Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat
dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “KELAINAN
KONGENITAL”.
Dalam menyusun makalah ini, kami tidak dapat lepas dari kesalahan namun berkat dorongan,
didikan, dan bimbingan dari semua pihak, maka kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu kami sebagai penyusun mengucapkan terimakasih kepada Ibu ……….selaku
dosen………….
Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk
menyempurnakan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Banda Aceh, 15 Agustus 2020

Penulis
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Kelainan kongenital yang cukup berat merupakan penyebab utama kematian bayi
dalam bulan pertama kehidupannya. Hal ini merupakan seleksi alam terhadap
kelaangsungan hidup bayi yang baru saja dilahirkan.
Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi selama
kehamilan. Diperkirakan 10 – 20% dari kematian janin dalam kandungan dan kematian
neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khusunya pada BBLR yang diperkirakan
sekitar 20% diantaranya meninggal karena kelainan kongenital dalam bulan bulan
pertama kehidupannya.
Setiap orang tua tentu saja ingin mempunyai anak yang sehat, baik secara fisik
maupun psikis. Namun pada kenyataaannya ada beberapa kondisi yang menyebabkan
bayi lahir dengan keadaan cacat bawaan atau kelainan kongenital, diantaranya :
labioskizis dan palatoskizis, Etresia Esophagus, Atresia Rekti dan Anus, Hirschprung,
Obstruksi Billiaris dan Omphalochele, Diafragmatika, Atresia Duodeni, Menimgokel,
Meningokel Ensefalokel, Hidroshefalus, Fimosis, Hipospadia< dan Kelainan
Metabolisme Dan Endoktrin.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kelainan kongenital ?
2.  Apa Penyebab kelainan kongenital ?
3. Bagaimana klasifikasi dan patofidiologi pada kelainan kongenital ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kelainan kongenital ?

C. Tujuan
1. Memenuhi salah satu tugas matakuliah Asuhan Kebianan Neonatus, bayi, balita, dan
Anak pra sekolah.
2.  Mengetahui dan memahami definisi konsep kelainan kongenital.
3. Mengetahui dadn memahami klasifikasi dan patofisiologi dari kelainan kongenital.
4. Mengetahui dan memahami tata cara penatalaksanaan pada kelainan kongenital.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelainan Kongenital
1. Pengertian
Bayi dengan kelainan congenital adalah bayi dengan kelainan morfologik dalam
pertumbuhan struktur bayi yang dijumpai sejak bayi lahir. Pembahasan dalam bab ini
meliputi meliputi: klasifikasi/jenis, definisi, penyebab, tanda dan gejala, serta
penatalaksanaannya.
Kelainan bawaan (kelainan kongenital) adalah kelainan yang sudah ada sejaklahir
dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non-genetik (Effendi, 2006dalam
Neonatologi IDAI 2008).
Kematian pada neonatus merupakan kejadianyang paling sering terjadi pada anak-
anak usia di bawah 5 tahun. (WHO, 2004).Kelainan bawaan merupakan penyebab
kematian tersering ketiga setelahprematuritas dan gizi buruk (WHO,2004).
Kelainan kongenital atau birth defect dapat berupa abnormalitas kongenital(kasus
terbesar), fetal diseases, genetic diseases, retardasi perkembangan (mental)intra
uterine, dan disabilitas. Meski birth defect merupakan problem global,namun
dampaknya dirasakan berat bagi negara-negara dengan pendapatan sedangmaupun
rendah, dimana lebih dari 94% kelahiran di negara tersebut terjadi birthdefect yang
serius dan 95% dari bayi – bayi yang lahir meninggal dunia.

B. Macam macam kelainan pada bayi baru lahir


1. Labiozkizis dan labiopalatoskizis
a.  Pengertian
Menurut Vivian (2010), Labioskizis dan Labiopalatoskizis merupakan
deformitas daerah mulut berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang
kurang sempurna semasa perkembangan embrional dimana bibir atas bagian atas
bagian kanan dan bagian kiri tidak bersatu.

b.  Klasifikasi
Menurut Vivian (2010), jenis belahan pada Labiozkizis dan
labiopalatoskizis
Dapat sangan bervariasi, bias mengenai salah satu bagian atau semua
bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum molle. Suatu
klasifikasi membagi struktur-struktur yang terkena menjadi beberapa bagian
berikut :
1) Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum
di belahan foramen insisivum.
2) Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum mole posterior
terhadap foramen
3)  Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya palatum primer
dan palatum sekunder dan juga bisa berupa unilateral atau bilateral
4)  Terkadang terlihat suatu belahan submucosa. Dalam kasus ini mukosanya
utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga
yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diiketahui :
1) Unilateral Inclomplete, jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
2)  Ulilateral complete, jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah
satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
3) Bilateral complete, jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidaung.

c. Penyebab terjadinya Labiozkizis dan labiopalatoskizis


Penyebab terjadinya Labiozkizis dan labiopalatoskizis Belum diketahui
dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat  bahwa Labiozkizis dan
labiopalatoskizis muncul sebagai akibat dari kombinasi factor genetic dan factor-
faktor lingkungan. Banyak factor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir
sumbing, factor tersebut antara lain yaitu :
1) Factor genetic atau keturunan
2) Kurang nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6. Vitamin C pada waktu
hamil kekurangan asam folat.
3) Radiasi
4) Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama
5)  Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin, contohnya seperti
infeksi rubella dan sifilis, toxoplasmosis, dan klammidia.
6) Pengaruh obat teratogenic, termasuk jamu dann kontrasepsi hormonal,
akibat toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alcohol, terapi
penitonim.

d. Manifestasi klinis
1) Pada labioskizis :
a) Distorsi pada hidung
b) Tampak sebagian atau keduanya
c) Adanya celah pada  bibir

2) Pada palatoskizis :
a) Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras atau
foramen incisive
b) Adanya rongga pada hidung
c) Distorsi hidung
d) Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
e)  Kesukaran dalam menghisap atau makan

e. Tanda dan gejala


Menurut Vivian (2010), ada beberapa gejala dari bibir sumbing yaitu :
1) Terjadi pemisahan langit-langit
2) Terjadi pemisahan bibir
3) Terjadi pemisahan bibir dan langit-langit
4) Infeksi telinga berulang, berat badan tidak bertambah
5) Pada bayi tidak terjadi regurgitas nasal ketika menyusui yaitu
keluarnya air susu dari hidung

f. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen
2) Pemeriksaan fisik
3)  MRI untuk evaluasi abnormal

g. Penatalaksanaan
Menurut Vivian (2010), penatalaksanaan pada penderita Labiozkizis dan
labiopalatoskizis adalah sebagai berikut :
1) Pemberian ASI secara langsung dapat pula diupayakan jika ibu
memounyai reflex mengeluarkan air susu dengan baik  yang  mungkin
dapat dicoba dengan sedikit menekann payudara.
2) Bila anak sukar menghisap sebaiknya gunakan botol peras (squeeze
bottles),  untuk mengatasi gangguann menghisap, pakailah dot yang
Panjang dengan memeras botol maka susu dapat didorong jatuh
dibelakang mulut hingga  dapat dihisap. Jika anak tidak mau, berikan
dengan cangkir dan sendok.
3) Dengan bantuan ortodontis dapat pula dibuat okulator untuk menutup
sementara celah palatum agar memudahkan pemberian minum, dan
sekaaligus mengurangi deformitas palatum  sebelum dapat melakukan
tindakan bedah.
4) Tindakan bedah, dengan kerja sama yang bai kantar ahli bedah, ortodontis,
dokter anak, dokter THT, serta ahli wicara.
Syarat labioplasti (rule of ten ) :
1) Umur 3 bulan atau >10 minggu
2) Berat badan kira-kira 4,5 kg / 10 pon
3) Hemoglobin >10 gr/dl
4) Hitung jenis leukosit <10.000

h. Syarat palaplasti
Palatoskizis ini biasanya ditutup pada umur 9-12 bulan  menjelang anak
belajar bicara, yang penting dalam operasi ini adalah harus memperbaiki lebih
dulu bagian belakangnya  agar anak bias dioperasi umur 2 tahun. Untuk mencapai
kesempurnaan suara, operasi dapat saja dilakukan berulang-ulang. Operasi
dilakukan jika bera badan normal, penyakit lain tidak ada, serta memiliki
kemampuan makan dan minum yang baik. Untuk mengetahui berhasil tidaknya
operasi harus ditunggu sampai anak tersebut belajar bicara antara 1-2 tahun.
Menurut Rukiyah, DKK (2010), asuhan yang dapat dilakukan adalah :
1) Jika bayi tidak dapat menyusu dengan baik karena bibir sumbing,
berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian
makanan alternative (menggunakan sendok atau cangkir)
2) Jika bayi memiliki celah palatum, berika perasan ASI dengenn
menggunsksn metode pemberian makan alternative (menggunakan
sendok atau cangkir)
3) Ketika bayi makan dengan baik dan mengalami penambahan berat
badan, rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau pusat spesialisasi, jika
memungkinkan untuk pembedahan guna memperbaiki celah tersebut.

2. Atresia Esophagus
a. Pengertian
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan
tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal.
Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan
kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya
lubang atau muara pada esofagus (buntu). Pada sebagian besar kasus atresia
esofagus, ujung esofagus buntu, sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esofagus
bagian bawah berhubungan dengan trakea (disebut sebagai atresia esofagus
dengan fistula). Kelainan lumen esofagus ini biasanya disertai dengan fistula
trakeoesofagus. Atresia esofagus sering disertai kelainan bawaan lain, seperti
kelainan jantung, kelainan gastrointestinal (atresia duodeni atresia ani), kelainan
tulang (hemivertebrata). Atresia Esofagus termasuk kelompok  kelainan
kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan
persisten dengan trakea.
b. Penyebab Atresia Esofagus
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 %
jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia Esofagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18  dengan dugaan penyebab
genetik. Beberapa faktor etikologi atresia esophagus antara lain :
1) Faktor obat. Salah satu obat yang diketahui dapat menimbulkan
kelainan kongenital ialah thalidomine
2) Faktor radiasi. Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin yang dapat
mengakibatkan mutasi pada gen
3) Faktor gizi. Penelitian menunjukan bahwa frekuensi kelainan
kongenital paada bayi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan
makanan.

c. Klasifikasi Atresia Esofagus :


1) Kalasia
Kalasia adalah kelainan yang terjadi pada bawah esofagus (pada
persambungan dengan lambung) yang tidak dapat menutup rapat sehingga
bayi sering regurgitasi bila dibaringkan. Penanganannya bayi harus pdalam
posisi duduk pada waktu diberi minum, dan jangan dibaringkan segera setelah
minum. biarkan dia dalam sikap duduk agak lama, baru kemudian dibaringkan
miring kekanan dengan letak kepala lebih tinggi.
2) Akalasia
Akalasia merupakan kebalikan dari kalasia. Pada akalasia bagian distal
esofagus tidak dapat membuka dengan baik sehingga terjadi keadaan seperti
stenosis atau atresia. Penyebab akalasia adalah adanya kartilago trakea yang
tumbuh ektopik pada esofagus bagian bawah. Pertolongannya adalah dengan
tindakan bedah.

d. Gejala Klinis Atresia Esofagus


1) Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) dan liur selalu
meleleh dari mulut bayi
2) Sianosis
3) Batuk dan sesak napas
4) Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu
dan regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke jalan napas
5) Perut kembung atau membuncit, karena udara melalui fistel masuk
kedalam lambung dan usus
6) Oliguria, karena tidak ada cairan yang masuk
7) Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan
jantung, atresia rectum atau anus.

e. Pemeriksaan penunjang
1)  Foto thoraks
2) CT-Scan
3) USG
4) MRI (magnetic resonance imaging)
5) Nuclear imaging
6) Angiografi

f. Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Penderita seharusnya
ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru.
Kantung esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk
mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus diberikan terhadap
pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali
penyerta. Penatalaksanaan medis dilakukan dengan operasi.

3. Atresia rekti dan anus


a. Pengertian
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang di kenal sebagai anus
imferporate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002). atresia
ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) tidak adanya lubang atau saluran
anus ( Donna L. Wong, 520:2003)
Atresia ani adalah kelainan kongenital anus dimana anus tiidak
mempunyai lubang untuuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Atresia ani atau anus inperforata
disebut sebagai malformasi anorektal,  adalah suatu kelainan kongenital
tanpa  anus  atau dengan anus tidak sempurna, termasuk agenesis ani, agenesis
rekti dan atresia rekti. Insiden 1 : 5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai
penyakit tersering yang merupakan sindrom VACTRERL (Vertebrata, Anal,
Cardial, Esofagial, Renal, Limb)
b. Faktor penyebab
Etiologi :
1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu / 3
bulan
3) Adanya gangguan atau berhentinnya perkembangan embriologi didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu ke 4-6 usia kehamilan.
Patofisiologi :
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena:
1) Kelainan ini terjadi karena kagagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan
anus  dari tonjolan embrionik.
2)  Putusnya salurann pencernaan  dari atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan.
4) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan terdapat 3 macam letak :
a) Tinggi (supralevator) → rektum berakhir diatas M.Levator ani
(m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum >  1cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke
saluran kencing atau saluran genital.
b)  Intermediate  → rektum terletak pada M.Levatore ani tapi tidak
menembusnya.
c)  Rendah → rektum berakhir dibawah m.levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90%
dengan fistula ke vagina / perineum. Pada laki-laki umumnya letak
tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius.
c. Klasifikasi atresia rekti dan anus
1) Anal Stenosis
Stenosis ani merupakan suatu keadaan dimana lumen anus menyempit, ini
karena kurangnya koontraktilitas, disebabkan tidak adanya/atau berkurangnya
sel ganglion parasimpatik dari plexus aurbach dan meissner dalam lapisan
dinding usus. Sehingga akan terjadi hipertropi dan distensi yang berlebihan
pada kolon, yang lebih proksimal, pada daerah distal terutama anus terjadi
penyempitan karena daerah anus posisinya terhimpit oleh pelvis. Sebenarnya
stenosis ani merupakan penyakit hischprung atau mega kolon yang bersegmen
pendek, yaitu mulai dari sfinter anus sampai sigmoid, sedangkan yang
bersegmen panjang melebihi kolon sigmoid sampai usus halus merupakan
tindakan infasif dengan tujuan membuat anus buatan, dimasukan untuk
menjamin kelancaran pasase usus dan mencegah penyulit-penyulit yang tidak
di inginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. (Darmawan Kartono,
95)
2)  Membranosus atresia
Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3) Anal agenesis
Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4) Rectal atresia
Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum.

d. Tanda dan Gejala


1) Tanda dan gejala dari atresia ani ini antara lain adalah : mekonium tidak
keluar dalam waktu 24 – 48 jam setelah lahir.
2) Tinja keluar dari vagina atau uretra
3) Perut menggembung
4) Muntah
5)  Tidak bisa buang air besar
6)  Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula
7) Pada atresia ani letak rendah mengakibatkan distensi perut, muntah, gangguan
cairan elektrolit dan asam basa.

e. Manifestasi Klinis
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah lahir
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula)
5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
6)  Pada pemeriksaan rektal touche terdapat adanya membran anal
7)  Perut kembung (Betz Ed 7.2002)

f.  Penatalaksanaan
1)  Penanganan medis
a) Kolostomi pembuatan lubang anus dibagian perut
b) Dilatasi anal (pelebaran lubang anus)
c) Eksisi membran anal (pelepasan selaput anus)
d) Anoplasti (perbaikan organ anus)

2) Penangan non medis


Kepada orang tua perlu di beritahukan mengenai kelainan pada anaknya
dan keadaan tersebut dapat di perbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan
dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya di buatkan anus buatan dan
setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahap kedua selain itu diberitahukan
perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi
serta memperhatikan kesehatan bayi.

3) Penanganan secara preventif antara lain :


a)  Kepada ibu hingga kandungan menginjak usia 3 bulan untuk berhati-hati
terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat
menyebabkan atresia ani.
b) Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika
sampai 3 hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat
berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
c) Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari
konstipasi.
4.  Hirschprung
a.  Pengertian
Hirschprung merupakan suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus
yang di mulai dari sfinter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Juga dikatakan sebagai kelainan
kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus
auerbact di kolon (A.Azis Alimul Hidayat, 2006)
(Hirscprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
(Ariff Mansjoer, dkk. 2000)
Hirscprung adalah kelainan bawaan berupa obstruksi usus akibat dari tidak
adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada dinding saluran intestinal lapisan
submukosa, dan biasa terjadi pada colon bagian distal (Fitri Purwanto, 2001)
Penyakit Hirscprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian dari usus (Dona L.
Wong, 2003:507)
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis meissner dan aurbacth dalam
lapisan dinding usus, mulai dari sfinter ani internus ke arah proksimal, 70%
terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5%
dapat mengenai seluruh usus dan pilorus. Adapun yang menjadi penyebab
hirsprung atau mega kolon kongenital adalah di duga karena terjadi faktor genetik
dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan down syndrome, kegagalan sel
neural pada masa emrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada
mientrik dan submukosa pada dinding plexus. Dalam keadaan normal bahan
makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena adanya kontraksi
ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini di sebut gerakan
peristaltik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan syaraf yang disebut ganglion
yang terletak di bawah lapisan otot. Sedangkan menurut (Aniel, 2001) penyebab
hirsprung tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetik mutasi
pada ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B
pada penyakit Hirscprung familiar (Edery, 1994). gen lain yang berhubungan
dengan penyakit hirscprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari
faktor gen endhotelin-B, dan gen endhotelin-3 (Marches, 2008). penyakit
Hirscprung juga terkait dengan down syndrome sekitar 5-15% dari penyakit
Hirschprung juga memiliki trisomi 21. (Rogers, 2001).

c.  Manifestasi Klinik
1) Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan
2) Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja
seperti pita
3) Obstruksi usus dalam periode neonatal
4) Nyeri abdomen dan distensi
5) Gangguan pertumbuhan
6) Menurut suryadi 2001:242
a)  Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan
evaluai mekonium
b) Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodik yang
membaik secara spontan maupun edema
c) Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut.
d) Konstruksi ringan enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala hanya
konstipasi ringan.
e) Menurut Mansjoer, 2000 : 380 )
(1) Masa neonaatal :
(a) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
(b) Muntah berisi empedu
(c) Enggen minum
(d) Diestensi  abdomen
(2) Masa bayi dan anak-anak
(a) Konstipasi
(b) Diare berulang
(c) Tinja seperti pita berbau busuk
(d) Distersia abdomen
(e) Gagal tumbuh
d. Tipe hirschprung
Menurut staf pengajarilmu kesehatan anak FKUI (1996). hirschsprung di
bedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschprung di
bedakan  menjadi dua tipe berikut:
1) Segmen pendek
Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,
terjadi sekitar 70% kasus penyakit hirschsprung dan tipe ini sering di
temukan pada laki- laki di bandingkan dengan perempuan. Pada tipe
segmen yang pendek yang umum, insidennya 5 kali lebih besar pada
laki – laki di bandingkan wanita dan kesempatan saudara laki -laki dari
penderita anak mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20 (sacharin,
1986)

2) Segmen panjang
Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat
mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus.laki- laki dan
perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus
tanpa membedakan jenis kelamin  ( Staf Pengajar Ilmu Kessehatan
Anak FKUI, 1996: Scharin, 1986)

e.  Patofisiologis
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang di cerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot -otot yang melapisi usus (
kontraksi ini di sebut dengan gerakan peristaltic). Kontraksi otot- otot- tersebut di
rangsang oleh sekumpulan syaraf yang di sebut ganglion, yang terletak di bawah
lapisan otot. Pada penyakit hirschprung ganglion / pleksus yang memerinttah
gerakan peristaltik tidak ada, biasanya hanya beberapa sentimeter. Segmen usus
yang tidak memiliki gerakann peristaltic tidak dapat mendorong bahan- bahan
yang di cerna sehingga terjadi penyumbatan (Dasgupta, 2004)
f. Pengobatan
Mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera di
lakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding
perut yang di sambungkan dengan usus besar. Pengangkatan bagian usus yang
terken dan penyambungan kembali usus besar biasanya di lakukann pada anak
berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau
enterokolitis di berikan antibiotik.
Jika terjadi perforasi ( perlubangan usus) atau enterokolitis, di berikan
antibiotik.Secara klinis menurut dokter, bagian usus yang tidak ada
persyarafannya ini harus di busng lewat oprasi. Oprasi biasanya di lakukan dua
kali. Yang pertama adalah pembuangan usus yang tidak ada persyarafannya.
Kedua, kalau usus bisa di tarik ke bawah, langsung di sambung ke anus. Kalau
trenyata usus belum bisa di tarik, maka di lakukan oprasi pada dindidng perut,
yang di sebut dengan kolostomi, yaitu di buat lubang ke dinding perut. Jadi bayi
akan BAB lewat lubang tersebut.

g. Diagnosa dan penanganan


Mendiagnosa  penyakit ini dengan melakukan biopsy melalui rectum.
Sementara pada penanganan pasien dengan melakukan oprasi. Pengampilan usus
yang tidak memiliki sistem syaraf dan di lakukan dengan 3 tahap. Dalam
beberapa kasus dilakukan kolostomi pada bagian usus yang bekerja secara
normal, untuk memungkinkan usus beristirahat untuk mengembalikan fungsunya
secra normal. Ini memungkinkan pasien menambah berat badan. Itndakan ini di
lakukan sebelum di lakukan koreksi pada tahapan selanjutnya. Pada koreksi
terakhir ahli bedah anak akan membuat penyatuan dari usus besar pada suatu titik
pada anus. Kolostomi akan di tutup pada tahap ini, selanjutnya menunggu
pengeluaran kotoran secara normal. Setelah mengalami oprasi, pada beberapa
kasus masih di temukan terjadinya konstipasi. Hal ini biasa terjadi pada sistem
kerja usus. Pada kasus lainn dapat pula terjadi peradangan usus dan hal ini harus
di lakukan tindak lanjut dan di tangani dokter spesialis anak.

5. Obstruksi Billiaris dan omfalokel


a. Pengertian
Obstruksi billiaris merupakan suatu kelainan bawaan karena adanya
penyumbatan pada saluran empedu, sehingga cairan empedu tidak dapat
mengalir ke dalam usus dan akhirnya dikeluarkan dalam bentuk feses (Vivian
Nanny Lia Dewi, 2010).
0bstruksi billiaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu
tidak dapat mengalir ke dalam usus untuk dikeluarkan (Ngastiyaj, 2005).
Ikterus adalah keadaan teknis dimana ditemukannya warna kuning pada
kulit dan mukosa yang disebabkan oleh pigmen empedu. Pada bayi baru lahir
sering disebabkan inkompabilitas faktor Rh atau golongan darah ABO antara ibu
dan bayi atau karena defisiensi GGPO pada bayi.
Berdasarkan penyakit yang ditimbulkan meliputi :
1) Penyakit duktus biliaris intrahepatik
a) Atresia biliaris, merupakan suatu kondisi kelainan dimana
saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembbang secara
normal.
b) Sirosis biliaris primer, secara histologi kerusakan duktus
tampak dikelilingi infiltrasi limfosit yang padat dan sering
timbul granuloma.
c) Kolangitis sklerosing, obat-obatan long-acting lebih
menyebabkan kerusakan agar hepar dibandingkan dengann
obat-obatan short-acting (Sarjadi, 2000)

2) Obstruksi biliaris akut (ompfalokel)


Obstruksi biliaris yang berulang akan
menimbulkan  fibrosis traktus portal dan regenerasi noduler sel
hepar. Keadaan ini disebut sirosis biliaris sekunder (sarjadi, 2000)
Omphalokel pada dasarnya sama dengan gastroschisis.
Omphalokel adalah defek (kecacatan) pada dinding anterior
abdomen pada dasar dari umbilikal cord dengan herniasi dari isi
abdomen. Organ-organ yang berherniasi dibungkus oleh
peritoneum parietal. Setelah 10 minggu gestasi, amnion dan
wharton jelly juga  membungkus massa hernia (Lelin-Okezone,
2007)
Ompalokel/omphalocele adalah penonjolan isi abdomen
melalui dinding abdomen pada titik sambungan korda umbilicus
dan abdomen. Ompalokel adalah kelainan yang berupa protusi
(sembuhan) isi rongga perut keluar di sekitar umbilicus, benjolan
dan dibungkus dalam suatu kantong (Markum, AH. 1991. Ilmu
Kesehatan Anak hal. 245-246)
Omphalocele adalah kondisi bayi waktu dilahirkan perut
bagiann depannya berlubang dan usus hanya dilapisi selaput yang
sangat tipis (dr. Irawan Eko, Spesialis Bedah RSU Kardinah,2008).
omphalocele berarti muara tali pusat dan dinding perut tidak
menyatu sehingga  usus keluar (dr. Cristoffel SpOG, 2008).
b. Etiologi
1)  Penyebab obstruksi billiaris
a) Batu empedu
b) Karsiinoma duktus biliaris
c) Karsinoma caput pankreas
d) Radang duktus biliaris komunis
e) Ligasi yang tidak disengaja pada duktus N komunis (Sarjadi,2005)
f) Kista dari saluran empedu
g) Limfe node diperbesar dalam porta hepatis
h) Tumor yang menyebar ke sistem empedu (Zieve David, 2009).

2) Penyebab omphalocele
Omphalocele terjadi saat bayi masih dalam kandungan. Karena gangguan
fisiologis pada sang ibu, dinding dan otot-otot perut janin tak terbentuk
dengan sempurna. Akibatnya, organ pencernaan seperti usus, hati, tali pusat,
serta organ lainnya tumbuh diluar tubuh. Jenis gastroschisi terjadi seperti
omphalocele. Bedanya, posisi tali pusar tetap pada tempatnya (2008, dr.
Redmal Sitorus).
Menurut Rosa M. Scharin (2004), etikologi pasti dari omphalochele belum
diketahui. Beberapa teori telah dipostulatkan, seperti :
a) Kegagalan kembalinya usus kedalam abdomen dalam 10-12 minggu
yaitu kegagalan lipatan mesodermal bagian lateral untuk berpindah
kebagian tengah dan menatapnya the body stalk selama gestasi 12
minggu.
b) Faktor resiko tinggi yang berhubungan dengan omphalocele adalah
resiko tinggi kehamilan, seperti infeksi dan penyakit pada ibu,
penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok, kelainan genetic,
defisiensi asam folat, hipoksia, salisil dapat menyebabkan defek pada
dinding abdomen, asupan gizi yang tak seimbang, dan unsur polutan
logam berat dan radioaktif yang masuk kedalam tubuh ibu hamil.

c. Manifestasi klinis
1) Manifestasi klinis obstuksi billiaris
Gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama yakni ditandai dengan
bayi ikterus. Selain ikterus, feses bayi berwarna putih agak keabu-abuan
dan terlihat seperti dempul. Urine menjadi lebih tua karena mengandung
urobilinologi.
2) Menifestasi klinis omphalocele
Gambaran klinis BBL dengan omphalochele ialah terdapatnya defek
sentral dinding abdomen pada daerah tsli pusat. Defek bervariasi
ukurannya, dengan diameter mulai 4 cm – 12 cm, mengandung herniasi
organ-organ abdomen baik solid maupun berongga dan masih dilapisi oleh
selaput atau kantong serta tampak tali pusat berinsersi pada puncak
kantong. Kantong atau selaput tersusun atas 2 lapisan yaitu lapisan luar
berupa selaput amnion dan lappsan dalam berupa peritineum. Diantara
lapisan tersebut kadang-kadang terdapat lapisan wartons jelly. Warton’s
Jelly adalah jaringan mukosa yang merupakan hasil deferensiasi dari
jaringan masenkimal (mesodermal). Jelly mengandung kaya
mukosa  dengan sedikit serat dan tidak mengandung vasa atau nervus.

d. Pemeriksaan Penunjang
1)  Obstuksi billiaris
a) Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan bilirubin)
b) Rontgen perut (tampak organ hati membesar)
c) Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif
d) Breath Tes
e) USG
f) Imaging Radionuklida (radioisotop)
g) Skreening hati
h) Koleskinigrafi
i) CT-Scan
j) Kolangiopankreatografi Endoskopik Retrograd
k) Foto Rontgen sederhana (menunjukan batu empedu yang berkapur)
l) Pemeriksaan biopsi hati
m)Kolangiografi operatif
n) Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus
o) MRI

2) Omphalochele
a) Pemeriksaan Fisik
b) Pemeriksaan Laboraturium
c) Pemerikasaan Radiology
e.  Penatalaksanaan
1) Obstruksi Billiaris
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi billiaris bertujuan
untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran
empedu. Tindakan tersebt dapar berupa tiindakan pembedahan misalnya
pengangkatan batu atau reseksi tumor.
Berikut ini asuhan kebidanan pada psien obstuksi billiaris :
a) Pertahankan kesehatan bayi dengan  pemberian makanan cukup
gizi sesuai dengan kebutuhan, pencegahan  hipotermia,
penvegahan infeksi dan lain-lain.
b) akukan konseling oada orang tua bayi agar mereka menyadari
bahwa kuning yang dialami bayiny bukan kuning biasa tetapi
disebabkan karena adanya penumbatan pada saluran empedu.
c) Lakukan  inform consent dan infirm choise untuk dilakukan
rujukan.
d) Penatalaksanaan medisnya ialah dengan dilakuka operasi selektif.

2) Omphalochele
Pertolongan pertama saat lahir : kantong ompalokel dibungkus dengan
kassa yang dibasahi betadine, selanjutnya dibungkus dengan plastik. Bayi
dimasukan kedalam inkubator dan diberi oksigen. Pasang NGT dan rectal
tube Antibiotika.
Perawatan secara :
a) Bayi dijaga agar tetap hangat
b) Kantong ompalokel ditutup kassa steril dan ditetesi NaCl 0,9%.
Jika perlu ditutup dengan lapisan silo yang dikecilkan secara
bertahap.
c) Posisi penderita miring.
d) NGT diisap-isap setiap 30 menit.
Penatalaksanaan omphalochele secara konservatif
dilakukan pada kasus omphalochele besar atau terdapat perbedaan
yang besar antara volume organ-organ intraabdomen yang
mengalami herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelainan kongenital yang cukup berat merupakan penyebab utama
kematian bayi dalam bulan pertama kehidupannya. Hal ini merupakan seleksi
alam terhadap kelaangsungan hidup bayi yang baru saja dilahirkan.
Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang
terjadi selama kehamilan. Diperkirakan 10 – 20% dari kematian janin dalam
kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital.
Khusunya pada BBLR yang diperkirakan sekitar 20% diantaranya meninggal
karena kelainan kongenital dalam bulan bulan pertama kehidupannya.
Setiap orang tua tentu saja ingin mempunyai anak yang sehat, baik secara
fisik maupun psikis. Namun pada kenyataaannya ada beberapa kondisi yang
menyebabkan bayi lahir dengan keadaan cacat bawaan atau kelainan
kongenital, diantaranya : labioskizis dan palatoskizis, Etresia Esophagus,
Atresia Rekti dan Anus, Hirschprung, Obstruksi Billiaris dan Omphalochele,
Diafragmatika, Atresia Duodeni, Menimgokel, Meningokel Ensefalokel,
Hidroshefalus, Fimosis, Hipospadia< dan Kelainan Metabolisme Dan
Endoktrin.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber :  Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, Balita dan Anak
Pra Sekolah (Vidia Atika Manggiasih, SST, S.Psi, M.Kes dan Pongki Jaya, S.Kep, Ns<
M.Kes)
Sumber: Buku Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita (Ai Yeyeh Rukiyah,
S,Si.T, MKM dan Lia Yulianti, Am.Keb, MKM)
https://firdanurrizkia.blogspot.com/2018/12/makalah-kelainan-pada-bbl.html

Anda mungkin juga menyukai