Tepat 28 Oktober kemarin, kita merayakan peringatan 90 tahun Sumpah
Pemuda. Momen bersejarah tersebut merupakan tonggak persatuan pemuda secara nasional. Diversitas secara simbolik disatukan dalam bingkai kebangsaan. Soal utama lain ialah bahasa, sebab kesepakatan terhadap lingua franca dalam komunikasi suatu masyarakat adalah tolak ukur yang asasi. Sejak 1928, masyarakat nusantara mulai mengorbitkan dan menyiarkan seluas-luasnya penggunaan istilah Indonesia menggantikan Hindia Belanda, seperti Perhimpunan Indonesia yang digagas oleh Muhammad Hatta dan kawan seperjuangannya di Belanda. Sejak itu muncul berbagai karya jurnalistik dalam bahasa Indonesia, utamanya sejumlah surat kabar dan majalah (Fikiran Rakyat, Bintang Timur, Tjahaja, Perantaraan, dan lainnya). Inisiatornya ialah gerakan pemuda terpelajar. Namun, tentu saat itu tingkat literasi secara umum, belumlah mapan atau minimal terfasilitasi seperti sekarang, sehingga kegiatan dan produk literasi tidak semasif hari ini. Disisi lain buta huruf juga masih merajalela dan baca tulis masih menjadi kegiatan yang cukup langka. Tidak mengherankan agenda besar pasca kemerdekaan adalah pemberantasan buta huruf dan pengajaran tulis-menulis. Hal ini pula sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hari ini kita dihadapkan dengan situasi yang secara substansial tidak jauh berbeda, yaitu secara umum tingkat literasi rendah. Hal tersebut diindikasikan dengan tingkat literasi rendah ditengah fasilitas yang sebenarnya cukup memadai. Perpustakaan fisik maupun non-fisik telah tersedia secara luas. Namun tetap saja literasi kita memprihatinkan, padahal kemajuan kegiatan literasi adalah bentuk kemajuan peradaban, disamping ketangguhan militer dan stabilitas ekonomi, sebut Arnold J. Toynbee dalam Mankind and Mother Earth : A Narrative History of The World . Sebuah penelitian tingkat literasi oleh Central Connecticut State Univesity bertemakan Most Littered Nation In the World, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara dengan indeks hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca. Produktifitas karya literasi juga tidak jauh berbeda. Indonesia rata-rata hanya mampu menghasilkan 18 ribu judul buku pertahun. Jepang yang lebih sedikit populasinya, termasuk kuantitas generasi mudanya, ada diangka 40 ribu judul per tahun. Singkatnya, hasil penelitian ini menunjukkan mental literasi kita bermasalah. Walaupun zaman pra dan awal kemerdekaan tingkat literasi rendah secara umum, sepatutnya kita harus berkaca dan merenung, lebihnya jika dikomparasikan dengan keadaan hari ini. Pada keadaan fasilitas yang terbatas, perdebatan dan dialog serta adu gagasan para pendiri bangsa berada level high-class. Apabila menyebut Soekarno, Tan Malaka, Hatta, M.Natsir, Agus Salim, dan lainnya, maka kita akan dapati narasi sejarah yang penuh dengan gagasan bernilai dan otentik. Pikiran bermutu hasil dari tingkat literasi yang tinggi. Melihat kondisi ini, maka taubat literasi wajib hukumnya, utamanya generasi muda. Jika tidak, kemungkinan karamnya kapal bernama Indonesia akan terbuka atau setidak-tidaknya akan menjadi objek bajakan bagi kapal lainnya. Jika Soekarno dan angkatan awal sudah merintisnya dengan luarbiasa, maka tugas penerus adalah mengembangkan dan mengokohkannya serta memastikannya agar mampu berlayar ke arah yang benar. Pada kondisi ini, literasi ibarat sebagai alat bantu untuk mengetahui cuaca, arah angin, kelembaban udara, gugusan bintang, dan sebagainya. Apabila literasi kita gagal atau setidaknya rendah, tugas tersebut tidak akan berjalan dengan baik, terlebih pada masa sekarang, yaitu masa revolusi informasi. Pada masa ini, peradaban tuna literasi adalah peradaban yang akan takluk dan akan kalah bersaing. Dalam The Third Wave, Alvin Toffler mengisyaratkan dunia akan menghadapi gelombang ketiga. Karakteristik gelombang ini sangat berbeda dari 2 gelombang sebelumnya. Jika gelombang pertama dan kedua bersifat fisik, touchtable (tersentuh), serta predictable (terprediksi), maka gelombang ketiga bersifat non-fisik, untouchtable (tidak tersentuh), dan random (acak). Singkatnya, revolusi informasi akan sangat berbeda dari revolusi agraria dan industri, sebab penopang utamanya adalah revolusi digital. Revolusi digital meniscayakan arus informasi dengan sangat cepat, bahkan saat informasi masih belum terjadi atau sedang terjadi (status quo) atau live. Perihal demikian dapat mengubah cara pandang, sebab bagaimanapun, sumber informasi tidak mesti didapat secara langsung baik sebagai pelaku, saksi, atau korban pertama, tetapi melewati media sehingga rawan keluar dari konteks dan ter-framing. Hal ini memunculkan peluang kegiatan provokasi, agitasi, distorsi, serta manipulasi dengan probabilitas tinggi. Hasilnya sukar sekali menilai sebuah informasi. Hal ini pula berakibat pada sulitnya mengambil tindakan secara tepat dan cepat, padahal disaat yang sama dalam kondisi menekan untuk segera merespon. Sederhananya, jika dulu kita mencari kebenaran dengan meniti sungai, maka hari ini kita harus menceburkan diri untuk menemukannya. Media (medium) memainkan posisi vital dalam revolusi informasi. Baik media mainstream ataupun sosial, memberikan dampak yang luarbiasa pada status quo. Arah implikasi nantinya bergantung pada pengguna media. Terkhusus media sosial, potensi tantangannya akan lebih tidak terkendali. Secara umum media mainstream lebih professional dalam menyajikan informasi, sebab berada di bawah kode etik jurnalistik, lain halnya dengan sosial media. Sebagai media civil society, ia menjadi tempat berekspresi individu-individu sipil, baik akun tersebut merupakan identitas terkonfirmasi atau tidak. Maka, tidak heran perspektif atau framing lebih beragam sekaligus liar dan tidak terkendali. Jika kita tidak siap dalam mengarungi samudera revolusi informasi ini, maka kita akan menjadi korban ombak dan badainya. Terkhusus generasi muda yang lahir periode 1990 an ke-atas (millenial), gagal menghadapi revolusi informasi berarti rawan terhadap pada mis-konsepsi, mis- interpretasi, sikap reaktif (sumbu pendek), dan ketidakmampuan menghadirkan solusi. Sebagai contoh nyatanya adalah maraknya hoax dan ujaran kebencian di media sosial hari ini. Sebagai perangkat menyuarakan suara di ruang publik, seharusnya yang keluar adalah gagasan bermutu, bernilai, konstruktif, solutif, dan beradab. Namun sebab literasi rendah, kejernihan logika dan legal reasoning tidak berjalan baik. Hasilnya lahirlah masyarakat reaktif dan kagetan yang nir-solusi. Sebagai penutup, sekali lagi kita harus muhasabah dan perlu segara taubat literasi. Sudah terlalu banyak indikasi yang memperlihatkan bahwa kita tidak siap menghadapi arus revolusi informasi ini. Sebelum benar-benar terlambat, kita harus bertaubat, utamanya pemuda, lebih-lebih bagi pemuda pengguna perangkat elektronik (gadget). Pikiran-pikiran pendiri bangsa kita lahir dari membaca, tetapi bukan sekedar membaca WA, Facebook, ataupun Twitter. Kegiatan membaca serius meniscayakan diskusi dan diskusi meniscayakan pertemuan gagasan, sedangkan pertemuan gagasan adalah cikal bakal peradaban. Segera luangkan waktu untuk bercengkrama dengan buku. Jadikanlah nongkrong (diskusi) di perpustakaan sebagai budaya. Buatlah status yang bermanfaat jika ber-sosmed ria. Jika dulu Bung Hatta membawa 16 peti buku saat diasingkan ke Banda Neira, kini apa yang para pemuda bawa? Jangan sampai hanya sebatang gadget yang berisikan aplikasi sosial media dan selusin game yang menghabiskan kuota. Bertaubatlah wahai generasi muda!. Tegakkanlah kembali semangat ikrar sumpah pemuda, sebelum masa penyesalan tiba. *Pegiat Literasi, Pengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyyah Yogyakarta