Anda di halaman 1dari 3

002/ER-Institute/2020

Keseimbangan Rasa dalam Pembelajaran

Pandemi telah mengacaukan aktivitas masyarakat di berbagai belahan dunia


tak terkecuali Indonesia. Kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa dan guru di
sekolah pun terpaksa harus dialihkan. Awalnya bertemu langsung, akhirnya menjadi
pertemuan virtual yang tak biasa. Terkesan akan menjadi hal yang menyenangkan
bagi mereka yang berkecukupan, tetapi menjadi kebingungan bagi mereka yang
prasejahtera.
Dinas Pendidikan melalui pihak sekolah terkait menugaskan seluruh perserta
didik untuk berkegiatan di rumah saja. Kesehatan peserta didik tentu harus tetap
diprioritaskan di tengah ancaman pandemi. Aku sebagai guru menanyakan kesiapan
peserta didik untuk melaksanakan pembelajaran daring seperti ketersediaan
smartphone dan kouta internet. Untungnya semua peserta didikku kelas IV memiliki
smartphone, meskipun beberapa orang masih meminjam dari orang tua.
Pada pagi hari peserta didik begitu kompak memberikan respon terhadap
pemberitahuan tugas dariku. Sering sekali mereka bertanya tentang cara
mengerjakan dan mengirimkan tugas. Maklum saja, mereka masih susah paham jika
tidak dipraktekkan secara langsung. Kadang peserta didikku malah mengirim
jawaban ke grup whatsapp kelas. Sontak seisi grup menegur orang yang
bersangkutan. Lucu sekali mereka, begitu kompetitif dan bersemangat.
Aku tidak memanfaatkan layanan pembelajaran online seperti google
classroom, kahoot, youtube, atau teleconference zoom karena keadaan peserta
didik. Pembelajaran semacam itu sulit dilaksanakan secara mandiri oleh siswa yang
masih kelas IV. Selain itu, juga memerlukan koneksi internet lancar dan kouta yang
tak sedikit. Orang tua dari peserta didikku merupakan pihak yang terdampak
langsung pandemi COVID-19. Tentu saja aku harus mempertimbangkan
kesanggupan dari masing-masing orang tua dalam pembiayaan, sehingga tidak
membebani.
Peserta didik memang tampak begitu bosan dengan metode penugasan.
Peranku dalam mengkreasikan pembelajaran harus dimunculkan demi pemenuhan
kebutuhan psikologis peserta didik. Akhirnya pembelajaran daring dikalaborasikan
dengan kegiatan kuis, tebak gambar, literasi, curahan hati dan pengembangan diri.
Semua kegiatan aku komandoi melalui grup whatsapp kelas. Guru memang harus
mampu memainkan perasaan peserta didiknya bak roller coaster.
Kuis diberikan saat peserta didik sudah mengerjakan tugas yang aku berikan.
Soal kuis berkaitan dengan materi ajar yang sudah dipelajari. Masing-masing
peserta didik yang berhasil menjawab dengan benar dan tercepat akan diberikan
poin. Mereka sangat antusias menjawabanya melalui chat grup ataupun pesan
suara. Ketika kuis aku nyatakan berakhir disertai pengumuman juara, ada beberapa
peserta didik yang memintaku mengadakannya lagi. Tentu saja aku iyakan sembari
tetap memberikan semangat.
Tebak gambar merupakan kegiatan yang paling ditunggu peserta didikku.
Gambar animasi hewan aku potong pada bagian tertentu, sehingga siswa harus
menebaknya dalam bahasa inggris. Aku tahu mereka sangat grogi dan deg-degan
ketika melihat gambar terkirim ke grup Whatsapp kelas. Hal ini terlihat jelas saat
potongan gambar kucing dijawab anjing oleh salah satu siswa. Aku hanya bisa
tertawa dalam hati membacanya, sembari mengirim emoticon senyum.
Aku mengajarkan literasi finansial kepada peserta didik melalui hal yang
sederhana. Misalnya memberikan mereka suatu simulasi kejadian yang akan
dihadapinya kelak. Aku mengatakan bahwa mereka memiliki uang Rp.50.000,00.
Lalu bertanya barang apa saja yang akan mereka beli, jika harga permen
Rp.2.000,00, susu Rp.12.000,00, dan roti Rp.10,000,00. Beberapa peserta didikku
pasti gunda dan takut ketika melihat angka-angka. Tapi tidak masalah karena
ketakutan harus dihadapi. Melalui jawaban mereka, aku bisa memberikan saran
untuk senantiasa mengelola keuangan dengan baik.
Semua orang pasti ingin didengarkan. Prinsip itu yang aku yakini sejauh ini.
Terlebih anak usia sekolah dasar perlu untuk dimengerti. Aku memberikan
kesempatan bagi peserta didik untuk menyampaikan curahan hatinya. Baik itu
tentang pengalaman belajar di rumah, perasaan hatinya, dan harapan. Mereka
bersatu padu mengungkapkan rasa rindunya terhadap suasana sekolah. Rasa
bosan dan sedih sering mereka rasakan ketika harus melewati hari tanpa bisa
bertemu teman. Tak banyak yang bisa aku sampaikan kepada mereka. Aku tahu
dengan mendengarkan keluh kesah mereka, itu lebih dari sekedar cukup. Mereka
sudah lega menyampaikan rasa, terlebih rasa mereka sama.
Pengembangan diri aku wujudkan dengan menugaskan setiap peserta didik
untuk melakukan hobi mereka. Melakukan hal yang mereka sukai di tengah pandemi
mungkin dapat menghilangkan rasa jenuh. Hobi mereka saat kini bisa jadi akan
menjadi hal yang menguntungkan di masa depan. Kebanyakan dari generasiku tidak
berpegang teguh dengan hal yang disukai. Padahal apabila seseorang memilih
untuk mengembangkan potensi dan bakatnya, maka kesukesesan akan lebih mudah
diraih. Aku meminta peserta didik mengirimkan bukti kegiatan hobinya melalui foto.
Ternyata mayoritas foto yang terlihat adalah kegiatan bermain sepak bola. Aku tidak
akan terkejut jika suatu saat nanti sepak bola Indonesia akan mendunia.
Pembelajaran jarak jauh yang dilakukan secara terus-menerus menggunakan
cara yang sama menjadikan siswa jenuh. Seorang guru harus mampu
menyeimbangkan perasaan peserta didiknya melalui kegiatan yang variatif. Ada
kalanya harus serius begitu pula bisa bercanda. Aku tidak idealis harus mengejar
capaian kurikulum. Beruntung juga surat edaran dari Dinas Pendidikan mendukung
upayaku. Aku tahu yang dibutuhkan peserta didikku. Mereka hanya perlu ditemani
dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Bukan hidup namanya tanpa permasalahan. Aku mendapati komplain dari
orang tua siswa karena terlalu banyak mengirimkan intruksi kegiatan maupun tugas.
Perasaan sedih dan kecewa tentu bersarang di hatiku. Aku hanya bermaksud
membimbing anaknya agar melakukan kegiatan positif di rumah. Padahal anak yang
bersangkutan jarang mengirimkan tugas maupun bukti kegiatannya. Pada awal
pembelajaran daring juga sudah aku sampaikan jika tidak memiliki kouta internet,
boleh tidak mengirimkan tugas. Posisi guru memang serba salah di tengah pandemi.
Merenung adalah salah satu cara terbaikku menemukan solusi permasalahan.
Jika aku menyerah untuk memberikan yang terbaik, sama dengan aku mengkhianati
profesiku. Aku bisa saja tidak memberikan tugas maupun intruksi kegiatan.
Mengiyakan tudingan masyarakat bahwa guru hanya makan gaji buta melalui
tindakan. Sayangnya aku tidak bisa seperti itu. Hatiku merasa tidak nyaman jika
peserta didikku hanya berdiam diri tanpa melakukan kegiatan yang bermanfaat. Aku
tidak bisa lepas tangan dari tanggung jawab seorang guru. Jadi aku memilih untuk
menghadapi masalah tersebut dengan tangan dingin.

Anda mungkin juga menyukai