Anda di halaman 1dari 8

TUGAS KELOMPOK

RRINGKASAN MATERI DEPRESI PADA LANSIA


Dosen Mk : Dr. Saidah Rauf S.Kep.,M.Sc

Mata Kuliah : GERONTIK

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 1

Nanda putri seleuw

3C

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU

PRODI KEPERAWATAN MASOHI

TAHUN AJARAN 2019-2020


A. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010)

B. Penyebab
Adapun beberapa teori menyatakan bahwa faktor penyebab depresi pada lansia
dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
1. Faktor biologi
Faktor biologis penyebab depresi dibedakan menjadi:
a. Kelainan amin biogenik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid),
MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait
dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien
memiliki serotonin yang rendah. Terapi despiran mendukung teori bahwa
norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010).
Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut
tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson,
adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin,
seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi
(Kaplan, 2010).
b. Disregulasi neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin,
menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik.
Pasien yang mengalami depresi ditemukan adanya disregulasi
neuroendokrin.Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik.Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin
biogenik sentral.Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal,
tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan.Aksis HPA merupakan aksis yang paling
banyak diteliti (Landefeld et al, 2004).Hipersekresi CRH merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi.Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator
yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.Emosi seperti perasaan takut dan
marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan
organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik.Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, 2004).
Orang yang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen.
Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap
neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan 9 methamphetamin.Estrogen bersama
dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
c. Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter
Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel
saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan
pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan
kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia
nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001).
Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang
penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam
otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur
80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
2. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang
diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi,
kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, 10 peningkatan isolasi
diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010), sedangkan
menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk
mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 2001).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan
dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010).
Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai,
atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan
hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
C. Tanda dan Gejala
1. Gejala-gejala depresi dapat dibagi menjadi gejala pada perasaan, pikiran, fisik dan
perilaku.
a. Gejala perasaan: kehilangan minat pada aktivitas yang menyenangkan,
penurunan minat dan kenikmatan seksual, perasaan tidak berharga, tidak ada
harapan dan merasa salah yang berlebihan, tidak dapat merasakan apa-apa,
perasaan hancur yang berlebihan atau akan dihukum, kehilangan harga diri,
merasa sedih, murung yang lebih parah pada pagi hari, menangis tanpa sebab
yang jelas, iritabel, tidak sabar, marah dan agresif.
b. Gejala proses pikir: pikiran bingung atau melambat, sulit berpikir, berkonsentrasi
atau mengingat; sulit mengambil keputusan dan menghindarinya, pikiran
berulang akan bahaya dan kehancuran, preokupasi dengan kegagalan atau
ketidakpuasan personal yang menyebabkan kehilangan rasa percaya diri,
melakukan kritik terhadap diri sendiri secara kasar dan menghukum diri, pikiran
tentang keinginan bunuh diri, melukai diri dan tentang kematian yang persisten.
Pada kasus yang ekstrem dapat berpikir tidak realistis, mungkin terdapat
halusinasi atau ide aneh hingga waham.
c. Gejala perilaku: penarikan dari aktivitas sosial dan hobi, gagal melakukan
keputusan penting, menelantarkan pekerjaan rumah tangga, berkebun,
membayar kebutuhan sehari-hari, penurunan aktivitas fisik dan olahraga;
penurunan perawatan diri seperti makan, dandan, mandi; peningkatan
pemakaian alkohol, obat-obatan baik dari dokter maupun beli sendiri. Gejala
fisik: perubahan nafsu makan, dengan akibat penurunan berat badan atau
peningkatan berat badan; gangguan tidur, kesulitan mulai tidur, tidur terbangun-
bangun atau tidur terlalu banyak; tidur, namun saat bangun tidak segar, sering
merasa buruk di pagi hari; penurunan enerji, merasa lelah dan lemah; tidak
dapat diam, ada doronogan untuk berjalan terus; nyeri ekstremitas, sakit kepala,
nyeri otot yang bukan karena sebab penyakit fisik; pencernaan dan lambung
kurang enak dan konstipasi Banyak gejala depresi berupa gejala depresi
subsindrom, psudeodemensia, distimia atau disforik ringan.
D. Patofisiologi depresi
Gangguan depresi disebabkan karena faktor biopsikososial dan interaksi
neurotransmiter yang mempengaruhi patofisiologi secara kompleks.[5,8]
Neurotransmiter yang paling berperan pada depresi adalah neurotransmiter
monoaminergik, yaitu serotonin (5-HT), norepinefrin (NE), dan dopamin (DA).
Neurotransmiter lain yang dinilai berperan adalah glutamat (GLUT), asam aminobutirik
gamma/gamma-aminobutyric acid (GABA) dan faktor neurotropik otak/brain-derived
neurotrophic factor (BDNF).
1. Defisiensi Monoamin
Penyebabturunnya neurotransmitter ini masih belum diketahui secara pasti.Hipotesis
yang ada memperkirakan adanya reaksi kompleks lain. Proses ini diatur oleh system
serotonergic dan noradrenergik yang memproduksi serotonin 1A (5-HT1A), serotonin
1B (5-HT1B), dan norepinefrin.Serotonin dan norepinefrin disintesis dari
triptofandantirosin kemudiandisimpan di dalamvesikel neuron presinaps.Neurotrans
mitermonoamin ini akan dikeluarkan kecelah sinaps, untuk kemudian bekerja pada
neuron presinapsdan post-sinaps, sehinggadapatmengaturregulsiemosi. Fungsi
regulasi emosi ini diatur oleh kesimbangan antara availabilitas dan aktivitas
reseptorne utrotrans miter. Reseptor 5-HT1B terletak pada presinaps dan mengatur
keluarnya serotonin denganinhibisi/feedback inhibition, sedangkan reseptor 5-HT1A
terletak pada neuron presinaps dan post-sinapsuntuk mengatur fungsi
serotonin.Pada gangguan depresi, availabilitas serotonin di celah sinaps menurun.
Hal ini disebabkan karena sensitifitas reseptor yang menurun, sehingga tidak terjadi
inhibisi pengambilan kembali/reuptake serotonin. Reseptor NE terletak pada
presinaps dan berfungsi mengatur keluarnya norepine frin denga ninhibisi. Pada
pasien depresi, sensitifitas reseptor NE meningkat, sehingga kemampuan untuk
mengeluarkan norepine frinmenurun.
1. Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal
Aktifitas aksi shipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) ditemukan meningkat pada pasien
dengan depresi, hal ini disebabkan karena produk berlebih hormone pelepas
kortikotropin/corticotropin releasing hormone (CRH).Pada saat mengalami stress,
korteks serebri dan amigdala menerima sinyal dan diteruskan kehipotalamus.
Hipotalamus mengeluarkan CRH dan pituitary mengeluarkan kortikotropin. Kortikotropin
kemudian menstimulasi korteks adrenal dan mengeluarkan hormonkortisol. Hirper
kortisolemia berkepanjangan menyebabkan supresi neurogenesis dan
atrofihipokampus.

2. Perubahan Struktur Otak


Otak merupakan bagian terpenting dalam pengaturan perilaku dan emosi. Pada
depressi terjadi perubahan struktur otak yang masih belum diketahui
penyebabnya.Studi meta-analisis menunjukkan adanya peningkatan ukur anventrikel
atera, peningkatan volume cairan serebropsinal, dan penurunan volume ganglia
basalis, talamus, hipokamus, lobus frontal, dankorteks orbitofrontal padadepresi.
Depresi juga dapat terjadi bilater dapat gangguan padajalur frontos triatal di korteks
prefontral dorsolateral, korteks orbitofrontal, kingulata anterior, kingulata dorsal,
hipokampus, amigdala, dansirkuitlimbik.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanan depresi dapat di lakukan dengan cara terapi non farmakologi. Terapi
non farmakologi yang sering di lakukan adalah terapai music (purbowinto,2010) music
dapat menghubungkan antra pikiran dan hati para penderita depresi sehingga meraka
dapat membuka diri (purbowintodankartina 2010). Terapi music instrumental adalah bentuk
terapi yang menggunakan music secara systematis, terkontrol dan terarah untuk
meyembuhkan, merehabilitas, mendidik, dan melatih orang dewasa yang menderita
gangguan fisik, mental atau emosional (Maryunani ,2011) penatalaksanaan terapi music
instrumental dapat di lakukan untuk mengatasi depresi pada lansia. Music instrumental
menghasilkan rangsagan ritmis yang kemudiaan di tangkap melalui organ pendengaran
dan di oleh melalui system syaraf dan kelenjar yang selanjutnya mengorganisasikan
interprestasi bunyikedalam ritme internal pendengaran. Music istumental melatih otot-otot
pikiran menjadi rileks
Penatalaksanaan gangguan depresi dilakukan dengan terapi farmakologi menggunakan
anti depresan dan psikoterapi. Tujuan terapi adalah untuk mencapai remisi gejala klinis.
Terapi gangguan depresi harus dilakukan dengan kerjasama yang baik antara dokter,
pasien, dan keluarga. Rujukan ke spesialis kesehatan jiwa perlu dilakukan apabila:
1. Pasien mengalami depresi dengan komorbiditas lain
2. Depresi yang membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain
3. Depresi dengan ciri psikotik
4. Depresi berat
5. Depresi dengan katatonia
6. Depresi yang tidak respon dengan terapi lini utama[4-7]
7. Farmakoterapi

F. Pertimbangan perawatan bagi lansia dengan depresi

Sekalipun angka kejadian bunuh diri pada lansia tidak sebanyak pada dewasa muda,
kita tetap harus waspada karena setiap penderita depresi umumnya memiliki
kecenderungan untuk bunuh diri. Selain itu, depresi pada lansia juga dapat memperparah
perjalanan penyakit kronis yang lain. Oleh karena itu, depresi pada lansia tidak boleh
dianggap remeh.

Apabila kita menemui orang tua dengan gejala-gejala di atas, apalagi pada orang tua
yang telah lama menderita penyakit kronis, ada baiknya kita juga menyarankan mereka
untuk memeriksakan kesehatan jiwanya. Jika benar bahwa mereka menderita depresi,
mereka bisa diberikan terapi yang sesuai seperti psikoterapi, menghadiri kelompok
dukungan, atau diberikan pengobatan yang sesuai.

Kendati demikian, kejadian depresi pada lansia bukannya tidak dapat dicegah.
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan berolahraga ringan setiap hari, mengonsumsi
makanan-makanan bergizi, serta menjaga aktivitas sosial dapat melindungi lansia dari
resiko depresi. Tidak hanya itu, dukungan emosional dari keluarga juga merupakan faktor
pelindung yang sangat penting untuk mencegah depresi pada lansia.
Apabila kita memiliki orang tua atau kakek-nenek, terutama yang hidup sendiri, tidak ada
salahnya jika kita sering-sering bertanya kabar atau mengunjungi mereka. Suasana
kekeluargaan, bahkan sedikit perhatian, akan memberi secercah kebahagiaan pada hati
para lansia dan menghindarkan mereka dari depresi.

Anda mungkin juga menyukai