Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

ILMU DASAR KEPERAWATAN

IMUNOLOGI

DOSEN PENGAMPU:

Ns. Ritanti, S.Kep, M.Kep, Sp. Kom

DISUSUN OLEH:

Muhamad Fathurahman (1910711052)

Diya Alvionita (1910711055)

Ailsa D. D. Hibatulloh (1910711058)

Aprilla R. Utaminingtyas (1910711064)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmatnya penulis
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Endokrin” yang dibuat guna menyelesaikan
tugas kelompok mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan.

Tak lupa penulis berterima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
terbuatnya makalah ini, terutama Ns. Ritanti, S.Kep, M.Kep, Sp. Kom selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Ilmu Dasar Keperawatan.

Penulis sadar betul bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna namun
penulis tetap berharap agar makalah ini dapat membawa manfaat bagi pembacanya dan
bisa dijadikan referensi di masa yang akan mendatang.

Depok, 27 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….


i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..


ii

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………………..


1

1.1 Latar Belakang …………………………………..………………………………………..


1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………...


1

1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….……


1

BAB 2 PEMBAHASAN ………………………………………………………………………….


2

2.1 Sistem Imun Non Spesifik ………………………...………………………………...……


2

2.2 Sistem Imun Spesifik …………………………………………….……………….....……


7

2.3 Antigen dan Antibodi …………………………………………..………………….…… 15

2.4 Reaksi Hipersensitivitas …………………………………………………...…………… 17

BAB 3 PENUTUP ………………………………………………………………………………


26

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………...………


26

ii
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..…………….
27

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap
benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungi
dan parasit. Sistem ini merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang
berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Pertahanan imun terdiri atas sistem
imun alamiah atau non spesifik dan didapat atau spesifik. Sistem imun alamiah
merespon lebih cepat dan bertindak sebagai pertahanan awal, seperti mekanisme
batuk dan bersin, asam lambung, sistem komplemen, dan pertahanan selular berupa
proses fagositosis.
Kemampuan pertahanan yang lebih spesifik dimiliki oleh sistem imun
adaptif berupa sistem imun humoral oleh limfosit B dan sistem imun seluler oleh
limfosit T. Sistem imun spesifik memberikan perlindungan lebih baik terhadap
antigen yang sudah pernah terpajan sebelumnya. Limfosit merupakan sel imun
spesifik yang dapat mengenali dan membedakan berbagai macam antigen serta
berperan dalam dua respon adaptif imun, yaitu spesifitas dan memori. Oleh karena
itu, penulis ingin memperdalam pembahasan mengenai sisitem imun melalui
makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana sistem imun non spesifik?
 Bagaimana sistem imun spesifik?
 Apa yang dimaksud antigen dan antibodi?
 Bagaimana reaksi hipersensitivitas?
1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui sistem imun non spesifik.
 Untuk mengetahui sistem imun spesifik.
 Untuk mengetahui tentang antigen dan antibodi.
1
 Untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Imun Non Spesifik


Sistem imun non spesifik atau bawan tidak membedakan antara satu
ancaman dan lainnya. Responsnya akan sama terlepas dari jenis penyerang.
Pertahanan bawaan ini hadir saat lahir. Mereka termasuk hambatan fisik, sel
fagosit, pengawasan kekebalan, interferon, komplemen, peradangan, dan demam.
Mereka memberi tubuh kemampuan defensif yang dikenal sebagai resistensi
nonspesifik. Sistem imun non spesifik akan menolak masuknya atau membatasi
penyebaran di dalam tubuh dari mikroorganisme atau bahaya lingkungan lainnya.
Ada sekitar tujuh kategori dari sistem imun non spesifik ini.
A. Pembatas Fisik
Pembatas fisik menjaga agar organisme dan bahan berbahaya dari luar
tidak masuk. Untuk menyebabkan suatu gangguan zat antigenik atau patogen
harus masuk ke dalam jaringan tubuh. Dengan kata lain, patogen harus
melewati epitel baik di kulit atau di membran mukosa. Penutup epitel kulit
memiliki lapisan keratin, beberapa lapisan sel, dan jaringan desmosom yang
mengunci sel yang berdekatan bersama-sama. Pembatas fisik ini memberikan
perlindungan yang sangat efektif untuk jaringan yang tidak terikat.
Selain itu, struktur dan sekresi aksesori khusus melindungi sebagian
besar epitel. Rambut pada sebagian besar area tubuh dan memberikan
perlindungan terhadap abrasi mekanis terutama pada kulit kepala. Mereka
sering mencegah bahan-bahan berbahaya atau serangga untuk menyentuh
permukaan kulit. Permukaan epidermis juga menerima sekresi kelenjar
sebaceous dan kelenjar keringat. Sekresi ini mengaliri permukaan,
membersihkan mikroorganisme dan bahan kimia. Sekresi ini juga mengandung
bahan kimia yang dapat membunuh mikroba, enzim perusak (lisozim), dan
antibodi.
Epitel yang melapisi saluran digestorio, saluran respirasi, saluran
urinaria, dan saluran reproduksi lebih halus, tetapi mereka sama-sama
3
mempertahnkan dengan baik. Mukus membersihkan sebagian besar permukaan
saluran pencernaan. Perut mengandung asam kuat yang dapat menghancurkan
banyak patogen potensial juga mukus melintasi lapisan saluran respirasi. Urine
mengaliri saluran kemih dan sekresi glandular membersihkan struktur di
saluran reproduksi. Enzim khusus, antibodi, dan pH asam menambah
keefektifan sekresi ini.
B. Pengawasan Imun
Pertahanan kekebalan tubuh kita menyerang dan menghancurkan sel-sel
abnormal tetapi umumnya mengabaikan sel-sel normal di jaringan tubuh.
Pemantauan konstan jaringan normal disebut pengawasan imun. Ini terutama
melibatkan limfosit yang dikenal sebagai sel NK (Natural Killer). Membran
plasma sel abnormal biasanya mengandung antigen yang tidak ditemukan pada
membran sel normal. Sel NK mengenali sel abnormal dengan mendeteksi
antigen tersebut. Sel-sel NK kurang selektif mengenai target mereka daripada
limfosit lainnya. Sel-sel tersebut merespons berbagai antigen abnormal yang
mungkin muncul pada membran plasma. Dan ketika bertemu antigen seperti
pada bakteri, sel kanker, atau sel yang terinfeksi virus, sel NK akan
mengeluarkan protein yang disebut perforin. Perforin membunuh sel abnormal
dengan membuat pori-pori besar di membran plasma.
Sel-sel NK merespons jauh lebih cepat daripada sel-sel T atau sel B
pada saat kontak dengan sel abnormal. Membunuh sel-sel abnormal dapat
memperlambat penyebaran infeksi bakteri atau virus. Ini juga dapat
menghilangkan sel-sel kanker sebelum menyebar ke jaringan lain. Sayangnya,
beberapa sel kanker menghindari deteksi, suatu proses yang disebut pelepasan
imunologis. Setelah lolos imunologis, sel kanker dapat berkembang biak dan
menyebar tanpa gangguan oleh sel NK.
C. Fagosit
Fagosit adalah sel yang dapat mengelilingi dan meliputi benda padat.
Mereka berfungsi sebagai petugas kebersihan dan polisi di jaringan perifer.
Fagosit menghilangkan debris seluler dan menanggapi invasi yang dilakukan
oleh senyawa asing atau patogen. Fagosit mewakili "lini terdepan pertahanan
4
seluler," karena sering menyerang dan menghilangkan mikroorganisme
sebelum limfosit mendeteksi keberadaan mikroorganisme. Dua kelas umum sel
fagosit ditemukan dalam tubuh adalah Microphages dan Macrophages.
1. Microphages, adalah neutrofil dan eosinofil yang biasanya bersirkulasi
dalam darah. Sel-sel fagosit ini meninggalkan aliran darah dan memasuki
jaringan perifer yang mengalami cedera atau infeksi. Neutrofil melimpah,
mudah bergerak, dan cepat untuk memfagositosis debris seluler atau bakteri
penyerang. Eosinofil kurang berlimpah, mereka menargetkan senyawa atau
patogen asing yang telah dilapisi dengan antibodi.
2. Tubuh juga mengandung beberapa jenis Macrophages, sel fagositik aktif
yang besar berasal dari monosit yang bersirkulasi. Kumpulan fagosit yang
relatif difus ini disebut sistem monosit-Macrophages, atau sistem
retikuloendotelial. Di beberapa organ, Macrophages tetap memiliki nama
khusus. Sebagai contoh, mikroglia adalah Macrophages dalam sistem saraf
pusat. Sel-sel Kupffer adalah Macrophages yang ditemukan di dalam dan di
sekitar saluran darah di hati.
Semua sel fagosit berfungsi dengan cara yang sama, tetapi targetnya
mungkin berbeda dari satu jenis sel ke yang lain. Makrofag dan mikrofag
seluler juga memiliki sejumlah karakteristik fungsional lain selain fagositosis.
Semua dapat bergerak melalui dinding kapiler dengan menekan antara sel-sel
endotel yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai diapedesis. Mereka
juga mungkin tertarik atau ditolak oleh bahan kimia dalam cairan di sekitarnya,
suatu proses yang disebut chemotaxis. Mereka sangat sensitif terhadap bahan
kimia yang dilepaskan oleh sel-sel tubuh lain atau oleh patogen.
D. Interferon
Interferon adalah protein kecil yang dilepaskan oleh limfosit yang
teraktivasi, makrofag, dan sel-sel jaringan yang terinfeksi virus. Sel-sel normal
yang terpapar molekul interferon merespons dengan memproduksi protein
antivirus yang mengganggu replikasi virus di dalam sel. Selain memperlambat
penyebaran infeksi virus, interferon merangsang aktivitas makrofag dan sel NK.
Interferon adalah contoh dari sitokin, pembawa pesan kimiawi yang dilepaskan
5
oleh sel-sel jaringan untuk mengoordinasikan aktivitas lokal. Kebanyakan
sitokin hanya bertindak dalam satu jaringan. Namun, mereka yang dibebaskan
oleh pertahanan seluler juga bertindak sebagai hormon dan mempengaruhi
aktivitas sel dan jaringan di seluruh tubuh.
E. Sistem Komplemen
Plasma mengandung lebih dari 30 protein komplemen khusus yang
membentuk sistem komplemen. Istilah komplemen mengacu pada fakta bahwa
sistem ini menambah atau melengkapi aksi dari antibodi. Protein pelengkap
berinteraksi satu sama lain dalam reaksi berantai yang mirip dengan sistem
pembekuan darah. Reaksi dimulai ketika protein komplemen tertentu berikatan
dengan sepasang molekul antibodi yang sudah melekat pada dinding sel bakteri
atau langsung ke dinding sel bakteri. Protein komplemen terikat kemudian
berinteraksi dengan serangkaian protein komplemen lainnya. Aktivasi
komplemen dikenal untuk:
1. Menarik fagosit
2. Merangsang fagositosis
3. Menghancurkan membran plasma
4. Mempromosikan peradangan.
F. Inflamasi
Peradangan atau respons inflamasi adalah respons jaringan lokal terhadap
cedera. Peradangan menghasilkan pembengkakan lokal, kemerahan, panas, dan
nyeri. Stimulus apa pun yang membunuh sel atau merusak jaringan ikat longgar
dapat menghasilkan peradangan. Peradangan memiliki beberapa efek:
 Luka sementara diperbaiki, dan patogen tambahan dicegah memasuki
luka
 Penyebaran patogen yang jauh dari cedera diperlambat.
 Berbagai macam pertahanan dikerahkan untuk mengatasi patogen dan
membantu perbaikan permanen. Proses perbaikan disebut regenerasi.
Sel mast memainkan peran kunci dalam peradangan. (Sel mast adalah
sel jaringan ikat seluler yang kecil dan sering ditemukan di dekat pembuluh

6
darah). Peristiwa yang sebanding terjadi di hampir semua jaringan yang
mengalami kerusakan fisik atau infeksi.
Ketika distimulasi oleh tekanan mekanis atau perubahan kimia di
lingkungan lokal, sel mast melepaskan bahan kimia, termasuk histamin dan
heparin, ke dalam cairan interstitial. Zat kimia ini memulai proses peradangan.
Histamin membuat kapiler lebih permeabel dan mempercepat aliran darah
melalui area tersebut. Kombinasi kondisi jaringan abnormal dan bahan kimia
yang dilepaskan oleh sel mast merangsang neuron sensorik lokal, menghasilkan
sensasi nyeri.
Meningkatnya aliran darah memerahkan area dan meningkatkan suhu
lokal. Perubahan ini meningkatkan laju reaksi enzimatik dan mempercepat
aktivitas fagosit. Peningkatan suhu juga dapat mengubah sifat protein asing atau
enzim dari mikroorganisme yang menyerang.
Permeabilitas pembuluh yang meningkat memungkinkan faktor
pembekuan dan protein pelengkap untuk meninggalkan aliran darah dan
memasuki area yang terluka. Pembekuan tidak terjadi di lokasi cedera yang
sebenarnya, karena adanya heparin. Namun, gumpalan segera terbentuk di
sekitar area yang rusak dan gumpalan keduanya mengisolasi daerah dan
memperlambat penyebaran bahan kimia atau patogen ke dalam jaringan sehat.
Selain itu, pelepasan histamin merangsang serangkaian peristiwa lain yang
mengaktifkan pertahanan spesifik dan selanjutnya membuka jalan untuk
perbaikan jaringan yang terluka. Setelah cedera, kondisi jaringan umumnya
menjadi lebih abnormal sebelum mereka mulai membaik. Kerusakan jaringan
yang terjadi setelah sel-sel terluka atau hancur disebut nekrosis Proses ini
dimulai beberapa jam setelah cedera asli dan disebabkan oleh enzim lisosom.
Lisosom terurai oleh autolisis, melepaskan enzim pencernaan yang pertama-
tama menghancurkan sel-sel yang terluka dan kemudian menyerang jaringan di
sekitarnya.
Ketika peradangan lokal berlanjut, puing-puing dan sel-sel mati dan
sekarat berkumpul di lokasi cedera. Mereka membentuk campuran cairan kental

7
yang dikenal sebagai nanah atau pus. Penumpukan nanah dalam ruang jaringan
tertutup disebut abses.
G. Demam
Demam atau febbricitante adalah suhu tubuh lebih besar dari 37,2 ° C (99 °
F). Hypothalamus mengandung pusat pengatur suhu dan bertindak sebagai
termostat tubuh. Protein yang bersirkulasi disebut pirogen dapat mengatur
ulang termostat ini dan menaikkan suhu tubuh. Patogen, racun bakteri, dan
kompleks antigen-antibodi dapat bertindak sebagai pirogen atau merangsang
pelepasan pirogen oleh makrofag.
Jika masih dalam ambang batas tertentu, demam mungkin dapat bermanfaat.
Suhu tubuh yang tinggi dapat menghambat beberapa bakteri dan virus. Efek
menguntungkan yang paling mungkin adalah peningkatan laju metabolisme. Sel
dapat bergerak lebih cepat (meningkatkan fagositosis), dan reaksi enzimatik
berlangsung lebih cepat. Namun, demam tinggi (lebih dari 40 ° C, atau 104 ° F)
dapat merusak banyak sistem fisiologis. Demam tinggi seperti itu dapat
menyebabkan masalah pada sistem saraf pusat yang termasuk mual,
disorientasi, halusinasi, hingga kejang-kejang.
2.2 Sistem Imun Spesifik
Sistem imun adaptif atau didapat, mengandalkan respons imun spesifik
yang secara selektif menyerang benda asing tertentu yang pernah terpajan ke tubuh
dan memiliki kesempatan untuk mempersiapkan serangan yang secara khusus
ditujukan kepada musuh tersebut. Karena itu sistem imun adaptif memerlukan
waktu cukup lama untuk menyerang dan mengalahkan musuh spesifik.
Sisten imun adaptif menggunakan pertahannya untuk pathogen tertentu.
Respons sistem imun adaptif diperantarai oleh limfosit B dan T. Setiap sel B dan T
dapat mengenal dan mempertahankan diri terhadap hanya satu tipe benda asing
tertentu. Diantara jutaan B dan T di tubuh, hanya yang secara khusus dilengkapi
untuk mengenal fitur molecular unik suatu agen infeksi tertentu yang diminta
beraksi untuk mempertahankan tubuh terhadap agen ini. Limfosit yang terpilih
tersebut kemudian memperbanyak diri, meningkatkan juamlah spesialis yang dapat
melakukan serangan terarah kepada agen penginvasi tersebut.
8
Terdapat dua kelas respons imun adaptif: imunitas diperantarai-antibodi,
atau imunitas humoral, yang melibatkan pembentukan antibody oleh turunan
limfosit B yang dikenal sebagai sel plasma dan imunitas diperantarai-sel, yang
melibatkan pembentukan limfosit T aktif, yang secara langsung menyerang sel yang
tidak diinginkan.
A. Limfosit B: Imunitas Diperantarai Antibodi
Sel B memiliki reseptor bernama Reseptor Sel B (RSB) yang permukaannya
mengikat satu jenis tertentu dari sejumlah kemungkinan antigen. Ketika RSB
berikatan dengan antigen, sebagian besar sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma
aktif sementara yang lain menjadi sel memori yang dorman.
1. Sel Plasma
Sel plasma menghasilkan antibody yang dapat berikatan dengan jenis
tertentu antigen yang merangsang aktivasi sel plasma tersebut. Selama
berdiferensiasi menjadi sel plasma, sel B membengkak karena reticulum
endoplasma kasar sangat berekspansi. Karena antibody adalah protein, sel plasma
pada hakikatnya adalah pabrik protein yang produktif, menghasilkan hingga 2000
molekul antibody per detik. Sel plasma akan mati setelah menjalani masa
produktif yang singkat (5-7 hari).
Antibodi dikelompokkan menjadi lima subkelas berdasarkan perbedaan
dalam aktivitas biologisnya:
 IgM, berfungsi sebagai RSB untuk perlekatan antigen dan diproduksi pada
tahap-tahap awal respons sel plasma.
 IgG, immunoglobulin terbanyak dalam darah, diproduksi dan disekresikan
dalam jumlah besar ketika tubuh kemudian terpajan antigen yang sama
 IgE, membantu melindungi tubuh daric acing parasitic dan merupakan
mediator antibody untuk respons alergik umum
 IgA ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernapasan, dan urogenital
serta dalam air susu dan air mata
 IgD terdapat diperumakaan banyak sel B, tetapi fungsinya belum diketahu.
Antibodi dari kelima subkelas terdiri dari empat rantai polipeptida yang
saling berkaitan—dua rantai berat yang panjang dan dua rantai pendek yang
9
ringan—yang tersusun membentuk huruf Y. Karakteristik bagian lengan dari Y
menentukan spesifisitas antibodi (yaitu, dengan antigen apa antibodi dapat
berikatan). Sifat bagian ekor antibodi menentukan sifat fungsional antibodi (apa
yang dilakukan antibodi setelah berikatan dengan antigen).
Sebuah antibodi memiliki dua tempat pengikatan antigen identik, satu di
masing-masing ujung lengan. Fragmen pengikat antigen ini bersifat unik untuk
masing-masing antibodi sehingga setiap antibodi hanya dapat berinteraksi dengan
satu antigen yang secara spesifik cocok dengannya, seperti kunci dan anak
kuncinya.
Antibodi tidak dapat secara langsung menghancurkan organisme asing
atau bahan lain yang tidak dibutuhkan setelah berikatan dengan antigen di
permukaannya. Antibodi melaksanakan fungsi protektifnya dengan secara fisik
mcnghambat antigen atau, yang lebih sering, dengan memperkuat respons imun
bawaan.
Melalui netralisasi dan aglutinasi, antibodi dapat secara fisik menghalangi
antigen dalam melaksanakan efek merugikannya.
 Pada netralisasi, antibodi berikatan dengan toksin bakteri, mencegah bahan
kimia berbahaya ini berinteraksi dengan sel yang rentan. Demikian juga,
antibodi dapat menetralkan beberapa jenis virus dengan berikatan dengan
antigen permukaannya dan mencegah virus ini masuk ke dalam sel, tempat
virus dapat menimbulkan efek merusak.
 Pada aglutinasi, berbagai molekul antibodi mengikat-silangkan banyak
molekul antigen menjadi suatu rantai atau kisi-kisi kompleks antigen-antibodi,
MeJalui proses ini, sel-sel asing, seperti bakteri atau sel darah merah berbeda
golongan yang ditransfusikan, menyatu membentuk gumpalan. Jika antigen
yang dapat larut seperti toksin tetanus terlibat sebagai pengganti sel asing
yang dapat berkelompok, kompleks antigen-antibodi menjadi sangat besar
sehingga membentuk presipitat (terpisah dari larutan)
Fungsi terpenting antibodi sejauh ini adalah meningkatkan respons imun
bawaan yang sudah terinisiasi oleh penginvasi. Antibodi menandai benda asing

10
sebagai sasaran untuk perusakan oleh sistern komplemen, fagosit, atau sel NK
melalui cara-cara berikut.
a) Mengaktifkan sistem komplemen. Ketika suatu antigen yang sesuai bcrikatan
dengan antibodi, reseptor di bagian ekor antibodi berikatan dengan dan
mengaktifkan Cl, komponen pertama sistem komplemen. Hal ini memicu
kaskade reaksi yang menyebabkan pembentukan kompleks penyerang
membran, yang secara khusus ditujukan ke membran sel penginvasi yang
mengandung antigen yang memicu proses aktivasi
b) Meningkatkan fagositosis. Antibodi, khususnya IgG, bekerja sebagai opsonin.
Bagian ekor antibodi IgG yang berikatan dengan antigen berikatan dcngan
reseptor di permukaan fagosit dan kemudian mendorong fagositosis korban
pengandung-antigen yang terikat ke antibodi tersebut
c) Merangsang sel NK, Pengikatan antibodi ke antigen juga memicu serangan sel
NK ke sel target yang mengandung antigen tersebut, Sel NK memiliki
reseptor untuk bagian ekor konstan antibodi. Dalam hal ini, ketika sel sasaran
dilapisi oleh antibodi, bagian ekor antibodi menghubungkan sel target dengan
sel NK. yang menghancurkan sel sasaran dengan melisiskan membran
plasmanva. Proses ini dikenal dengan sitotoksisitas selular dependen-antibodi
(antibody-dependent cellular cytotoxicity, ADCC)
2. Sel Memori
Tidak semua lirnfosit B yang baru dibentuk oleh klon yang teraktifkan
secara spesifik berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Sebagian
kecil berubah menjadi sel memori, yang tidak ikut serta dalam serangan imun
yang sedang berlangsung terhadap antigen tetapi tetap dorman dan
memperbanyak klon spesifik tersebut. Jika individu yang bersangkutan kembali
terpajan ke antigen yang sama, sel-sel pengingat ini akan diaktifkan dan siap
untuk beraksi bahkan lebih cepat daripada yang dilakukan oleh limfosit semula
dalam klon.
Meskipun masing-masing dari kita memiliki kumpulan ragam klon sel B
yang pada hakikatnya sama, kumpulan tersebut secara bertahap berubah untuk
berespons paling efisien terhadap lingkungan antigenik tiap-tiap orang. Klon-klon
11
yang spesifik terhadap antigen yang tidak pernah dijumpai oleh seseorang akan
tetap dorman seumur hidup, sementara klon yang spesifik terhadap antigen-
antigen yang ada di lingkungan orang tersebut biasanya akan berkembang dan
tneningkat dengan membentuk sel memori yang sangat peka. Berbagai klon naif
tersebut memberi perlindungan terhadap patogen baru yang belum dikenal,
sementara populasi sel memori yang terus berkembang memberi perlindungan
terhadap kekambuhan infeksi yang pernah dialami sebelumnya
Selama kontak awal dengan suatu antigen mikroba, respons antibodi baru
terjadi beberapa hari kemudian setelah sel plasma terbentuk dan belum mencapai
puncaknya dalam beberapa minggu. Respons ini dikenal sebagai respons primer
yang diperantarai oleh antibodi IgM. Sementara itu, gejala-gejala khas invasi
mikroba menetap hingga mikroba tersebut kalah oleh serangan imun spesifik yang
ditujukan kepadanya atau orang yang terinfeksi meninggal. Setelah mencapai
puncak, kadar antibodi secara perlahan berkurang seiring waktu. Jika antigen
yang sama kembali muncul, sel memori yang berkehidupan panjang
melaksanakan respons sekunder yang lebih cepat, lebih poten, dan bertahan
lebih lama daripada yang terjadi selama respons primer. Serangan imun yang
lebih cepat dan kuat ini sering memadai untuk mencegah atau memperkecil
infeksi pada pajanan berikutnya terhadap mikroba yang sama, membentuk dasar
imunitas jangka-panjang terhadap penyakit spesifik.
Pajanan antigen pertama yang memicu pembentukan sel memori dapat
terjadi melalui tetjadinya penyakit atau vaksinasi. Vaksinasi (imunisasi) secara
sengaja memajankan orang ke patogen yang telah dihilangkan kemampuannya
menimbulkan penyakit (yaitu, patogen telah dilemahkan), tetapi masih mampu
memicu pembentukan antibodi terhadap dirinva
B. Limfosit T: Imunitas Diperantarai Sel
Meskipun penting dalam pertahanan spesifik terhadap bakteri dan benda asing
Iainnya, limfosit B dan produk antibodinya hanya mewakili separuh dari pertahanan
imun spesifik tubuh. Limfosit T sama pentingnya dalam pertahanan terhadap
sebagian besar infeksi virus dan juga berperan penting dalam mengatur mekanisme
imun.
12
Sementara sel B dan antibodi melindungi tubuh dari benda asing di CES, sel T
menghadapi benda asing yang bersembunyi di dalam sel yang tidak dapat dicapai
oleh antibodi atau sistem komplemen. Tidak seperti sel B, yang mengeluarkan
antibodi yang dapat menyerang antigenjarakjauh, sel T tidak rnengeluarkan antibodi.
Sel T harus berkontak langsung dengan sasaran, suatu proses yang dikenal sebagai
imunitas selular. Sel T tipe pemusnah mcngeluarkan bahan-bahan kimia yang
menghancurkan sel sasaran yang berkontak dengannya, misalnya sel yang terinfeksi
oleh virus dan sel kanker.
Seperti sel B, sel T bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran
plasmanya, setiap sel T memiliki protein reseptor unik yang disebut reseptor sel T
(RST), Limfosit imatur memperoleh reseptornya di timus sewaktu berdiferensiasi
menjadi sel T. Tidak seperti sel B, sel T diaktifkan oleh antigen asing hanya jika
antigen tersebut berada di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas
individu yang bersangkutan; yaitu, antigen asing dan antigen-diri yang dikenal
sebagai molekul kompleks mayor histokompabilitas mayor (major
histocompability complex, MHC), harus bersama-sama berada di permukaan sel
sebelum sel T dapat berikatan dengannya. Selama pendidikan di timus, sel T belajar
mengenal antigen asing hanya dalam kombinasi dengan antigen jaringan sendiri—
suatu pelajaran yang diturunkan kepada semua bakal progeni sel T.
Setelah pemajanan ke antigen yang sesuai biasanya terdapat jeda waktu
beberapa hari sebelum sel T yang teraktivasi dipersiapkan melancarkan serangan
imun selular. Ketika terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari klon sel T
komplementer berprolifcrasi dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan
sel T efektor aktif dalam jumlah besar yang melaksanakan berbagai respons
diperantarai sel,
T efektor yang dihasilkan selama respons primer mati dengan cara apoptosis
(bunuh diri sel). Eleminasi dari banyak sel T efektor mengikuti respons primer
esensial untuk mencegah kongesti pada jaringan limfe. Sel T efektor yang maih hidup
menjadi sel T memori jangka panjang yang bermigrasi ke semua area tubuh, untuk
menunggu respons sekunder terhadap pathogen yang sama di masa mendatang.
Berdasarkan perannya ketika diaktifkan, sel T memiliki tiga jenis:
13
a. Sel T sitotoksik atau killer
Sel T sitotoksik adalah "tukang pukul" mikroskopik. Sasaran sel-sel
destruktif ini umumnya adalah sel pejamu yang terinfeksi oleh virus.
 Ketika virus menyerang sel tubuh, suatu kcharusan agar bertahan hidup,
sel menguraikan selubung protein yang mengelilingi virus dan
menumpukkan sebagian dari antigen virus ini ke antigen-diri MHC yang
baru dibentuk.
 Kompleks antigen-diri dan antigen virus ini disisipkan ke membran
permukaan sel pejamu, ternpat kompleks tersebut berfungsi sebagai
"bendera merah" yang menunjukkan bahwa sel mengandung virus. Untuk
menyerang virus intrasel, sel T sitotoksik harus menghancurkarı sel
pejamu yang terinfeksi dalam prosesnya.
 Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik untuk virııs ini kemudian
mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan antigen-diri di
permukaan sel pejarnu yarıg terinfeksi tersebut. Karena tcraktivasi oleh
antigen virus, sel T sitotoksik dapat mematikarı sel yang terinfeksi secara
langsung atau tak-langsung, bergantung pada jenis bahan kimia İetal yang
dibebaskan oleh sel T yang teraktivasi tersebut.
 Sel T sitotoksik yang telah diaktifkan dapat secara langsııng mcmatikan
sel dengan mengcluarkan bahan-bahan kimia yang melisiskan sel tersebut
sebclum replikasi virus dimulai,
Secara spesifik, sel T sitotoksik serta sel NK mematikan sel sasaran
dengan mcngeluarkan molekul-ınolekul perforin, yang menembııs membran
pcrmukaan sel sasaran dan menyatu membenttik galuran mirip-pori. Teknik
pemtısnahan sel dengan melubangi di membran ini serupa dengan metode yang
digunakan oleh kompleks pcnycrang membran pada kaskade komplemcn.
Mekanisme pemusnahan dependen kontak ini dijuluki "ciuman mcınatikan”.
Sel T sitotoksik juga dapat secara tak-langsung mematikan sel pejamu
yang terinfeksi dengan mengeluarkan granzim, yaitu enzim-enzim yang serupa
dengan enzim pencernaan. Granzim masuk ke sel sasaran melalui saluran

14
perforin. Setelah berada di dalam, bahan-bahan kimia ini memicu apoptosis
(penghancuran diri sendiri) sel yang terinfeksi oleh virus tersebut.
b. Sel T helper
Berbeda dengan sel T sitotoksik, sel T helper bukan merupakan sel
pemusnah. Sel T helper menyekresikan sitokin-sitokin yang "membantu", atau
memperkuat, hampir semua aspek respons imun. Sebagian besar sitokin
dihasilkan oleh sel T helper.
1) Sel T helper menyekresikan beberapa interleukin (IL-4, IL-5, dan IL-6) yang
berfungsi secara bersama sebagai faktor pertumbuhan sel B, yang berperan
bersama dengan IL-I yang disekresi oleh makrofag terhadap fungsi sel B.
Sekresi antibodi sangat berkurang atau tidaľ ada tanpa bantuan sel T hełper,
khususnya antigen dependen-T.
2) Sel T helper juga menyekresikan factor pertumbuhan sel T (IL-2) yang
memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan bahkan sel T helper lain yang
responsif terhadap antigen. Dalam mekanisme yang Iazim, IL-1 yang
dikeluarkan oleh makrofag tidak saja meningkatkan aktivitas klon sel B dan
sel T yang sesuai tetapi juga merangsang sekresi IL-2 oleh sel T helper yang
teraktivasi.
3) Beberapa sitokin sel T helper bekerja sebagai kemotaksin untuk menarik lebih
banyak neutrofil dan calon makrofag ke tempat invasi.
4) Setelah makrofag tertarik ke tempat invasi, macrophage-migration
inhibitionfactor, suatu sitokin penting lain yang dikeluarkan oleh sel T helper,
menahan fagosit besar ini di tempatnya dengan menghambat migrasi keluar
sel ini. Akibatnya, di daerah terinfeksi berkumpul banyak makrofag yang
tertarik secara kemotaksis tersebut. Faktor ini juga meningkatkan kemampuan
fagositik makrofag yang berkumpul tersebut. Makrofag yang disebut sebagai
makrofag marah (ango macrophage) ini memiliki kemampuan destruktif yang
lebih besar. Sel ini sangat penting dalam pertahanan terhadap bakteri yang
menyebabkan tuberkulosis karena mikroba ini dapat bertahan hidup terhadap
fagositosis sederhana dari makrofag yang belum diaktifkan

15
5) Satu sitokin yang dikeluarkan oleh sel T helper (IL-5) mengaktifkan eosinofil,
dan lainnya (IL-4) mendorong pembentukan antibodi IgE untuk pertahanan
terhadap cacing parasitik.
c. Sel T regulatorik
Mewakili sel T CD4+, sel T regulatorik menekan respons imun sehingga
menjaga keseluruhan sistem imun di bawah pengendalian yang ketat, Sel-sel
tersebut dikhususkan untuk menghambat respons imun bawaan dan adaptif dalam
pengecekan yang seimbang untuk meminimalkan patologi imun yang berbahaya.
T reg mengandung sejumlah besar protein intra-selular Foxp3, yang esensial untuk
mengubah perkembangan sel T menjadi T reg dan memungkinkan sel supresor ini
untuk menenangkan sel imun Iainnya. Peneliti berharap bahwa kemampuan T reg
untuk "mengerem" sel T helper, sel B, sel NK, dan sel dendritik (serupa-
makrofag) dapat digunakan secara terapeutik untuk menyembuhkan penyakit
autoimun dan mencegah reaksi penolakan transplantasi organ.

2.3 Antigen dan Antibodi


Antigen (Ag) adalah semua substansi atau molekul asing yang masuk ke
dalam tubuh yang menstimulasi respons imun (aktivitas limfosit T atau B).
Sebagian besar antigen merupakan molekul protein besar yang terdapat pada
permukaan organisme asing, sel darah merah, atau sel jaringan, pada serbuk, dan
pada toksin serta makanan. Sebagian karbohidrat dan lipid juga berfungsi sebagai
antigen (Cohen & Wood, 2005).
Antibodi (Ab) merupakan substansi protein yang diproduksi tubuh sebagai
respons terhadap antigen. Limfosit B bertugas memproduksi antibodi. Semua
antibodi terdapat dalam bagian plasma darah yang disebut fraksi gamma globulin.
Oleh sebab itu, antibodi sering disebut gama globulin atau immunoglobulin (Ig)
(Cohen & Wood, 2005). Lima kelompok immunoglobulin yaitu:
A. Ig M
Berfungsi untuk menstimulasi aktivitas komplemen. Ig M ini merupakan
antibody yang diproduksi pada awal pajanan terhadap antigen (misalnya setelah

16
imunisasi pertama tetanus). Ig M berlimpah di dalam darah, namun biasanya
tidak berada dalam organ dan jaringan dan tidak ditranspor melintasi plasenta.
B. Ig G
Berfungsi untuk melindungi janin sebelum lahir terhadap antitoksin, virus,
dan bakteri. Ig G adalah satu-satunya antibody yang ditranspor dari ibu ke janin
melintasi plasenta. Ig G juga merupakan antibody paling umum dan diproduksi
pada pajanan kedua dan pajanan selanjutnya terhadap antigen (misalnya setelah
booster tetanus). Ig G terdapat dalam darah (intravascular) dan di jaringan
(ekstravaskular). Ig G sering disebut sebagai gama globulin yang merupakan
komponen utama immunoglobulin.
C. Ig A
Berfungsi untuk melindungi mukosa. Ig A merupakan komponen utam
sekresi, seperti saliva, air mata, cairan bronkial, dan ditransportasi melewati
membrane mukosa. Ig A berperan penting dalam pertahanan melawan serangan
mikroba melalui hidung, mata, paru, dan usus. Ig A terdapat dalam darah, di
dalam sekresi gastrointestinal dan sekresi mukosa serta terdapat dalam ASI.
D. Ig E
Berfungsi untuk reaksi alergi tipe langsung, termasuk alergi terhadap lateks.
Ig E bermanfaat untuk negara berkembang dalam melawan infeksi parasite,
seperti river blindness.
E. Ig D
Berfungsi sebagai reseptor antigen. Ig D berada di dalam darah dalam
jumlah yang sangat sedikit.
Setiap antigen (penyerang molekul asing) menstimulasi produksi antibodi
spesifiknya sendiri. Tubuh dapat membuat 1 juta antibodi tersendiri. Antibodi tidak
menghancurkan antigen sendirian, namun memberi label antigen untuk
dihancurkan oleh substansi lain.
2.4 Reaksi Hipersensitivitas
A. Definisi
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non spesifik.
Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
17
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan
IgE. Sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T bila mana bertemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi bilamana jaringan tubuh menjadi
rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada
individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau
alergen tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell &
Coombs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu: Pertama, Tipe
I (reaksi anafilatik). Reaksi anafilatik merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat
klasik. Anafilaksis dipengaruhi oleh regain misalnya anafilaksis, atropi dan lain-lain.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I turut berperan serta IgG, IgE, dan Histamin.
Kedua, Tipe II (reaksi sitotoksik). Reaksi ini pada umumnya terjadi akibat adanya
aktifasi dari sistem komplemen setelah mendapat rangsangan dari adanya komleks
antigen antibody. IgG, IgM, dan komplemen berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe II. Ketiga, Tipe III (reaksi kompleks imun). Pada reaksi hipersensitivitas tipe
III terjadi kerusakan yang disebabkan oleh kompleks antigen antibody. Pada reaksi ini
berperan IgG, IgM, dan komplemen. Keempat, Tipe IV (reaksi tipe lambat).
Hipersensitivitas tipe lambat atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu
aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel.
B. Penyebab
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan
antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang
berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan.
Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen
(dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-
zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.

18
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang
bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang
istilah penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan penyakit
keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma alergika.
Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE
terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan
partikel-partikel debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik)
juga merupakan suatu penyakit atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam
penyakit ini masih belum diketahui atau tidak begitu jelas. Meskipun demikian,
seseorang yang menderita penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi
IgE terhadap alergen yang disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga).

C. Gejala
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata
berair, mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi
gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada
orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau
obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.
19
D. Tipe-tipe Alergi
1. Hipersensitivitas Tipe 1
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan
orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang
tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi
alergi tipe I, yaitu:

Gambar 2 A: Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di


permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar
allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan
Ig E akan menyebabkan keluarnya mediatormediator kimia seperti histamine dan
leukotrine.

20
Gambar 2 B: Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan
allergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma
dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel mast dan
akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan allergen akan menyebabkan
pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme pada otot
polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini
antara lain: rinitis (bersin-bersin, pilek); sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem
dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang
ditemukan pada anafilaktic shock).
Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I
adalah:
 Konjungtivitis
 Asma
 Rinitis
 Anafilaktic shock

2. Hipersensitivitas Tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}


Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada
sel tubuh oleh karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang
berada pada permukaan sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G. Berikut
(gambar 2 dan 3a) mekanisme terjadinya reaksi alergi tipe II.

21
Keterangan: Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat
antibody yang berada di permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen
antibody kompleks. Kompleks ini menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9)
yang berakibat kerusakan.

22
Keterangan: Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di permukaan
K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah merah. Kompleks ini
mengaktifkan komplemen, yang berakibat hancurnya sel darah merah.
Contoh penyakit-penyakit:
 Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
 Myasthenia gravis (MG)
 Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
 Immune thrombocytopenia purpura
 Thyrotoxicosis (Graves' disease)
Terapi yang dapat diberikan pada alegi tipe II: immunosupresant
cortikosteroidsprednisolone).
3. Hipersensitivitas Tipe III (Immune Complex Disorders)
Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari
kompleks antigen antibody berada di jaringan. Gambar berikut ini menunjukkan
mekanisme respons alergi tipe III. Secara ringkas penulis merangkum reaksi
alergi tipe 3 seperti pada gambar 5.

Keterangan: Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan


aktifnya komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan
merelease histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi.

23
Keterangan gambar: Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil
(yang berada dalam darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan
komplemen. Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan.
Penyakit:
 The protozoans that cause malaria
 The worms that cause schistosomiasis and filariasis
 The virus that causes hepatitis B, demam berdarah.
 Systemic lupus erythematosus (SLE)
 "Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)
Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui menyebutkan
bahwa imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan alergi sering disebabkan serum
(imunisasi) terhadap difteri atau tetanus. Gejalanya disebut dengan Syndroma
sickness, yaitu:
 Fever
 Hives/urticaria
 Arthritis
 Protein in the urine.

4. Hipersensitivitas Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)}


Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal
(“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel
T.
24
 Ekstrinsik : nikel, bahan kimia
 Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I diabetes),
Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC.

E. Diagnosa
Setiap reaksi alergi dipicu oleh suatu alergen tertentu, karena itu tujuan utama dari
diagnosis adalah mengenali alergen. Alergen bisa berupa tumbuhan musim tertentu
(misalnya serbuk rumput atau rumput liar) atau bahan tertentu (misalnya bulu
kucing). Jika bersentuhan dengan kulit atau masuk ke dalam mata, terhirup, termakan
atau disuntikkan ke tubuh, dengan segera alergen akan bisa menyebabkan reaksi
alergi. Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya berhubungan
dengan allergen apa penyebabnya serta menentukkan obat yang harus diberikan.
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya
meningkat). Tes RAS (radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi
IgE dalam darah yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa membantu
mendiagnosis reaksi alerki kulit, rinitis alergika musiman atau asma alergika. Tes
kulit sangat bermanfaat untuk menentukan alergen penyebab terjadinya reaksi alergi.
Larutan encer yang terbuat dari saripati pohon, rumput, rumput liar, serbuk tanaman,
debu, bulu binatang, racun serangga, makanan dan beberapa jenis obat secara terpisah
disuntikkan pada kulit dalam jumlah yang sangat kecil. Jika terdapat alergi terhadap
25
satu atau beberapa bahan tersebut, maka pada tempat penyuntikan akan terbentuk
bentol dalam waktu 15-20 menit. Jika tes kulit tidak dapat dilakukan atau
keamanannya diragukan, maka bisa digunakan tes RAS. Kedua tes ini sangat spesifik
dan akurat, tetapi tes kulit biasanya sedikit lebih akurat dan lebih murah serta hasilnya
bisa diperoleh dengan segera.

26
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem imun non spesifik atau bawan tidak membedakan antara satu ancaman dan
lainnya. Responsnya akan sama terlepas dari jenis penyerang. Pertahanan bawaan ini hadir saat
lahir. Mereka termasuk hambatan fisik, sel fagosit, pengawasan kekebalan, interferon,
komplemen, peradangan, dan demam.
Sistem imun adaptif atau didapat, mengandalkan respons imun spesifik yang secara
selektif menyerang benda asing tertentu yang pernah terpajan ke tubuh dan memiliki kesempatan
untuk mempersiapkan serangan yang secara khusus ditujukan kepada musuh tersebut. Karena itu
sistem imun adaptif memerlukan waktu cukup lama untuk menyerang dan mengalahkan musuh
spesifik.
Antigen (Ag) adalah semua substansi atau molekul asing yang masuk ke dalam tubuh
yang menstimulasi respons imun (aktivitas limfosit T atau B). Antibodi (Ab) merupakan
substansi protein yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap antigen. Limfosit B bertugas
memproduksi antibodi.
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada
individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen
tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coombs membagi
reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan

27
DAFTAR PUSTAKA

Martini, F., & Bartholomew, E. F. (2017). Essentials of anatomy & physiology (7th ed.). Harlow,
Essex: Pearson Education, Inc.

Moini, J. (2019). Anatomy and physiology: for health professionals. Burlington, Massachusetts:
Jones & Bartlett Learning.

Rosdahl, C, B, & Kowalski, M, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar (7th ed.). EGC:
Jakarta

Sherwood, Lauralee. (2016). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Terjemahan Indonesia. (9th
ed.). EGC: Jakarta

Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2010). Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi).


Somatognatic (J.K.G Unej), 7(2), 108–119.

Riwayanti. (2015). Reaksi hipersensitivitas atau alergi. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera,
13, 22–27.

28

Anda mungkin juga menyukai