

banyak waktu dan kesabaran. Dari segi pencegahan, Soedarto,

(2012) mengatakan untuk mencegah penularan HIV, harus

dilakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi terjadinya

penularan melalui hubungan seksual (baik oral ataupun vaginal)

pada homoseksual maupun heteroseksual dan mencegah

penularan dari ibu hamil penderita infeksi HIV kepada bayinya

(misalnya proses kelahiran dilakukan dengan Section Caesar).

Padila (2014), menambahkan bahwa untuk mencegah

terpajannya seseorang terkena human immunodeficiency virus,

bisa dilakukan dengan beberapa cara diantaranya yaitu:

1) Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak

terinfeksi.
17

2) Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang

tidak jelas status HIV-nya.

3) Segara memeriksakan adanya virus paling lambat 6 bulan

setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.

4) Mencegah infeksi kejanin/bayi baru lahir kemudian tidak

bertukar jarum suntik ataupun jarum tato.

HIV dapat disebarkan melalui hubungan seksual antara

sesama laki-laki, dari laki-laki ke perempuan ataupun sebaliknya.

Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan

pendekatan “ABCDE” yaitu, tidak melakukan aktifitas seksual

(Abstinent) merupakan metode paling aman untuk mencegah

penularan HIV melalui hubungan seksual. Jika tidak

memungkinkan, pilihan kedua adalah tidak berganti-ganti

pasangan (Be faithful). Jika kedua hal tersebut tidak

memungkinkan juga maka pilihan berikutnya adalah

menggunakan kondom (Use Condom), jangan menggunakan

narkoba dan alkohol (No drugs), serta (Equipment) yaitu

menghindari penggunaan alat tajam secara bersama dan tidak

steril (Desmawati, 2013).


18

B. Tinjauan Teoritis Tentang Pengetahuan dan Sikap

1. Konsep pengetahuan

a. Defenisi pengetahuan

Secara etimiologi pengetahuan berasal dari kata dalam

bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of

philosophy dijelaskan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan

yang benar. Ilmu pada dasarnya merupakan usaha untuk

mengorganisasikan common sense, suatu pengetahuan yang

berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan

sehari-hari[ CITATION Ams11 \l 2057 ].

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting untuk membentuk tindakan seseorang (over

behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan adalah mengerti setelah melihat, menyaksikan,

mengalami, atau diajar. Pengetahuan sangat penting

peranannya dalam memberikan wawasan terhadap

terbentuknya sikap yang selanjutnya akan diikuti dengan

tindakan. Pengetahuan orang yang baik di harapkan akan

menghasilkan perilaku yang baik pula terhadap

penatalaksanaan (Herawati, 2008).


19

b. Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan mempunyai

tingkatan yaitu:

1) Tahu

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Termasuk pengetahuan tingkat

ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik

dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur

bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain

menyebutkan, mendefenisikan, menyatakan dan

sebagainya.

2) Memahami

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat

menginterperetasikan materi tersebut secara benar. Orang

yang telah paham terhadap objek materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya.

3) Aplikasi

Ini diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi


20

sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi

kegunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam kontek atau situasi yang lain.

4) Analisis

Adalah suatu harapan untuk menjabarkan suatu materi

atau objek dalam komponen-komponen tetapi masih dalam

struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya dengan

yang lainnya. Kemampuan seperti ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan,

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya.

5) Sintesis

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah

kemampuan untuk menyusun, merencanakan,

meningkatkan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap

suatu teori atau rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi

Dikaitkan dengan kemampuan-kemampuan untuk

melakukan identifikasi atau menilai penilaian terhadap suatu

materi atau suatu objek.


21

c. Cara mengukur tingkat pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin

diukur dari subjek penelitian atau responden, kedalam

pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur yang dapat

kita sesuaikan dengan tingkat tersebut, sedangkan kualitas

pengetahuan dapat diukur dengan scoring yaitu:

1) Tingkat pengetahuan baik bila skor 76-100%,

2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor 56-75%,

3) Tingkat pengetahuan kurang baik jika skor 40-55% [ CITATION

Nur11 \l 2057 ].

d. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut

Mubarok (2007) dalam (Nursalam, 2011) yaitu:

1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan

seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar

mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa

makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula

mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin

banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika

seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat


22

perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan,

informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

Awad, Elim, Dundu, & Ekawardani, (2015)

menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan dari

60 responden waria yaitu SMP/sederajat dengan jumlah 23

responden (38,3%), sedangkan yang paling sedikit ialah

jumlah waria yang tidak pernah sekolah dengan jumlah 3

responden (5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar

waria telah mengikuti jenjang pendidikan formal wajib belajar

9 tahun sehingga dapat memengaruhi tingkat pengetahuan

waria.

2) Pekerjaan

Pada penelitian Cahyati (2011), menyebutkan pada

kelompok waria pekerja seks disebut sebagai kelompok

risiko tinggi IMS. Waria yang berprofesi sebagai pekerja seks

tentunya memiliki partner seks yang lebih banyak

dibandingkan dengan profesi lainnya. Meskipun terkadang

mereka memiliki klien tetap, tetapi jika ada klien baru yang

menggunakan jasa mereka tentunya mereka tidak akan

menolak.

Dalam penelitian Suwandani (2015), Kelompok

kontrol pada responden terbanyak bekerja sebagai pekerja

salon, di mana kebanyakan responden sudah mempunyai


23

pasangan tetap sehingga responden dapat terhindar dari

infeksi menular seksual. Hasil tersebut sama dengan hasil

dari penelitian Eda (2012) bahwa waria bekerja sebagai

pekerja salon (83,0%) dan sebagian dari mereka biasanya

sudah mempunyai pasangan tetap yang menjadi partner

seksnya.

3) Umur

Dari penelitian yang dilakukan oleh [ CITATION YLu15 \l

2057 ], orang risiko tinggi HIV dan AIDS berada dalam

kategori umur di bawah 29 tahun. Berdasarkan hasil

penelitian [ CITATION Uma15 \l 2057 ] analisis data demografi

dari 84 responden menunjukkan bahwa orang risiko tinggi

HIV dan AIDS mayoritas berumur 17-25 tahun (remaja akhir)

yaitu sebanyak 46 orang (54.8%). Hal ini sejalan dengan

data Ditjen PP dan PL kemenkes RI (2014), orang yang

terinfeksi HIV dan AIDS direntang umur produktif. Seiring

dengan perkembangan HIV dan AIDS, kelompok tertentu

ditemukan lebih rentan memiliki perilaku seksual berisiko

terhadap HIV dan AIDS. Kelompok umur remaja merupakan

masa krisis dimana pemahaman terhadap perilaku masih

belum cukup matang. Walaupun kelompok umur remaja

memiliki kemampuan kognitif untuk menentukan perilaku

yang sehat, pada prakteknya remaja sering terdorong oleh


24

kekuatan lain yang membuat mereka tidak berperilaku

secara sehat. Hal ini termasuk perilaku mencoba atau

memulai hubungan seksual (Angreani, 2005).

4) Minat

Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan

yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang

untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya

diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah

dialami seseorang dalam berinteraksi dengan

lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang

kurang baik seseorang akan berusahan untuk melupakan,

namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut

menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan

yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi

kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk sikap

positif dalam kehidupannya.

6) Kebudayaan lingkungan sekitar

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap

kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk

menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin


25

masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu

menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan sangat

berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap

seseorang.

7) Informasi

Informasi merupakan kekuatan seseorang untuk

melakukan sesuatu. Tanpa informasi, seseorang akan

kebingungan menentukan apa yang sebaiknya dilakukan

dalam menghadapi sesuatu. Begitu pula dengan informasi

tentang HIV dan AIDS bagi teman-teman LSL [ CITATION

Eka10 \l 2057 ]. Dari hasil wawancara dalam penelitian

[ CITATION Kan16 \l 2057 ] Menurut para informan, informasi

yang mereka peroleh tentang HIV dan AIDS cukup

membantu mereka terhindar dari HIV dan AIDS. Alasannya

karena mereka sudah tahu bahaya HIV dan AIDS maka

mereka berusaha untuk terhindar darinya. Dan akan sia-sia

bila sudah punya ilmunya tetapi tidak diterapkan dalam

kehidupan nyata.

e. Hubungan pengetahuan dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutri Ana Sianturi di

kabupaten serdang tahun 2012 tentang hubungan faktor

predisposisi, pendukung, dan penguat dengan tindakan

penggunaan kondom pada WPS, dimana ditemukan hasil ada


26

91,8% respondennya berpengetahuan kurang tentang

HIV/AIDS.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

Rahmayani, Hanif, & Sastri, (2013) menunjukkan bahwa lebih

dari separuh responden yaitu sebanyak 70% memiliki tingkat

pengetahuan yang baik terhadap HIV/AIDS dengan jumlah

responden sebanyak 28 waria.

Pengetahuan yang cukup tinggi pada responden

kemungkinan dapat disebabkan oleh karena sebelumnya

pernah mendapatkan penyuluhan tentang HIV/AIDS dan

bimbingan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS dari LSM

terkait. Tingkat pengetahuan yang cukup baik sangat dirasakan

berperang penting dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS.

Namun demikian tingkat pengetahuan seseorang yang baik

mengenai HIV/AIDS tidak secara otomatis akan berbuat positif

terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS, sebaliknya

pengetahuan yang rendah atau kurang mengenai HIV/AIDS

belum tentu akan berbuat hal yang negatif. Akan tetapi

kesimpulan tersebut tidak mengurangi pentingnya pengetahuan

kesehatan tentang suatu hal dimana pengetahuan tentang

kesehatan adalah faktor yang perlu ada sebelum adanya

perilaku sehat karena pengetahuan adalah faktor yang sangat

penting bagi terbentuknya perilaku seseorang dan terbukti


27

bahwa suatu tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan

lebih langgen daripada tindakan yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2009).

Faulina & Prabamurti (2012), menyimpulkan dari hasil

penelitiannya bahwa responden setelah mendapatkan

pengetahuan tentang HIV/AIDS melakukan dua tahap penilaian

sebelum menerima atau memutuskan tindakan yang akan di

ambil. Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan

terhadap risiko yang akan muncul, yaitu berdasarkan pada

kerentanan dirinya terhadap HIV dan kegawatan penyakit

tersebut. Penilaian kedua adalah perbandingan antara

keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk

memutuskan melakukan tindakan pencegahan dan tidak.

Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut

meningkat dan yakin bahwa tindakan yang diambil akan

memberikan keuntungan terhadap dirinya dan dia sanggup

melakukan maka akan terjadi suatu tindakan pencegahan.

2. Konsep Sikap
28

a. Defenisi sikap

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Dengan kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan

(reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup [ CITATION

Ind14 \l 2057 ].

b. Komponen pokok sikap

Menurut Allport (1954) dalam [ CITATION Her09 \l 2057 ]

komponen pokok sikap meliputi hal-hal berikut:

1) Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen tersebut, secara bersama-sama

membentuk total attitude. Dalam hal ini, determinan sikap

yaitu pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi.

Sedangkan menurut Azwar (1995) Struktur sikap dibagi

menjadi 3 komponen yang saling menunjang yaitu:

a) Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang

mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi

objek sikap. Seperti dalam keyakinan ibu bahwa dengan

adanya pengambilan sikap yang tepat dapat mengatasi

gumoh pada bayi.


29

b) Kompenen affektif menyangkut masalah emosional

subyektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara

umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang

dimiliki terhadap sesuatu. Ibu merasa bertanggung jawab

terhadap keadaan bayinya.

c) Komponen konatif menunjukkan bagaimana

kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri

seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang

dihadapinya (Maulana,2009).

c. Fungsi sikap

Sunaryo (2004) dalam (Maulana, 2009), sikap memiliki

lima fungsi, yaitu sebagai berikut:

1) Fungsi instrumental, yaitu sikap yang dikaitkan dengan

alasan atau manfaat dan menggambarkan keadaan

keinginan atau tujuan.

2) Fungsi pertahanan ego, yaitu sikap yang diambil untuk

melindungi diri dari kecemasan atau ancaman harga dirinya

3) Fungsi nilai ekspresi, yaitu sikap yang menunjukkan nialai

yang ada pada dirinya. System nilai individu dapat dilihat

dari sikap yang diambil individu bersangkutan (misalnya,

individu yang telah menghayati ajaran agama, sikapnya

akan tercermin melalui tutur kata ataupun perilakunya.


30

4) Fungsi pengetahuan, setiap individu memiliki motif ingin

tahu. Ingin mengerti, ingin banyak mendapat pengalaman

dan pengetahuan, yang diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari.

5) Fungsi penyesuaian sosial, yaitu sikap yang diambil sebagai

bentuk adaptasi dari lingkungannya.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Beberapa faktor yang ikut berperang dalam membentuk sikap di

antaranya ialah :

1) Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut

membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap

stimulus social. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar

pembentukan sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan

penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman

yang berkaitan dengan objek psikologis yang kemudia

penghayatan itu yang akan membentuk sikap positif ataupun

negatif.

2) Pengaruh kebudayaan
31

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap

kita.

3) Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media

massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan

opini dan kepercayaan terhadap diri seseorang (Maulana,

2009).

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti

[ CITATION Set13 \l 1033 ].

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Tindakan Waria dalam


Pencegahan Penularan
HIV/AIDS

Sikap

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Hubungan antar variabel yang di teliti

BAB III
32

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Dimana

penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik dengan

pendekatan potong lintang (cross sectional). Pada penelitian potong

lintang, peneliti hanya melakukan observasi/pengukuran variabel

independen dan dependen pada satu saat tertentu saja. Pengukuran

variabel tidak terbatas harus tepat pada waktu saat bersamaan,

namun mempunyai makna bahwa setiap subjek hanya dikenai satu

kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan

pengukuran (Saryono & Anggraeni, 2013). Penelitian ini adalah

penelitian untuk mengetahui hubungan antara variabel independen

dan variabel dependen, yaitu untuk mengetahui hubungan

pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tindakan pencegahan

penularan HIV/AIDS dan hubungan sikap terhadap HIV/AIDS dengan

tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus tahun 2019.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Ujung Bulu

Kabupaten Bulukumba tahun 2019.

C. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling


33

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan

dalam suatu penelitian[ CITATION Sar \l 2057 ]. Adapun populasi dalam

penelitian ini adalah semua waria yang berada di Kecamatan

Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba dengan jumlah 67 orang.

2. Sampel

Populasi yang akan diteliti terkadang jumlahnya sangat

melimpah, tempatnya sangat luas dan berasal dari strata/tingkatan

yang berbeda. Adanya keterbatasan waktu, tenaga, biaya dan

sebab lain, penelitian hanya menggunakan sebagian dari populasi

sebagai sumber data. Sebagian dari populasi yang mewakili suatu

populasi disebut sebagai sampel (Saryono & Anggraeni, 2013).

Estimasi besar sampel dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan rumus (Dahlan, 2012) sebagai berikut :

Za =1,96 r = 0,4

Z ß = 0,84 1n 2,33 = 0,84

keterangan:

n = jumlah sampel

Alpha ¿= kesalahan tipe 1 ditetapkan 5%



Za = standard normal deviasi untuk a ¿dapat dilihat pada tabel

distribusi Z = 1,96)

Betha = kesalahan tipe 2 ditetapkan 20%


34

Z ß = standar normal deviasi untuk ß ( dapat dilihat pada tabel

distribusi Z = 0,84)

r = koefisien kolerasi minimal dianggap bermakna ditetapkan 0,4


2
n= Za+Zb

0,5ln 1+ r +3

1-r
2
1,96 +0,84

n= 0,5 ln 1+0,4 +3

1-0,4

2
2,8

n2 = 0,5 . ln2,33 +3
2

28
n2 = 0,5 .ln 0,84 + 3

2
n2 = 2,8

0,5.0,84 +3

2
n= 2,8

0,42

= (6,66)2 + 3= 47

Berdasarkan perhitungan didapatkan besar sampel sebanyak 47

responden.
35

3. Tehnik sampling

Tehnik sampling merupakan teknik pengambilan sampel.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara

Probability sampling yaitu pengambilan sampel secara acak atau

random. Dengan menggunakan tehnik sampel random sampling,

suatau metode pemilihan sampel yang dilakukan dengan memilih

semua individu yang ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan,

sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi (Darma, 2015).

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan peneliti

untuk mengobservasi, mengukur atau menilai suatau fenomena. Data

yang diperoleh dari suatu pengukuran kemudian dianalisis dan

dijadikan sebagai bukti  dari suatu penelitian (Darma, 2017).

Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini pada masing-masing

variabel memakai lembaran kuesioner.

1. Uji Validitas

Uji validitas adalah menyatakan apa yang seharusnya

diukur. Instrumen dikatakan valid jika instumen itu mampu

mengukur apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi

tertentu (Setiadi, 2013).


36

2. Uji Realibilitas

Realibilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh

mana suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat

diandalkan. Hasil pengukuran konsisten bila dilakukan pengukuran

berulang baik konsistensi maupun akurasi datanya. Realibilitas

adalah konsistensi korelasi antara 2 skor yang didapat dari orang

yang sama pada waktu yang berbeda (selang 1 Minggu) (Saryono

& Anggraeni, 2013).

E. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel bebas (independent variabel) disebut juga variabel

sebab yaitu karakteristik dari subjek yang dengan keberadaannya

menyebabkan perubahan pada variabel lainnya (Darma, 2017).

Yang  menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah

pengetahuan dan sikap.

2. Variabel Dependen

Variabel terikat (dependen variabel), adalah variabel

akibat, atau variabel yang akan berubah akibat pengaruh atau

perubahan yang terjadi pada variabel independen (Darma, 2017).

Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah tindakan

waria dalam pencegahan penularan HIV/AIDS.


37

F. Defenisi Operasional

1. Variabel Independen

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan hal ini terjadi setelah

sebelumnya melakukan penginderaan mengenai HIV/AIDS

yang meliputi pengertian, penyebab, cara penularan, gejala

dan cara pencegahan HIV/AIDS.

1) Kriteria objektif :

a) Tingkat pengetahuan baik bila skor 76-100% atau

jawaban benar > 15 pernyataan.

b) Tingkat pengetahuan cukup bila skor 56-75% atau

jawaban benar 11 – 14 pernyataan.

c) Tingkat pengetahuan kurang baik jika skor < 55%

atau jawaban benar < 11 pernyataan.

2) Alat ukur : Lembaran Kuesioner

3) Skala ukur : Ordinal

b. Sikap

Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari waria

(pernyataan setuju atau tidak setuju) terhadap pernyataan-

pernyataan yang berkaitan dengan HIV/AIDS.

1) Kriteria Objektif :

a) Positif : Jika total skor ≥ 50%,

b) Negatif : Jika total skor < 50%.


38

2) Alat ukur : Lembaran Kuesioner

3) Skala ukur : Ordinal

2. Variabel Dependen

a. Tindakan Pencegahan

Tindakan pencegahan merupakan suatu kegiatan atau

aktifitas yang dilakukan oleh waria tentang tindakan nyata

untuk mencegah terinfeksi HIV/AIDS.

1) Kriteria Objektif :

a) Baik : Jika total skor ≥ 50%

b) Buruk : Jika total skor < 50%

2) Alat ukur : Lembaran Kuesioner

3) Skala ukur : Ordinal

G. Tehnik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau

yang bersangkutan dan yang memerlukannya. Biasa juga disebut

data asli atau data yang baru [ CITATION DrS15 \l 2057 ]. Data primer

dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden dengan

memberikan sejumlah pernyataan tertulis yang terdapat dalam

lembar kuesioner.
39

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,

tidak langsung didapatkan oleh peneliti dalam penelitiannya

(Saryono & Anggraeni, 2013). Data sekunder dalam penelitian ini

adalah berisi nama dan alamat waria yang ada di Kecamatan

Ujung Bulu yang didapatkan melalui Ketua Waria Kabupaten

Bulukumba.
40

H. Alur Penelitian

Pengajuan judul

Pengambilan data awal

Proposal penelitian:
Hubungan persepsi tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual
waria di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba

Hipoteis penelitian:
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS
2. Ada hubungan antara sikap dan tindakan pencegahan
penularan HIV/AIDS.

Populasi : Sampel:
Jumlah sampel dalam
Dalam penelitian ini sejumlah penelitian ini sebanyak 47
67 orang orang

Instrumen penelitian:
Izin penelitian Lembar kuesioner yang
dibagikan kepada responden

Pengumpulan data:
Menggunakan lembaran
kuesioner

Variabel Tempat penelitian: Kecamatan Variabel


independen: Ujung Bulu Kabupaten dependen:
pengetahuan Bulukumba tindakan
dan sikap pencegahan
penularan
Analisa data: Univariat HIV/AIDS
Gambar 4.1 Alur Penelitian
dan bivariat
Gambar 3.1 Alur penelitian
41

I. Pengelolaan dan Analisa Data

1. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya

data tersebut diolah dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing

Data yang terkumpul diperiksa dan di susun urutannya serta di

lihat apakah ada kesamaan dalam pengisian dan bagaimana

kosistensi jawabannya.

b. Coding

Melakukan pengkodean sesuai dengan alternative jawaban

yang ada untuk memudahkan entri data.

c. Scoring

Skor untuk setiap pernyataan ada dalam kuesioner.

d. Entri data

Merupakan kegiatan memproses data yang didapatkan dari

kuesioner kemudian dianalisis dengan cara memasukkan data

tersebut ke-paket program SPSS for windows.

e. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

entry apakah ada kesalahan atau tidak atau kegiatan peneliti

dalam memasukkan data-data hasil penelitian kedalam table-

tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan

kuesioner yang telah ditentukan skornya.


42

2. Analisa Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan analisa data dengan

perhitungan statistik dengan cara:

a. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan untuk

menganalisis tiap variabel, baik itu variabel bebas dan variabel

terikat[ CITATION Suj14 \l 1057 ].

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat berfungsi untuk mengetahui hubungan

antara variabel dependen atau variabel independent. Untuk

menguji kepastian sebaran data yang diperoleh. Peneliti akan

menggunakan uji Chi-Square gabung cell. Uji ini bertujuan untuk

melihat ada atau tidaknya perbedaan proporsi yang bermakna

antara distribusi frekuensi yang diamati dengan di harapkan

dengan derajat kemaknaan 0,05. Bila P-Value < 0,05 berarti ada

perbedaan yang bermakna (Ho di tolak) sedangkan P-Value >

0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna (Ho diterima).


43

J. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian yang berjudul ‘’Hubungan

Pengetahuan dan sikap terhadap tindakan pencegahan penularan

HIV/AIDS pada waria di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten

Bulukumba tahun 2019’’. Peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan

permohonan ijin kepada instansi tempat penelitian. Setelah mendapat

persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan memperhatikan

masalah etika penelitian yang diuraikan berdasarkan prinsip KNEPK

yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Informed consend

Merupakan pernyataan kesediaan dari subjek penelitian

untuk diambil datanya dan diikutsertakan dalam penelitian. Dalam

informed consend harus ada penjelasan tentang penelitian yang

akan dilakukan baik mengenai tujuan penelitian, tata cara

penelitian, manfaat yang akan diperoleh, risiko yang mungkin

terjadi dan adanya pilihan bahwa subjek penelitian dapat menarik

diri kapan saja.

2) Benefiscience

Benefiscience artinya berbuat baik. Peneliti melaksanakan

penelitiannya sesuai dengan prosedur, peneliti juga mendapatkan

hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subjek

penelitian dan dapat digeneralisasikan ditingkat populasi.


44

3) Justice

Prinsip keadilan memiliki konotasi latar belakang dan

keadaan untuk memenuhi prinsip keterbukaan. Penelitian

dilakukan secara jujur, hati-hati, professional, ber-

perikemanusiaan dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,

keseksamaan, kecermatan, intinitas, psikologis serta perasaan

religious subjek penelitian.


45

K. Jadwal Penelitian

D J F A J
N No Ma M Ju
Uraian Kegiatan e a e p ul
o p r ei ni
s n b r i
1 Penetapan Panitia
Penyusunan Buku
2
Panduan
3 Pengajuan Judul
4 Screening Judul
Penetapan
5
Pembimbingan
Persiapan
6
Pembimbingan
7 Penetapan Penguji
Pembimbingan
8
Proposal
9 Ujian Proposal
1 Pelaksanaan
0 Penelitian
1
Ujian Hasil
1
Keterangan :

: Pelaksanaan Proposal

: Proses Penelitian

: Pelaksanaan Skripsi

Struktur Organsasi :
Pembimbing Utama : Andi Baso Tombong, S.Kep, Ns, MANP
Pembimbing Pendamping : Hamdana S.Kep, Ns, M.Kep
Peneliti : Andi Wispa Nursyam
46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Buka dulu dengan penjelasan penelitian dek, dimana, kapan dan

pada berapa subyek penelitian. Jangan langsung table.

1. Karakteristik responden

Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)


Remaja Akhir (17-25) 16 34.0
Umur Dewasa Awal (26-35) 17 36.2
Dewasa Akhir (36-45) 12 25.5
Lansia Awal (46-55) 2 4.3
SD 13 27.7
Pendidikan SMP 17 36.2
SMA 17 36.2
Jumlah 47 100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa

distribusi responden umur dewasa awal (26-35) sabanyak 17

orang (36,2%) sedangkan yang berumur lansia awal (46-55)

sebanyak 2 orang (4,3%). Berdasarkan penjelasan di atas

diketahui bahwa responden terbanyak pada penelitian ini

adalah pendidikan SMA sebanyak 17 orang (36,2%)

sedangkan responden yang berpendidikan SD sebanyak 13

orang (27,7%).
47

2. Hasil Univariat

a. Pengetahuan

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan

Pengetahuan Frekuensi (f) Persentase (%)


Baik 28 59.6
Cukup 15 31.9
Kurang 4 8.5
Jumlah 47 100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa lebih

dari separuh (59,6%) responden memiliki pengetahuan tentang

HIV-AIDS yang berpegetahuan baik yaitu 28 orang,

pengetahuan yang cukup sebanyak 15 orang (31.9%)

sedangkan yang berpengetahuan kurang sebanyak 4 orang

(8.5%).

b. Sikap

Table 4.3
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap

Sikap Frekuensi (f) Persentase (%)


Positif 34 72.3
Negatif 13 27.7
Jumlah 47 100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.3 di atas diketahui bahwa lebih dari

sebagian responden memiliki sikap positif dalam pencegahan

HIV-AIDS yaitu sebanyak 34 orang (72,3%), sedangkan sikap


48

negatif dalam tindakan pencegahan sebanyak 13 orang

(27,7%).

c. Tindakan Pencegahan

Table 4.4
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tindakan Pencegahan

Tindakan Frekuensi (f) Persentase (%)


Baik 20 42.6
Buruk 27 57.4
Jumlah 47 100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.4 di atas lebih dari separuh

responden memiliki tindakan baik terhadap pencegahan

HIV-AIDS sebanyak 20 responden (42,6%), sedangkan

responden yang memiliki tindakan yang buruk sebanyak 27

orang (57,4%).

3. Hasil Bivariat

a. Hubungan pengetahuan dengan tindakan pencegahan HIV dan

AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu, Kabupaten

Bulukumba tahun 2019.

Tabel 4.5
Analisis Hubungan Pengetahuan Dengan
Tindakan Pencegahan Hiv Dan Aids Pada Waria Di Kecematan Ujung Bulu
Kabupaten Bulukumba

Pengetahuan Tindakan P
Baik Buruk Total

N % N % N %
Baik 7 25,0 21 75,0 28 59,6 0,004
Kurang 13 68,4 16 31,6 19 40,4
Jumlah 20 100 27 100 47 100
Sumber : *Chi Square
49

Berdasarkan tabel 4.5 di atas terlihat bahwa persepsi

responden tentang pengetahuan baik dengan tindakan baik

sebanyak 7 orang (25,0%), kategori pengetahuan cukup dan

kurang dengan tindakan baik sebanyak 13 orang (68,4%),

kategori pengetahuan baik dengan tindakan buruk sebanyak

21 orang (75,0%), sedangkan pengetahuan cukup dan kurang

dengan tindakan buruk sebanyak 16 orang (31,6%)

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji

statistik Uji Pearsone Chi Square diperoleh nilai p = 0,000 <ɑ =

0,05, Namun, setelah diinterpretasi, ternyata terdapat 2 cell

(33,3%) yang memiliki nilai excepted count kurang dari 5.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti kemudian melakukan uji

alternatif yaitu melakukan uji gabung cell dan diperoleh nilai

p=0,004 <ɑ = 0,05. Berdasarkan hasil tersebut dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan dengan

tindakan pencegahan penularan HIV dan AIDS pada waria di

Kecematan Ujung Bulu.

b. Hubungan sikap dengan tindakan pencegahan penularan HIV

dan AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu Kabupaten

Bulukumba tahun 2019.

Tabel 4.6
Analisis Hubungan Sikap Dengan
Tindakan Pencegahan Hiv Dan Aids Kecematan Ujung Bulu
Kabupaten Bulukumba

Sikap Tindakan P
50

Baik Buruk Total

n % N % N %
Positif 18 52.9 16 47.1 34 72.3 0,020
Negatif 2 5.5 11 7.5 13 27.7
Jumlah 20 100 27 100 47 100

Sumber : * Uji Chi Square

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa persepsi

responden tentang sikap positif dengan tindakan baik

sebanyak 18 orang (52,9%), kategori sikap negatif dengan

tindakan baik sebanyak 2 orang (5,5%), kategori sikap positif

dengan tindakan buruk sebanyak 16 orang (47,1%),

sedangkan kategori sikap negatif dengan tindakan buruk

sebanyak 11 orang (7,5%).

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji

statistik Uji Chi Square di peroleh nilai p = 0,020 <ɑ = 0,05.

Berdasarkan hasil akhir tersebut dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan sikap dengan tindakan pencegahan penularan HIV

dan AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu.


51

B. Pembahasan

1. Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari

separuh responden yaitu sebanyak (59.6%) memiliki tingkat

pengetahuan yang baik terhadap HIV-AIDS dengan jumlah

responden sebanyak 28 orang waria dan tingkat pengetahuan

yang cukup sebanyak (31.9%) atau setara dengan 15 orang waria

sedangkan pengetahuan yang kurang sebanyak 4 orang (8.5%)

waria.

Hal ini sejalan dengan penelitian Awad, Elim, Dundu &

Ekawardani (2015), di Kota Manado pada penelitian perbedaan

tingkat pengetahuan dan sikap tentang hiv/aids pada waria pekerja

seks komersial dan waria non-pekerja seks komersial, pada

penelitian ini ditemukan hasil yang cukup signifikan dimana tingkat

pengetahuan sebagian besar responden sudah mempunyai

pengetahuan yang baik dengan jumlah 30 responden (50%),

pengetahuan cukup dengan jumlah 27 responden (45%) dan

pengetahuan kurang berjumlah 3 responden (5%) hal ini

disebabkan oleh tingkat pendidikan responden dimana semakin


52

tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah

menyerap informasi termasuk juga informasi kesehatan sehingga

mereka tahu bagaimana dan seperti apa penyakit HIV-AIDS.

Hasil penelitian diatas juga memperkuat teori Nursalam

(2011) bahwa ada banyak hal yang bisa mempengaruhi

pengetahuan seseorang diantaranya adalah tingkat pendidikan,

sumber informasi, lingkungan serta pengalaman.

Adapun asumsi peneliti terkait dengan hasil penelitian

bahwa pengetahuan yang cukup tinggi pada responden, selain

bisa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden, juga

disebabkan oleh terbentuknya organisasi seperti Wakreba (Waria

Kreatif Bulukumba) yang sangat membantu dan menfasilitasi para

kelompok waria yang bergabung didalamnya serta menjadi

jembatan antara KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah)

Kabupaten Bulukumba dalam menyampaikan informasi mengenai

HIV-AIDS kepada mereka, serta kemajuan tehnologi yang

berkembang pesat sehingga informasi tentang HIV-AIDS mudah

didapatkan.

Hal ini juga diungkapkan dari hasil penelitian Rahmayani,

Hanif & Sastri (2013), yang menunjukkan bahwa dari 40

responden, 28 diantaranya (70%) memiliki tingkat pengetahuan

yang baik terhadap HIV-AIDS, pengetahuan yang cukup tinggi

pada responden disebabkan oleh karena sebelumnya responden


53

pernah mendapatkan penyuluhan tentang HIV-AIDS dan

bimbingan dalam pencegahan penularan HIV-AIDS dari LSM

terkait.

Penelitian ini juga di dukung dari hasil wawancara dalam

penelitian [ CITATION Kan16 \l 2057 ] menurut para informan, informasi

yang mereka peroleh tentang HIV dan AIDS didapatkan memalui

penyuluhan dan media masa (internet) sehingga cukup membantu

mereka terhindar dari HIV dan AIDS alasannya karena mereka

sudah tahu bahaya HIV dan AIDS maka mereka berusaha untuk

terhindar darinya dan akan sia-sia bila sudah punya ilmunya tetapi

tidak diterapkan dalam kehidupan nyata. Informasi merupakan

kekuatan seseorang untuk melakukan sesuatu jika tanpa informasi,

seseorang akan kebingungan menentukan apa yang sebaiknya

dilakukan dalam menghadapi sesuatu, begitu pula dengan

informasi tentang HIV dan AIDS bagi teman-teman LSL [ CITATION

Eka10 \l 2057 ].

2. Sikap

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan sebanyak 72,3%

responden memiliki sikap positif tentang HIV-AIDS, angka

tersebut menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden

mempunyai sikap positif tentang HIV-AIDS yaitu sebanyak 34

responden, sedangkan 27,7% atau 13 responden lainnya

mempunyai sikap negatif tentang HIV-AIDS. Maksud dari sikap


54

positif tentang HIV-AIDS adalah waria sudah mempunyai

pengetahuan yang cukup baik tentang HIV-AIDS dan mempunyai

niat serta kesadaran untuk melakukan pencegahan terhadap HIV-

AIDS pada dirinya.

Peneliti berasumsi bahwa sikap positif yang didapatkan

terhadap pencegahan penularan HIV-AIDS pada waria

dipengaruhi oleh media massa yang mempunyai pengaruh besar

terhadap tingkat pengetahuan yang tinggi tentang bahaya dari

penyakit HIV/AIDS sehingga membentuk sikap tentang negatif

atau positifnya sesuatu terhadap perilaku seksual pada diri waria.

Hal ini juga semakin memperkuat teori Maulana, (2009) bahwa

media massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan

opini dan kepercayaan tentang negatif atau positifnya sesuatu

terhadap diri seseorang.

Hal ini sejalan dengan penelitian Faulina dan Prabamurti

(2012) bahwa Persepsi tentang kerentanan diri responden (waria)

terkena HIV/AIDS didapat sebanyak 44,9% responden termasuk

kategori sedang, 34,7% responden termasuk kategori kurang dan

sisanya (20,4%) responden termasuk kategori baik, mayoritas

responden menyadari bahwa dirinya sebagi waria termasuk

kelompok resiko tinggi tertular HIV karena perilaku seksualnya,

namun demikian sebagian besar responden masih percaya

dengan minum obat antibiotik dan setia dengan pasangannya


55

dapat membebaskan dirinya dari HIV/AIDS meskipun tanpa

memakai kondom dalam melayani Pasangan.

Hal tersebut berarti sesuai dengan pendapat Becker dalam

teori HBM yang menyatakan bahwa seseorang akan bertindak

untuk melakukan pencegahan atau pengobatan penyakitnya

apabila dirinya merasa rentan terhadap serangan penyakit

tersebut (Notoatmodjo, 2012).

3. Tindakan pencegahan

Berdasarkan tabel 4.4 lebih dari separuh responden

memiliki tindakan yang buruk sebanyak 27 orang (57,4%).

Sedangkan responden yang memiliki tindakan baik terhadap

pencegahan HIV-AIDS sebanyak 20 responden (42,6%).

Dari hasil penelitian Arisdiani dan Asyrofi, (2019) tentang

hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap pencegahan HIV-

AIDS pada waria, dari 30 sampel dalam penelitian ditemukan

bahwa waria yang memiliki sikap pencegahan yang baik

sebanyak 17 (56,7%) responden dan waria yang memiliki sikap

pencegahan yang cukup sebanyak 11 (36,7%) orang, sedangkan

yang bersikap kurang terhadap pencegahan ditemukan sebanyak

2 (6,7%) orang, hal ini dikarenakan waria telah mendapatkan

informasi melalui petugas kesehatan maupun sarana informasi

lain seperti buku dan informasi akses internet, sikap yang baik
56

akan berdampak pada perilaku seseorang, termasuk perilaku

seksual.

Adapun asumsi peneliti dalam penelitian ini bahwa

sebagian responden belum memiliki tindakan pencegahan yang

baik terhadap hal-hal yang berhubungan dengan tindakan-

tindakan pencegahan penularan HIV-AIDS seperti kurangnya

responden yang menggunakan kondom saat melakukan

hubungan biologis dengan pasangannya serta kurangnya

kesadaran dari responden untuk melakukan tes HIV.

Dalam penelitian Lestari, Shaluhiyah & Demartoto, (2015)

menyebutkan bahwa dari 170 LSL yang menjadi responden

terdapat 46,7% responden yang masih kurang dalam mengatur

perilaku untuk melakukan VCT karena responden merasa adanya

stigma dan diskriminasi terhadap LSL untuk melakukan VCT

sehingga dapat menghambat LSL melakukan VCT selain itu

pemeriksaan VCT juga bersifat suka rela, hal ini menggambarkan

belum adanya kesungguhan dari responden untuk melakukan

VCT.

Terkait dengan tindakan pencegahan berupa alat

kontrasepsi, dalam penelitian Palupi, (2012) menunjukkan bahwa

penggunaan kondom pada saat berhubungan seksual pada waria

di Yogyakarta masih sangat minim, hal ini disebabkan oleh


57

keengganan baik pengguna jasa waria maupun waria itu sendiri

untuk menggunakan kondom, alasannya bahwa menggunakan

kondom dapat mengurangi kenikmatan. Menurut Koeswinarno

dalam Notoatmodjo (2009) munculnya mitos-mitos seks secara

psikologis berdampak pada keengganan waria menggunakan

kondom dimana hal tersebut menjadi kendala utama program

pemakaian kondom, mitos ini mengalahkan berbagai risiko yang

kemungkinan muncul dari perilaku seksual yang tidak aman.

Dari hasil penelitian Djhot, (2003) Penggunaan kondom

dikalangan Waria sangat rendah, berdasarkan kasus di Abepura

dan dari 15 Waria yang jadi informan hanya 3 Waria di Abe dan 2

Waria di yang memakai kondom ketika hubungan seks, itupun

frekuensi penggunaan kondom sangat rendah, rata-rata setiap

Waria memakai kondom 2-3 kali dari sekian banyak hubungan

seks dan umumnya inisiatif memakai kondom ketika hubungan

seks datang dari pasangan seksualnya, jika dilihat dari perspektif

pencegahan HIV/AIDS maka penggunaan kondom dikalangan

Waria sangat rendah, yaitu 3,3% untuk Abepura dan 7,5% untuk

kota Sorong, sehingga bisa kita bayangkan penularan HIV/AIDS

sangat mudah terjadi di Abepura.

Hal ini juga mendukung teori padila (2014), bahwa diantara

cara untuk mencegah seseorang terpajan dengan HIV ialah

melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak


58

terinfeksi dan menggunakan pelindung (Kondom) jika

berhubungan dengan orang yang tidak jelas status HIV-nya.

4. Hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan

penularan HIV-AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu,

Kabupaten Bulukumba.

Berdasarkan hasil anilasa bivariat pada tabel 4.5 di atas

terlihat bahwa persepsi responden tentang pengetahuan baik

dengan tindakan baik sebanyak 7 orang (25,0%), kategori

pengetahuan cukup dengan tindakan baik sebanyak 13 orang

(68,4%), kategori pengetahuan baik dengan tindakan buruk

sebanyak 21 orang (75,0%), sedangkan pengetahuan cukup

dengan tindakan buruk sebanyak 16 orang (31,6%).

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji

statistik Uji Chi Square di peroleh nilai p = 0,000 < ɑ = 0,05,

Namun, setelah diinterpretasi, ternyata terdapat 2 cell (33,3%)

yang memiliki nilai excepted count kurang dari 5. Berdasarkan hal

tersebut, peneliti kemudian melakukan uji alternatif yaitu dengan

melakukan uji gabung cell dan diperoleh nilai p= 0,003 <ɑ = 0,05.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan pengetahuan dengan tindakan pencegahan penularan

HIV dan AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu, Kabupaten

Bulukumba.
59

Hasil penelitian tersebut tidak semakna dengan penelitian

Fadhali, et,al, (2012) yang mengatakan bahwa responden

melakukan praktek pencegahan secara baik lebih besar pada

responden yang memiliki pengetahuan tinggi dibandingkan

dengan responden yang berpengetahuan rendah, artinya semakin

tinggi pengetahuan responden maka semakin baik pula dalam

mencegah penularan HIV-AIDS, dan semakin rendahnya

pengetahuan responden maka semakin rendah pula dalam

melakukan pencegahan, dimana hasil uji statistik diperoleh nilai p

= 0,002 (p > 0,05). Hal ini berarti ada hubungan pengetahuan

dengan praktik pencegahan.

Dari hasil penelitian Setyowati, (2015) sejalan dengan

penelitian Fadhali, (2012) dimana hasil penelitian responden yang

berpengetahuan baik cenderung untuk memakai kondom pada

saat transaksi seksual. Sedangkan responden yang

berpengetahuan kurang cenderung untuk tidak memakai kondom

pada saat transaksi seksual, dimana hasil uji statistik diperoleh

nilai p = 0,001 (p > 0,05). Hal ini berarti ada hubungan

pengetahuan dengan praktik pemakaian kondom.


60

Pengetahuan sangat penting peranannya dalam

memberikan wawasan terhadap terbentuknya sikap yang

selanjutnya akan diikuti dengan tindakan dan diharapkan bahwa

pengetahuan yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik

pula terhadap penatalaksanaannya (Herawati, 2008).

Peneliti berasumsi bahwa berdasarkan hasil pengujian

ditemukan bahwa pengetahuan responden pada penelitian ini

sudah tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan serta terpajannya

responden dengan media-media yang sangat dapat memberikan

informasi pada responden. Dari hasil wawancara dalam penelitian

[ CITATION Kan16 \l 2057 ] menurut para informan, informasi yang

mereka peroleh tentang HIV dan AIDS didapatkan memalui

penyuluhan dan media masa (internet) sehingga cukup membantu

mereka terhindar dari HIV dan AIDS alasannya karena mereka

sudah tahu bahaya HIV dan AIDS maka mereka berusaha untuk

terhindar darinya dan akan sia-sia bila sudah punya ilmunya tetapi

tidak diterapkan dalam kehidupan nyata. Sedangkan,

Pada tindakan pencegahan responden pada penelitian ini

ditemukan tindakan pencegahan pada 27 responden memiliki

tindakan pencegahan yang buruk dan diantara penyebabnya

adalah responden masih kurang dalam memeriksakan

kesehatannya berupa tes HIV pada LSM terkait hal ini sejalan

dengan penelitian Lestari, Shaluhiyah & Demartoto, (2015)


61

menyebutkan bahwa dari 170 LSL yang menjadi responden

terdapat 46,7% responden yang masih kurang dalam mengatur

perilaku untuk melakukan VCT karena responden merasa adanya

stigma dan diskriminasi terhadap LSL untuk melakukan VCT

sehingga dapat menghambat LSL melakukan VCT selain itu

pemeriksaan VCT juga bersifat suka rela, hal ini menggambarkan

belum adanya kesungguhan dari responden untuk melakukan

VCT.

4. Hubungan sikap dengan tindakan pencegahan penularan HIV dan

AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa persepsi

responden tentang sikap positif dengan tindakan baik sebanyak

18 orang (52,9%), kategori sikap negatif dengan tindakan baik

sebanyak 2 orang (5,5%), kategori sikap positif dengan tindakan

buruk sebanyak 16 orang (47,1%), sedangkan kategori sikap

negatif dengan tindakan buruk sebanyak 11 orang (7,5%). Dari

hasil tersebut dapat diketahui bahwa masih ada 16 responden

yang tindakan pencegahannya buruk tetapi sikapnya positif,

namun hal ini tidak mempengaruhi hasil penelitian karena 18

responden yang sikapnya positif memiliki tindakan pencegahan

yang baik.
62

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji

statistik Uji Chi Square di peroleh nilai p = 0,020 <ɑ = 0,05.

Berdasarkan hasil akhir tersebut dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan sikap dengan tindakan pencegahan penularan HIV dan

AIDS pada waria di Kecematan Ujung Bulu, Kabupaten

Bulukumba.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahmayani, et,al,

(2013) mengatakan bahwa responden dengan tindakan

pencegahan yang baik lebih tinggi pada sikap positif (14 orang

responden) dibandingkan dengan tindakan pencegahan sikap

yang kurang, dimana dari hasil uji statistik didapatkan nilai

p=0,048 yaitu p<0,05, hal ini berarti ada hubungan yang

bermakna antara sikap dengan tindakan pencegahan penularan

penyakit HIV-AIDS.

Penelitian Raynera, et, al, (2013) mengatakan bahwa

responden yang memiliki sikap positif dengan perilaku positif akan

cenderung berhasil dalam kaitannya dengan pencegahan IMS

dan dalam penelitian ini didapatkan gambaran bahwa sikap yang

positif akan menjadikan perilaku yang positif pula dari seseorang,

dari hasil uji chi-square didapatkan bahwa p value sebesar 0,001

atau < 0.05, hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara sikap dengan perilaku pencegahan IMS.


63

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak

dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, dengan kata

lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau

aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau reaksi

tertutup (Indriyani & Asmuji, 2014).

Peneliti berasumsi bahwa berdasarkan hasil pengujian

ditemukan bahwa sikap responden pada penelitian ini sudah

positif sedangkan pada tindakan pencegahan, pada penelitian ini

ditemukan tindakan pencegahan pada 27 responden memiliki

tindakan pencegahan yang buruk dan diantara penyebabnya

adalah kurangnya responden yang menggunakan kondom saat

melakukan hubungan biologis dengan pasangannya, hal ini

sejalan dengan penelitian Palupi, (2012) menunjukkan bahwa

penggunaan kondom pada saat berhubungan seksual pada waria

di Yogyakarta masih sangat minim, Hal ini disebabkan oleh

keengganan baik pengguna jasa waria maupun waria itu sendiri

untuk menggunakan kondom, alasannya bahwa menggunakan

kondom dapat mengurangi kenikmatan.

Berdasarkan pada asumsi peneliti diatas dapat

disimpulkan bahwa responden yang memiliki sikap yang positif

belum tentu mempunyai tindakan pencegahan yang baik dan

pada hasil bivariat ditemukan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara sikap dengan tindakan pencegahan penularan


64

HIV-AIDS pada waria di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten

Bulukumba tahun 2019. Hal ini sejalan dengan penelitian Sianturi

(2012), dimana pada variabel sikap ada 76,3% responden

bersikap Baik, 22,7% bersikap Sedang dan 1% bersikap Kurang

dan pada tindakan pencegahan memakai kondom diperoleh

54,6% responden tidak baik menggunakan kondom dan 45,4%

responden baik menggunakan kondom. Hasil uji chi-square

menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan

tindakan responden menggunakan kondom pada saat

berhubungan Seksual.
65

C. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peneliti merupakan peneliti pemula, sehingga banyak hal yang

harus dipelajari bersamaan dengan jalannya penelitian. Adanya

berbagai kendala yang ditemui seperti adanya keterbatasan waktu

dan tenaga yang sangat dirasakan mulai dari pelaksanaan

penelitian, pengolahan data sampai dengan penyusunan skripsi.

b. Kertebatasan teori dalam pemenuhan dalam bentuk buku yang

menunjang tinjauan teoritis dalam penelitian ini banyak

menggunakan hasil penelitian terdahulu dalam bentuk jurnal.

c. Beberapa responden masih sangat tertutup ketika awal penelitian,

baik identitas responden ataupun didalam menjawab pertanyaan

dari peneliti. Dalam hal ini peneliti sudah berupaya untuk

meyakinkan bahwa identitas responden dan dokumentasi yang

melibatkan responden akan dijaga privasinya.

d. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional

yang mengacu kepada satu saat tertentu saja sehingga peneliti

kurang peka terhadap kondisi responden maupun lingkungan

tempat responden berada.


66

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Diketahuinya hubungan pengetahuan dan sikap dengan

tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria di kecamatan

Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba tahun 2019.

a. Distribusi tingkat pengetahuan waria tentang HIV/AIDS rata-rata

berpengetahuan baik.

b. Diketahui sikap waria tentang HIV/AIDS rata-rata bersikap positif.

c. Diketahui tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria

rata-rata pada kriteria buruk.

d. Diketahui terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tindakan

pencegahan penularan HIV/AIDS pada waria dengan nilai p <

……..

e. Diketahui terdapat hubungan antara sikap waria dengan tindakan

pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Ujung Bulu

Kabupaten Bulukumba dengan nilai p < ……..

f. .

B. Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu

pengetahuan dan merupakan salah satu bahan acuan bagi

peneliti berikutnya.
67

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan

pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian yang

merupakan penerapan aplikasi ilmu pengetahuan terkait penyakit

HIV/AIDS khususnya bagi kalangan waria di Kabupaten

Bulukumba.

Anda mungkin juga menyukai