RADIOFARMASI
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
5) EFISIENSI INTRINSIK DETEKTOR ............................... 81
6) FRAKSI PUNCAK FOTOLISTRIK .................................. 82
3. CACAH LATAR ........................................................................ 83
4. METODE PENGUKURAN RADIASI ...................................... 84
1) METODE ABSOLUT ......................................................... 84
2) METODE RELATIF ........................................................... 85
viii
3) HIDROLISIS MENGURANGI TECHNETIUM DAN
TIMAH .............................................................................. 175
4) PEMBENTUKAN 99M Tc - KOMPLEK DENGAN
LIGAN .............................................................................. 177
5) KIT UNTUK PELABELAN 99MTc ................................... 178
ix
DAFTAR GAMBAR
x
Gambar 22. Spektrofotometer gamma ....................................................... 75
Gambar 23. (A) Spektrum Ideal Sinar Gamma Berupa Garis (B) Spektrum
Aktual Sinar Gamma Menunjukkan Adanya Pelebaran Puncak Karena
Fluktuasi Arus ........................................................................................... 76
Gambar 24. Efisiensi Geometri ................................................................. 79
Gambar 25. Efisiensi Intrinsik Detektor NaI(TI) ...................................... 82
Gambar 26. Fotofraksi NaI(TI).................................................................. 83
Gambar 27. Ilustrasi Restitusi.................................................................. 103
Gambar 28. Berbagai Tanda Peringatan Radiasi ..................................... 110
Gambar 29. Radioterapi Menggunakan Pesawat LINAC ........................ 140
Gambar 30. Gamma Knife dan Terapi Radiasi ........................................ 141
Gambar 31. Alat CT-Scan ....................................................................... 144
Gambar 32. Hasil Pencitraan Menggunakan PET F18-FDG .................... 145
xi
DAFTAR TABEL
xii
Bab I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. SEJARAH RADIOFARMASI
1
Kegiatan dispensing sediaan radiofarmasi lebih mengutamakan
penerapan prosedur aseptis dan teknik preparasi sediaan
intravena.
Pemanfaatan radiofarmasi klinis bermula dari penggantian
operasi tiroid dengan mengonsumsi larutan radioiodin. Iodin
131 pertama kali digunakan untuk mempelajari metabolisme
iodin, evaluasi fungsi tiroid dan terapi radiasi tiroid. Iodin 131
merupakan radionuklida yang sering digunakan untuk
preparasi radiofarmasetika. Selain harganya murah dan
penggunaan luas, iodin 131 juga memiliki waktu simpan
panjang.
Perkembangan terbesar dalam sejarah radiofarmasi adalah
tahun 1965, yaitu ketika seorang peneliti dari Brookhaven
National Laboratory menemukan potensi sebuah radionuklida
induk pasangan Molybdenum 99 dan Technetium 99m yang
diaplikasikan ke dalam sebuah sistem generator. Sejak itu,
99m
peneliti lain mulai menggunakan Tc sebagai pelacak
radioaktif dalam sistem biologi.4
B. ATOM
2
kira-kira 10-14m.5 ukuran jari-jari ini dapat berubah dengan
berubahnya kecepatan partikel penyusun atom. 6
Inti atom mengandung proton yang bermuatan positif
sebesar 1,6 × 10-19 Coulomb untuk setiap proton dan neutron
yang tidak bermuatan sehingga inti atom bermuatan positif.
Kedua jenis partikel ini disebut nukleon, yaitu partikel yang
menghuni inti atom.5
Sedangkan partikel yang terdapat pada kulit atom adalah
elektron yang bermuatan negatif sebesar -1,6 × 10-19 Coulomb
untuk setiap elektron.7 Sehingga untuk mudahnya elektron
diberi tanda bermuatan -1 dan muatan proton adalah +1
sedangkan neutron tidak bermuatan.
Suatu unsur atau elemen yang tersusun oleh atom dapat
diklasifikasikan menggunakan simbol X. Dimana dalam suatu
X dapat dibuat skema klasifikasi untuk mengidentifikasi suatu
isotop yang berbeda dengan menggunakan simbol Z yang
menunjukkan nomor atom dan simbol A yang menunjukkan
nomor massa. Nomor atom, Z menunjukkan jumlah orbital
elektron sama dengan jumlah proton-proton di dalam inti atom.
Sedangkan nomor massa, A menunjukkan jumlah proton dan
neutron di dalam inti atom.7,,5 Skema klasifikasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
Z XA
Suatu unsur dapat memiliki beberapa komposisi netron,
atau memiliki netron yang sama dengan unsur lain, atau
memiliki nomor massa yang sama dengan unsur lain. Unsur
3
yang sama tetapi memiliki jumlah netron yang berbeda disebut
isotop.6
4
Sedangkan massa elektron pada kulit atom adalah sebesar me =
9,1095 × 10-28 g.6
Unit satuan massa untuk atom digunakan gram. Namun,
karena satuan gram terlalu besar untuk menggambarkan
karakteristik inti maka sering digunakan AMU (Atomic Mass
Unit). 5
1 AMU = 1,66053 × 10-24 g. Satuan ini dapat didefinisikan
sebagai 1/12 massa atom karbon (12C).
12
Massa atom karbon C yang terdiri dari 6 proton, 6
neutron dan 6 elektron adalah 1,992 × 10-23 g. Sehingga satuan
AMU untuk 12C adalah:
b
1 Atomic Mass Unit = 931 MeV.
6
Defek massa (Δm) ini dapat dikonversi menjadi MeV
11,6
untuk menentukan energi ikat inti. Rentang energi ikat inti
untuk atom dengan massa ≥ 11 – 60 adalah sebesar 7,4 – 8,8
MeV. Energi ikat atom dengan massa < 11 kira-kira sama
dengan 7,1 MeV. Nilai dari energi ikat inti atom dapat
digunakan untuk memprediksikan kestabilan atau
ketidakstabilan suatu unsur akibat gaya tolak-menolak antar
proton dalam inti atom. Nilai energi ikat berbanding terbalik
dengan waktu paruh.
Sehingga jika energi ikat inti bernilai negatif, waktu paruh
pendek maka nuklida bersifat tidak stabil sehingga mampu
mengalami peluruhan radioaktif. Sedangkan jika nilai energi
ikat inti positif, waktu paruh panjang maka nuklida bersifat
stabil dan tidak mudah terjadi peluruhan.6
7
4. KESTABILAN INTI
8
Unsur radioaktif terjadi akibat adanya suatu reaksi inti
yang spontan. Reaksi inti dapat berlangsung secara spontan
atau karena induksi. Selama proses peluruhan spontan,
perbandingan jumlah neutron dan proton berubah-ubah.
Setelah satu atau lebih proses peluruhan dihasilkan sebuah inti
yang stabil.6
C. RADIOISOTOP
1. PARTIKEL ALFA
9
alfa bergerak dengan kecepatan relatif lambat dengan energi
sebesar kisaran 4 – 8 MeV.6
Partikel alfa terbentuk dari atom Helium yang terionisasi
yang dapat membentuk radiasi alfa. Partikel alfa dapat sangat
berpengaruh terhadap orbital elektron suatu unsur yang
dilintasinya karena adanya gaya Coloumb. Elektron-elektron
tersebut dapat mengalami eksitasi atau terlepas semua dari
atom dan terionisasi.6
Jarak tembus partikel alfa (R) di udara pada 1 atm dan
°°
25 C dapat dihitung dengan persamaan berikut:
2. PARTIKEL BETA
3. SINAR GAMMA
11
dengan sinar-X, sinar UV dan sinar tampak lainnya hanya pada
panjang gelombang dan frekuensi saja. Radiasi sinar gamma
memiliki daya penetrasi yang paling tinggi dibandingkan
radiasi dari partikel alfa dan partikel beta (kecuali neutrino)
karena sinar gamma sedikit berinteraksi dengan materi dan
tidak terionisasi. 6,20
Radiasi gamma dapat dengan mudah menembus jaringan
sejauh kurang lebih 30 cm dan unsur timbal (Pb) dengan
ketebalan beberapa inci.
Karena kemudahannya menembus jaringan, sinar gamma
banyak digunakan dalam kedokteran nuklir untuk keperluan
diagnosis dan terapi. Radiasi gamma dapat digunakan sebagai
sumber tertutup pada brachitheraphy dan teletherapy yang
menggunakan unsur Co60 maupun sumber terbuka pada thyroid
scanning menggunakan NaI131 dan bone scanning
99m ,6,11
menggunakan Tc .
4. RADIONUKLIDA ALAM
12
kosmik serta radionuklida buatan yang merupakan hasil
kegiatan manusia.
Unsur radioaktif di alam terdapat sekitar 40 jenis yang
telah diketahui. Unsur-unsur tersebut diantaranya memiliki
aktivitas radiasi alfa dan radiasi beta (elektron) dan merupakan
isotop-isotop dari unsur yang sangat berat dengan nomor atom
Z lebih dari 82. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah:
232
92U ; 92U235 ; 92U238
1) Radionuklida Primordial
14
Selain radionuklida yang terdapat di dalam kerak bumi,
radionuklida primodial juga dapat ditemukan di dalam
tubuh manusia.
2) Radionuklida Kosmogenik
15
Tabel. 3 Radionuklida Kosmogenik8
16
5. RADIONUKLIDA BUATAN
18
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa jumlah
jatuhan Sr90 relatif lebih besar di belahan bumi utara yang
disebabkan oleh percobaan nuklir telah lebih banyak
dilakukan di kawasan tersebut.
19
Dual Head Gamma Camera yang berresolusi tinggi
namun memiliki kolimator rendah energi. Selang waktu
tiga jam setelah pemberian Tc99m MDP secara intravena,
gambaran seluruh tubuh meliputi anterior dan posterior
dapat diketahui.19
21
Bab II. RADIOAKTIVITAS ATOM
A. REAKSI INTI
22
1. REAKSI FISI
Reaksi fisi adalah proses reaksi inti dimana inti atom yang
memiliki nomor atom relatif besar dan berat terbelah menjadi
dua partikel inti yang lebih ringan dengan rasio 60:40. Proses
ini terjadi akibat inti atom yang berat tertumbuk oleh partikel
inti lain.9
Selain produk fisi reaksi ini juga menghasilkan
gelombang elektromagnetik dalam bentuk sinar gamma (γ),
neutron dan sejumlah energi yang dilepaskan ke lingkungan
berupa panas. Oleh karena itu reaksi ini berlangsung secara
eksotermis.
Salah satu reaksi fisi yang terkenal adalah reaksi fisi U235.
Reaksi fisi U235 menjadi dasar beroperasinya reaktor nuklir di
dunia.
Pada reaksi fisi U235 kecepatan atau energi kinetik dari
neutron yang menumbuknya memiliki peranan penting dalam
menimbulkan reaksi fisi ini. Dimana neutron dengan
kecepatan dan energi kinetik rendah (neutron termal) memiliki
peluang yang lebih tinggi untuk menimbulkan reaksi fisi pada
U235.
23
2. REAKSI FISI BERANTAI
24
kedua) dan selanjutnya akan terjadi rekasi fisi dari generasi ke
generasi berikutnya secara kontinyu.
Salah satu persyaratan penting dalam reaksi fisi berantai
ini adalah neutron yang digunakan untuk menumbuk inti
Uranium-235 (U235) lainnya harus neutron lambat dengan
energi kinetik rendah. Akan tetapi neutron produk fisi
merupakan neutron cepat dengan energi kinetik tinggi.
Sehingga sulit untuk menimbulkan reaksi fisi dari generasi ke
generasi selanjutnya.
Dalam reaktor nuklir, untuk memenuhi ketersediaan
neutron termal maka digunakan medium air yang berfungsi
untuk memoderasi dengan memperlambat kecepatan neutron.
Energi panas yang dihasilkan dari reaksi fisi ini adalah
berkisar 200 MeV atau 8,9 × 1018 kWh. Hal ini berarti bahwa
neutron termal yang digunakan untuk keberlangsungan reaksi
fisi ini memiliki energi sebesar 8,9 × 1018 kWh.10
3. REAKSI FUSI
25
1) Reaksi eksotermis dimana proses penggabungan dua inti
atau partikel inti ringan menghasilkan energi yang
dilepaskan ke lingkungan.
4. TRANSMUTASI INTI
26
1) Mengubah suatu radioisotop dengan radioaktivitas tinggi
menjadi lebih stabil dan tidak memancarkan radioaktif.
Sebagai contoh adalah transmutasi dari limbah radioaktif
kelompok aktinida minor, yaitu Amerisium-241 (95Am241)
menjadi bahan fisil Kurium-243 (96Cm243) yang dapat
berfisi dalam reaktor nuklir.
27
Transmutasi buatan pertama kali dikenalkan oleh
Rutherford (1919) yang memaparkan bahwa suatu unsur dapat
diubah menjadi unsur lain. Rutherford (1919) menunjukkan
bahwa unsur Nitrogen (N14) yang ditembak dengan radiasi alfa
(α) yang berasal dari Radium akan menghasilkan unsur
Oksigen (O17) dan sebuah proton.10,21
B. PELURUHAN RADIOAKTIF
29
Beberapa jenis peluruhan radioaktif dapat berguna dalam
bidang kedokteran maupun farmasi nuklir. Namun semua perlu
dipahami karena dapat mempengaruhi kinerja dalam menangani
sediaan radiofarmasetika (radiofarmaka) dan penting terhadap
keselamatan individu dari emisi bahan radioaktif. 9
1. FISI SPONTAN
30
2. PELURUHAN ALFA (α)
31
3) Partikel alfa (α) akan dibelokkan jika melewati medan
magnet atau medan listrik
4) Laju partikel alfa (α) berkisar antara 1/100 sampai dengan
1
/10 kali kecepatan cahaya10
Karena terdapat beberapa sifatnya yang merusak inilah
maka radioisotop yang mengemisikan partikel (α) jarang
digunakan dalam kedokteran nuklir atau farmasi nuklir dan
aplikasi terapeutik lainnya.6
3. PELURUHAN BETA-NEGATRON
32
Proton hasil peluruhan tetap berada di dalam inti namun
elektron dan antineutrino dilepaskan dengan membawa energi
kinetik masing-masing. Elektron yang dipancarkan berbeda
dengan elektron yang terdapat dalam orbit luar inti atom yang
dalam kondisi normal tidak memiliki energi. Elektron hasil
peluruhan beta-negatron (β-) memiliki energi peluruhan dengan
rentang nol sampai dengan pada tingkat maksimum tertentu
(spektrum kontinyu).9
Energi peluruhan merupakan perbedaan energi yang
dimiliki antara nuklida induk dengan nuklida anak.
Setelah peluruhan beta-negatron (β-) nuklida anak memiliki
nomor atom berlebih daripada nuklida induk. Namun kedua
nuklida masih memiliki nomor massa yang sama.9
Pada peluruhan beta-negatron (β-) dapat diikuti oleh emisi
gamma (γ). Dimana nuklida anak yang lebih stabil akan
memancarkan partikel beta (β). Partikel-partikel tersebut
disebut sebagai pemancar murni partikel beta (β) diantaranya
adalah H3; C14; P32; dan S35. Sedangkan nuklida anak lain yang
belum mencapai kestabilan setelah pemancaran partikel beta
(β) dan masih dalam keadaan tereksitasi akan mengemisikan
sinar gamma (γ) dengan melalui satu atau lebih transisi
peluruhan tergantung dari energi eksitasi yang dimiliki oleh
nuklida tersebut. I131; Xe132; dan Co60 merupakan nuklida yang
mengemisikan sinar gamma (γ) setelah memancarkan partikel
beta (β).7
33
4. PELURUHAN BETA-POSITRON
34
Setelah terjadi peluruhan, positron yang dihasilkan akan
bergabung dengan elektron yang kemudian akan dimusnahkan.
Selama proses pemusnahan massa masing-masing partikel
diubah menjadi energi dan diemisikan dua sinar gamma (foton)
dengan besaran masing-masing adalah 0,511 MeV pada arah
yang berlawanan. Foton hasil penggabungan ini disebut
sebagai “annihilation radiations”.9,5,7
Radiasi partikel beta baik beta-negatron (β-) maupun beta-
positron (β+) memiliki sifat sebagai berikut:
35
Gambar 7. Skema peluruhan Fluor-18 (F18)6
5. ELECTRON CAPTURE
36
kulit atom dengan tingkat energi yang lebih tinggi misalnya
pada kulit L atau kulit M atau N.9
Elektron yang bergerak menuju kulit yang dekat inti
dengan energi potensial yang lebih rendah akan kehilangan
energi potensialnya. Saat elektron bergerak menuju inti, terjadi
perbedaan energi antara dua kulit luar atom yang dicirikan
dengan emisi sinar-X. Sinar-X berasal dari kulit luar,
sedangkan foton gamma berasal dari inti. Oleh karena itu sinar-
X menjadi ciri khas dari jenis peluruhan ini.
Sinar-X yang dipancarkan dari kulit luar K disebut sebagai
“sinar-X K”. Sedangkan sinar-X yang dipancarkan dari kulit
luar L disebut sebagai “sinar-X L”.
Pada penangkapan elektron, antara nuklida anak dan
nuklida induk terdapat perbedaan energi sebesar < 1,022 MeV
Perbedaan peluruhan dengan penangkapan elektron dan
peluruhan beta (β) adalah semakin meningkat nomor atom
maka kemungkinan terjadinya penangkapan elektron dari kulit
luar yang berdekatan dengan inti akan semakin besar dan emisi
sinar-X akan meningkat.5,8
Berikut contoh penangkapan elektron.
37
Gambar 8. Skema peluruhan Indium-111 (I111)8
6. PELURUHAN GAMMA
39
1) TRANSISI ISOMERIK
40
2) KONVERSI INTERNAL
41
Elektron konversi bersifat monoenergetik yang
menyebabkan terjadinya emisi sinar-X. Hal ini dilakukan
untuk mencapai energi potensial yang lebih rendah.
1. HASIL FLUORESENSI
2. PROSES AUGER
42
dari atom. Elektron cepat yang dilepaskan dari atom disebut
sebagai elektron Auger. Elektron Auger bersifat
monoenergetik.
Kekosongan yang terjadi pada kulit luar atom akibat
proses Auger diisi oleh transisi elektron dari kulit luar yang
memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Tahapan ini
diikuti oleh emisi sinar-X.8
Elektron Auger terutama diemisikan oleh unsur yang
memiliki nomor atom rendah Sedangkan unsur yang memiliki
nomor atom tinggi berpeluang untuk mengemisikan sinar-X.
Energi elektron Auger adalah sama dengan perbedaan
energi sinar-X dengan energi pengikat elektron dari kulit luar
yang terlibat dalam proses Auger. 5
43
Dalam bagan peluruhan juga ditunjukkan bahwa beberapa
radioisotop dapat mengalami lebih dari satu jenis peluruhan dan
kelimpahannya dalam setiap jenis peluruhan, termasuk energi
peluruhan juga ditunjukkan secara skematis dalam bagan
peluruhan yang dapat membantu dalam terapi dan scanning atau
imaging.
Berikut adalah contoh model bagan peluruhan yang umum
digunakan dalam farmasi dan kedokteran nuklir.
44
bagan menunjukkan peluruhan dengan proses penangkapan
elektron, peluruhan beta-positron (β+), dan peluruhan alfa (α).
Peluruhan gamma dalam bentuk transisi isomerik ditunjukkan
dalam arah panah yang lurus ke bawah. Presentase dari setiap
proses peluruhan juga ditunjukkan secara skematis pada bagan
peluruhan. Nuklida anak hasil peluruhan apabila memiliki sifat
tidak stabil maka dapat terjadi peluruhan polienergetik, yaitu
proses peluruhan bertingkat.5,8
Berikut adalah contoh bagan peluruhan sederhana dari
Hidrogen-3 (H3) menjadi Helium-3 (H3) dengan waktu paruh
12,312 tahun. Peluruhan terjadi melalui proses emisi beta-negatron
(β-) dengan energi yang dipancarkan sebesar 0,01857 MeV.4
3
1H
3
2H
Gambar 10. Bagan peluruhan Hidrogen-3 (H3)4
45
Gambar 11. Bagan peluruhan Caesium-137 (Cs137)
E. HUKUM RADIOAKTIVITAS
47
radioaktif (N). dengan kata lain bahwa, semakin banyak jumlah
atom radioaktif maka akan semakin banyak pula peluruhan yang
terjadi. Semakin lama periode waktu yang digunakan untuk
meluruh maka akan semakin banyak pula peluruhan yang terjadi.
Tingkat disintegrasi sering disebut sebagai aktivitas
radionuklida atau radioaktivitas (A).
48
Dimana At dan Ao = aktivitas radionuklida pada waktu t = t
dan t = 0.5,8
F. WAKTU PARUH
49
Berdasarkan definisi waktu paruh, maka untuk menentukan
aktivitas daripada jumlah atom dapat digunakan persamaan:
50
aktivitas suatu jenis radionuklida tertentu menurun menjadi 37%
dari aktivitas awalnya.
Umur rata-rata radionuklida dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut ini.
Sehingga,
Umur rata-rata radionuklida berguna sebagai parameter untuk
menghitung eksposur dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
jumlah aktivitas maksimal dalam dosimetri internal.8
G. UNIT RADIOAKTIF
H. KESEIMBANGAN RADIOAKTIF8
53
Apabila terdapat aktivitasn awal nuklida anak (Ad)0 maka
dalam statistik formula di atas perlu ditambahkan .
Sehingga persamaan berubah menjadi sebagai berikut:
1. KESEIMBANGAN SEMENTARA
54
Waktu untuk mencapai aktivitas maksimum dapat
digambarkan dalam persamaan:
55
2. KESEIMBANGAN SEKULER
Gambar 15. Kesimbangan sekuler (Sumber: Dash, A., dan Chakravarty, R., 2014,
Pivotal Role of Separation Chemistry in The Development of Radionuclide Generators
to Meet Clinical Demands, Royal Society of Chemistry)
56
Bab III. EMISI PELURUHAN RADIOAKTIV DAN INTERAKSI
DENGAN MATERI
57
dari atom suatu materi. Kekurangan energi ini disebut sebagai
collision losses (kehilangan tumbukan).
Interaksi antara partikel bermuatan listrik dengan materi
juga dapat menyebabkan perlambatan kecepatan elektron yang
mendekati inti sehingga dapat menghasilkan energi dalam
bentuk radiasi elektromagnetik. Peristiwa ini disebut sebagai
radiasi Bremsstrahlung.3
Bremsstrahlung berarti pengereman radiasi. Radiasi ini
terjadi pada partikel beta-negatron (β-) ketika melewati suatu
inti yang bermuatan positif. Partikel beta-negatron (β-) akan
tertarik dan kecepatannya dipercepat oleh medan gaya inti.
Hasilnya kelebihan energi akan dipancarkan sebagai radiasi
elektromagnetik berupa emisi sinar gamma. Interaksi in lebih
mungkin terjadi pada unsur dengan nomor atom tinggi karena
memiliki jumlah proton yang banyak dan energi beta yang
lebih tinggi. Unsur dengan nomor atom tinggi ini dapat
menarik partikel beta-negatron (β-) dan menyebabkan radiasi
Bremsstrahlung.9
Interaksi partikel bermuatan listrik lain terjadi pada
partikel alfa (α). Partikel alfa (α) memiliki muatan listrik ganda
dimana dapat dengan mudah menggunakan daya tarik
elektrostatiknya yang cukup besar pada orbital elektron di luar
atom yang mendekati partikel ini. Interaksi ini menghasilkan
elektron yang tertarik keluar dari orbital atom dan
menghasilkan ion-ion bermuatan positif (ionisasi). Sementara
elektron bergabung dengan partikel alfa (α) maka terbentuk
muatan 1+. Perstiwa ini disebut sebagai pembentukan ion-
pasangan. Partikel alfa (α) memiliki lebih banyak energi yang
58
cukup untuk terus membuat ion pasangan melalui reaksi
ionisasi sekunder sampai energinya habis. Reaksi ionisasi
primer dan ionisasi sekunder dapat memicu terjadinya reaksi
berantai dari partikel alfa (α).3,8
Interaksi partikel alfa (α) yang kedua adalah secara
eksitasi dimana interaksi ini lebih jarang terjadi daripada
ionisasi. Interaksi terjadi apabila partikel alfa (α) bertumbukan
dengan elektron luar suatu atom sehingga menyebabkan
elektron tersebut berpindah ke kulit luar atom yang memiliki
tingkat energi yang lebih tinggi. Kemudian apabila elektron
tersebut kembali ke orbital semula maka akan memancarkan
kelebihan energi. Oleh karena energi partikel alfa (α) yang
dibutuhkan untuk mengatasi energi pengikat elektronik hanya
sedikit sehingga tidak dapat menarik keluar elektron dari atom
target.
Partikel alfa (α) memiliki massa yang cukup besar
sehingga partikel ini mengalami tumbukan dengan materi
dalam garis lurus. Emisi partikel alfa (α) memiliki kisaran
terpendek daripada partikel lain sehingga hanya dibutuhkan
jarak yang pendek untuk terhindar dari paparannya. Kisaran
emisi yang pendek ini menyebabkan partikel alfa (α) sulit
dideteksi sehingga partikel ini lebih banyak digunakan dalam
aplikasi imaging atau scanning.8,3
60
Koefisien interaksi linier (µ) didefinisikan sebagai
pengurangan fraksi sinar per satuan unit ketebalan yang
ditentukan dari lapisan tipis materi penyerap. Satuan dari
koefisien interaksi linier (µ) adalah cm.8,6
1. EFEK FOTOLISTRIK
61
Proses di atas dapat digambarkan dalam persamaan
statistik sebagai berikut:
2. EFEK COMPTON
Gambar 17. Skema efek Compton (A) Energi maksimal dipindahkan ke orbital
elektron dengan sudut hamburan ke belakang 180° (B) Energi minimal
dipindahkan dengan sudut 90° (C) Formasi elektron recoil5
63
Pada energi rendah, hanya sebagian kecil energi foton yang
dipindahkan ke elektron Compton. Sedangkan energi yang
dihamburkan dalam arah sudut θ. Berdasarkan hukum
kekekalan momentum dan energi, energi foton yang
dihamburkan dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai
berikut:
64
interaksi karena dipindahkan ke partikel beta-positron dan
elektron yang terbentuk.
Partikel beta-positron yang terbentuk bersifat tidak stabil,
sehingga setelah partikel ini kehabisan energi akan bergabung
dengan elektron dan menghasilkan dua (2) foton gamma
dengan arah berlawanan. Energi dari masing-masing foton
gamma baru adalah 0,511 MeV. Fenomena yang terjadi ini
disebut sebagai anihilasi.4,3,8
Proses produksi partikel pasangan terjadi pada materi
dengan nomor atom (Z) tinggi dan energi foton gamma yang
dibutuhkan adalah ≥ 1,022 MeV untuk kemudian dapat
menyebabkan ionisasi atom lain.8
4. FOTODISINTEGRASI
65
yang menghasilkan nuklida baru. Reaksi ini (γ, n) terhadap
target C12 dan C14 telah digunakan untuk menghasilkan
nuklida baru seperti C11 dan N13 akan tetapi sekarang reaksi ini
telah jarang digunakan untuk menghasilkan radionuklida
baru.5,3
1. HAMBURAN ELASTIK
66
Peristiwa ini umumnya terjadi pada unsur-unsur dengan
nomor atom tinggi.6
3. PENANGKAPAN NEUTRON
1. JENIS DETEKTOR
68
karena bentuk silinder memiliki efisiensi lebih baik
daripada susunan elektroda paralel.
69
Gambar 20. Pengaruh tegangan DC terhadap tegangan arus4
70
c) Daerah C
Tegangan DC pada daerah C cukup tinggi sehingga
elektron yang mendekati kawat pusat (elektroda
positif) dapat mencapai energi yang cukup untuk
menghasilkan pasangan ion baru dari tumbukan
dengan elektron atom gas. Pada peristiwa ini jumlah
elektron meningkat sehingga muatan listrik yang
melewati resistor dapat mencapai seribu kali lebih
besar dari muatan awal. Pada daerah ini bekerja
sistem detektor Counter Proportional.
d) Daerah D
Tegangan DC pada daerah D sangat tinggi sehingga
partikel pengion minimal pun dapat menghasilkan
arus tegangan yang sangat besar. Reaksi ionisasi
awal yang dihasilkan oleh radiasi pengion dapat
memicu kerusakan gas ketika jatuhan elektron
bergerak dan menyebar ke arah sepanjang kawat
pusat. Daerah ini disebut sebagai daerah Geiger-
Müller dimana detektor Geiger-Müller bekerja.
e) Daerah E
Daerah E merupakan daerah dimana gas dapat rusak
sepenuhnya dan tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi suatu radiasi karena tegangan DC yang
terlampau tinggi.4
Gambar 21. Detektor kilau gamma: kristal natrium iodida diaktifkan dengan
thallium, NaI(TI). Kristal tersebut akan berpasangan menuju tabung
fotomultiplier19
72
Prinsip kerja dari detektor ini adalah interaksi
radiasi dari sinar gamma (γ) dan sinar-X melalui
mekanisme efek fotoelektrik, Compton dan pembentukan
ion pasangan, dimana molekul di dalam detektor akan
mengalami ionisasi atau eksitasi. Pada keadaan tereksitasi
yaitu berada pada energi yang tinggi maka unsur dapat
kembali ke keadaan dasar dengan memancarkan foton.
Waktu yang digunakan untuk mencapai keadaan dasar
disebut sebagai waktu peluruhan kilau.8,20
Foton yang dihasilkan diubah menjadi arus listrik
dengan menggunakan tabung fotomultiplier (PM). Arus
listrik yang muncul diperkuat oleh amplifier dan
dianalisis oleh penganalisis tinggi arus (PHA) dan dipilih
sesuai ukurannya kemudian dicacah.10
75
scintilasi padat sehingga radiasinya tidak mampu
menembus bahan kontainer scintilasi ini, akibatnya
pengukuran tidak dapat dilakukan.
Selain itu pada detektor kilau padat antara bahan
scintilasi dengan sumber radiasi terpisah sehingga bahan
scintilasi tidak terkontaminasi dengan zat radioaktif.
Detektor yang biasanya digunakan untuk
menghitung energi radiasi sinar gamma (γ) adalah
NaI(TI). Detektor NaI(TI) memiliki berbagai macam
ukuran antara 3,8 cm – 50 cm dengan ketebalan 0,63 cm –
23 cm. Pada alat pendeteksi tiroid digunakan kristal
dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih tebal.
Sedangkan pada penangkap kilau digunakan kristal
dengan ukuran lebih besar dan lebih tipis.8
76
radiasi sinar gamma. Interaksi terjadi antara sinar gamma
dengan detektor NaI(TI) melalui mekanisme fotoelektrik,
Compton dan produksi ion pasangan. Oleh karena
terdapat berbagai radiasi yang tersebar di luar detektor
yang dapat berinteraksi dengan detektor maka dapat
terjadi pelebaran pada puncak spektrum sinar gamma
akibat fluktuasi arus yang tertangkap oleh tabung
fotomultiplier (PM).
Jenis detektor kilau padat lain yaitu detektor
semikonduktor yang merupakan detektor dengan kinerja
paling tinggi dan membutuhkan metode kerja yang rumit
dibandingkan detektor lain.
Detektor semikonduktor terbuat dari bahan
Germanium atau Silikon yang diperkuat dengan Lithium
menjadi detektor Ge(Li) atau Si(Li). Detektor Germanium
Kemurnian Tinggi (HPGe) telah banyak digunakan
terutama digunakan untuk mendeteksi sinar gamma energi
tinggi, partikel radiasi dan deteksi suatu radiasi berenergi
rendah.
Prinsip kerja detektor ini adalah dengan melibatkan
ionisasi atom semikonduktor seperti pada detektor gas.
Ionisasi radiasi yang dihasilkan di dalam detektor
kemudian dikumpulkan dan diubah menjadi tegangan arus
yang melalui sebuah resistor. Arus yang dihasilkan
kemudian diperkuat oleh amplifier dan dihitung. Jumlah
arus sebanding dengan energi radiasi yang diserap oleh
detektor namun tidak tergantung pada jenis radiasi.
77
Detektor semikonduktor bekerja pada suhu rendah
dimana digunakan nitrogen cair dengan suhu -1960C atau
770K. Keuntungan menggunakan detektor pada suhu
rendah adalah berkurangnya gangguan termal yang terjadi
pada pengoperasian suhu kamar yang menyebabkan
sampel sulit dideteksi. Namun penggunaan nitrogen cair
juga memiliki kelemahan dimana nitrogen cair ini dapat
menguap sehingga diperlukan pengisian secara berkala.
Detektor HPGe dapat disimpan pada suhu kamar
dan apabila saat digunakan didinginkan untuk menghemat
penggunaan nitrogen cair. Detektor semikonduktor
berguna untuk membedakan energi foton karena memiliki
resolusi energi yang tinggi terutama untuk mendeteksi
kontaminasi radionuklida.17
2. EFISIENSI PENCACAHAN
78
1) FAKTOR GEOMETRI
79
kali lebih besar daripada efisiensi geometri (fG) apabila
detektor diletakkan pada jarak 2R dari sumber radiasi.
Gambar (B) menjelaskan bahwa apabila sumber radiasi dan
detektor saling berdekatan maka efisiensi geometri (fG)
bernilai sekitar 50%. Gambar (C) menjelaskan bahwa
apabila sumber radiasi berada di dalam detektor maka
efisiensi geometri (fG) mendekati 100%.8,3
80
4) FAKTOR ABSORPSI JENDELA DETEKTOR
82
Gambar 26. Fotofraksi NaI(TI)
3. CACAH LATAR
1) METODE ABSOLUT
84
Dimana fd adalah fraksi peluruhan radioisotop
pemancar sinar gamma.
2) METODE RELATIF
85
Bab IV. DOSIMETRI
A. UNIT RADIASI
86
Satuan yang menyatakan dosis paparan adalah Roentgen
(R). Dimana 1 Roentgen didefinisikan sebagai jumlah radiasi
sinar-X atau sinar gamma yang menghasilkan ionisasi dari
muatan positif maupun muatan negatif setiap satu sentimeter
kubik yang diukur pada kondisi standar 0°C, 760 mmHg
(STP).10
1 cm3 udara = 0,001293 gram pada kondisi standar (STP)
dan muatan elektrostatik membawa 1,6 × 10-19 Coloumb (C)
atau 4,8 × 10-10 unit elektrostatik, sehingga 1 Roentgent dapat
dinyatakan sebagai berikut:
1 R = 2,58 × 10-4 C/kg
Satuan terbaru yang menyatakan paparan dosis radiasi
adalah exposure unit (X). Dimana 1 X didefinisikan sebagai
muatan 1 Coloumb yang terbentuk dalam 1 kg udara akibat
dari ionisasi sinar-X atau sinar gamma.
1 X = 1 C/kg
1 X = 3881 R
Perlu diketahui bahwa satuan yang dinyatakan dalam
Roentgent hanya berlaku untuk radiasi sinar-X dan sinar
gamma. Karena keterbatasan instrumen untuk menghitung
maka unit Roentgent hanya dapat diterapkan pada foton
dengan energi kurang dari 3 MeV.
Selain dosis paparan, satuan dasar yang terkait dengan
radiasi adalah dosis absorbsi yang dinyatakan dalam rad
(radiation absorbed dose). Satuan dosis radiasi yang
dinyatakan dalam rad lebih umum digunakan. Rad
didefinisikan sebagai jumlah energi yaitu 100 erg yang diserap
oleh 1 gram materi.8
87
1 rad = 100 erg/gr penyerap
1 joule (J) = 107 erg
1 rad = 10-2 J/kg
Satuan rad dalam yang menyatakan dosis absorbsiyang
merupakan satuan lama kemudian diubah ke dalam satuan
standar (SI) yaitu Gray (Gy). Dimana 100 rad kuantitasnya
sama dengan 1 Gy.
1 gray (Gy) = 100 rad
= 1 J/kg bahan penyerap
Sehingga dalam 1 R dosis paparan per kilogram udara
energi yang diserap oleh materi atau seseorang pada lokasi
paparan ditunjukkan sebagai berikut:
1R = 86,9 × 10-4 J/kg di udara
1R = 0,869 rad di udara
1R = 0,00869 Gy di udara11
Dosis absorbsi yang dinyatakan dalam rad tidak
tergantung dari berat materi. Rad juga tidak dibatasi oleh
intensitas radiasi, jenis radiasi dan bahan penyerap radiasi.
Sehingga dalam 1 gram, 2 gram atau 10 gram massa materi
dosis absorbsi suatu radiasi tetap 1 rad (0,01 Gy).
Satuan dasar berikutnya yang menyatakan radiasi adalah
dosis ekivalen (Hr) dalam rem menjelaskan tentang perbedaan
efektivitas dari beberapa radiasi yang berbeda yang
menyebabkan kerusakan biologis.
Satuan ini digunakan untuk keperluan proteksi radiasi,
desain pengamanan instalasi radiologi dan sebagai pedoman
dokumen-dokumen legal tentang proteksi radiasi.
88
Hr (rem) = rad × (RBE)r
Hr (rem) = rad × Wr
Dimana Wr adalah faktor bobot radiasi untuk suatu radiasi
tertentu. Wr berkaitan dengan transfer energi linier (LET)
dalam medium tertentu dan menggambarkan keefektifan
radiasi yang menyebabkan kerusakan biologis. Nilai Wr
disebut juga sebagai faktor kualitas (QF).8
89
DF menyatakan faktor distribusi yang menunjukkan suatu
radioisotop terdistribusi ke dalam organ atau jaringan.
Berdasarkan persamaan di atas maka sinar-X dengan
dosis serap 1 mGy akan menghasilkan dosis ekivalen 1 mSv.
Sehingga dapat diketahui bahwa besaran dosis serap (Gy)
hanya mencakup aspek fisik saja. Sedangkan dosis ekivalen
(Sv) dapat mencakup aspek fisik maupun aspek biologis.10
90
Tabel 6. Faktor bobot jaringan WT 8
91
dari dosis ekivalen tertimbang dengan paparan radiasi pada
organ atau jaringan tertentu didapatkan dosis efektif.
93
B. LINEAR ENERGY TRANSFER (LET)
95
Bab V. EFEK FISIKA RADIASI DAN RADIOBIOLOGI
1. EFEK LANGSUNG13
IR + RH → R•+ H•
R• + R’H → R’•+ RH
97
Molekul radikal dapat membuat reaksi cross-linking.
IR + H2O → H2O+ + e-
atau
H2O* → OH• + H•
98
ini dapat menyebar dengan jarak pendek dan bereaksi dengan
molekul target dan menghasilkan molekul radikal lain.
Radikal hidroksil juga dapat bereaksi dengan air dan
membentuk anion yang cepat terdisosiasi menghasilkan atom
hidrogen H•.yang bersifat radikal pula.13
Sel adalah unit pembangun materi biologis dan terdiri dari dua
komponen utama yaitu, inti dan sitoplasma. Sitoplasma merupakan
cairan yang berada di sekitar inti dimana di dalamnya terjadi
semua aktivitas metabolik sel dibawah kendali oleh inti. Nukleus
atau inti sel mengandung kromosom yang mempunyai struktur
seperti benang dengan dua lengan yang dihubungkan oleh
sentromer. Kromosom terbentuk dari gen yang merupakan unit
dasar hereditas dalam sel untuk semua spesies makhluk hidup. Gen
terdiri dari molekul asam deoksiribonukleat atau DNA.
Bagian dalam sel yang memiliki kepekaan paling tinggi
terhadap radiasi adalah inti dimana hal ini dikaitkan dengan
komponen yang terkandung di dalamnya yaitu DNA. DNA
memiliki struktur heliks ganda yang terdiri dari dua helai mirip
benang. Setiap helaian tersusun atas molekul gula yang saling
terkait satu sama lain dan dihubungkan oleh ikatan gugus fosfat.
Dua helaian dihubungkan oleh ikatan basa yang terdiri dari timin
(T), adenin (A), guanin (G), dan sitosin (C).
Basa terikat pada molekul gula pada kedua sisi helaian dan
dipasangkan satu sama lain oleh ikatan hidrogen. Keempat basa ini
tersusun secara spesifik sehingga dapat membentuk suatu gen
99
spesifik dan memberikan karakteristik yang unik dari setiap
spesies makhluk hidup.
Pengetahuan tentang struktur DNA ini sangat penting untuk
memahami efek radiasi pada molekul DNA. Kerusakan radiasi
pada molekul DNA dapat disebabkan oleh:
1. Kehilangan basa
2. Pemecahan antara ikatan hidrogen dengan basa
3. Kerusakan pada satu helai molekul DNA (helai tunggal)
4. Kerusakan di kedua helai molekul DNA (helai ganda)
Efek kerusakan akibat radiasi ini menyebabkan perubahan
pada kode genetik yang disebut sebagai mutasi. Jumlah mutasi
mingkat seiring dengan meningkatnya jumlah paparan radiasi.
Pada paparan radiasi dosis rendah mengakibatkan kerusakan
satu helai molekul DNA dimana kerusakan ini masih dapat
diperbaiki dengan menggabungkan komponen yang rusak ke
dalam urutan semula. Namun pada paparan radiasi dosis tinggi
dapat menyebabkan kerusakan kedua helai molekul DNA (helai
ganda) dimana kemungkinan peluang perbaikan menurun.
Pada radiasi LET tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih
banyak pada molekul DNA karena helai ganda DNA rusak.
Apabila sel tidak diperbaiki, kemungkinan dapat mengalami
gangguan fungsi minor atau konsekuensi terburuk adalah terjadi
kematian sel.
Kromosom merupakan komponen pembentuk gen dimana
mutasi molekul DNA akibat paparan radiasi dapat mempengaruhi
kerusakan kromosom. Namun struktur kromosom sendiri dapat
dirusak oleh paparan radiasi yang mengakibatkan kerusakan
lengan tunggal atau lengan ganda. Perubahan struktural ini disebut
100
sebagai penyimpangan, anomali atau lesi. Penyimpangan
dikategorikan sebagai penyimpangan kromatid dan penyimpangan
kromosom.
Pada penyimpangan kromatid, iradiasi terjadi setelah sintesis
DNA dan sebelum berlangsungnya fase mitosis sehingga hanya
satu kromatid saja yang akan terpengaruh. Sedangkan pada
penyimpangan kromosom, iradiasi terjadi setelah berlangsung fase
mitosis namun sebelum sintesis DNA berikutnya sehingga
kromatid yang rusak akan di duplikasi menghasilkan sel-sel anak
dengan kromosom yang rusak.
Penyimpangan kromosom terjadi dipengaruhi oleh kerusakan
helai tunggal atau kerusakan helain ganda pada struktur. Pada
kerusakan helai tunggal, apabila memiliki waktu yang cukup
kromosom akan cenderung memperbaiki diri dengan
menggabungkan dua fragmen dalam proses restitusi. Hasilnya sel
dapat kembali berfungsi dan melakukan replikasi secara normal.
Namun apabila fragmen-fragmen tersebut direplikasi selama
sintesis DNA dan sebelum terjadinya proses restitusi dua helai
kromosom dengan sentromer dan dua helai kromosom tanpa
sentromer akan diproduksi. Kombinasi acak dari fragmen ini akan
menghasilkan kromatid aksentrik dan disentrik dimana kromosom
semacam ini dapat menimbulkan ketidaksesuaian informasi
genetik10.
Apabila radiasi mengakibatkan kerusakan helai tunggal dalam
dua kromosom yang terpisah maka terdapat empat cara untuk
memperbaiki kembali ujung yang patah tersebut, yaitu:
101
1. Kombinasi Aksentrik dan Disentrik10
Kombinasi ini akan menghasilkan kromosom yang serupa
dengan yang terbentuk setelah replikasi helai tunggal. Namun
sel-sel kromosom ini menimbulkan ketidaksesuaian informasi
genetik dari dua kromosom terpisah yang rusak.
2. Translokasi10
Proses ini terjadi dimana dua fragmen (satu fragmen
dengan sentromer dari satu kromosom dan satu fragmen tanpa
sentromer dari kromosom yang lain) bergabung membentuk
kromosom yang baru.
3. Delesi10
Delesi merupakan penggabungan dua fragmen kromosom
yang terbentuk dari dua patahan pada satu lengan kromosom
yang menghasilkan tiga fragmen dimana kedua fragmen
bergabung dan sisanya hilang.
Proses delesi dan translokasi ini menyebabkan efek buruk
jangka panjang (late effects) seperti karsinogenesis dan efek
genetik karena ketidakcocokan atau hilangnya materi genetik.
Efek genetik tidak muncul pada individu yang terpapar
oleh radiasi namun efek ini muncul pada generasi berikutnya
yang merupakan keturunan dari individu tersebut. Efek geneti
yang muncul dapat berupa Down syndrome, cystic fibrosis,
sickle cell anemia, retinoblastoma, dan kelainan kromosom
lainnya.
4. Inversi10
Merupakan proses lain dari delesi dimana tiga fragmen
hasil patahan bergabung ke dalam kromosom dan terjadi
perubahan di sepanjang garis putus-putus seperti ditunjukkan
102
pada gambar dibawah ini. Proses inversi ini tidak merugikan
sel karena memiliki semua materi genetik aslinya meskipun
terjadi perubahan urutan gen.
103
Perbaikan kromosom setelah iradiasi bergantung pada lokasi
kerusakan pada molekul DNA atau kromosom, dosis radiasi total,
laju dosis dan LET radiasi. Penyimpangan kromosom oleh
kerusakan helai ganda lebih sering terjadi pada tingkat dosis tinggi
daripada tingkat dosis rendah karena sedikit waktu untuk
memperbaiki dan lebih sedikit kesempatan untuk menggabungkan
dua fragmen dalam urutan gen yang sesuai.
Radiasi LET yang tinggi menyebabkan kerusakan helai ganda
yang lebih banyak dalam kromosom daripada radiasi LET rendah
sehingga perbaikan lebih sulit terjadi. Partikel-partikel proton,
neutron akan menyebabkan penyimpangan kromosom yang lebih
banyak daripada sinar gamma.
C. RADIOSENSITIVITAS10
D. RADIOPROTEKTOR10
A. PROTEKSI RADIASI
108
7. Total effective dose equivalent (TEDE)10
Merupakan jumlah deep-dose equivalent (untuk paparan
eksternal) dan effective dose equivalent yang diperbolehkan
(untuk paparan internal).
8. Area terbatas10
Area dimana seseorang dapat menerima lebih dari 5mrem
(0,05 mSv) per jam pada jarak 30 cm dari sumber radiasi.
9. Daerah dengan tingkat radiasi tinggi10
Daerah dimana seseorang dapat menerima dosis setara
melebihi 100 mrem (1 mSv) dalam 1 jam pada jarak 30 cm
dari sumber radiasi.
10. Daerah dengan tingkat radiasi sangat tinggi10
Daerah dimana seseorang dapat menerima dosis yang
dapat diserap lebih dari 500 rad (5 Gy) dalam 1 jam pada jarak
1 m dari sumber radiasi.
11. Area yang tidak dibatasi10
Daerah dimana seseorang dapat menerima dari sumber
radiasi eksternal dengan dosis 2 mrem (20 mSv) per jam dan
50 mrem (0,5 mSv) per tahun.
NRC sebagai organisasi yang membuat regulasi terhadap
penanganan radiasi mewajibkan penggunaan tanda, simbol dan
label untuk memperingatkan individu dari bahaya adanya radiasi.
Tanda-tanda ini menggunakan warna magenta, ungu, atau hitam
dengan latar belakang kuning. Berikut dijelaskan beberapa tanda
yang spesifik.
1. Caution: Radiation Area
Tanda ini harus dipasang di daerah radiasi.
109
2. Caution: High Radiation Area atau Danger: High
Radiation Area
Tanda ini harus dipasang di daerah dengan tingkat radiasi
tinggi.
3. Caution: Radioactive Material atau Danger: Radioactive
Material
Tanda ini dipasang di daerah atau ruangan dimana
memiliki jumlah bahan berijin 10 kali lebih banyak yang
ditentukan dalam Lampiran C dari 10CFR20 dan harus
dilabel dengan tanda ini. Label ini harus dihapus atau
dirusak sebelum dibuang dari wadah pada daerah yang
tidak dibatasi.
110
Tanda peringatan ini tidak diperlukan di ruangan yang
menyimpan sumber radiasi tersegel dan memberikan paparan
radiasi sepanjang 1 kaki (30 cm) dari permukaan sumber radiasi
sebesar 5 mrem (50 mSv) per jam. Tanda peringatan ini juga tidak
diperlukan di ruangan dimana bahan radioaktif ditangani kurang
dari 8 jam.10
111
3. PAPARAN MEDIS
Paparan medis merupakan paparan dari radiasi pengion
yang diterima oleh pasien karena suatu tindakan diagnostik
maupun terapi. Dimana dokter, radiografer, radiologis dan
paramedis tidak termasuk ke dalam kategori paparan medis
ini.
Salah satu cara untuk menghindari terjadinya paparan radiasi
pengion yang berlebihan terhadap tubuh manusia adalah dengan
melakukan pemantauan rutin dosis perorangan para pekerja
radiasi. Untuk menghindari kemungkinan buruk yang tidak
diinginkan, para pekerja radiasi harus mendapatkan pelayanan
pemantauan dosis perorangan selama menjalankan tugasnya.10
Dengan program pemantauan dosis pekerja secara ketat,
penerimaan dosis oleh para pekerja radiasi akan tetap terkontrol
dan dapat diambil tindakan proteksi secepat mungkin apabila
jumlah penerimaan dosis akumulasinya melampaui nilai batas
dosis yang telah ditetapkan.9
1. PEMANTAUAN DOSIS EKSTERNA9
Pemantauan radiasi eksterna dilakukan terhadap pekerja
yang mempunyai potensi terpapar radiasi dari sumber
eksterna. Potensi paparan eksterna terdapat pada para pekerja
radiasi yang menggunakan sumber-sumber radiasi terbungkus
beraktivitas tinggi atau sangat tinggi atau bekerja dengan
mesin pembangkit radiasi dengan laju dosis yang besar.
Pemantauan radiasi eksterna dimaksudkan agar dosis
akumulasi dari sumber-sumber eksterna yang diterima pekerja
selama menjalankan tugas tetap terkontrol.
112
Dalam hal pemantauan dosis, manusia mengandalkan
pada dosimeter perorangan.
Interpretasi dan evaluasi penerimaan dosis radiasi yang
diterima oleh setiap pekerja radiasi didasarkan pada hasil
rekaman dosimeter perorangan yang dipakai selama berada di
daerah radiasi. Evaluasi tersebut dilakukan secara periodik
Sebagai penunjang, pada saat melakukan operasi tertentu,
pekerja radiasi seringkali dilengkapi pula dengan dosimeter
lain yang memungkinkan interpretasi penerimaan dosis dapat
dilakukan secara cepat setelah selesai melakukan pekerjaan
dengan radiasi.
Dosimeter perorangan adalah alat pencatat dosis radiasi
yang mampu merekam dosis akumulasi yang diterima oleh
setiap individu pekerja radiasi. Ada berbagai jenis dosimeter
perorangan yang sampai saat ini telah berhasil dikembangkan,
antara lain dosimeter film emulsi, dosimeter zat padat seperti
dosimeter thermoluminesensi (TLD), dosimeter kamar
pengionan gas seperti dosimeter saku (pocket dosimeter).
Masing-masing dosimeter tersebut terbagi menjadi beberapa
jenis disesuaikan dengan tujuan penggunaannya.
Misalnya dosimeter film emulsi terbagi menjadi
dosimeter film neutron yang bermanfaat untuk memantau
dosis neutron dan dosimeter film gamma bermanfaat untuk
memantau dosis gamma. Demikian pula TLD, ada yang
dirancang untuk pemantauan radiasi beta, radiasi gamma,
neutron maupun campuran berbagai jenis radiasi seperti beta-
gamma, neutron-gamma serta neutron-beta-gamma.9
113
1) DOSIMETER FILM EMULSI9
114
dosis radiasi semu menggunakan kurva kalibrasi yang
dibuat dengan sinar gamma.9
2) THERMOLUMINESENSI (TLD)9
115
hingga tinggi, dapat dipakai ulang dan tidak peka
terhadap faktor-faktor lingkungan.
Namun demikian, TLD juga mempunyai kelemahan
karena data dosis langsung hilang setelah proses
pembacaan, sehingga tidak bisa dilakukan pembacaan
ulang apabila ditemukan hal-hal yang meragukan.9
3) DOSIMETER SAKU9
116
Pemantauan dosis interna dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah dan jenis zat radioaktif yang mengendap dalam organ
tubuh tertentu dan menginterpretasikan jumlah dosis yang
mungkin diterima organ itu.
Pemantauan kadar kontaminan radioaktif baik yang
terdapat dalam udara maupun permukaan daerah kerja seperti
lantai serta fasilitas kerja lainnya yang sering kali digunakan
untuk memperkirakan jumlah pemasukan zat radioaktif ke
dalam tubuh pekerja. Namun untuk beberapa kondisi kerja
tertentu, pemantauan dosis interna terhadap para pekerja
radiasi masih tetap diperlukan. Jenis maupun metode
pemantauan dosis interna yang akan dilakukan bergantung
pada jenis radionuklida yang diperkirakan mengendap di
dalam tubuh.9
2) PENCACAHAN ORGAN9
118
Apabila detektor NaI(Tl) dikalibrasi dengan berbagai
macam radioisotop Iodin dengan bentuk geometri yang
sama dengan ukuran kelenjar gondok, maka akan
diperoleh efisiensi detektor pada berbagai energi gamma
yang dipancarkan radioisotop Iodin. Dalam proses
pengukuran, detektor NaI(Tl) dihubungkan dengan sistim
penganalisa saluran ganda sehingga pada layar
penganalisa akan ditampilkan berbagai puncak spektrum
radiasi gamma dari berbagai macam radioisotop I.
Dengan menganalisa tinggi spektrum beserta letak
munculnya spektrum tersebut dapat diidentifikasi
aktivitas dan energi dari spektrum gamma yang
bersangkutan. Dari identifikasi ini dapat diketahui jenis
serta aktivitas radioisotop Iodin yang mengendap di
dalam kelenjar gondok. Perhitungan dosis interna yang
diterima kelenjar gondok dapat dilakukan dengan cara
membandingkan aktivitas yang terukur dengan nilai batas
masukan tahunan (BMT) untuk radioisotop tersebut.9
121
Konsep terbaru mengenai prinsip-prinsip dasar proteksi radiasi
telah diperkenalkan dalam Publikasi ICRP No. 60 tahun 1990.
Dalam Publikasi ini terdapat beberapa perubahan dibandingkan
dengan Publikasi ICRP No. 26 tahun 1977. Salah satu perbedaan
antara kedua Publikasi tersebut adalah dalam hal penentuan
pembatasan penerimaan dosis radiasi baik untuk pekerja radiasi
maupun masyarakat umum bukan pekerja radiasi. Dalam Publikasi
tahun 1977 Nilai Batas Dosis efektif untuk pekerja radiasi dan
masyarakat berturut-turut adalah 50 mSv/tahun dan 5 mSv/tahun,
sedang dalam Publikasi tahun 1990 diturunkan menjadi 20
mSv/tahun untuk pekerja radiasi dan 1 mSv/tahun untuk
masyarakat.9
122
2. FAKTOR JARAK
123
dengan energi diatas 10 KeV atau 20 KeV hanya termasuk ke
dalam perhitungan Γ. Dalam hal ini sinar gamma dan sinar-X
hanya dilambangkan dengan Γ10 atau Γ20. 10
3. FAKTOR PELINDUNG
125
Bahan pelindung merupakan sarana yang sangat penting
dalam proteksi radiasi. Radionuklida yang memancarkan
partikel beta harus disimpan dalam wadah dengan nomor atom
rendah seperti aluminium dan plastik karena wadah dengan
nomor atom tinggi seperti timbal dapat menghasilkan radiasi
Bremsstrahlung yang sangat tinggi. Sebagai contoh adalah P32
adalah unsur pemancar partikel beta sehingga harus disimpan
dalam wadah plastik bukan wadah berbahan timbal.10,8
4. FAKTOR AKTIVITAS10
126
BAB VII. SEDIAAN RADIOFARMASETIKA
A. PRODUKSI RADIOFARMASETIKA
127
Saat ini terdapat lebih dari 100 radiofarmasetika yang
dikembangkan menggunakan reaktor nuklir atau siklotron untuk
memproduksi radioisotop untuk mendiagnosis dan terapi penyakit
tertentu. Produksi radiofarmasetika melibatkan penanganan
sejumlah zat radioaktif dan pengolahan kimiawi. Beberapa aspek
yang perlu diperhatikan dalam produksi radiofarmasetika
diantaranya termasuk pengelolaan produksi radioisotop,
pemeliharaan fasilitas pengolahan, jaminan kualitas dan kontrol
kualitas yang efektif, registrasi produk dan distribusi bahan
radioaktif.
Dalam upaya penjaminan kualitas radiofaramsetika maka
diperlukan pengaturan kondisi ruangan dalam preparasi sampel,
dimana harus berada pada suhu optimum, pH, kekuatan ion dan
rasio molar harus dijaga kestabilannya agar didapatkan khasiat
maksimal dari produksi radiofarmasetika.16
Radiofarmasetika yang telah selesai diformulasi kemudian
dapat di aplikasikan kepada manusia dan apabila menimbulkan
kecacatan fatal akibat pemberian sediaan radiofarmasetika maka
radiofarmasetika tersebut harus dimusnahkan.
Berikut beberapa metode yang digunakan untuk mendapatkan
radioisotop untuk sediaan radiofarmasetika.
1. Radiofarmasetika yang diperoleh dari target yang di-iradiasi di
dalam reaktor nuklir dan kemudian dilarutkan dalam pelarut.
Contohnya adalah: Na24; K42 dan Br82.
2. Radiofarmasetika yang diperoleh dari pemisahan kimia dari
target yang di-iradiasi. Pemisahan kimia yang dilakukan
meliputi oksidasi, reduksi, absorbsi, penukaran ion dan
pengendapan. Contohnya adalah: I131; P32; Cr51 dan Fe55.
128
3. Radiofarmasetika yang diperoleh dari pelabelan molekul
organik sintetis atau dari makhluk hidup seperti tumbuhan
atau hewan yang dilabel dengan suatu radioisotop. Contohnya
adalah Diodon, Antipirin dan Rose Bengal yang dilabel
dengan I125.
4. Radiofarmasetika berupa koloid radioaktif yang diperoleh dari
pengendapan logam metaloid atau garam. Contohnya adalah
Koloid Au198 dalam bentuk partikel dengan diamater kurang
dari 100 mm dalam suspensi yang stabil.
5. Radiofarmasetika yang berasal dari radioisotop dengan waktu
paruh pendek yang dihasilkan dari generator. Contohnya
adalah Y87 menjadi Sr87 dan Mo99 menjadi Tc99m.3
B. DESAIN RADIOFARMASETIKA8
129
Berdasarkan keriteria ini, maka perlunya untuk merancang
sediaan radiofarmasetika untuk mengevaluasi fungsi dan/atau
struktur organ yang diminati. Dalam proses merancang suatu
radiofarmasetika maka perlu adanya protokol yang pasti
berdasarkan sifat fisikokimia bahan yang digunakan untuk
mempersiapkan radiofarmasetika. Selain itu metode penyiapan
harus sederhana, mudah, dapat direproduksi dan sebaiknya tidak
mengubah sifat yang diinginkan dari senyawa berlabel tersebut.
Metode preparasi harus sederhana, mudah dan dapat
direproduksi serta sebaiknya tidak mengubah sifat komponen yang
melabel. Kondisi temperatur yang optimum, pH, kekuatan ion dan
rasio konsentrasi harus dipertahankan untuk mendapatkan sediaan
radiofarmasetika dengan efikasi yang optimal.
Sediaan radiofarmasetika yang telah selesai dikembangkan
dan diformulasi, perlu dilakukan uji klinis pada hewan dan
manusia. Apabila penggunaan sediaan radiofarmasetika pada
manusia menimbulkan efek buruk yang tidak diinginkan maka
penggunaan sediaan radiofarmasetika tersebut harus dihentikan.8
1. KOMPATIBILITAS8
2. STOIKIOMETRI8
3. MUATAN MOLEKUL8
4. UKURAN MOLEKUL8
5. IKATAN PROTEIN8
132
seperti Indium, Gallium dan beberapa ion metalik lain yang
dapat mengikat transferrin dalam plasma.
Ikatan protein sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti muatan molekul radiofarmasetika, pH, konfigurasi
protein dan konsentrasi anion plasma. Pada tingkat pH rendah,
protein plasma menjadi bermuatan positif dan obat anionik
akan dapat berikatan dengan protein ini.
Protein terdiri dari gugus hidroksil, karboksil dan gugus
amino yang berkonfigurasi membentuk struktur protein.
Konfigurasi struktur protein ini menggambarkan kekuatannya
dalam mengikat radiofarmasetika.
Khelat besi dapat menukar ion besi dengan protein karena
afinitas besi lebih kuat daripada protein. proses ini disebut
sebagai transkelasi dan menyebabkan kerusakan komplek
secara in vivo. Sebagai contoh adalah In111-khelat menukar
In111 dengan transferrin menjadi bentuk In111-transferrin.
Ikatan protein juga berpengaruh terhadap distribusi ke
dalam jaringan, klirens plasma dari radiofarmasetika dan
asupan radiofarmasetika pada organ yang dituju. 8
6. KELARUTAN8
7. STABILITAS8
135
Ekskresi urin dan feses radiofarmasetika penting dalam
evaluasi klinis. Semakin singkat waktu ekskresi urin dan feses
maka risiko terpapar dosis radiasi semakin menurun. Nilai ini
menunjukkan pengumpulan urin dan feses pada interval waktu
yang berbeda setelah injeksi dan dihitung aktivitas dalam
sampel.
Efek toksik radiofarmasetika harus perlu dievaluasi. Efek
ini dapat merusak jaringan, disfungsi fisiologis organ dan
bahkan kematian hewan uji.8
D. APLIKASI RADIOFARMASETIKA
1. APLIKASI TERAPEUTIK
138
Radioisotop dapat digunakan secara internal maupun
eksternal. Apabila digunakan secara eksternal atau sebagai
implan yang dikemas dalam kapsul di dalam jaringan,
efektivitas dosis terapinya dapat dihentikan dengan cara
melepaskan sumbernya dari jaringan. Namun apabila
digunakan secara internal sebagai sumber yang tidak dikemas,
efektivitas dosis terapi tidak dapat dihentikan meskipun
sumber radiasi dihilangkan. Tingkat dosis tinggi pada
pemakaian radioisotop akan lebih efektif dalam mengobati
tumor pada siklus sel dengan waktu singkat misalnya
proliferasi. Dosis total dalam aplikasi terapeutik dihitung
berdasarkan waktu paruh efektif radioisotop, konsentrasi
radioisotop, jenisnya dan energi radiasi yang dipancarkan.11
Waktu paruh efektif dan fisik radioisotop berkaitan
dengan waktu paruh obat di dalam tubuh. Dimana radioisotop
dengan waktu paruh pendek memiliki ketersediaan yang
sedikit dan kebutuhan akan pelabelan harus cepat sehingga
jarang digunakan. Namun radioisotop berumur pendek
pemancar partikel alfa (Bi212 dan Bi213) dan pemancar partikel
beta (Cu67) telah diuji klinis untuk pengobatan leukemia akut.
Radioisotop dengan emisi beta yang tinggi memiliki efek
klinis dan merupakan kelompok radioisotop yang paling
banyak digunakan dalam terapi. Beberapa radioisotop
pemancar beta berperan penting dalam terapi paliatif pasien
kanker dengan metastase ke tulang. Penggunaan radioisotop
tanpa emisi sinar gamma memberikan keuntungan pada
perawatan rawat jalan yang nyaman.9
139
Salah satu aplikasi terapeutik radioisotop dalam
kedokteran nuklir adalah radioterapi. Radioterapi adalah
tindakan medis menggunakan radiasi pengion untuk
mematikan sel kanker sebanyak mungkin namun memiliki
efek minimal terhadap sel normal. Radioterapi memiliki dua
teknik yang sering digunakan dalam tindakan medis, yaitu
teleterapi yang menggunakan sumber eksternal dan brakiterapi
yang menggunakan sumber internal. Pada tindakan teleterapi,
posisi sumber sinar gamma energi tinggi berasal dari Kobalt-
60 (Co-60) yang disimpan dalam kontainer metal yang tebal
dan dapat diatur sedemikian rupa sehingga sel kanker dapat
diradiasi dari berbagai arah yang dituju dengan setepat
mungkin.
141
tubuh (intracavitary) seperti pada kanker serviks, kanker paru
dan kanker esofagus. Sumber radiasi tersebut juga dapat
diletakkan di dalam organ atau jaringan (interstisial) seperti
pada kanker prostat, kanker kepala dan leher, kanker payudara
atau di dalam lumen (intraluminal).
Radioterapi juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa
sakit pasien kanker yaitu tindakan paliatif menggunakan
sumber radiasi tertutup maupun LINAC.9
2. APLIKASI DIAGNOSTIK
144
3. POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY IMAGING
146
BAB VIII. KONTROL KUALITAS SEDIAAN
RADIOFARMASETIKA
A. ASPEK FISIKOKIMIA
1. UKURAN PARTIKEL
3. KEMURNIAN RADIOKIMIA
149
4. KEMURNIAN KIMIA
Kemurnian kimia mengacu pada proporsi sediaan yang
ada dalam bentuk kimia tertentu tanpa memperhatikan
adanya radioaktivitas.
Persiapan yang dilakukan untuk menguji kemurnian
kimia sediaan terutama ion exchange misalnya pada
pembuatan asam iodoksiat yang mana beberapa atom
yodium digantikan oleh atom yodium-131.12
Zat pengotor kimia dalam persiapan pembuatan
sediaan radiofarmasetika tidak dapat diterima jika bersifat
toksik atau dapat memodifikasi proses fisiologis atau
menghasilkan enteraksi yang tidak diinginkan. Terutama
perlu diperhatikan pada zat pengotor yang berpengaruh
terhadap efek farmakologis atau farmakodinamik meskipun
jumlahnya sangat rendah misalnya reseptor ligan.12
B. ASPEK BIOLOGI
1. STERILITAS
150
Volume sampel harus paling tidak sama besarnya dengan
manusia. Apabila pada kedua metode uji terdapat
pertumbuhan bakteri yang teramati maka sediaan
radiofarmasetika dianggap tidak steril.
Sebagian besar radioisotop untuk labeling memiliki
waktu paruh sangat singkat sehingga sebelum selesai uji
sterilitas sediaan sudah harus digunakan terlebih dahulu.12
3. TOKSISITAS8
153
BAB IX. PELABELAN SENYAWA DENGAN
RADIOISOTOP
A. METODE PELABELAN9
154
ini bersifat reversibel dan berguna untuk melabel bahan
berkomposisi iodin dengan radioisotop iodin dan untuk
melabel senyawa dengan tritium.8
156
4. BIOSINTESIS
Dalam proses biosintesis, organisme hidup ditumbuhkan
dalam kultur media yang terdiri dari pelacak radioaktif dimana
pelacak bergabung ke dalam metabolit yang dihasilkan oleh
proses metabolisme organisme dan metabolit tersebut
kemudian dipisahkan secara kimia.
Sebagai contoh adalah vitamin B12 yang dilabel dengan
60
Co atau 57Co dengan menambahkan pelacak ke dalam kultur
media dimana tumbuh organisme hidup yaitu Streptomyces
griseus. Selain itu beberapa senyawa berlabel yang dilabel
14
menggunakan biosintesis diantarnya adalah C-dilabel
karbohidrat,protein dan lemak.8
5. PELABELAN REKAMAN
Pelabelan rekaman sedikit diminati karena hasil pelabelan
tidak digunakan dalam skala besar. Pada reaksi nuklir, apabila
partikel diemisikan dari inti, atom rekaman atau ion
diproduksi yang dapat membentuk ikatan dengan molekul lain
dalam bahan target. Energi tinggi dari atom rekaman
menghasilkan hasil yang buruk karena aktivitas spesifik
produk berlabel yang rendah.
Beberapa senyawa yang mengandung tritium dapat
disiapkan dalam reaktor menggunakan reaksi 6Li(n,α) 3H.
Senyawa dilabel dengan mencampurkan garam lithium dan
diiradiasi di dalam reaktor. Tritium yang diproduksi dari
reaksi diatas kemudian digunakan untuk melabel senyawa
dengan mekanisme penukaran isotop dan senyawa berlabel
dipisahkan.8
157
6. PELABELAN EKSITASI
Pelabelan eksitasi dilakukan menggunakan radioaktif dan
ion anak yang sangat reaktif yang diproduksi dari proses
peluruhan nuklir. Selama peluruhan beta atau penangkapan
elektron, ion bermuatan energik diproduksi yang kemudian
dapat digunakan untuk melabel berbagai jenis senyawa yang
77
diinginkan. Peluruhan Kripton-77 menjadi Br dan apabila
77 77
senyawa dilabel dengan Kr maka ion Br yang energik
dapat melabel senyawa dengan membentuk senyawa yang
terbrominasi. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa jenis
123
protein yang teriodinasi dengan I dengan mengeluarkannya
menjadi 123Xe yang meluruh menjadi 123I. Hasil senyawa yang
diperoleh dari metode ini memiliki aktivitas yang rendah.8
4. EFEK ISOTOP
159
5. KEADAAN BEBAS PEMBAWA ATAU TANPA
DITAMBAHKAN PEMBAWA (No-Carrier-Added/NCA)
6. KONDISI PENYIMPANAN
7. AKTIVITAS SPESIFIK
160
kejadian radiolisis yang banyak dalam senyawa berlabel
sehingga perlu dihindari.8
8. RADIOLISIS
161
pedoman dalam menentukan waktu kadaluwarsa
radiofarmasetika.8
162
pemancar radiasi, dan sifat ikatan kimia antara radionuklida
dan molekul.
Umumnya, pada tiga kali waktu paruh fisik atau maksimal
enam bulan merupakan batas masa penyimpanan senyawa
99m
berlabel. Masa simpan dari Tc-dilabel senyawa bervariasi
antara 0,5 dan 18 jam, dan pada umumnya adalah 6 jam.8
C. PELABELAN KHUSUS
1. RADIOIODINASI
1) PRINSIP IODINASI
164
berada dalam bentuk bebas tetapi membentuk kompleks
dengan nukleofilik seperti air atau piridin.
Subtitusi elektrofilik:
165
2) METODE IODINASI
a. METODE TRIIODIDA
166
c. METODE KLORAMIN-T
d. METODE ELEKTROLITIK
167
dengan mendialisis kantong yang mengandung
katoda yang terendam larutan saline, dan
kompartemen anoda mengandung campuran
elektrolitik.
Elektrolisis melepaskan iodin reaktif yang
melabel senyawa. Pelepasan iodin terjadi secara
lambat dan terus-menerus sehingga menyebabkan
iodinasi yang seragam terhadap senyawa dan tanpa
iodin pembawa. Hasil pelabelan mencapai hampir
80%.8
e. METODE ENZIMATIK
168
f. METODE KONJUGASI
g. METODE DEMETALISASI
169
Organostannan [suksinimidil para-tri-n-
butilstannil benzoat (SBSB)] merupakan senyawa
intermediet yang paling baik karena mudah dalam
penyiapan, stabilitas baik dan mudah dalam reaksi
penukaran dengan radioiodin. SBSB pertama kali
di radioiodinasi dengan metode yang sesuai
dimana gugus tributil stannil disubstitusi dengan
radioiodin. Protein kemudian dipasangkan dengan
SBSB dengan mencampurkan keduanya dalam pH
alkalin. Tamoxifen, vinil estradiol dan asam lemak
fenil diiodinasi menggunakan teknik ini.8
h. METODE IODOGEN
i. METODE IODO-BEAD
j. SENYAWA RADIOIODINASI
99m
Spesies Tc tereduksi secara kimia reaktif dan
dapat dikombinasikan dengan berbagai macam zat
pengkhelat.
99M
2) PERTEKHNAT BEBAS DALAM Tc-
RADIOFARAMSETIKA
99M
Dalam penyiapan Tc -radiofaramsetika dalam
botol kit, jumlah pertekhnat bebas harus dalam batasan
yang dapat diterima. Namun, dengan adanya oksigen di
99M
dalam botol, terutama sebelum ditambahkan Tc, dapat
menyebabkan teoksidasinya ion stannus menjadi ion
stannik dimana adanya jumlah ion stannus mengurangi
penurunuan Tc7+. Sehingga hasilnya terjadi peningkatan
99M
TcO4- bebas dalam 99MTc-radiofarmasetika.
99M
Aktivitas yang tinggi dari Tc dengan adanya
oksigen menyebabkan radiolisis air atau produk lain
dalam sampel dan memproduksi hidroksi(OH-), alkoksi
(RO-) dan radikal bebas peroksi(RO2∙). Spesies ini
99M 99M
berinteraksi dengan Tc-khelat memproduksi TcO4-
99M
bebas dalam sampel. Namun, batas aktivitas Tc yang
disarankan untuki penambahan kit komersial cukup
rendah sehingga efek radiolitik dapat normal.
Efek diatas dapat dikurangi dengan menggunakan
sejumlah ion stannus yang cukup dan menghindari
oksigen, udara atau bahan pengoksidasi lain dalam botol
selama masa simpannya. Umumnya botol kit dibilas
174
dengan gas N2 untuk mempertahankan atmosfer gas inert
di dalamnya. Beberapa peralatan seperti kit MDP dan kit
HDP, antioksidan (asam askorbat dan asam gentisat)
ditambahkan untuk mencegah adanya oksidasi.8
99M
Terdapat kemungkinan bahwa Tc tereduksi dapat
mengalami hidrolisis di dalam larutan air. Dalam hal ini,
99M
Tc tereduksi bereaksi dengan air membentuk berbagai
macam spesies terhidrolisis tergantung dari pH, durasi
hidrolisis dan adanya bahan lain. Analisis reaksi kimia
menunjukkan bahwa technetium terhidrolisis adalah
99M
senyawa TcO2 yang berkompleksasi dengan
kandungan lain seperti SnO, MoO3 atau Al. Hidrolisis ini
berkompetisi dengan proses kelasi dari senyawa yang
99M
diinginkan dan mengurangi hasil Tc-khelat. Spesies
terhidrolisis dapat menganggu uji diagnostik apabila
berada dalam jumlah yang besar dalam sediaan
radiofarmasetika.
Penggunaan stannus klorida memiliki kekurangan
bahwa ion Sn2+ juga mengalami hidrolisis dalam larutan
ait pada pH 6 – 7 dan membentuk koloid yang sulit
99M
terlarut. Koloid ini dapat mengikat Tc tereduksi dan
menurunkan kualitas hasil pelabelan. Sehingga perlunya
ditambahkan asam untuk mencegah hidrolisis Sn2+
sebelum mereduksi technetium apabila penyiapan
menggunakan komponen dasar selain kit.
175
Kedua kekurangan yang terjadi yaitu, hidrolisis 99MTc
tereduksi dan Sn2+, dapat dicegah dengan menambahkan
bahan pengkhelat. Bahan ini kemudian akan mengikat
99M
Tc tereduksi dan Sn2+ dan mencegah hidrolisis. Rasio
bahan pengkhelat dengan Sn2+ haruslah lebih besar
dimana dapat mengikat Sn2+ secara sempurna. Ikatan
antara bahan pengkhelat dengan 99MTc tereduksi atau Sn2+
sangat tergantung dari afinitas tetap bahan pengkhelat.
Apabila bahan pengkhelat berisfat lemah seperti senyawa
fosfat maka keberadaan spesies terhidrolisis dalam
99M
penyiapan Tc-dilabel sangat tinggi. Namun, apabila
bahan pengkhelat memiliki afinitas yang tinggi seperti
DTPA maka jumlah spesies terhidrolisis dapat
diminimalkan.
Dalam penyiapan, sebagian besar fraksi dari
radioaktivitas berada dalam bentuk terikat. Fraksi bebas
dan terhidrolisis harus dimusnahkan dan dikurangi sampai
level minimal sehingga tidak dapat mengganggu uji
99M 99M
diagnostik. Analisis sampel Tc- dan Tc-HEDP
dengan HPLC dapat menunjukkan bahwa terdapat sekitar
tujuh spesies yang tidak diketahui yang mengandung Tc
berada dalam kondisi teroksidasi. Distribusi beberapa
komponen dalam campuran tergantung dari waktu
bereaksi dan adanya molekul oksigen.8
176
99M
4) PEMBENTUKAN Tc-KOMPLEK DENGAN
PENUKARAN LIGAN
177
dengan adanya ion Sn2+ dan Tc yang tereduksi dengan
mudah membentuk 99MTc-khelat dengan ligan lemah.
Setelah pemanasan atau dengan direaksikan dalam
waktu yang lama, ligan kuat dengan mudah terlarut dan
penukaran ligan dapat terjadi antara ligan kuat dengan
99M
Tc-khelat.
Penambahan bahan pengkhelat lemah penting untuk
menstabilkan Tc tereduksi, terutama dalam keadaan
oksidasi rendah. Oleh karena reaksi antara ligan kuat
dengan Tc tereduksi berjalan lambat diakibatkan
rendahnya kelarutan ligan, dengan tidak adanya ligan
lemah dalam sampel dan hanya ligan kuat saja maka akan
dapat mengendapkan sebagian besar Tc tereduksi menjadi
koloid.
Berdasarkan prinsip ini, beberapa kit untuk pelabelan
99M
Tc diformulasikan sehingga mengandung kedua ligan,
kuat dan lemah serta dengan ion stannus. Sebagai contoh
tartrat dan MAG3 untuk pencitraan ginjal, EDTA dan etil
sistein dimer (ECD) untuk pencitraan otak dan heksakis-
metoksiisobutil isonitril dan asam sitrat untuk pencitraan
miokard.8
99M
Pengenalan kit untuk memformulasi Tc-
radiofarmasetika telah banyak mendukung praktik farmasi
nuklir. Kit yang digunakan memiliki waktu simpan yang
panjang, terjangkau dan dapat disimpan secara praktis
99M
untuk penyiapan setiap saat. Pelabelan Tc dapat
178
diselesaikan dengan mudah dengan menambahkan
99M
TcO4- pada sebagian besar kit.
99M
Kit untuk sebagian besar Tc-radiofarmasetika
disiapkan dari larutan baku yang terdiri dari senyawa
yang dilabel dicampur dengan larutan asam dari senyawa
stannus pada kondisi yang disesuaikan. pH larutan diatur
pada 5 – 7 dengan melarutkan NaOH, dibilas dengan
nitrogen dan sebagian larutan dikeluarkan ke dalam botol
kit individual. Larutan kemudian diliofilisasi dan botol
dibilas dan diisi dengan nitrogen steril. Liofilisasi
membuat bahan kering di dalam vial sehingga dapat
dengan mudah larut dalam larutan air dan dapat
membantu pelabelan dengan kelasi. Penyiapan dilakukan
menggunakan bahan-bahan setril dan berada dalam
kondisi aseptis di dalam Laminar flow hood yang diisi
dengan nitrogen bertekanan positif.
Berbagai macam senyawa stannus seperti stannus
klorida, stannus florida, stannus sitrat, stannus tartrat,
stannus pirofosfat dan lainnya telah digunakan oleh
perusahaan komersial, meskipun stannus klorida yang
paling banyak digunakan. Dalam penyiapan kit, ketika
larutan asam Sn2+ ditambahkan, terbentuk kompleks Sn2+
dan bahan pengkhelat menjadi Sn-khelat.
Ketika pH larutan meningkat, hidrolisis Sn2+ tidak
akan terjadi karena Sn2+ telah berkelasi dengan adanya
bahan pengkhelat dalam jumlah besar.
Reaksi kimiawi pada timah berlaku ketika larutan
99M
TcO4- ditambahkan ke dalam bahan pengkhelat
179
99M
terliofilisasi di dalam botol kit. Tc7+ direduksi oleh
Sn2+ dalam Sn-khelat atau oleh Sn2+ bebas pada keadaan
seimbang. Jumlah Sn2+ pada kondisi ini harus lebih dari
99M
cukup untuk mengurangi jumlah nanomolar dari Tc7+
yang ditambahkan ke dalam kit.
Pada setiap kit, jumlah awal Sn2+ dan bahan
pengkhelat sangat penting diperhatikan. Apabila timah
terlalu banyak digunakan, kemungkinan hidrolisis timah
meningkat yang dalam kasus ini timah terhidrolisis dapat
99m
mengendapkan beberapa Tc tereduksi menjadi bentuk
99M
Tc-koloid dan kompleks Sn dan kemudian dapat
menurunkan hasil khelat dilabel. Apabila timah terlalu
99M
sedikit dapat menyebabkan reduksi Tc berjalan tidak
sempurna sehingga berada pada keadaan oksidasi dan
99M
menyebabkan hasil yang tidak diinginkan dari Tc-
99M -
kompleks yang tidak bereaksi dengan TcO4 .
Besarnya bahan pengkhelat yang dikeluarkan dapat
digunakan untuk menjaga timah tetap berkompleksasi.
Kondisi ini dapat mencegah hidrolisis timah dan
technetium pada pH 6 -7 setelah penambahan 99MTcO4- ke
99M
dalam kit dan hasil Tc-kompleks dapat meningkat.
Pada bahan pengkhelat lemah, rasio bahan pengkhelat
harus lebih besar dari rasio timah. Nilai optimal dari rasio
ini harus dipertahankan pada masing-masing kit dengan
trial and error.8
180
BAB X. STERILISASI DENGAN RADIASI
181
merusak bahan yang disterilisasi, waktu iradiasi sebagai variabel
pengontrol keseluruhan proses, lebih efektif karena dapat
mencapai 100% steril pada dosis tinggi, dapat mesterilkan bahan
dalam jumlah banyak untuk sekali proses radiasi, tidak
meninggalkan residu, dan dapat digunakan pada produk akhir.
Suatu produk dikatakan steril apabila produk tersebut bebas
dari mikroorganisme hidup. Tetapi tidak ada satupun sistem
sterilisasi yang mampu mengukur nilai absolut tersebut, sehingga
semua proses sterilisasi mempunyai keterbatasan dalam
membunuh mikroorganisme. Oleh karena itu selalu terdapat suatu
probabilitas teoritik dari non sterilitas yang dikenal dengan istilah
Sterility Assurance Level (SAL). SAL adalah probabilitas
mikroorganisme hidup dalam suatu produk setelah proses
sterilisasi dan dinyatakan dalam nilai 10-n. Artinya dari 10 produk
yang disterilkan hanya boleh satu produk yang tidak steril.
Pemilihan nilai SAL didasarkan atas penggunaan produk
tersebut. Untuk produk yang digunakan berkontak langsung
dengan jaringan tubuh atau darah nilai SAL adalah 10-6,
sedangkan untuk produk yang tidak berkontak langsung dengan
darah mempunyai nilai SAL 10-3. Pemilihan dosis sterilisasi
antara lain didasarkan pada jumlah dan tipe mikroorganisme
kontaminan yang ada pada produk, kondisi sterilisasi yang
digunakan, dan nilai SAL yang ditetapkan.
Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV disebutkan bahwa dosis
sterilisasi yang digunakan untuk produk kesehatan adalah 25 kGy.
Dosis yang lebih rendah dapat digunakan bergantung dari
kandungan mikroba awal dan jenis mikroba serta faktor lainnya.
182
Teknologi nuklir sangat aman untuk diaplikasikan pada
jaringan biologi untuk keperluan transplantasi karena dapat
mencegah terjadinya penularan penyakit dari donor ke resipien
terutama yang dapat ditularkan oleh virus seperti HIV, hepatitis,
cytomegalovirus, sapi gila, dengue, dan flu burung N5H1, dan oleh
kuman patogen seperti penyakit TBC, sifilis, dan lainnya. Jaringan
tubuh manusia maupun hewan telah banyak digunakan pada pasien
untuk berbagai tujuan. Berdasarkan sumber dari jaringan, graft
dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu autograft
(penggunaan graft dalam individu yang sama), allograft
(penggunaan graft dari individu berbeda dalam satu spesies),
xenograft (penggunaan graft dari spesies berbeda), dan alloplastic
graft (graft sintetik inert).
Di Indonesia, pengambilan dan pemakaian kembali jaringan
biologi diizinkan berdasarkan Undang Undang Nomor 23 tahun
1992 tentang kesehatan. Graft jaringan dapat disiapkan dalam
bentuk segar dan awetan. Jaringan untuk transplantasi dapat
disiapkan dengan cara pembekuan, liofilisasi, demineralisasi dan
kemudian disterilkan dengan iradiasi. Sterilitas graft baik segar
maupun awetan merupakan hal yang penting diperhatikan untuk
mengurangi risiko penularan penyakit dari donor ke resipien, serta
memperpanjang masa simpan. Sterilisasi secara dingin
menggunakan sinar gamma atau berkas elektron merupakan
pilihan yang tepat untuk mensterilkan graft jaringan dan telah
banyak digunakan untuk sterilisasi jaringan biologi.
Sesuai dengan kebutuhan, graft dapat dibuat dalam berbagai
bentuk dan ukuran misalnya morsellize atau berbentuk chip,
granul, strut dan osteochondral. Dalam bidang ortopedi, bentuk
183
morsellize dan chip umumnya digunakan sebagai pengisi dari
cavity, bettres, atau sebagai tambahan dari autograf. Granula
tulang demineralisasi diproduksi untuk meningkatkan aktivitas
bone morphogenic protein (BMP) suatu growth factor yang
berperan sebagai osteoinduksi. Tulang demineralisasi sangat
banyak dipakai pada bedah mulut dan maksilofasial misalnya
untuk rekonstruksi tulang rahang, periodontal bone defect, koreksi
dental defect.
Sesuai dengan keperluannya, graft tulang demineralisasi dapat
disediakan dalam bentuk bubuk, granula, kubus, batangan, batang
korek api, perforated cortical block. Untuk mengatasi masalah
keamanan produk dan keselamatan pasien penerima, tahap tahap
pemrosesan seperti seleksi dan skrining donor dilakukan secara
ketat, diikuti dengan proses pencucian dan pasteurisasi, serta
sterilisasi produk akhir.9
184
BAB XI. PENGAWETAN MAKANAN
185
3. Dapat membunuh mikroba secara efektif, dan
4. Prosesnya mudah dikontrol
Berikut adalah beberapa teknik radiasi untuk pengawetan
bahan pangan berdasarkan dosis sinar gamma.
1. Dosis rendah (< 1 kGy)
1) Mencegah pertunasan pada rimpang dan umbi-umbian
maka digunakan dosis radiasi sebesar 0,05 – 0,15 kGy
2) Menunda proses kematangan buah digunakan dosis
radiasi 0,1 – 1,15 kGy
3) Membunuh serangga digunakan dosis radiasi 0,2 – 1 kGy
4) Membunuh parasit daging digunakan dosis radiasi sebesar
0,1 – 0,3 kGy
2. Dosis sedang (1 – 10 kGy)
1) Menurunkan kandungan mikroba dengan proses
pasteurisasi digunakan dosis radiasi sebesar 0,5 – 10 kGy
2) Membunuh bakteri patogen digunakan dosis radiasi
sebesar 3 – 10 kGy
3. Dosis tinggi (> 10 kGy)
1) Membunuh semua mikroba yang ada dengan proses
sterilisasi digunakan dosis radiasi sebesar 10 – 50 kGy
Beberapa keuntungan sterilisasi dengan radiasi pengion
dibandingkan dengan metode sterilisasi lain adalah dapat
dilakukan pada suhu kamar, tidak menimbulkan kenaikan
temperatur yang signifikan, dapat menembus ke dalam seluruh
bagian produk dan dalam kemasan akhir, waktu iradiasi sebagai
variabel dapat dikontrol dengan tepat, tidak meninggalkan residu
dan dapat dilakukan pada produk akhir.
186
Produk bahan pangan yang diawetkan dengan teknik iradiasi
harus diberi label pada kemasan dengan keterangan tentang jenis
sumber radiasi yang digunakan, waktu irradiasi, nomor lisensi
serta tujuan iradiasi dan logo radiation durable yang merupakan
simbol internasional ynag menunjukkan bahwa bahan pangan telah
di-iradiasi.9
187
BAB XII. PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF
188
A. PENGELOLAAN LIMBAH
1. PENGANGKUTAN LIMBAH
189
2. PRA OLAH (PRE TREATMENT)
3. PENGOLAHAN
Pengolahan limbah radioaktif dilakukan berdasarkan
sifat dan jenis limbah. Limbah cair organik dan limbah
padat yang bisa dibakar direduksi volumenya dengan cara
insenerasi.
1) Limbah cair yang tidak bisa dibakar diolah dengan
cara evaporasi untuk mereduksi volumenya.
190
Konsentrat hasil evaporasi dikungkung dalam shell
beton dengan campuran semen. Bila limbah cair
bersifat korosif maka limbah diolah secara kimia
(chemical treatment) sebelum disementasi.
2) Limbah padat termampatkan, proses reduksi
volumenya dilakukan dengan cara kompaksi. Limbah
padat dimasukkan dalam drum 100L untuk
dikompaksi, selanjutnya dimasukkan dalam drum
200L Setelah pengisian batu koral, hasil kompaksi
selanjutnya disementasi dalam drum 200L.
3) Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan
pengolahannya dimasukkan secara langsung dengan
cara sementasi dalam cangkang beton 350L/950L.
Proses imobilisasi atau proses melembabkan
dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter,
950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter
dengan bahan matriks campuran semen basah.
4) Limbah gas, dilakukan penyaringan menggunakan
filter, sebelum dibuang ke udara, selanjutkan filter
disementasi
Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini
diperlukan suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara
tenaga yang terdiri dari proses, penunjang sarana,
keselamatan, laboratorium dan administrasi.
4. PENYIMPANAN SEMENTARA
5. PENYIMPANAN LESTARI
B. DAUR ULANG
193
DAFTAR PUSTAKA
1
Frankel, R.I., Centennial of Rontgen's Discovery of X-rays. West J Med
1996; 164:497-501
2
Assmuss, A., 1995, Early History of X-rays, Stanford University Press,
United Kingdom.
3
Rhodes, B.A., and Croft, B.Y., 1978, Basic of Radiopharmacy, The C.V
Mosby Company, United States of America.
4
Maher, K., 2006, Basic Physics of Nuclear Medicine, United States of
America..
5
Smith, B.T., 2010, Nuclear Pharmacy: Concepts and Applications in
Nuclear Pharmacy, Pharmaceutical Press.
6
Khalil, M.M., 2011. Basic Science of Nuclear Medicine. Springer-
Verlag, New York, United States of America.
7
Tim Ensiklopedi Teknologi Nuklir BATAN, 2001, ATOMICA:
Ensiklopedi Teknologi Nuklir BATAN, Japan Science and Technology
Agency, Jepang.
8
Saha, G.B., 2003, Fundamentals of Nuclear Pharmacy Fifth Edition,
Springer-Verlag, New York, United States of America
9
Alatas, Z., Hidayati, S., Akhadi, M., Purba, M., Purwadi, D., Ariyanto,
S., Winarno, H., Rismiyanto, Sofyatiningrum, E., Hendriyanto,
Wdyastono, H., Parmanto, E.M., Syahril, 2012, Pintar Nuklir BATAN,
Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir, BATAN, Jakarta.
194
10
Saha, G.B., 2006, Physics and Radiobiology of Nuclear Medicine Third
Edition, Springer Science and Bussiness Media, United States of America.
11
Dar, M.K., Masoodi, M.H., Farooq, S., 2015, Medical uses of
Radiopharmaceuticals, Dept. of Pharmaceutical Sciences, University of
Kashmir, India.
12
World Health Organizations, 2008, Radiopharmaceutical: The
International Pharmacopoeia Fourth Edition, World Health
Organizations Document, Geneva.
13
Wondergen, J., 2012, Radiation Biology: A Handbook for Teachers and
Students, International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.
14
Kristensen, K., 1979, Preparation and Control of
Radiopharmaceuticals in Hospitals, International Atomic Energy Agency,
Vienna, Austria.
15
Chalasani, K.B., Chourasia, M.K., Ashawat, M.S., dan Jain, N.,
Radiopharmaceuticals: Perparation, Evaluation and Applications, Indian
J. Pharm. Sci., 2003, 65(5): 439 – 449.
16
International Atomic Energy Agency, 2015, Radiopharmaceutical:
Production and Availability, International Atomic Energy Agency
Publications, Vienna, Austria.
17
Iagaru, A., Mittra. E., Yaghoubi, S.S., Dick, D.W., Quon, A., Goris,
M.L., dan Gambhir, S.S., Novel Strategy for a Cocktail 18F-Fluoride and
18
F-FDG PET/CT Scan for Evaluation of Malignancy: Results of the
Pilot-Phase Study, J. of Nuclear Medicine April 2009 vol 50 no 4: 501-
505
195
18
Sager, G., Sager, S., Yilmaz, S., and Halac, M., Tc99m Bone Scan and
Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography in Evaluationof
DisseminatedLangerhans Cell hictiocytosis; Indian J Nuclear Med; Vol.
25(4); October-Desember 2010.
19
Lombardi, M.H., 2006, Radiation Safety in Nuclear Medicine 2nd Ed.,
CRC Press, Taylor and Francis Group, United States of America.
20
Taylor, J.R., Zafiratos, C.D., and Dubson, J.T., 1991, Modern Physics
for Scientist and Engineers 2nd Ed., University of Colorado.
196
INDEKS
9
99m
Tc 2, 128, 154, 155, 162, 172, 179
A
Absorbsi 79, 83, 86, 87, 127
Adsorpsi 159
Amplifier 68, 72, 76
Anion 98, 132, 170
Anoda 67, 167
Antineutrino 31, 33
Aseptis 2, 149, 150, 178
Atom 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 17, 21, 22, 27, 29, 30, 31, 32, 33,
35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 52, 53, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 70, 76, 95, 96, 98, 124, 125, 130, 149, 153,
154, 156, 158, 162, 164
Auger 41, 42, 137
Autoclave 171
B
Becquerel 1, 50
Bremsstrahlung 57, 125
C
Coloumb 9, 10, 24, 86
Compton 62, 63, 71, 75
Curie 50
D
Defek massa 6, 21
Denaturasi 167, 169
197
Deret thorium 13
Deret uranium 13, 14
Detektor kilau 71, 72, 74, 117
Diagnostik 1, 111, 126, 128, 135, 137, 141, 151, 162, 174, 175
Disintegrasi 45, 46, 47, 50, 51, 85
Disosiasi 8
DNA 95, 96, 98, 99, 100, 103, 104
Dosimeter 112, 113, 114, 115
Dosimetri 50, 85, 120
Dosis efektif 91, 121
Dosis ekivalen 92
Dosis radiasi 85, 86, 88, 89, 103, 112, 113, 114, 120, 121, 126, 135, 140,
141, 142, 162, 163, 171, 172, 185, 188
E
Efek deterministik 92
Efek stokastik 91, 92, 107
Eksitasi 10, 32, 39, 56, 58, 59, 71, 95, 96, 97, 156
Ekskresi 118, 134, 135
Eksotermis 22, 24
Electron capture 35
Elektroda negatif 68
Elektroda positif 68, 70
Elektrolisis 166
Elektromagnetik 11, 22, 37, 56, 57, 59, 60, 96
Elektron 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 21, 28, 31, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70, 95, 96, 97, 114,
130, 137, 142, 154, 157, 172, 182
Elektrostatik 8, 27, 86
Emisi 40, 58
Endotermis 25
Energi kinetik 22, 24, 25, 31, 39, 65
Enzim 154, 167, 171
198
F
Farmasi nuklir 28, 31, 85, 135, 177
Filtrasi 170, 171
Fisi 18, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 161
Fluorescence 72
Fotoelektrik 71, 75
Fotomultiplier 72, 73, 75, 76
Foton 11, 33, 35, 37, 38, 51, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 71, 72, 73, 77,
86, 97, 117, 162, 163, 171
Fusi 21, 24, 25, 27
G
Gamma 8, 11, 12, 22, 27, 28, 30, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 40, 43, 45, 51, 56,
57, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 71, 74, 75, 76, 79, 80, 83, 84, 86,
95, 97, 103, 106, 112, 114, 116, 117, 118, 122, 123, 124, 134, 136, 138,
139, 140, 142, 153, 180, 182, 184, 185
Geiger-Müller 70
Generator 2, 128, 172
Gy 87, 89, 93, 108, 114
H
Hidrogen 4, 44, 63, 167
Hidrolisis 174, 175, 178, 179
Hipertiroid 19, 136
I
I131 16, 32, 127, 136, 137
ICRP 90, 91, 92, 106, 110, 120, 121, 188
Ikatan kovalen 130, 154, 158, 172
In vivo 105, 132, 133, 137, 153, 154, 162, 163, 168, 171
Iodida 137, 163, 165, 166, 167, 169, 170, 171
Iodinasi 162, 163, 164
Iodin 2, 117, 118, 130, 162, 165, 171
Iodogen 168, 169
199
Iradiasi 16, 17, 91, 100, 103, 107, 127, 181, 182, 184, 185, 186
Isotop 3, 4, 7, 8, 12, 20, 25, 153, 156, 158, 162, 163, 164
K
Karsinogen 180
Katoda 67, 167
Kedokteran nuklir 1, 10, 12, 31, 42, 60, 85, 126, 128, 136, 139, 154, 162,
171, 172
Khelat 132, 154, 155, 157, 172, 173, 174, 177, 178, 179
Kit 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179
Koloid 128, 137, 146, 147, 157, 174, 177, 179
Kompleks 97, 155, 163, 173, 176, 178, 179
Kontrol kualitas 126, 127, 146
Konversi internal 39, 40
Korosif 190
Kosmogenik 15
Kromatografi 148, 161, 169
Kromosom 98, 99, 100, 101, 103
L
LET 79, 88, 93, 99, 103, 105
Ligan 149, 154, 176, 177
Limbah 1, 17, 25, 187, 188, 189, 190, 191, 192
Limbah radioaktif 187
Lipid 95, 96, 131, 132, 133
Logam 124, 128, 154, 155, 162, 168
M
Masa simpan 161, 182, 184
Mikroba 180, 181, 184, 185
99
Mo 53, 54, 128
Molekul 56, 59, 67, 71, 95, 96, 97, 98, 99, 103, 128, 132, 153, 154, 156,
160, 161, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 171, 175
200
N
NaI(Tl) 117, 118
Negatron 8, 28, 31, 32, 33, 38, 43, 44, 45, 56, 57, 153, 163
Neutrino 11, 32, 33, 35
Neutron 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 31,
32, 33, 35, 65, 66, 103, 112, 114
Nomor massa 3, 4, 7, 30, 32, 33, 43, 153, 158
Nukleon 3, 7, 9, 27, 64
Nuklida 7, 8, 13, 14, 28, 29, 30, 32, 33, 36, 39, 40, 43, 45, 51, 52, 53, 54,
55, 64, 65, 66, 95, 161
O
Oksidasi 127, 174, 177, 179
P
Paparan radiasi 91, 92, 99, 106, 110, 111, 113, 121, 122, 123, 124, 125,
189
Partikel alfa 8, 9, 10, 11, 30, 34, 38, 56, 57, 58, 74, 93, 95, 106, 124, 138,
163
Partikel beta 10, 11, 30, 31, 32, 33, 34, 45, 51, 56, 57, 63, 72, 74, 106, 125,
136, 137, 138, 142
Patogen 180, 182, 184, 185
Pekerja radiasi 90, 92, 106, 107, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
119, 121, 122, 124, 125
Peluruhan 7, 8, 12, 21, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 42, 43,
44, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 72, 84, 95, 157, 187, 191
Pencacahan 77, 82, 83, 116, 117, 119
Penganalisis tinggi arus (PHA) 72, 74, 81
Pirogen 126, 150, 172
Positron 8, 28, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 43, 56, 63, 144
Primordial 13
Protein 96, 130, 131, 132, 133, 150, 154, 155, 156, 157, 158, 164, 165,
166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 183
Proteksi radiasi 87, 88, 89, 90, 106, 121, 123, 124, 125
201
Proton 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 21, 27, 31, 32, 33, 35, 57, 66, 103, 114
R
rad 86, 87, 88, 108
Radiasi pengion 56, 96, 184
Radikal bebas 95, 96, 105, 160, 173
Radioaktif 1, 2, 7, 8, 12, 13, 17, 21, 25, 27, 28, 29, 46, 47, 48, 49, 51, 72,
75, 107, 110, 115, 116, 126, 127, 128, 131, 135, 141, 145, 148, 153,
155, 156, 161, 164, 180, 184, 187, 188, 189, 191, 192
Radioaktivitas 8, 18, 25, 46, 47, 49, 50, 82, 125, 133, 148, 149, 172, 175
Radiodiagnostik 141, 142, 143, 144
Radiofarmasetika 2, 29, 85, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134,
135, 136, 137, 143, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 157, 161, 162, 171,
172, 173, 174, 177, 178
Radiofarmasi 1, 2, 135, 150, 151
Radioiodida 169
Radioiodinasi 168, 169, 170, 171
Radioiodin 2, 133, 165, 171
Radioisotop 16, 17, 25, 26, 29, 31, 42, 81, 83, 84, 89, 110, 117, 118, 127,
128, 136, 137, 138, 139, 141, 143, 144, 148, 150, 153, 154, 162
Radiokimia 148, 160, 189
Radiolisis 97, 160, 161, 173
Radionuklida 2, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 28, 29, 43, 45, 46, 47, 48, 49,
50, 65, 77, 116, 117, 118, 119, 122, 123, 125, 126, 129, 130, 151, 153,
154, 158, 160, 161, 162, 163
Radioprotektor 105, 124
Radiosensitif 104, 105
Radiosensitivitas 91, 104, 105
Radioterapi 139, 141
Radium 13, 27, 50, 136, 141
RBE 88, 93
Reaktor 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 95, 119, 127, 156, 161, 192
rem 87, 88, 188
Roentgent 1, 86, 106
202
S
Sel 93, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 133, 137, 138,
139, 140, 152, 154, 167, 169
Siklotron 127, 161, 162
Sinar-X 1, 11, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 56, 58, 61, 62, 71, 86, 88, 89, 93, 95,
106, 114, 116, 122, 123, 124, 141, 143, 144
Sterilisasi 19, 171, 180, 181, 182, 183, 184, 185
Sumber radiasi 85, 89, 141
Sv 88, 89, 91, 92
T
Tegangan DC 68, 69, 70
Terapeutik 31, 85, 138, 139, 153
Tiroid 2, 19, 75, 163, 171
Transisi isomerik 28, 39, 43, 45, 142
U
Unsur 1, 2, 3, 4, 7, 9, 10, 12, 15, 16, 21, 26, 27, 32, 35, 40, 41, 57, 63, 65,
71, 125, 142, 153, 162
W
Waktu paruh 47, 85, 134, 138, 172
Waktu simpan 2, 177
203
204