PENDAHULUAN
masing-masing, dalam hal adat-istiadat, budaya, bahasa bahkan agama, banyak individu
yang mengikat hubungan dengan berbagai kepentingan yang sama, sehingga dinamakan
masyarakat Indonesia. Yang juga terbagi berdasarkan daerah asalnya, selain itu yang
membedakan masyarakat Indonesia satu dengan yang lainnya adalah dari kepercayaan
yang dianutnya.
Sistem kepercayaan yang akan dibicarakan oleh penulis dalam karya ilmiah ini
adalah khususnya aliran Kristen protestan yang ada di kampung Sawang yang kecil
terdiri dari 4 dusun yaitu dusun Keaengbatu, dusun Pahepa, dusun Enekadio dan dusun
Lilento. Masyarakatnya hidup bersama dengan baik sebab terikat dengan berbagai
peraturan yang sama, perasaan sama sebagai masyarakat kampung Sawang. Pun
kesamaan pemikiran bahwa untuk hidup dalam satu kampung, haruslah menaati
berbagai peraturan yang ditetapkan bersama yang telah diputuskan pemerintah baik
pada tingkat Kecamatan maupun tingkat Kampung, sebab kampung Sawang merupakan
suku, budaya, adat-istiadat bahkan agama. Di sana tidak ditemui aliran agama yang lain
selain Kristen Protestan. Gereja GMIST Sawang, tempat dimana masyarakat kampung
Sawang berkumpul sebagai satu komunitas beragama, terdiri dari 9 Kelompok, yaitu:
terdapat tradisi masyarakat yaitu Mapalus di mana semua masyarakat bekerja bersama
kampung dan program gereja, bahkan dalam hal kebersihan lingkungan. Juga pada hari-
kegiatan bersama seluruh masyarakat kampung Sawang untuk membersihkan jalan raya
bersama, memasang bendera hias. Pada 17 Agustus diadakan upacara bendera tingkat
Kecamatan di lapangan kampung, pun kegiatan lain seperti panjat pinang, makan
kerupuk, lari leper (sendok), tarik tambang bahkan lomba bintang vokalia yang
diselenggarakan atas kerja sama pemerintah dengan gereja. Dapat dikatakan integrasi
masyarakat tercipta dengan indah. Begitu pula dengan hari perayaan keagamaan, seperti
perayaan Paskah. Ada tradisi di mana, semua warga masyarakat pada malam sebelum
paskah, bersama-sama baik anak maupun orang tua, berjalan bersama mengelilingi
kampung dengan membawa obor sambil menyanyikan pujian. Tapi seiring berjalannya
waktu di Kampung Sawang yang memiliki integrasi yang baik tersebut mengalami
Konflik memang tak dapat dihindari dari manusia yang merupakan makhluk
sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Cenderung diwarnai dua hal, yaitu
konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan
manusia.
Konflik tidak terjadi tanpa sebab dan proses, melainkan melalui tahap-tahap
tiga tahap:
Konflik merupakan hal yang biasa dalam hubungan manusia di dunia ini. Tidak
bisa dihindari dan akan selalu terjadi. Konflik bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
bahkan sampai pada organisasi terkecil sekalipun seperti keluarga. Untuk itu tidak
terkecuali konflik juga dapat terjadi di gereja GMIST Sawang sebagai sebuah
Sawang, adalah wadah di mana para warganya bisa dengan leluasa mengekspresikan
kepercayaan mereka kepada realitas tertinggi yaitu Allah Tritunggal. Di dalamnya ada
1
Arti konflik yang dibahas dalam tulisan ini adalah konflik yang merupakan sebuah perselisihan
paham atau pertengkaran. Konflik terjadi jika dua pihak berada pada posisi yang berbeda atau oposisi satu
terhadap yang lain. Lihat Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), 9. Band. dengan pengertian konflik menurut Chambers English, Essential English
Dictionary (Cambridge: Typeset in Great Britain at the University Press, 1995), 194.
2
Wahyudi., Manajemen Konflik dalam Organisasi (Bandung: Alfabeta, 2011), 18-19.
berbagai peraturan yang dibuat oleh anggota-anggotanya. Hal itu haruslah dituruti demi
kesejahteraan bersama segenap warga gereja. Idealnya, organisasi ini di susun dengan
motifasi yang baik, tapi dalam kenyataannya, sering mengalami berbagai kesulitan dan
hambatan. Demikian pula halnya dengan konflik yang dialami oleh gereja GMIST
Terjadi sebuah kasus pada tahun 2010 ketika Badan Pekerja Sinode (BPS)
memberikan keputusan memutasi pendeta X yang selama itu menjabat sebagai Pelayan
di Jemaat GMIST Sawang. Keputusan ini tak diterima oleh hampir sebagian besar
anggota gereja. Alasannya, mereka merasa senang dengan pelayanan pendeta X. Selama
rumah dan karena kedekatanya tersebut, dia cenderung dikenal oleh semua warga
pelayanannya selesai, yang pada dasarnya menurut peraturan GMIST, bahwa setiap
pendeta, harus berada di gerejanya selama lima tahun. Padahal pendeta X baru dua
tahun melayani di gereja GMIST Sawang . Sedangkan sebaliknya para warga gereja
yang menerima keputusan BPS tersebut adalah mereka yang kurang senang terhadap
pelayanan pendeta X tersebut. Sebab dia dianggap terlalu mendominasi tugas dalam
gereja seperti mengambil alih tugas Sekertaris dan Bendahara gereja dalam mengatur
keuangan gereja. Tapi, ada juga yang bersikap netral, yaitu mereka yang menerima
3
Sebagaimana Konflik yang dibahas dalam tulisan ini merupakan internal gereja GMIST
Sawang hal itu jelas berarti konflik yang tercipta antara orang-orang yang memiliki hubungan yang
sangat akrab sama halnya dengan makna konflik sebagai suatu interaksi dari orang-orang yang saling
bergantung yang mana merasa tujuan mereka bertentangan atau tidak cocok dan gangguan karena adanya
campur tangan dari satu pihak terhadap pihak yang lain dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Lihat J.
Forst dan W. Wilmot, Interpersonal Conflict. (Duduque, IQ: Brown, 1978), 15. Band. Dengan pengertian
konflik menurut Kirk Blackard dan James W. Gobson, Capitalizing on Conflict: Strategies and Practices
for Turning Conflict to Synergy in Organization (Mumbai: Jaico Publishing House, 2003), 11.
Warga gereja GMIST yang tidak setuju dengan keputusan BPS atas mutasi
tanda tangan dari anggota gereja yang tidak setuju untuk disampaikan ke BPS, berdemo
Resort dan BPS, tapi tak kunjung datang, maka mereka melaksanakan ancaman
265 Jiwa. Sehingga anggota GMIST Sawang tersisah 211 KK atau 688 Jiwa.
Konflik terus berlangsung ketika anggota yang melakukan aksi protes berpindah
gereja. hal itu berdampak pada disintegrasi masyarakat. Disintegrasi masyarakat yang
keadaan yang tidak bersatu padu, keadaan terpecah belah atau hilangnya keutuhan atau
persatuan.4 Sebagaimana situasi masyarakat yang berhasil ditangkap secara indrawi oleh
penulis adalah, sering terjadi perselisihan antara para warga gereja GMIST dengan
anggota gereja yang berpindah ke gereja KGPM. Apakah itu persoalan antar tetangga,
saudara-bersaudara bahkan tampaklah sikap tidak suka dari anggota gereja GMIST
terhadap anggota gereja yang berpindah ke gereja KGPM, demikian pun sebaliknya.
Akibatnya adalah bahwa bukan saja terpisah berdasarkan gereja, tapi hubungan-
terbagi menjadi dua. Jadi, disintegrasi yang tercipta di sana memang karena terjadi
Masalah utama yang menarik perhatian penulis adalah di satu pihak masyarakat
Kampung Sawang adalah masyarakat yang homogen dalam berbagai bidang kehidupan
4
Diundu dari http://kamusbahasaindonesia.org/disintegrasi
sosial apakah agama, budaya, adat-istiadat, namun pada pihak lain adanya sikap tertutup
dari sebagian anggota yang adalah merupakan anggota gereja, Sehingga memiliki sikap
sulit menerima perubahan dengan berdirinya gereja KGPM Sentrum Sawang. Yang
merupakan buah dari perbedaan pendapat yang muncul diantara anggota jemaat. Akibat
fatal dari perpecahan gereja tersebut adalah, bahwa kegiatan masyarakat yang tadinya
sanggup menciptakan keharmonisan itu, kini telah berubah. Semua kegiatan dilakukan
secara terpisah, dan cenderung timbul persaingan, kegiatan siapa yang paling ramai.
Tindakan bergiat dalam pelayanan dan ibadah, hanya agar tidak kalah dengan gereja
yang lain. Sedangkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, semacam ada sebuah sekat
yang tinggi yang membuat masing-masing anggota gereja apakah GMIST atau KGPM
yang merupakan bekas anggota gereja GMIST Sawang merasa segan dalam bertindak,
pun demikian dalam bertutur kata. Bahkan terkadang terjadi pertengkaran dari antara
anggota kedua gereja ini, yang ujung-ujungnya luka perpecahan itu terus menerus
terkuak. Sehingga keadaan di Kampung Sawang yang tadinya sangat dibanggakan kini
tinggal kenangan. Karena masalah inilah, sehingga penulis mau meneliti lebih lanjut,
pelayanan Pendeta X. dalam artian ada yang suka cara dia melayani dan ada
Sawang, sebab ada anggota gereja yang setuju dan ada yang tidak.
5. Pihak Resort dan BPS tidak melakukan tindakan bijak dengan menjelaskan
alasan mereka atas mutasi pendeta ini dengan baik terhadap anggota gereja
dalam rangka 17 agustus dan sebelum paskah, tidak lagi dilakukan secara
bersama.
bentuk pertanyaan:
Sawang?
Setelah penulis berhasil merumuskan masalah di atas, maka penulis pun hendak
Kampung Sawang.
2. Mendeskripsikan tindakkan gereja dan pemerintah dalam menanggulangi
1. Akademik
konflik agama. Penulis pun berharap tulisan ini dapat digunakan sebagai
kontribusi tambahan ketika hendak meneliti kasus yang sama, yaitu yang
2. Praksis
menjadi konflik eksternal yang terjadi antara anggota GMIST yang tidak
berpindah dan anggota KGPM yang adalah orang-orang yang berpindah dari
Untuk mencapai tujuan penulisan tesis ini, maka saya menggunakan metode
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
Adapun metode penelitian kualitatif yang akan penulis gunakan adalah: Studi
Kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau
menginterpretasi suatu “kasus” dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi
pihak luar. Model penelitian studi kasus yang akan penulis gunakan adalah kasus
tunggal dengan single level analysis, yaitu suatu proses untuk menyoroti perilaku
individu atau kelompok individu dengan satu masalah penting.6 Yaitu konflik antara
1. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data untuk Mengungkap kesan atau data
awal sebagai kontribusi positif bagi pengenalan realita masalah (konflik gereja
GMIST) yang sebenarnya. Tujuan lain dari observasi agar dapat diketahui dan
dipahami oleh segenap anggota gereja tentang bagaimana konflik internal gereja
KGPM Sentrum Sawang. Observasi ini dilakukan terhadap situasi dan perilaku
5
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006).
6
6
Agus, Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 118-
121
masyarakat kampung Sawang yang adalah anggota gereja GMIST dan KGPM
2. Wawancara
pertanyaan itu7. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(Pimpinan BPS dan Resort GMIST), Tokoh masyarakat dalam hal ini
masing bagian itupun yang penulis rasa sanggup mewakili seluruh anggota yang
ada. Dengan wawancara terbuka ini, diharapkan peneliti dan responden dapat
bercerita dengan leluasa tanpa ada keragu-raguan, sehingga maksud dan tujuan
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa yang didasarkan
pada data yang ada dari hasil penelitian dengan menggunakan berbagai teknik
pengumpulan data di atas, dan bukan berdasar pada ide-ide yang ditetapkan
sebelumnya. Dengan demikian hasil penelitian nantinya dapat berubah sesuai dengan
7
Lexy J. Moleong, 186.
8
Ibid.188-189.
data yang masuk kemudian. Selanjutnya, diklasifikasikan sesuai dengan pedoman dan
BAB I: PENDAHULUAN
Berisikan uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus penelitian,
sistematika penulisan.
Pada bagian ini, berisikan kerangka teori dan konsep, yang memaparkan Teori Konflik
Struktural oleh Lewis Cooser dan George Simmel serta Teori Kekuasaan dari Max
Weber yang sekiranya dapat menjawab konflik gereja GMIST Sawang dan gereja
KGPM.
Berisi pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan
Berisi analisa terhadap hasil penelitian pada bab III dengan berlandaskan pada uraian
teori pada bab II, guna menjawab konflik gereja GMIST Sawang dan gereja KGPM.
BAB V: PENUTUP