Anda di halaman 1dari 18

BAB 3

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Menurut Horne dkk., (1978), lingkungan pengendapan batubara merupakan


salah satu kendali utama yang mempengaruhi pola sebaran, ketebalan,
kemenerusan, kondisi roof, dan kandungan sulfur pada lapisan batubara. Oleh
karena itu, studi lingkungan pengendapan dapat dimanfaatkan untuk
memprediksikan penyebaran lapisan batubara, variasi ketebalan dan kualitas
batubara tersebut, dan sifat overburdennya.
Tempat pembentukan batubara berlangsung umumnya adalah lingkungan
pantai, mulai dari lingkungan barrier, back barrier, lower delta plain, transitional lower
delta plain serta upper delta plain-fluvial. Pemahaman akan lingkungan
pengendapan lapisan batubara digunakan untuk standart perencanaan dan program
eksplorasi.
Pemahaman akan lingkungan pengendapan dan pengetahuan akan
kemenerusan dan ketebalan seam batubara serta bagaimana splitting terjadi dapat
sangat membantu pada korelasi seam batubara dan modeling geologi. Sebagai
contohnya adalah seam batubara yang hilang dalam bor disebabkan seam tersebut
mengalami washout oleh sungai pada lingkungan pengendapan fluvial atau karena
melensa pada lingkungan deltaik. Informasi kualitas batubara (total sulfur,
kandungan abu, dan sodium dalam abu) digunakan sehubungan dengan
pengetahuan akan lingkungan pengendapan juga dapat membantu pekerjaan
korelasi. Sedimen-sedimen inter-seam batubara yang dicirikan dengan sekuen fining
upwards atau coarsening upwards pada logging geofisika dapat digunakan untuk
menentukan lingkungan pengendapan yang berasosiasi dengan seam tersebut.
Lingkungan pengendapan bisa memiliki dampak penting terhadap kualitas
batubara dan distribusinya dalam seam tersebut. Contohnya 2 sifat penting kualitas
batubara yang komersial, yaitu total sulfur dan kandungan abu (dan nilai kalori),
bervariasi secara signifikan antara lingkungan. Variasi-variasi tersebut harus dihitung
selama perencanaan tambang. Untuk meyakinkan kualitas produk yang benar
dibutuhkan scheduling tambang secara detail dengan menggunakan data kualitas
aktual dan terproyeksi. Proyeksi data kualitas secara akurat membutuhkan
pemahaman lingkungan pengendapan lokal yang bagus (CV dan kandungan abu
memiliki keterkaitan. Seiring kenaikan kandungan abu, maka harga CV akan
semakin turun. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
selain menentukan tingkat abu dalam batubara, lingkungan pengendapan juga
mengontrol CV batubara).
Model tambang dibuat seakurat mungkin untuk memastikan penambangan
yang efisien. Hal-hal seperti splitting, washout dan perubahan yang mendadak pada
ketebalan seam maupun kualitasnya dapat menyebabkan masalah-masalah yang
signifikan selama kegiatan penambangan. Bor tidak selalu dibuat cukup dekat untuk
mewakili semua informasi dalam seam-seam batubara atau sedimen. Namun
pemahaman tentang lingkungan pengendapan kadang-kadang dapat digunakan
untuk memprediksi sifat-sifat variasi yang diperlukan dalam kegiatan penambangan.

Menurut Diessel (1992) ada beberapa lingkungan pengendapan yang dapat


menghasilkan endapan batubara, antara lain :
a. Gravelly braid plain dengan sub-environments: bars, channels, overbank plains,
swamps, dan raised bogs
b. Sandy braid plain dengan sub-environments: bars, channels, overbank plains,
swamps, dan raised bogs
c. Alluvial valley and upper delta plain dengan sub-environments: channels, point
bars, flood plains, swamps, fens dan raised bogs
d. Lower delta plain dengan sub-environments: off-, near-, dan backshore, tidal
inlets, lagoons, fans, dan marshes
e. Back barrier strand plain dengan sub-environments: off-, near-, dan backshore,
tidal inlets, lagoons, fens, swamps, dan marshes
f. Estuary dengan sub-environments: channels, tidal flats, fens, dan marshes.

Lingkungan pengendapan sedimen pembawa batubara dapat diketahui


dengan mengintegrasikan beberapa data utama, yaitu :
- Data singkapan yang berupa profil stratigrafi rinci
- Data bawah permukaan yang diperoleh dari pemboran dan metode geofisika.
- Data kesebandingan grafik kadar abu dan sulfur
3.1 KIPAS ALLUVIAL

Vegetasi yang terakumulasi pada lingkungan kipas alluvial biasanya cepat


mengalami proses degradasi oksidatif. Meskipun begitu, pada beberapa kipas
alluvial dan kipas delta merupakan tempat akumulasi peat yang tebal. Peat
terakumulasi pada bagian pinggir dan proksimal dari kipas alluvial pada permukaan
kipas (gambar 3.1).

Gambar 3.1 Model kipas alluvial untuk pengendapan batubara dan sedimen-sedimen yang lain
(Heward, 1978)
Sistem fluvial didominasi oleh channel sungai, levee, dataran limpah banjir,
rawa-rawa dan danau. Rawa fluvial sangat bervariasi dalam ukuran dan bentuknya
dan dalam waktu yang relatif singkat membentuk seam yang sangat bervariatif
ketebalannya. Namun pada umumnya, seam batubara yang terbentuk di rawa fluvial
lebih tipis dan sedikit kurang menerus dengan frekuensi melensa yang cepat.

3.2 DELTA

Lingkungan pengendapan delta terdiri dari akumulasi endapan sungai (fluvial)


yang bermuara di pantai dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen, 1981;
Allen, dkk., 1998) (gambar 3.2a). Komponen dasar suatu lingkungan pengendapan
delta dibagi menjadi 3 sub-environment berdasarkan ciri sedimen dan mekanisme
pengendapannya, yaitu delta plain, delta front, dan prodelta (gambar 3.3).

Delta plain terletak di atas permukaan laut (gambar 3.2b) dimana endapannya
berasal dari endapan alluvial, seperti :
- Sedimen fraksi halus berupa batulempung yang diendapkan di daerah flood
plain yang merupakan lingkungan rawa-rawa (coal swamps) dan marsh dengan
lithofacies overbank deposits.
- Sedimen fraksi kasar berupa batupasir yang diendapkan di sub-environment
distributary channel (lithofacies channel deposits) dengan ciri-ciri struktur
sedimen laminasi karbonan, cross bedding, finning upward, kontak erosional di
bagian bawah dan terdapat lag deposits berupa fragmen-fragmen batubara.
Endapan channel diendapkan secara akresi lateral pada point bar dan akan
berubah secara berangsur menjadi overbank deposits di daerah flood plain.
- Batas antara channel deposits dengan overbank deposits dibatasi oleh
tanggul alam (natural levee), endapannya disebut lithofacies levee deposits
dengan ciri-ciri lithologi batupasir sangat halus dan batulanau, sortasi buruk,
sisipan batupasir dan batulempung yang tersusun tidak teratur dan berbentuk
lenticular sebagai selang-seling atau sisipan, struktur sedimen flaser bedding.
- Sub-environment distributary channel akan membentuk cabang-cabang aliran
(crevasse) di sub-environment rawa dengan cara memotong natural levee.
Lithofacies dari proses itu disebut splay deposits yang berada si atas levee
dengan ciri-ciri lithologi batupasir berlapis dan berubah secara berangsur ke
arah lateral menjadi overbank deposits (Allen, 1981; allen, dkk., 1998).

Gambar 3.2 Delta plain


(atas : lingkungan pengendapan delta, bawah : endapan pada delta plain)
Gambar 3.3 Komponen dasar lingkungan pengendapan delta (Allen, et. Al., 1998)

Pembagian jenis endapan ini digunakan untuk menjelaskan runtutan secara


vertikal dari urutan unit stratigrafi mulai dari bawah sampai atas, baik kolom stratigrafi
dari singkapan maupun dari data pemboran. Dengan demikian, perubahan facies
baik secara vertikal dan lateral dapat diketahui dari sedimen pembawa batubara.

3.2.1 Lower Delta Plain

Lower delta plain merupakan lingkungan dengan energi rendah, kecuali


sedimen yang diendapkan ketika terjadi flood dan storm. Sedimen yang tertransport
didominasi oleh material dengan ukuran butir serpihan, lanau, dan pasir halus. Pada
sedimen serpihan dicirikan dengan warna abu-abu gelap hingga hitam yang
mengandung fosil molussca dan fosil jejak yang mencirikan lingkungan air laut atau
payau. Burrow dijumpai pada bagian dasar sekuen ini bersama dengan batugamping
sporadik dan mudstone sideritik. Sedangkan pada batupasir dikarakterkan dengan
struktur sedimen ripple mark, dan cross lamination yang terbentuk di bagian atas,
mengandung burrow maupun zona rootlet, dan cenderung berpola coarsening
upward (gambar 3.4.a) dan crevasse splay (gambar 3.4.b).

(a) (b)

Gambar 3.4 Sekuen vertikal endapan lower delta plain (Horne at al 1978)
a. tipikal sekuen coarsening upwards
b. tipikal sekuen yang terinterupsi endapan splay

Lingkungan sangat bervariasi, dari terrestrial hingga shallow marine. Bentuk


lahannya tidak stabil dan dapat berubah secara cepat dengan sedikit perubahan
pada water level atau selama floods atau storm. Area rawa tempat pembentukan
batubara lebih kecil dibandingkan dengan rawa fluvial.
Menurut Horne (1978), berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka
lapisan batubara di lingkungan lower delta plain cenderung tipis dan melensa
(gambar 3.5). Sebaran lapisan batubara cenderung menerus menuju arah
kemiringan endapan, namun terkadang mengalami pengikisan oleh material
interdistributary bay-fill.
Split pada lapisan batubara pada lingkungan pengendapan ini terbentuk oleh
sejumlah endapan crevasse splay. Seam splitting cenderung menipis dan bergradasi
karena lingkungan berenergi rendah tersebut hanya dapat mentransport dan
mengendapkan endapan-endapan berbutir halus.

Gambar 3.5 Seam S12 yang relatif tipis dan melensa di ujung utara pit.

Washout seam batubara jarang dijumpai pada lingkungan pengendapan lower


delta plain energinya rendah, namun flooding dan storm dapat mengakibatkan
kerusakan pada layer-layer peat.
Fosil tumbuhan, fosil marine (cangkang-cangkang) dan bioturbasi marine yang
intens hadir dan berasosiasi dengan seam batubara (gambar 3.6) dapat
mengakibatkan nilai total sulfur seam batubara tersebut meningkat.
Lapisan batubara yang terakumulasi pada daerah-daerah dengan pengaruh
kondisi air laut, seperti pada lingkungan pengendapan ini, mengandung pirit
framboidal yang relatif tinggi. Penambahan pirit atau sulfur lebih banyak terjadi pada
batubara yang di atasnya berasosiasi dengan kondisi marine karena kadar sulfat di
dalam air laut lebih banyak daripada dalam air tawar. Pengaruh air laut membuat
banyak jenis sulfur seperti SO42- larut. Ketika peat digenangi oleh air laut, bakteri
pereduksi sulfat di dalam peat yang basah membentuk mineral-mineral seperti pirit.
Menurut William & Keith (1963), mineral pirit melimpah pada lapisan batubara yang
ditutupi secara langsung oleh endapan marine. Kehadiran mineral pirit ini
menyebabkan nilai sulfurnya tinggi. Pada umumnya, nilai total sulfur pada seam
batubara akan semakin meningkat searah roof (gambar 3.7). Tingkat total sulfur
tersebut biasanya >1% dan secara tipikal 2-4%. Apabila salinitas air sangat
bervariasi, maka nilai total sulfur dari batubara tersebut dapat sangat bervariasi
secara signifikan dalam jarak yang relatif dekat, baik diantara dan didalam seam
batubara itu sendiri.

a b

c d

Gambar 3.6 Material-material yang hadir dalam seam batubara yang dapat mengakibatkan kenaikan
nilai Total Sulphur (TS) (dok. koleksi pribadi, Peter R. Warbrooke, 2006).
a-b. bioturbasi – burrowing hewan laut
c. cangkang fosil moluska
d. pyrite coating dan nodul
Variasi Total Variasi
Sulfur Stratigrafi dalam
Total Sulfur

Gambar 3.7 Variasi Total Sulfur (TS) secara vertikal pada seam batubara yang diendapkan di
Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain

Gambar 3.8 Kurva Gamma Ray dari logging geofisika yang menunjukkan tipikal
sekuen deltaik coarsening upwards
Gambar 3.9 Tipikal sekuen deltaik coarsening upwards di lapangan. Seam batubara yang berasosiasi
dengan sekuen tersebut dapat diprediksi kualitasnya menurut karakteristik lingkungan
pengendapannya.

Lingkungan berenergi rendah tersebut mengakibatkan kandungan abunya


cenderung rendah namun akan bertambah tinggi pada area-area splitting. Kadar abu
yang tinggi selalu berkaitan dengan mineral-mineral yang terendapkan secara
kimiawi seperti pirit.
Dengan memahami setiap karakteristik lingkungan pengendapan (gambar 3.8
dan gambar 3.9), maka nilai total sulfur dan kandungan abu dapat diprediksi dari
asosiasi vertikal seam batubara yang dimaksud. Seam batubara yang berasiosiasi
dengan lingkungan pengendapan lower delta plain akan memiliki nilai total sulfur
yang relatif tinggi dan kandungan abu yang relatif rendah.
3.2.2 Back Barrier

Karakteristik sekuen back barrier terdiri dari batupasir orthoquarzitic, didominasi


oleh endapan batupasir tidal delta dan tidal channel, berstruktur sedimen coarsening
upwards yang mengapit batubara tipis (gambar 3.10). Endapan lagoonal pada
lingkungan back barrier terdiri dari serpih dan lanau berwarna abu-abu gelap serta
kaya organik.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan pengendapan ini cenderung tipis
(Horne, 1978). Pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubaranya berbentuk
memanjang, berorientasi sejajar arah sistem barrier dan seringkali sejajar dengan
jurus perlapisan. Secara lateral, batubara ini tidak menerus dan dijumpai burrow
zona-zona sideritik. Bentuk perlapisan batubara mungkin berubah sebagian oleh
aktivitas tidal channel pada post depositional atau bersamaan dengan proses
sedimentasi.

Gambar 3.10 Sekuen vertikal endapan back barrier (Horne at al 1978)

Kandungan pirit framboidal dan sulfur di lingkungan ini relatif tinggi karena
lingkungan ini masih dipengaruhi oleh kondisi marin. Kandungan sulfur yang hadir
dalam bentuk pirit framboidal yang tinggi pada batubara dapat menimbulkan air
asam tambang pada saat kegiatan penirisan tambang karena bentuk framboidal ini
merupakan jenis pirit yang paling cepat mengalami dekomposisi. Apabila pirit ini
menyebar dalam batubara, maka pirit ini tidak dapat dipisahkan pada uji pencucian
yang menggunakan larutan dengan berat jenis 1,5 (Caruccio et al, 1997). Oleh
karena itu pengetahuan akan sebaran sulfur dalam lapisan batubara dan bentuk
sulfur yang dapat diinterpretasikan dari lingkungan pengendapannya akan sangat
membantu dalam menilai aspek ekonomis (pemasaran) batubara.

3.2.3 Transitional Lower Delta Plain

Lingkungan pengendapan ini ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif.


Lapisan batubara relatif tebal, tersebar meluas dengan kecenderungan agak
memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Batubara yang terbentuk di
lingkungan ini merupakan lapisan batubara yang paling tebal dan luas karena
akumulasi permukaan batuan (lithofacies) nya berubah secara vertikal dan horizontal
(gambar 3.11).
Split juga berkembang di daerah dekat channel yang disebabkan oleh washout
karena aktivitas channel subsekuen.

Gambar 3.11 Sekuen vertikal endapan transitional lower delta plain (Horne at al 1978)

3.2.4 Upper Delta Plain - Fluvial

Fasies upper delta plain-fluvial terdiri dari sedimen-sedimen dengan


karakteristik sekuen finning upwards (gambar 3.12) dari batupasir kasar endapan
channel linear dan lentikular, erositional base didasar, endapan levee lanau hingga
lanau dan lumpur pada dataran limpah banjir dan sering berakhir di lingkungan rawa
(gambar 3.13 dan gambar 3.14). Pada bagian dasar batupasir terdapat pebble dan
fragmen batubara yang melimpah, sedangkan pada bagian atas dilingkupi oleh akar
tumbuhan. Fosil tumbuhan biasa dijumpai (termasuk tumbuhan yang terendapkan
dalam posisi tumbuh ke atas) namun jarang dijumpai bioturbasi (gambar 3.15).
Bentang alam lingkungan pengendapan tersebut relatif stabil dengan channel
yang berbentuk meander bergeser secara perlahan seiring dengan waktu.
Perubahan akan berjalan lebih cepat pada saat terjadi banjir. Lingkungan
pengendapan ini berasosiasi dengan sistem fluvial dengan jenis air tawar pada
umumnya. Lingkungan dengan energi pengendapan tinggi berada pada channel dan
levee, namun lingkungan dengan energi pengendapan rendah terletak pada dataran
limpah banjir atau rawa-rawa kecuali pada saat terjadi banjir. Lihat gambar 3.16 dan
3.17.

Gambar 3.12 Kurva Gamma Ray dari logging geofisika yang menunjukkan tipikal
sekuen finning upwards
Gambar 3.13 Sekuen vertikal endapan upper delta plain - fluvial (Horne at al 1978)

Gambar 3.14 Pasir kasar channel dengan cross bed dalam skala besar (kiri), tipikal endapan levee
dan dataran limpah banjir (kanan)

Gambar 3.15 Pohon dalam posisi tumbuh (kiri), pohon sederitik dengan diameter 0.5 m (tengah), fosil
daun (kanan)
Gambar 3.16 Kenampakan seam batubara di lapangan yang mencirikan pengendapan upper delta plain - fluvial
Gambar 3.17 Batupasir channel kecil (kiri), seam batubara mengalami washout oleh batupasir
channel

Rawa batubara terletak pada dataran limpah banjir dan menghasilkan seam
batubara tebal tetapi sedikit yang menerus dengan jarak sebaran yang relatif
pendek. Lapisan batubara terbentuk sebagai belt pada bagian bawah dari dataran
limpah banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Lapisan
batubaranya cenderung sejajar dengan arah kemiringan cekungan pengendapan.
Ketebalan lapisan batubara pada sikuen ini tidak konsisten ke arah horizontal.
Ketebalan seam batubara pada fasies upper delta plain mencapai 10 meter, namun
tidak menerus secara lateral dan terkadang membaji 150 meter. Sedangkan seam
batubara pada endapan alluvial plain cenderung menipis dibandingkan dengan
upper delta plain.
Split terjadi sebagai hasil dari meandering dan banjir pada sistem channel.
Lingkungan pengendapan channel dengan energi pengendapan yang tinggi dapat
mengendapkan sedimen tebal dari sekuen berukuran butir kasar dengan cepat
dalam rawa-rawa yang menghasilkan split klastika tebal. Splitting yang berkembang
sesuai water level dan variasi posisi danau tersebut berasosiasi dengan air tawar
danau dalam rawa biasanya tipis, bergradasi dan didominasi oleh lempung dan
lumpur yang diendapkan dalam lingkungan yang tertutup.
Washout dari seam batubara biasa dijumpai karena channel berenergi
pengendapan tinggi yang dapat dengan mudah mengerosi sedimen-sedimen di atas
termasuk endapan gambut.
Karena channel-channel sering mengandung air berlumpur, daerah-daerah
yang berbatasan dengan channel dan split biasanya memiliki nilai kadar abu yang
tinggi. Air berlumpur tersebut juga menjadi filter dalam rawa yang dapat
menghasilkan batubara dengan kadar abu sedikit lebih tinggi dibanding dengan
kadar abu batubara lower delta plain.

Variasi Total Variasi


Sulfur Stratigrafi dalam
Total Sulfur

Gambar 3.7 Variasi Total Sulfur (TS) secara vertikal pada seam batubara yang diendapkan di
Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain-Fluvial
Air tawar pada lingkungan pengendapan tersebut memiliki jenis sulfur terlarut
seperti SO42- yang rendah sehingga menghasilkan batubara dengan total sulfur
rendah (<1% namun tipikalnya 0.2-0.5%) (gambar 3.18). Biasanya terdapat sedikit
variasi total sulfur secara lateral dan vertikal pada seam yang diendapkan pada
lingkungan pengendapan tersebut.

Pada sub-environtment delta front dan prodelta dapat diabaikan sebagai daerah
yang prospek batubara mengingat kuatnya pengaruh kondisi marin terhadap
endapan batubara yang dapat meningkatkan prosentase kandungan klorida,
karbonat dan sulfur dalam batubara.

3.3 DANAU

Distribusi ukuran butir sedimen pada lingkungan danau bersifat konsentris


dengan ukuran butir menghalus kedalam. Distribusi ukuran butir tersebut mengontrol
struktur sedimen secara langsung.
Danau dengan pengendapan klastik memiliki pola sedimen bergradasi dengan
ukuran butir halus, sedimen basin plain tertutup oleh sedimen delta yang lebih kasar.
Pada saat danau memproduksi organik, sedimen klastik akan tertutup oleh peat.
Danau terisi dengan pengendapan lanau dan lempung dalam central basin sebagai
hasil dari pembentukan delta oleh satu atau lebih sungai melalui danau (Wagner
1950; Visher 1965 a dalam Reineck-Singh 1980 pg 242).

Anda mungkin juga menyukai