Anda di halaman 1dari 15

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 19

Dimuat Majalah Sastra HORISON, No. cermin masyarakat. Sebagai cermin masya-
10, Oktober 2007, hlm. 20--33. rakat, karya sastra merekam segala sesuatu
(lewat tangan dan pikiran pengarang) yang
terjadi dalam suatu masyarakat. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika karya-karya
sastra modern Jawa juga diyakini merekam
MENYIBAK SIKAP KE-BERAGAMA-AN JAWA dan sekaligus menggambarkan berbagai sikap
(Studi Kasus Novel-Novel Jawa atau perilaku masyarakat Jawa.
Prakemerdekaan) Agar diperoleh gambaran yang jelas
bagaimana sikap keberagamaan orang (ma-
Tirto Suwondo syarakat) Jawa dalam karya-karya sastra
modern Jawa yang lahir tahun 1920 hingga
1945, ada baiknya terlebih dahulu diuraikan
/1/ gambaran umum mengenai sikap kebera-
gamaan Jawa itu sendiri. Hal ini dilakukan
Esai sederhana ini bermaksud me- karena sebenarnya sikap keberagamaan (re-
maparkan bagaimana sikap ke-beragama-an ligiusitas) semacam itu merupakan tin-dakan
orang atau masyarakat Jawa1 yang tercermin atau perilaku yang telah berlangsung dan
di dalam karya-karya sastra (khususnya telah berurat-berakar sejak lama, bahkan telah
novel) modern Jawa yang terbit pada masa ada sejak sebelum terjadi Islamisasi secara
sebelum Indonesia merdeka (1920--1945).2 besar-besaran di Jawa sekitar abad ke-14.
Dapatkah atau mungkinkah sikap kebera-
gamaan seseorang atau masyarakat dilihat /2/
melalui karya sastra yang hidup/berkembang Dalam buku The Religion of Java
dalam masyarakat yang bersangkutan? Per- (1960), yang kemudian diterjemahkan ke
tanyaan ini tentu dapat dijawab dengan tegas: dalam bahasa Indonesia oleh Aswab Mahasin
dapat dan mungkin. Sebab, kalau kita percaya dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam
pada pendapat para ahli sosiologi sastra, Masyarakat Jawa (1981, 1983, 1989), Geertz
bagaimanapun juga karya sastra merupakan secara renik telah mengklasifikasikan mas-
yarakat Jawa menjadi tiga golongan dengan
1
varian keagamaan masing-masing, yaitu
Yang dimaksud dengan “masyarakat abangan, santri, dan priyayi. Abangan adalah
Jawa” adalah salah satu di antara sekian banyak
golongan yang menekankan aspek-aspek
etnis di Indonesia; berpenduduk terbanyak
(sekitar 60 juta jiwa); tinggal dan hidup Jawa animisme sinkretisme Jawa secara keselu-
Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa ruhan yang pada umumnya diasosiasikan
Yogyakarta, bahkan juga di negara Suriname; dengan unsur para petani di desa; santri
berbahasa ibu bahasa Jawa, dan mereka memiliki adalah golongan yang menekankan aspek-
kekayaan sastra dan budaya sendiri yang disebut aspek Islam sinkretisme yang umumnya
sastra dan kebudayaan Jawa. Selain itu, sejak diasosiasikan dengan unsur para pedagang
digalakkannya program pemerintah mengenai dan sebagian petani; dan priyayi adalah
transmigrasi, masyarakat Jawa juga banyak golongan yang menekankan pada aspek-
terdapat di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, aspek Hindu yang umumnya diasosiasikan
bahkan di Irian Jaya. dengan unsur birokrasi di kantor-kantor
2
Sementara itu, yang dimaksud dengan
pemerintah (Geertz, 1989:8).
“sastra modern Jawa” adalah karya-karya sastra
yang ditulis oleh pengarang Jawa dengan Untuk menjelaskan sikap kebera-
menggunakan bahasa Jawa, baik dengan huruf gamaan manusia (orang, masyarakat) Jawa,
Latin maupun huruf Jawa; karya ini berkembang agaknya klasifikasi Geertz di atas tidak dapat
berdampingan dengan karya-karya sastra dijadikan pegangan karena klasifikasi ter-
Indonesia yang memenuhi kriteria atau mem- sebut tidak ditetapkan berdasarkan tipe yang
peroleh sebutan “modern” sejak tahun 1920 sama. Dalam hal ini Geertz mencam-
melalui Balai Pustaka, sebuah penerbit milik puradukkan pengertian antara golongan sosial
pemerintah kolonial Belanda.

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 20


dan golongan menurut perilaku keagamaan, (Ashadu alla Illaha ilallah, wa ashadu anna
karena abangan dan santri bukanlah meru- Muhammadar Rasulullah), tetapi mereka
pakan golongan sosial, melainkan go-longan tidak bersembahyang lima waktu, tidak
yang ditetapkan berdasarkan ketaatannya berpuasa, naik haji, tidak melibatkan diri
pada agama; sedangkan priyayi ‘para pem- dalam kegiatan keagamaan, dan sebagainya.
besar’ merupakan golongan sosial dan Jadi, mereka mengenal agama hanya pada
golongan ini hanya mungkin ditetapkan kulitnya saja. Hal ini berlaku juga bagi orang-
berdasarkan oposisinya dengan golongan orang Kristen/ Ka-tolik. Golongan itulah
sosial lain, yaitu wong cilik ‘orang keba- yang dapat dikate-gorikan abangan, tidak
nyakan’. Karena itu, abangan dan santri tidak sebatas mereka dari kalangan priyayi atau
dapat dipertentangkan dengan priyayi karena wong cilik. Realitas ini merupakan suatu
kenyataan menunjukkan bahwa di dalam kewajaran karena memang sejak dulu (mes-
masyarakat Jawa dikenal pula adanya priyayi kipun secara formal-administratif tidak mem-
abangan dan priyayi santri. peroleh pengakuan) dalam masyarakat Jawa
Pernyataan itu akan menjadi lebih telah berkembang agama tertentu yang
jelas jika dilihat dalam kenyataan hidup disebut “Agama Jawa”.
sehari-hari masyarakat Jawa. Dalam mas- Menurut Bachtiar (Geertz, 1989:534),
yarakat Jawa ada sebagian orang yang secara pada prinsipnya agama Jawa tidak sama
sosial tergolong sebagai priyayi, tetapi dalam dengan agama Islam di Jawa. Para penganut
praktik kehidupan sehari-hari mereka tidak agama Jawa sering mengadakan pembedaan
taat menjalankan rukun-rukun agama, bahkan yang tegas antara diri sendiri sebagai
ada yang tidak peduli pada agamanya. Go- penganut agama Jawa dan sebagai pemeluk
longan itulah yang disebut priyayi abangan Islam yang disebut muslim. Memang para
sehingga di dalam masyarakat Jawa dikenal penganut agama asli yang sudah sangat tua
pula Islam Abangan, Kristen Abangan, atau usianya itu secara administratif umumnya
Katolik Abangan. Namun, sebaliknya, banyak juga Islam (muslim) walaupun di antara
juga di antara priyayi yang sehari-harinya taat mereka ada yang secara terang-terangan
menjalankan ibadah sesuai agama yang mengaku bukan pemeluk Islam. Ditegaskan
dianutnya, sehingga meskipun priyayi, me- oleh Bachtiar bahwa agama Jawa pada
reka termasuk pula ke dalam golongan Islam prinsipnya dimanifesta-sikan sebagai bentuk
sejati. Di samping itu, istilah abangan juga pemujaan nenek-moyang. Oleh mereka,
tidak identik dengan kaum petani di desa nenek-moyang (leluhur terdekat, leluhur
karena kenyataan menunjukkan bahwa ba- tertentu dari masa lampau yang jauh, atau
nyak di antara para petani yang ternyata juga pencipta alam semesta, atau kalau di desa
santri. disebut sebagai danyang desa) dianggap
Terlepas dari apa yang telah dipa- sebagai sumber kekuatan hidup, dan tanpa
parkan di atas, yang jelas orang Jawa kekuatan itu orang yang bersangkutan tidak
memiliki sikap tersendiri terhadap agama akan dapat hidup. Mereka telah memberikan
yang secara formal administratif dianutnya. kepada yang masih hidup suatu kebu-
Kecuali orang-orang Islam yang benar-benar dayaan/peradaban yang di-anggap telah
beriman dan rajin beribadah, yang umumnya menempatkan mereka pada tingkat sosial dan
hidup berkelompok di suatu kampung ber- kerohanian yang lebih tinggi daripada pen-
nama Kauman atau orang-orang yang hidup duduk-penduduk lainnya. Para leluhur itu
di sekitar masjid; dan orang-orang Kristen dianggap terus-menerus mempengaruhi mere-
atau Katolik yang berkelompok sebagai ka yang masih hidup.
jemaat di suatu gereja; pada umumnya ma- Kenyataan menunjukkan, agama Jawa
nusia Jawa tidak sepenuhnya taat dan saleh jarang termanifestasikan ke dalam bentuknya
pada agamanya (Hardjowirogo, 1989:17). yang murni, tetapi cenderung termini-
Orang-orang Islam Jawa umumnya hanya festasikan ke dalam salah satu komponen
dapat membuktikan keislamannya karena mistik priyayi (dan juga wong cilik) yang
telah fasih mengucap kalimah syahadat disebut kejawen ‘ke-Jawa-an’ (Bachtiar,

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 21


1989:536) dengan praktik kebatinan-nya. tersebut dilambangkan oleh manusia selaku
Meskipun kejawen bukan merupakan suatu mikrokosmos yang secara lahir menampilkan
kategori keagamaan tetapi lebih merupakan kasar ‘kasar’ dan secara batin menampilkan
suatu etika/gaya hidup yang diilhami oleh alus ‘halus’. Segi lahir dilihat sebagai cermin
pemikiran Javanisme (Mulder, 1985:17), dari realitas esensial yang halus, dan hu-
pada umumnya manusia Jawa menempatkan bungan keduanya bersifat hierarkis dan harus
hal itu sebagai suatu praktik keagamaan harmonis. Keadaan harmonis tersebut akan
karena kejawen pada hakikatnya merupakan dapat dicapai jika manusia member-sihkan
sikap khas terhadap kehidupan yang justru batin dengan menjaga jarak dengan dunia
mengatasi perbedaan agama. Oleh sebab itu, kasar (lahir, material). Dengan menjauhi yang
tindakan-tindakan penghayatan religi yang material itu manusia akan dapat mencapai
biasa dilakukan orang Jawa (dalam kaitannya suatu eksistensi moral.
dengan persepsi/sikap mereka tentang Tuhan, Atas dasar pandangan dunia itulah,
kehidupan, nasib, dan perjalanan kembali terhadap hidup dan kehidupan, manusia Jawa
atau kematiannya) cenderung sesuai dengan kemudian menentukan sikap yang khas.
apa yang dilakukan oleh para penganut aliran Sikap yang khas tersebut, sebagaimana dia-
kebatinan. jarkan oleh aliran Pangestu (sebuah kelom-
Bagi penganut kebatinan Jawa, model pok atau aliran kebatinan yang berkembang
jagat gedhe ‘dunia besar’ (makrokosmos) dan berpusat di seputar daerah kerajaan
dianggap sebagai paradigma bagi manusia Surakarta), antara lain termini-festasikan ke
selaku jagat cilik ‘dunia kecil’ (mikro- dalam tiga tindakan, yaitu distansi, konsen-
kosmos) (Mulder, 1984:14). Dalam hal ini, trasi, dan representasi (Jong, 1985:15—36).
kekacauan dilambangkan oleh segi lahir Distansi adalah sikap men-jauhi atau
(luar) yang mengikatkan manusia pada dunia mengambil jarak terhadap dunia dan segala
gejala, sedangkan makna terdalam dari hal-ihwalnya. Dalam mengambil sikap
kosmos dan moralitas dilambangkan oleh demikian manusia harus rila ‘rela’ menye-
segi batin (dalam). Dengan lambang-lambang rahkan segala miliknya, narima ‘menerima’
semacam itu manusia diharapkan mampu dengan riang hati segala sesuatu yang
mengatasi segi lahir/badani, misalnya emosi, menimpa dirinya, dan harus hidup dengan
naluri, nafsu, dan rasionalitas duniawi, yang sabar ‘sabar’ dan toleransi. Konsentrasi
semua itu dimaksudkan agar batinnya bebas adalah sikap memusatkan per-hatian kepada
untuk bersatu kembali dengan sangkan paran dasar dan makna kepribadian agar memper-
‘asal-muasal’, dan agar di dalam hati ia oleh suatu sikap hidup yang positif dan
(dalam kondisi yang teratur, harmoni, dengan bersifat membangun. Konsentrasi ini antara
tujuan kosmos) mengalami kemanunggalan, lain dapat dilakukan dengan cara tapa
yaitu kesatuan dari segalanya, pencipta ‘bertapa’ agar manusia sadar terhadap rela-
dengan yang diciptakan, kawula (manusia, tivitas eksistensinya dan pamudaran ‘pem-
hamba) dengan Gusti (Tuhan, Allah), atau bebasan’ yang artinya membebaskan diri dari
manunggaling kawula-Gusti (bersatunya dunia inderawi. Representasi adalah sikap
manusia-Tuhan). Jadi, harmoni itu menjadi yang diambil dan dilakukan (setelah ia
tujuan pokok praktik kebatinan Jawa karena melakukan distansi dan representasi) untuk
harmoni dianggap sebagai kondisi bagi hidup memenuhi semua kewajiban hidup. Kewa-
yang baik dan tercapainya keteraturan kos- jiban yang harus dilakukan manusia adalah
mos. bekti ‘berbakti’ (hormat) kepada segala hal
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang oleh Tuhan digunakan untuk melak-
prinsip-prinsip yang melandasi pandangan sanakan rencana-Nya, yang antara lain
dunia kebatinan Jawa adalah berikut (Mulder, meliputi badan, keturunan, masyarakat, pe-
1984:19). Tata eksistensi adalah kema- kerjaan, dan penguasa, yang semua itu
nunggalan yang tersusun dari dua ciri yang dilakukan demi keselamatan dunia (memayu
berbeda tetapi berbaur, yaitu ciri fenomenal ayuning bawana).
(lahiriah) dan ciri esensial (batiniah). Hal

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 22


Melalui sikap dan tindakan tersebut menentukan agama bukanlah kebenaran,
dapat diketahui bahwa yang khas bagi melainkan apakah pandangan dunia itu cocok
pandangan dunia Jawa adalah realitas tidak dengan pengalaman atau dapat dirasakan
dibagi ke dalam berbagai bidang, tetapi sebagai sesuatu yang bermakna. Itulah
dilihat sebagai satu kesatuan yang menye- sebabnya, bagi orang Jawa, agama apa yang
luruh. Bidang-bidang realitas yang umumnya dianut bukan menjadi persoalan penting,
dibedakan secara tegas, yaitu dunia, masya- karena pada dasarnya semua agama adalah
rakat, dan alam adikodrati, oleh orang Jawa sama baiknya, dan yang terpenting adalah
tidak dilihat sebagai bidang yang memiliki slamet ‘selamat’ dan tentrem ‘tenteram’. Oleh
hukum sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu karena itu, tidak mengherankan jika masalah
kesatuan pengalaman. Dengan demikian, sanksi-sanksi dalam hidup sesudah mati, atau
tolok ukur arti pandangan dunia Jawa adalah masalah sorga dan neraka, bagi orang Jawa
nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu tidak begitu diperhatikan (Suseno, 1988:
keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, 134—135).
ketenteraman, dan keseimbangan batin Sikap keberagamaan seperti itulah
(Suseno, 1988:82). yang pada akhirnya mengarahkan orang Jawa
Telah dikatakan bahwa tujuan akhir gemar dan senang untuk mawas diri,
usaha-usaha kebatinan Jawa adalah suatu menyadari kekurangannya sebagai mahluk,
keteraturan kosmos atau pencapaian kesatuan karena nasib atau takdir hidupnya telah
manusia (hamba, kawula) dengan Tuhan pinesthi dening Pangeran ‘ditentukan oleh
(Gusti). Namun, tekanan utama dalam usaha Tuhan’ (sikap fatalistik), sehingga dalam
tersebut tampaknya bukan pada pengalaman keadaan eling ‘ingat’ dan menep ‘tenang
transendensi itu sendiri karena pengalaman mengendap’ ia nrima ing pandum ‘menerima
kesatuan dengan Yang Illahi mempunyai nilai apa pun yang diberikannya’ dan sumeleh
yang pragmatis. Dengan demikian, tujuan ‘berdamai dengan keadaan yang dialami’.
terakhir atas usaha-usaha itu bukan penye- Selain tu, dalam bermasyarakat, orang Jawa
rahan diri terhadap sang Illahi sebagai sikap juga bersikap sepi ing pamrih ‘bebas dari
religius, melainkan sebagai sarana untuk maksud (negatif), rukun ‘rukun, damai’,
membulatkan kekuasaan eksistensinya yang urmat ‘hormat’, waspada ‘waspada’, pracaya
dimanifestasikan dalam rasa ‘rasa’, yaitu ‘percaya’, iklas ‘ikhlas’, prasaja ‘bersahaja,
perasaan terhadap realitas, karena rasa dapat sederhana’, andhap asor ‘rendah hati’, dan
membawa dirinya ke dalam keadaan puas, sejenisnya karena sikap itu merupakan
tenang, tenteram, tiada ketegangan, dan keba- tatanan atau kaidah etika keselarasan sosial
hagiaan (Suseno, 1988:133). Bagi masyarakat yang harus ditegakkan. Semua itu dilakukan
desa (petani), keadaan ini sering disebut karena orang Jawa merasa bahwa memang
slamet ‘selamat’; dan untuk mencapai kea- itulah tujuan kautamaning urip ‘hidup yang
daan slamet mereka sering mengadakan ritus utama’.
slametan ‘upacara untuk memperoleh kese- Dari paparan selintas di atas akhirnya
lamatan’. Melalui slametan mereka merasa dapat dikatakan bahwa bagi manusia (orang)
terlindungi atau terhindar bahaya dari alam Jawa, agama bersifat pragmatis. Artinya,
sekelilingnya. sikap dan tindakan religi mereka lebih
Karena pandangan dunia orang Jawa ditujukan kepada suatu “keteraturan kosmos”
pada dasarnya (sebagaimana digambarkan di daripada kebenaran sebagaimana diatur oleh
atas) memberikan jawaban menyeluruh atas agama. Oleh sebab itu, pada umumnya,
pertanyaan tentang struktur dasar realitas, dan penghayatan orang Jawa terhadap agamanya,
dasar realitas itu dipandang bersifat meta- entah agama apa pun yang mereka anut, tidak
empiris, di samping menawarkan pandangan menunjukkan kemurniannya. Dapat terjadi
itu bukan sebagai teori tetapi sebagai praksis demikian agaknya merupakan suatu hal yang
kehidupan yang bermakna, jelas bahwa bagi wajar karena bagi orang Jawa, agama
orang Jawa, agama benar-benar hanya merupakan sesuatu yang berhubungan erat
bersifat pragmatis. Jadi, dalam hal ini, yang dengan kebudayaannya. Untuk membuktikan

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 23


hal ini, marilah kita coba lihat bagaimana titas keagamaan tertentu, tetapi jika dilihat
sikap keberagamaan Jawa atau tahap-tahap dalam keseluruhan (alur) cerita, indi-kasi
penghayatan religi (religiusitas) orang Jawa tersebut ternyata hanya menjadi aspek yang
yang telah direkam dan digambarkan oleh tidak penting. Indikasi keagamaan yang
para pengarang Jawa dalam karya-karya disebutkan di dalamnya seolah hanya me-
sastra (novel) modern Jawa yang terbit pada nempel pada tokoh atau hanya menjadi
masa sebelum Indonesia merdeka. penanda latar bahwa tokoh tertentu berasal
dari lingkup budaya, kepercayaan, atau
/3/ agama tertentu.
Hasil pengamatan terhadap sekitar 30 Dalam beberapa novel seperti Sapoe
novel modern Jawa prakemerdekaan mem- Ilang Soehe (1921) karangan Hardjawiraga;
buktikan bahwa sikap keberagamaan (religi- Dhendhaning Angkara (1932) karya Hardja-
usitas) orang/masyarakat Jawa (yang tercer- wiraga, Poerasani (1923) karya Jasawi-
min lewat tokoh-tokoh) dapat dipilah menjadi dagda; Swarganing Boedi Ajoe (1923) karya
dua, yaitu (1) sikap keberagamaan secara Ardjasapoetra, Marjati lan Marjana (1930)
langsung (religiusitas otentik) dan (2) sikap karya Siswamihardja, dan Kembang Kapas
keberagamaan secara tak langsung (religi- (1938) karya Wiradarmadja, misalnya, me-
usitas agamis). mang ditemukan beberapa kata atau ung-
Sikap pertama berkaitan dengan kapan seperti astaghfirrullah, alham-dulillah,
persepsi manusia tentang Tuhan, kehidupan, Gusti Allah, ngaji, Pangeran, Sing Gawe Urip
nasib, dan kematian, yang semua itu ‘Yang Membuat Hidup’, atau nama-nama dan
berpangkal pada hati nurani pribadi; dalam sebutan seperti Abdullah, Ahmad, Kiai, Pak
arti bahwa dalam upaya menggapai Tuhan, Kaji, dan sebagainya yang semua itu
manusia tidak melewati jalur formal agama menunjuk pada agama tertentu (Islam). Akan
tertentu, tetapi langsung tercermin ke dalam tetapi, kata, ungkapan, dan sebutan itu
tindakan (kemanusiaan) sehari-hari tanpa ternyata hanya muncul secara samar, bahkan
harus dilandasi oleh dogma-dogma tertentu hanya sekadar sebagai kata, ungkapan, dan
sebagaimana diatur oleh agama; jadi, semua sebutan belaka. Manusia-manusia (tokoh-
itu hanya mungkin diukur atau dirasakan tokoh) yang berperan di dalamnya tidak
sampai sejauh mana kadar kesetiaan nurani memperlihatkan bahwa dirinya secara formal
atau kedekatan rohaniahnya. Sementara itu, menganut agama tertentu; dan mereka tidak
sikap kedua berkaitan dengan cara manusia secara konsekuen berpegang pada ajaran dan
menyikapi hukum-hukum formal agama hukum-hukum yang disyariatkan oleh agama
sebagai dasar atau acuan tindakan religi tertentu.
dalam kehidupannya; dalam arti, di dalam Hal demikian mengindikasikan bahwa
menggapai Tuhan, manusia melewati jalur dalam wacana kesusastraan Jawa modern
agama tertentu yang sifatnya formal dan sebelum kemerdekaan, tokoh-tokoh yang
resmi yang di antaranya dapat dilakukan berkategori abangan, baik dari kelas sosial
dengan cara sembahyang, puasa, dan lain-lain priyayi ‘priayi, orang berkedudukan’ maupun
yang semua itu telah diatur oleh agama. wong cilik ‘orang kebanyakan’ sangat
dominan. Hal itu sekaligus membuktikan
Sikap Keberagamaan Langsung bahwa bagi masyarakat Jawa pada masa itu
Sebagaimana diketahui bahwa novel- “Agama Jawa” benar-benar memiliki penga-
novel modern Jawa prakemerdekaan secara ruh yang besar. Karena itu, dalam berhu-
dominan mengungkapkan sikap keberaga- bungan dengan Tuhan, mereka cenderung
maan secara langsung. Sebab, sebagian besar memilih jalan secara langsung. Artinya,
tokoh yang berperan dalam novel-novel itu dalam upaya menemukan Sang Pencipta
hampir tidak dapat diidentifikasi secara pasti (Tuhan, Allah), mereka tidak melakukannya
agama apa yang mereka anut. Memang ada lewat jalur formal agama (shalat, puasa,
beberapa indikasi yang mengarahkan pada zakat, haji, dll), tetapi melalui refleksi
suatu penafsiran bahwa tokoh memiliki iden- tindakan dalam kehidupan sehari-hari yang

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 24


lebih bersifat “kemanusiaan” sehingga tin- tapa menurut paham Kejawen. Karenanya,
dakan tersebut kadang-kadang berada di luar tindakan Kamsirah itu bukan merupakan
–atau bahkan bertentangan dengan—kategori perwujudan dari pelaksanaan ibadah Islam,
ajaran agama. tetapi merupakan salah satu bentuk tirakat
Contoh paling jelas misalnya tampak yang khas Jawa. Tindakan religius langsung
pada tindakan tokoh Rr. (Rara) Soebijah yang dilakukan Kamsirah juga terlihat pada
dalam novel Wisaning Agesang (1928) karya cara ia memohon kepada Gusti Allah, bukan
Wirjaharsana. Kendati di akhir cerita tokoh dengan sembahyang tahajud misalnya, tetapi
tersebut digambarkan sebagai tokoh yang dilakukan dengan cara “puasa” tidak tidur
melakukan tindakan yang bertentangan semalam suntuk.
dengan ajaran Islam, tidak berarti bahwa ia Masih banyak contoh lain yang
tidak paham atau tidak setia sepenuhnya pada membuktikan dominannya sikap kebera-
kepercayaan atau agamanya. Bahkan, dalam gamaan Jawa secara langsung. Sikap-sikap
novel yang bertema kawin paksa itu ia justru keberagamaan yang berkaitan dengan per-
menunjukkan sikap dan penghayatan religi sepsi manusia pada Tuhan itu umumnya
yang sangat dalam, karena tindakan bela terwujud dalam tindakan sehari-hari yang
palastra (bunuh diri) yang ia lakukan semata menunjukkan aspek keimanan/kepercayaan,
karena dalam dirinya ada cinta sejati terhadap keteringatan/ketaatan, dan kepasrahan, di
kekasihnya (R. Soedjaka). Oleh sebab itu, samping sikap rila ‘rela, ikhlas’ nrima
meskipun secara formal tidak sesuai dengan ‘menerima kenyataan’, sabar ‘sabar’, urmat
ajaran agama, dari sisi tertentu tindakan ‘hormat’, rukun ‘rukun’, bekti ‘berbakti’, dan
bunuh diri yang dilakukannya tetap memiliki sejenisnya. Aspek keimanan, misalnya,
nilai “kebenaran” karena baginya kesetiaan tercermin dengan jelas pada sikap tokoh
yang disertai sumpah kepada Tuhan meru- Soekarmin dalam Pameleh (1938) karangan
pakan segala-galanya. Srie Koentjara. Dalam novel itu ia percaya
Memang benar sumpah setia kepada (beriman) bahwa Tuhan itu Maha Esa, Maha
kekasih yang dilanjutkan dengan tindakan Memberi, dan Maha Segalanya sehingga
bela palastra tidak dibenarkan oleh ajaran walau ditinggal pergi oleh ayahnya ia tetap
agama (apa pun). Namun, dalam konteks tekun bekerja, belajar, dan sekolah, sehingga
cerita itu, Rr. Soebijah memiliki tujuan sangat ia pun bisa lulus, lalu bekerja, bahkan
mulia, yaitu turut menanggung penderitaan akhirnya bisa menduduki jabatan sebagai
orang lain (kekasihnya) sebagai balas budi assistant-boekhouder. Semua itu dilakukan
atas cintanya yang sejati. Karena kekasihnya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan
itu mati bunuh diri, ia pun bunuh diri pula. bahwa Tuhan pasti akan mengabulkan cita-
Baginya, tindakan itu merupakan pilihan citanya walau ia sendiri secara formal tidak
terbaik karena ia yakin bahwa di akhirat nanti menjalankan hukum-hukum agama seperti
ia akan berjumpa lagi dengannya dan dapat sembahyang, puasa, dan sejenisnya, tetapi
meneruskan hubungan cintanya yang sejati justru sering pergi ke sungai dan memohon
itu. Sikap dan tindakan semacam itu justru kepada Tuhan seperti tampak dalam kutipan
sangat manusiawi, sekaligus sangat religius, berikut.
karena sifatnya lebih langsung, lebih masuk
ke sifat esensialnya daripada sekedar ritu- “… Patrape Soekarmin sok saba kali
alisme agama. maoe, saking kerepe nganti kaya dene
Tindakan puasa Senin-Kamis yang lakoe, awit ing batin tansah mantheng
dilakukan tokoh Kamsirah dalam Swarganing panoewoene, bisaa kasembadan apa
Boedi Ajoe (1923) karya Ardjasapoetra kang dadi antjase, dadia kaoeta-
agaknya dapat dijadikan contoh lain. Tin- maning oeripe ing besoek yen dipa-
dakan puasa itu dilakukan bukan dalam rengake dening kang Moerba lan
rangka menjalankan syariat agama (Islam) Masesa….” (hlm. 44-45)
sebagai wujud ibadah sunah, tetapi dilakukan
sebagai wujud laku prihatin, tirakat, atau

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 25


‘… Kebiasaan Soekarmin pergi ke Abdullah dalam Dhendhaning Angkara
sungai, karena terlalu sering akhirnya (1932) karya Hardjawiraga; R.M. Soetanto
menjadi semacam laku (puasa), dalam Ngoelandara (1933) karya Djaja-
karena dalam hati selalu berdoa atmadja; Purasani dalam Poerasani (1923)
dengan sungguh-sungguh, semoga karya Jasawidagda; Maridjah dalam Ni
terwujud apa yang dicita-citakannya, woengkoek ing Bendha Growong (1938)
mendapat keutamaan hidup di karya Jasawidagda; dan sebagainya. Semen-
kemudian hari jika diizinkan oleh tara itu, sikap keberagamaan langsung yang
Yang Memberi dan Menguasai berupa tindakan pasrah (kepada Tuhan)
(Hidup)…’ terlihat jelas pada tokoh Soeramedja dalam
Pameleh; tokoh Jarot dalam Djarot; dan
Meski dalam kadar yang berbeda, hal sebagainya.
serupa tampak pada sikap tokoh Pak Dari penjelasan ringkas di atas dapat
Ardjautama dalam Lelampahanipoen Pak dinyatakan bahwa tindakan iman (percaya),
Kaboel (1930) karya Kartamihardja; Darba eling (ingat), dan pasrah (menyerah) pada
dalam Kirti Ndjoendjoeng Dradjat (1924) Tuhan merupakan suatu kewajiban jika
karya Jasawidagda; dan Maridja dalam manusia mengharapkan taufiq dan hidayah-
Ikhtiyar Ngoepados Pesoegihan (1928) karya Nya. Jika manusia telah berusaha dan
Prawirosoemardja. Tokoh-tokoh dalam berikhtiar tetapi taufiq dan hidayah Tuhan
novel-novel tersebut—sebagai simbolisasi tetap belum diperoleh, bagaimanapun manu-
manusia Jawa—percaya sepenuhnya bahwa sia harus tetap iman, eling, dan pasrah karena
Tuhan adalah Sang Pencipta, dan Tuhan Tuhan adalah pemegang takdir dan penentu
adalah Dzat Tertinggi yang menciptakan terakhir. Manungsa iku wenang ngupaya,
alam semesta seisinya sehingga hanya kepada nanging purba wasesa ana astane Kang
Dia-lah manusia harus berkiblat. Mahakuwasa ‘Manusia itu berhak berusaha,
Menurut pandangan hidup Jawa, eling tetapi keputusan (tetap) berada di tangan
‘ingat’ juga merupakan salah satu bentuk Yang Mahakuasa’ atau Manungsa winenang
tindakan religi yang cukup signifikan karena angudi, purba wasesa ing astane Gusti
di balik ungkapan itu tercermin keyakinan ‘Manusia wajib mencari, tetapi kepastian
bahwa memang manusia tak bisa berpaling (tetap berada) di tangan Tuhan’. Demikian
dari-Nya. Karena itu, dalam mengarungi kiranya keyakinan orang/manusia Jawa
kehidupannya, manusia harus selalu eling sebagai ungkapan religiusnya walaupun ia
kepada Tuhan yang memberi hidup. Dalam tidak menjalankan hukum-hukum atau
keadaan eling manusia kemudian berusaha aturan-aturan formal sebagaimana telah
taat menjalankan perintah dan larangan-Nya. disyariatkan oleh agama.
Jika perintah dan larangan itu dilanggar, Telah dikatakan di depan bahwa
manusia akan merasa tidak tenang sehingga selain keimanan, keteringatan, dan kepa-
hidupnya tidak tenteram. Padahal, tujuan srahan (kepada Tuhan), sikap keberagamaan
hidup manusia yang utama adalah mencapai secara langsung manusia Jawa tercermin juga
harmoni dan tata-tentrem ‘ketenteraman’. pada tindakan rila ‘rela’, nrima ‘menerima’,
Sikap keberagamaan langsung yang sabar ‘sabar’, urmat ‘hormat’, rukun ‘rukun’,
tercermin lewat tindakan eling ini juga dan bekti ‘berbakti’. Seperti diketahui bahwa
dominan dalam novel-novel modern Jawa sikap rila mencerminkan suatu kesediaan
prakemerdekaan, misalnya tampak pada diri untuk melepaskan kepentingan individu dan
tokoh Sutrisna dalam Katresnan (1920) karya menyesuaikan diri ke dalam “keselarasan
Soeratman; Soekarmin dan Soeramedja agung alam semesta” sebagaimana telah
dalam Pameleh (1938) karya Srie Koentjara; ditentukan (oleh Tuhan). Sikap tersebut
Jarot dalam Djarot I (1922) karya Jasawi- mencerminkan pula kesediaan untuk mele-
dagda; Soewarsa dalam Soewarsa-Warsijah paskan hak milik, kemampuan-kemam-puan
(1926) karya Sastradihardja; Rijanto dalam dan hasil pekerjaan sendiri, apabila memang
Serat Rijanta (1920) karya R.B. Soelardi; itulah yang menjadi tuntutan dan tanggung

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 26


jawabnya. Namun, dalam hal ini sikap rila hidup Jawa, sikap nrima tergolong sikap
harus dipahami sebagai tindakan yang positif, hidup yang berdimensi positif karena di
bukan menyerah dalam arti negatif, sebagai dalamnya tercermin tindakan bahwa dalam
kemampuan untuk melepaskan (sesuatu) keadaan kecewa manusia tetap bereaksi
penuh pengertian, bukan membiarkannya secara rasional, tidak hancur, dan tidak
lepas secara pasif. Karena itu, bagi orang menentang secara percuma. Sikap tersebut
Jawa, sikap rila merupakan salah satu bentuk menuntut kekuatan untuk menerima apa yang
penghayatan religi yang intens untuk tidak dapat terelakkan tanpa membiarkan diri
mencapai keadaan harmoni, selaras, atau dikalahkan olehnya. Dalam hal ini sikap
tata-tentrem (ketenteraman). nrima memberi daya tahan agar mampu
Sikap rila tersebut tampak jelas, menghadapi nasib yang buruk. Karena itu,
misalnya, pada tokoh Maridjah dalam Ni mereka yang telah memahami sikap tersebut
Woengkoek ing Bendha Growong (1938) akan selalu “gembira dalam keprihatinan”
karya Jasawidagda. Dalam novel itu, ia atau “prihatin dalam kegembiraan”. “Hidup
digambarkan sebagai perempuan desa yang memang tidak mudah, tetapi jika dianggap
diasingkan oleh suaminya (priyayi) ke tempat mudah ya mudah, dianggap sulit ya sulit”,
yang jauh karena mengidap penyakit lepra. demikian pepatah Jawa mengatakan.
Ketika sudah sembuh (tetapi wajahnya rusak, Mbok Sepi dalam Swarganing Boedi
tubuhnya bongkok), ia hendak pulang, tetapi Ajoe (1923) karya Ardjosapoetra, misalnya,
ternyata suaminya telah kawin lagi. Akhirnya merupakan contoh baik mengenai orang yang
ia tidak jadi pulang, tetapi tinggal di sebuah bersikap nrima. Dikisahkan bahwa ketika
terowongan di pohon besar. Karena keadaan Kamsirah hendak dinikahkan secara paksa
dirinya demikian, ia sadar dan rela kehi- dengan Artasoekatja, sebenarnya Mbok Sepi
langan haknya sebagai istri; dan ia tidak (ibunya) tidak setuju. Tetapi, karena ia hanya
sedikit pun merasa dendam, bahkan berjanji seorang ibu, yang menurut adat Jawa waktu
(kepada Tuhan) akan selalu membantu siapa itu perempuan hanya diposisikan sebagai
pun yang mengalami kesusahan. Jadi, hal ini tiyang wingking ‘orang belakang’, maka
dapat dipahami bahwa Maridjah rela akhirnya Mbok Sepi menyetujui kehendak
berkorban demi kebahagiaan orang lain; dan suaminya. Kendati dalam hati memberontak,
janji serta kerelaan inilah yang membuat ia pun merasa wajib untuk menerima Kenya-
dirinya merasa tenang dan tenteram. taan tersebut. Karena itu, demi menjaga
Meski konteksnya berbeda, sikap keberlangsungan keluarga, Mbok Sepi tetap
serupa juga terlihat pada tokoh Rr. Soebijah menerima apa yang sebenarnya tidak sesuai
yang rela kehilangan nyawa dalam Wisaning dengan keinginannya. Perhatikan kutipan
Agesang; Pangkat yang rela kehilangan ayah singkat berikut.
dan ibu dalam Ngantepi Tekad; Poerna-
mawoelan yang rela kehilangan kekasih demi “Mbok Sepi: ewa semanten
negara dalam Dhendhaning Angkara; Jarot tijang koela poenika tijang estri boten
yang rela kehilangan ibu dalam Djarot; koewaos, inggih namoeng ndherek
Galuga dan Salusur yang rela mati demi karsa sampejan, koela soewoen-
kekasih tercinta dalam Galoega Saloe- soewoen dateng ingkang Moerbeng
soersari; R.A. Dwikarsa yang rela dimadu Gesang, moegi sageda kaleresan ….”
oleh suaminya dalam Dwikarsa; dan masih (hlm. 10)
banyak lagi. Pada intinya, sikap rila (yang
disimbolkan melalui tokoh-tokoh) ini oleh ‘Mbok Sepi: Walaupun demi-
orang Jawa dimanfaatkan sebagai ungkapan kian saya ini hanya seorang wanita
religius langsung dalam usaha mencapai yang tidak berkuasa apa-apa, akhirnya
suatu kondisi yang tenang, tenteram, dan hanya mengikuti kehendak Anda,
harmoni-kosmis. hanya saya mohon kepada Tuhan,
Sikap nrima ‘menerima (kenyataan)’ semoga semuanya menjadi baik ….’
juga demikian. Sesuai dengan pandangan

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 27


Hal serupa terlihat juga pada tokoh Rr. manusia tentang kehidupan ini didasari oleh
Soebijah dalam Wisaning Agesang; Srie cita-cita tentang suatu masyarakat yang
Koemenjar dalam Srie Koemenjar; dan lain teratur baik, semua orang tahu tempat dan
sebagainya. tugasnya masing-masing, tidak ada ambisi,
Dengan demikian, pada intinya, oleh tak ada perilaku tidak sopan, dan sejenisnya,
orang Jawa sikap nrima tidak lain adalah sehingga semua orang ikut menjaga agar
sikap tahu tempatnya sendiri, artinya percaya seluruh masyarakat merupakan satu kesatuan
pada nasib sendiri dan berterima kasih kepada yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui
Tuhan, karena ada kepuasan dalam meme- oleh semua orang dengan membawa diri
nuhi apa yang menjadi bagiannya dengan sesuai dengan tuntutan-tuntutan tata-krama
kesadaran bahwa semua itu telah ditentukan sosial. Sikap tersebut dipertunjukkan dengan
(oleh Tuhan). Atau, orang dengan penuh jelas, missal-nya, oleh Mbok Soeramedja
kesadaran mengikuti jalan yang ditakdir- dalam novel Pameleh; R. Partosoedarmo
kannya karena hal itu tak dapat dihindarkan. dalam novel Rahajoe Abeja Pati; Hartoko
Namun, itu tidak berarti bahwa orang tidak dalam Gambar Mbabar Wewados; dan seba-
harus berusaha mencapai sesuatu yang gainya. Jadi, pada dasarnya, urmat, rukun,
diinginkan, karena pada hakikatnya orang itu dan bekti juga merupakan wujud penghayatan
hanya dapat mengetahui hasil dari nasibnya religi secara langsung karena semua tindakan
atau akibat dari perbuatannya. Untuk itu, atau sikap itu terarah pada terciptanya sebuah
logislah orang untuk aktif dalam membentuk masya-rakat yang damai, tanpa konflik, ten-
kehidupannya sendiri dan dengan sadar teram, dan harmonis.
memenuhi kewajiban dalam tatanan yang Di samping hal-hal di atas, sikap
lebih besar. keberagamaan Jawa secara langsung tercer-
Sementara itu, sikap sabar masih min pula dalam tindakan manusia dalam
berkait erat dengan sikap rila dan nrima di memandang nasib atau takdir, termasuk juga
atas; bahkan merupakan sikap yang menun- mengenai kematian. Seperti diketahui bahwa
juk pada tingkat tertinggi tentang penge- dalam pandangan hidup Jawa dikenal adanya
kangan diri. Walaupun sabar menun-jukkan ungkapan yang cenderung fatalistik: manusia
ketiadaan hasrat, tidak berarti sabar itu hanya di dunia hanya sekedar menjalani nasib/takdir
pasrah (menyerah) secara pasif, tetapi sebab hidup dan matinya sudah ditentukan
menyiratkan pula makna positif, yaitu intros- Tuhan. Sesungguhnya, jika dicermati lebih
peksi diri. Misalnya, jika seseorang telah dalam, ungkapan itu tidaklah fatalistik, tetapi
berusaha keras tetapi tetap gagal, kegagalan justru menunjukkan tingkat religiusitas yang
itulah yang kemudian dijadikan cermin tinggi, sebab takdir/nasib itu ditempatkan di
kehati-hatian agar usaha yang dilakukan puncak; dalam arti di atas segala usaha yang
berikutnya berhasil. Jadi, dalam hal ini sabar telah dilakukan oleh manusia. Jadi, peneri-
juga merupakan tindakan pengha-yatan religi maan sebagai takdir atau nasib itu setelah
yang dalam dan esensial. Dalam konteks semua peristiwa/usaha terjadi; dan itu sebagai
novel-novel Jawa, sikap demikian tampak bukti bahwa manusia tidak lepas dari
jelas pada diri tokoh Raden Hardja-wasita sandaran vertikalnya.
dalam Wisaning Agesang; Kasan Ngali dalam Setidaknya ada dua hal yang perlu
Mrodjol Selaning Garoe; Mas Ajeng dicatat sehubungan dengan nasib atau takdir
Dwikarsa dalam Dwikarsa; dan masih banyak manusia. Pertama, mencakupi kondisi-
lagi. kondisi tertentu yang tidak disebabkan oleh
Jika rila, nrima, dan sabar berhu- keinginan manusia, terutama tentang kema-
bungan dengan sikap batin yang tepat, urmat tian. Dalam hal ini, manusia tidak punya
‘hormat’, rukun ‘rukun’, dan bekti ‘berbakti’ wewenang untuk memilih atau menolak,
cenderung berhubungan dengan sikap yang sehingga ia harus ikhlas menerimanya; dan
tepat di dunia, karena tujuannya tak lain keikhlasan inilah yang menjadi wujud sikap
adalah untuk mencapai keselarasan sosial. religiusnya. Kedua, mencakupi kondisi-
Sikap yang berkait erat dengan persepsi kondisi yang disebabkan oleh tindakan manu-

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 28


sia itu sendiri yang berdasarkan pada pilihan Sikap Keberagamaan Tak Langsung
sendiri; jadi, dalam hal ini, manusia bebas Kendatipun sikap keberagamaan se-
memilih, berhak berikhtiar dan bertindak apa cara langsung (religiusitas otentik) sangat
pun. Tetapi, bagaimanapun hal itu tidak lepas dominan, tidak berarti bahwa gambaran sikap
dari sandaran pada Tuhan, sebab sehebat apa keberagamaan secara tidak langsung (reli-
pun hasil yang telah dicapai oleh manusia, giusitas agamis) tidak ada di dalam novel-
hasil itu bukan semata karena usahanya novel modern Jawa prakemerdekaan. Dari
sendiri, tetapi diyakini ada campur tangan seluruh data yang diamati, setidaknya dite-
dari Tuhan. Karena itu, jika seseorang dengan mukan beberapa novel yang mengung-kapkan
bekerja keras bisa berhasil mencapai sesuatu, religiusitas agamis; dalam arti bahwa agama
orang itu dikatakan “bernasib baik”, dan atau kepercayaan apa yang dianut oleh tokoh-
sebaliknya, jika ia bekerja keras tetapi tetap tokoh dalam novel itu dapat diidenti-
gagal, ia akan dikatakan “bernasib buruk” fikasikan secara jelas.
atau “belum bernasib baik”. Dalam Tri Djaka Moelja (1932) karya
Bukti menunjukkan bahwa semua Hardjadisastra, misalnya, secara gamblang
tokoh “putih” dalam novel-novel modern digambarkan bahwa tokoh-tokohnya adalah
Jawa prakemerdekaan mencerminkan sikap penganut Islam; bahkan dilihat dari sebutan
religiusitas langsung yang demikian. Artinya, “kiai” dan nama “Muslim”, jelas mereka
segala tindakannya selalu dikaitkan dengan berasal dari atau memiliki latar belakang
nasib atau takdir dengan maksud agar di agama Islam. Dikisahkan di dalam novel itu
dalam dirinya ada semacam benteng yang bahwa Kiai Muslim mempunyai tiga putra.
kokoh untuk menghindari munculnya sikap Karena Kiai Muslim adalah penganut Islam
sombong, congkak, dan sejenisnya yang yang taat, maka ketiga putranya (Sarjana,
menyebabkan konflik. Sebagai misal, tokoh Sujana, dan Waskita), selain disekolahkan di
Maryati dalam Marjati lan Marjana, walau- sekolah umum juga diajari mengaji (belajar
pun ia berhasil menjadi juru rawat terkenal ilmu Alquran) secara rutin. Maksudnya
berkat kerja kerasnya, ia tidak lantas menjadi adalah agar mereka tidak hanya pandai ilmu
sombong, karena ia sadar bahwa keber- umum, tetapi juga pandai ilmu agama
hasilannya itu bukan semata karena dirinya (Islam), di samping agar mereka menjadi
sendiri, tetapi berkat karunia Tuhan. Semen- orang-orang yang shaleh yang mampu
tara itu, dalam kaitannya dengan soal menghadapi berbagai cobaan dan rintangan di
kematian, orang Jawa memandang bahwa itu masa depan.
merupakan takdir yang harus diterima, sebab Ternyata benar apa yang diidam-
kematian disadari sebagai jalan menuju idamkan oleh Kiai Muslim. Ketika musibah
sangkan paraning dumadi ‘asal-muasal menimpa mereka, yakni rumah dan seluruh
kejadian/kehidupan’. harta kekayaan Kiai Muslim habis terbakar,
Demikian antara lain uraian ringkas ketiga anaknya tidak menjadi frustasi atau
mengenai sikap keberagamaan orang/masya- sedih berkepanjangan, tetapi justru mampu
rakat Jawa secara langsung (religiusitas menemukan jalan demi meringankan beban
otentik) yang tercermin dalam novel-novel orang tua, yaitu dengan cara pergi mengem-
modern Jawa prakemerdekaan. Sebenarnya, bara; dan mereka bisa bersikap demikian
sikap-sikap itu masih bisa dijabarkan secara berkat didikan keras orang tua secara Islam.
panjang lebar, tetapi sekadar sebagai bukti Dan di dalam pengembaraannya pun, ketiga
bahwa wacana kesusastraan modern Jawa putranya itu tetap memegang teguh pesan
ternyata mencerminkan kadar religiusitas ayah, yaitu rajin bekerja, taat beribadah, dan
otentik yang tinggi dan dalam, agaknya berperilaku baik, tidak sombong, dan
beberapa contoh dan uraian di atas dianggap sebagainya. Oleh karena itu, ketika mereka
cukup memadai. telah menjadi dewasa, mereka pun menjadi
orang-orang yang berhasil, yaitu Sarjana
menjadi mantri polisi, bahkan menjadi
wedana; Sujana menjadi saudagar kaya yang

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 29


murah hati; dan Waskita menjadi seorang kiai belum acara pernikahan dilangsungkan,
yang cukup ternama dan disegani. Dan secara kebetulan Soemarsono berkunjung ke
sebagai bukti bahwa mereka adalah orang- rumah calon mertua, dan di dalam kunjungan
orang yang berbakti kepada orang tua, setelah itu terungkap bahwa ternyata mereka berdua
sekian lama mengembara, mereka pun adalah saudara kandung. Srie Koemenjar
akhirnya secara bersama pulang dan mengun- ternyata adiknya sendiri yang dulu bernama
jungi orang tua yang telah lama mereka Parmi dan Soemarsono adalah kakaknya
tinggalkan. sendiri yang dulu bernama Pardjan. Mereka
Dilihat dari sisi tindakan dan perila- berdua adalah kakak-beradik yang kira-kira
kunya sehari-hari, sesungguhnya tokoh-tokoh sepuluh tahun lalu dipisahkan oleh bencana
di dalam novel ini mencerminkan pula sikap alam (banjir besar) yang menimpa desanya.
keberagamaan secara langsung. Akan tetapi, Karena itu, pernikahan terpaksa harus di-
karena tindakan sehari-harinya itu dilakukan batalkan karena menurut adat dan hukum
dengan pedoman yang jelas, yaitu pedoman agama (Islam) perkawinan antar-saudara
agama Islam, sehingga novel itu lebih tidak diperbolehkan, bahkan dianggap dosa
mencerminkan sikap yang religiusitas Islami. besar. Tetapi, karena undangan telah terlanjur
Bahkan, kalau dilihat dari keberadaan tokoh diedarkan, dan untuk menarik kembali sudah
bernama Waskita, cerminan religius Islami tidak mungkin lagi, acara hajatan pun tetap
nampak semakin terang karena tokoh itu dilangsungkan walaupun acara itu bukan
sejak semula memang telah bercita-cita ingin acara pernikahan, melainkan acara syukuran.
menjadi seorang ulama atau kiai (ahli/ Meskipun acara pernikahan harus
pemimpin agama Islam). Perhatikan kutipan dibatalkan, Srie Koemenjar dan Soemarsono
berikut. menyadari sepenuhnya bahwa semua itu
harus diterima karena bagi mereka kenyataan
“Manawi koela, kepengin itu telah menjadi kehendak Tuhan sebagai-
dados ngoelama ingkang poetoes ing mana diatur dalam Kitab Suci Alquran.
kawroeh, ngretos barang ingkang Kesadaran yang sama juga dirasakan oleh
ginaib. Awit saking pamanggih koela Pak Soerawidjana, orang tua angkat Srie,
makaten: manoesa poenika manawi sehingga dalam pidato acara syukuran itu ia
waskita saestoe, boten wang-wang mengatakan:
dateng agal-aloes, bebasan: boten
mawang ….” (hlm. 12). “… Para sedherek sadaja!
Mbok menawi para sedherek kathah
“Kalau saya, ingin menjadi ingkang goemoen dene sampoen
ulama yang memiliki wawasan luas, wantji mekaten, teka temantenipoen
tahu akan hal-hal gaib. Sebab menurut dereng dipoen idjabaken. Sedjatos-
pendapat saya begini: bila manusia ipoen anggen koela gadhah damel
benar-benar berwawasan luas, tidak mantoe, boten esthu, … boten teka
akan takut terhadap (hal-hal) kasar- wekdalipoen dipoen undur, boten.
halus, pokoknya: tidak takut ….” Nanging djalaran hoekoem kama-
noengsan lan wet agami boten
Walaupun konteksnya berbeda, sikap ngengingaken …. amargi ingkang
serupa terlihat pula dalam novel Srie badhe mengkoe poen gendhoek Srie
Koemenjar (1938) karya Djajasoekarta. poenika sedherekipoen djaler
Dalam novel tersebut dikisahkan bahwa sejak pijambak…” (1938).
kelas tiga MULO tokoh utama Srie
Koemenjar telah menjalin cinta dengan pe- “… Saudara-saudara sekalian!
muda bernama Soemarsono. Hubungan cinta Mungkin saudara-saudara banyak
mereka direstui orang tua, dan tidak lama yang heran, karena sudah kelewat
kemudian, acara pernikahan akan segera waktunya, pengantin belum dinikah-
dilangsungkan. Namun, beberapa hari se- kan. Sesungguhnya acara pernikahan

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 30


ini tidak jadi (batal), …, bukan karena manusia (tokoh) Jawa itu pada umumnya
waktunya diundur, bukan. Tetapi memiliki pandangan tersendiri yang khas,
karena hukum kemanusiaan dan yang terformulasi ke dalam pandangan
aturan agama tidak memperbolehkan Kejawen yang pragmatis, sikap keberaga-
… sebab ternyata yang hendak maan manusia Jawa pun akhirnya cenderung
menikahi Srie adalah saudara bersifat pragmatis pula.
lelakinya sendiri …” Kecenderungan itulah yang menga-
kibatkan tindakan penghayatan manusia Jawa
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terhadap agama tidak dilakukan melalui
hukum dan ajaran agama sangat dihormati praktik-praktik ritual tertentu, tetapi melalui
dan ditempatkan menjadi sesuatu yang utama praktik-praktik langsung dalam kehidupan,
meskipun harus ada yang menjadi korban. yang di antaranya terwujud dalam beberapa
Tindakan semacam inilah yang memperli- sikap hidup priyayi yang berdimensi positif
hatkan bahwa mereka benar-benar mampu berikut: rila ‘rela, ikhlas’, nrima ‘menerima
menghayati sikap keberagamaannya (religiu- (kenyataan apa pun)’; sabar ‘sabar’; urmat
sitas) secara intens sehingga tidak berani ‘hormat’, rukun ‘rukun’; dan bekti ‘berbakti’.
melanggar ketentuan sebagaimana diatur oleh Tiga sikap yang pertama berhubungan
agama yang mereka anut. Demikianlahlah dengan tujuan keseim-bangan batin, sedang-
contoh beberapa novel modern Jawa pra- kan tiga sikap yang kedua berhubungan
kemerdekaan yang mengungkapkan per- dengan keseimbangan lahir atau keselarasan
soalan religiusitas formal atau sikap kebera- sosial. Bagi manusia Jawa, dua keseimbangan
gamaan secara tak langsung. Dalam novel- tersebut (lahir-batin, mikro-makro kosmos)
novel tersebut agama dimanfaatkan sebagai diyakini sebagai representasi atau wujud
acuan tindakan religi tokoh dalam meng- ungkapan religius (itas) karena hal itu tak lain
arungi hidup dan kehidupannya; dan kalau berasal dari (dianjurkan oleh) dan dilakukan
dikaitkan dengan keberadaan masya-rakat untuk Tuhan. Berkat keyakinan itu pula,
pendukungnya (Jawa), bagaimanapun hal meski dalam hidupnya selalu berusaha
tersebut mencerminkan pula sikap keberaga- (menyeimbangkan, menyelaraskan, dan lain-
maannya. lain), manusia Jawa menyerahkan segalanya
kepada Tuhan, termasuk nasib dan kematian-
/4/ nya, karena semua itu adalah hak Tuhan
Dari seluruh kajian sebagaimana telah (Allah SWT).
diuraikan, akhirnya dapat disimpulkan be- Satu hal lagi yang dapat disimpulkan
berapa hal berikut. Sebagai wujud ekspresi ialah bahwa dari seluruh data hanya ada
simbolik, karya-karya sastra modern Jawa beberapa novel yang secara eksplisit meng-
ternyata digunakan oleh manusia (orang, ungkapkan religius formal (agamis). Dalam
masyarakat) Jawa untuk mengungkapkan karya yang bercorak demikian syariat-syariat
sikap keberagamaan(religius)nya, baik secara atau hukum-hukum formal agama diman-
langsung (otentik) maupun tak langsung faatkan oleh pengarang sebagai indikator
(agamis). Sikap tersebut terlihat dalam tahap- tindakan religius tokoh; dan dalam hal ini,
tahap berikut. hukum agama (tertentu) menjadi acuan
Manusia/orang Jawa (yang utamanya. Hukum-hukum formal agama
disimbolkan oleh tokoh-tokoh dalam novel) yang diacu adalah hukum-hukum formal
percaya (iman) sepenuhnya bahwa Tuhan agama Islam, sedangkan hukum agama lain
adalah Sang Pencipta, Dzat Tertinggi yang (non-Islam), hingga kajian ini dilakukan,
Tak Tertandingi, dan dari-Nya tercermin sifat tidak ditemukan. Hal terakhir ini menandai
Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Adil, dan bahwa tradisi kesusastraan Jawa pada masa
Maha Segalanya. Karena itu, dalam segala itu “dikuasai” oleh orang-orang Islam dan
hal, manusia selalu ingat (eling) dan para priyayi, bukan oleh non-Islam. ***
menyerahkan diri (pasrah) kepada-Nya.
Namun, karena terhadap agama tersebut

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 31


Daftar Pustaka Djajasoekarta, L.K. 1938. Srie Koemenjar
(Sri Kumenyar). Jakarta: Balai
Bachtiar, Harsja W. 1989. “The Religion of Pustaka.
Java: Sebuah Komentar.” Dalam
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Djajengoetara. 1921. Mitra Moesibat (Saha-
Santri, Priyayi dalam Masyarakat bat Karib). Jakarta: Balai Pustaka.
Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Djakalelana. 1932. Gambar Mbabar
de Jong, S. 1985. Salah Satu Sikap Hidup Wewados (Gambar Membuka Raha-
Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius. sia). Jakarta: Balai Pustaka.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Hardjadisastra, M. 1932. Tri Djaka Moelja
Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Tiga Pemuda Mulia). Jakarta: Balai
Jakarta: Pustaka Jaya. Pustaka.

Hardjowirogo, Marbangun. 1989. Manusia Hardjawiraga. 1921. Sapoe Ilang Soehe


Jawa. Jakarta: Haji Mas Agung. (Sapu Kehilangan Pengikat). Jakarta:
Balai Pustaka.
Mulder, Niels. 1984. (Cetakan ke-2).
Kebatinan dan Hidup Sehari-hari ----------. 1930. Negara Mirasa I (Negara
Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. Mirasa I). Jakarta: Balai Pustaka.

----------. 1985. Pribadi dan Masyarakat di ----------. 1932. Dhendhaning Angkara


Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. (Denda Keangkaramurkaan). Jakarta:
Balai Pustaka.
Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa:
Sebuah Analisa Falsafi tentang Jasawidagda, R. Ng. 1922. Djarot I (Jarot I).
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Jakarta: Balai Pustaka.
Gramedia.
----------. 1923. Poerasani (Purasani). Jakarta:
Balai Pustaka.

Daftar Data (Novel Jawa) ----------. 1924. Kirti Ndjoendjoeng Dradjat


(Kebaikan Menaikkan Derajat).
Ardjasapoetra, M. 1923. Swarganing Boedi Jakarta: Balai Pustaka.
Ajoe (Sorga Budi Baik). Jakarta. Balai
Pustaka. ----------. 1938. Ni Woengkoek ing Bendha
Growong (Ni Wungkuk dalam Benda
Asmawinangoen, Mw. 1929. Mongsoeh Berlubang). Jakarta: Balai Pustaka.
Moengging Tjangklakan (Musuh
dalam Selimut). Jakarta: Balai Kartamihardja. 1930. Lelampahanipoen Pak
Pustaka. Kaboel (Kisah Perjalanan Pak Kabul).
Jakarta: Balai Pustaka.
Atmasiswaja. 1925. Ngantepi Tekad (Me-
mantapkan Tekad). Jakarta: Balai Koentjara, Srie. 1938. Pameleh (Pembalas-
Pustaka. an). Jakarta: Balai Pustaka.

Djajaatmadja, Margana. 1940. Ngoelandara Mangoenwidjaja, M. Ng. 1921. Galoega


(Mengembara). Cetakan Ke-2. Jakar- Saloersari (Galuga Salursari).
ta: Balai Pustaka. Madiun: Tan Koen Swie.

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 32


eerd-Radacteur Dagblad G. Bogen-
Martahatmadja, R. Soejitna. 1921. Tjarijos- strrat.
ipoen Pambalang Tamak (Cerita
Ketamakan). Jakarta: Balai Pustaka. Wirjaharsana, Soeradi. 1928. Wisaning Age-
sang (Racun Kehidupan). Jakarta:
Natasoeswara, Mas Kamit. 1930. Tjobaning Balai Pustaka.
Ngaoerip (Cobaan Hidup). Jakarta:
Balai Pustaka.

Prawirasoemardja, Mas. 1928. Ikhtijar Ngoe-


pados Pasoegihan (Usaha Mencari
Kekayaan). Jakarta: Balai Pustaka.

Prawirawinata. 1922. Serat Ngesti Dharma


(Serat Ngesti Darma). Weltevreden:
Drukkerij Volkslectuur.

Sasraharsana, R. 1922. Mrodjol Selaning


Garoe (Lepas lewat Sela Garu).
Jakarta: Balai Pustaka.

Sastraatmadja, R. 1930. Dwikarsa (Dua


Kehendak). Jakarta: Balai Pustaka.

Sastradihardja, M. Soeratman. 1923. Soekatja


(Sukaca). Weltevreden: Drukkerij
Volkslectuur.

Sastradihardja. 1926. Soewarsa-Warsijah


(Suwarsa-Warsiyah). Jakarta: Balai
Pustaka.

Siswamihardja. 1930. Toemoesing Panalang-


sa (Hilangnya Penderitaan). Jakarta:
Balai Pustaka.

----------. 1930. Marjati lan Marjana (Maryati


dan Maryana). Jakarta: Balai Pustaka.

Soelardi, R.B. 1920. Serat Rijanto (Cerita


Rijanto). Jakarta: Balai Pustaka.

Soepardi, Mt. 1939. Rahajoe Abeja Pati


(Membela Kebaikan sampai Mati).
Yogyakarta: Boekh Astra.

Soeratman, M. 1920. Katresnan (Percintaan).


Jakarta: Balai Pustaka.

Wiradarmojo, R.S. 1938. Kembang Kapas


(Bunga Kapas). Soerabaja: Nasion-

Horison, Nomor 10, Oktober 2007 33

Anda mungkin juga menyukai