Anda di halaman 1dari 29

BAB VI

ENERGETIKA KIMIA

A. URAIAN MATERI
1.1 Pengertian Dasar dan Konsep
Energetika kimia atau termodinamika kimia adalah ilmu yang mempelajari perubahan energi yang terjadi
dalam proses atau reaksi. Studi ini mencakup dua aspek penting yaitu penentuan atau perhitungan kalor reaksi
dan studi tentang arah proses dan sifat-sifat sistem dalam kesetimbangan. Bagian alam semesta yang dipilih
untuk penelititan termodinamika disebut sistem, dan bagian alam semesta yang berinteraksi dengan sistem
tersebut disebut dengan keadaan sekeliling lingkungan dari sistem. Perpindahan energi dapat berupa kalor (q)
atau dalam beberapa bentuk lainnya secara keseluruhan disebut kerja. Perpindahan energi berupa kalor atau
kerja yang mempengaruhi jumlah keseluruhan energi dalam sistem, yang disebut energi dalam (U).
Termodinamika dapat menjawab apakah reaksi terjadi secara spontan atau tidak.

Sistem adalah sejumlah zat, campuran zat, atau segala sesuatu yang ada dalam pengamatan. Lingkungan
adalah segala sesuatu di luar sistem. Alam semesta adalah kumpulan dari beberapa sistem dan lingkungan.
Misalnya ingin mengetahui perubahan yang terjadi pada reaksi antara NaCI dengan larutan AgNO3;
sistemnya adalah larutan yang dipelajari itu sedangkan gelas kimia,dan segala sesuatu di sekeliling
larutan adalah lingkungan. Antara sistem dan lingkungan dapat terjadi pertukaran energi dan materi
(massa). Berdasarkan pertukaran ini ada tiga jenis yaitu :
a. Sistem terbuka adalah: sistem yang dapat mempertukarkan energy dan massa dengan lingkungannya.
Contoh: lautan, tumbuh-tumbuhan.
b. Sistem tertutup adalah suatu sistem yang hanya dapat mempertukarkan energy dengan lingkungannya.
Contoh: Green house ada pertukaran kalor tetapi tidak terjadi pertukaran kerja dengan lingkungan.
c. Sistem terisolasi adalah suatu sistem yang tidak mempertukarkan baik energy maupun massa dengan
lingkungannya. Misalnya zat dalam botol termos ideal.

Perubahan dapat terjadi dalam suatu sistem. Untuk mengetahui adanya perubahan di dalam sistem harus
diketahui dengan tepat sifat dari sistem sebelum dan sesudah perubahan terjadi atau dengan kata lain harus
diketahui keadaan dari sistem (state of system). Keadaan sistem adalah kondisi sistem yang terdiri atas tekanan
suhu, dan jumlah mol tiap komponen, dan bentuk fisiknya (sebagai contoh gas, cairan, padatan, atau bentuk
kristal). Besaran P, V, dan T disebut fungsi keadaan (state functions) atau variable keadaan (state variables)
karena P, V dan T sangat menentukan keadaan fisik suatu sistem dan harganya tidak tergantung pada
bagaimana terjadinya sistem dengan keadaan seperti itu sebelumnya. Perubahan P, V, dan T dari suatu sistem
satu kekadaan lain tidak tergantung pada bagaimana urutan perubahan itu dilakukan. Misalnya suhu sampel air
berubah dari 25oC ke 35oC. Perubahan suhu itu tetap walaupun pertama-tama air didinginkan menjadi 0 oC dan
kemudian dipanaskan menjadi 35oC, atau suhu langsung dinaikkan dari 25 oC menjadi 35oC. Jadi perubahan
suhu (∆T) hanya tergantung pada suhu keadaan awal dan keadaan akhir. Hubungan antara fungsi keadaan
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan yang dikenal dengan persamaan keadaan (equation of state).
Mengubah keadaan sistem dari keadaan 1 ke keadaan 2 dapat dengan berbagai cara, yaitu:
1. Proses isotherm yaitu proses yang berlangsung pada suhu tetap
2. Proses adiabatic yaitu proses di mana tidak terjadi pertukaran kalor antara sistem dan lingkungan.
3. Proses isobar yaitu proses yang berlangsung pada tekanan tetap
4. Proses isokhor yaitu proses pada volume tetap.

1.2 Hukum Pertama Termodinamika


Hukum Pertama Termodinamika menyangkut hukum kekekalan energi yang dinyatakan dalam persamaan:
∆U=q+w

Dengan ∆U, perubahan energi dalam, q jumlah panas atau kalor yang diterima sistem, dan w kerja yang
diberikan kepada sistem. Energi dalam (U) adalah energi total sistem yang terdiri atas energi kinetik atom-
atomnya, ion-ionnya atau molekul-molekulnya, dan energi potensial yang terjadi dari kakas ikat antara partikel
yang membangun sistem. Besarnya energi sistem ini hanya bergantung pada keadaan sistem dan tidak
bergantung pada bagaimana keadaan itu tercapai sehingga dikatakan energi ini merupakan fungsi keadaan.

Panas (q) merupakan energi yang dipindahkan melalui batas-batas sistem sebagai akibat perbedaan suhu
antara sistem dan lingkungan. Hal ini disebut hukum termodinamika ke nol. Bila suhu sistem dan lingkungan
sama, maka panas ini tidak berlaku. Jumlah panas yang dipertukarkan antara sistem dan lingkungan
bergantung pada proses pertukarannya. q bernilai lebih dari nol (q>0) jika panas masuk ke dalam sistem, dan q
negatif (q<0) jika panas keluar dari sistem.

Kerja (w) didefinisikan sebagai setiap bentuk energi yang bukan panas yang dipertukarkan antara sistem dan
lingkungan dalam suatu proses. Bila tekanan di luar sistem (eksternal) dan tekanan di dalam sistem (internal)
sama maka kerja tidak dapat diterapkan lagi. Kerja bukan merupakan sifat atau keadaan sistem melainkan
bergantung pada proses. w lebih dari nol (w>0) jika lingkungan melakukan kerja terhadap sistem, dan
sebaliknya jika sistem melakukan kerja terhadap lingkungan, maka w kurang dari nol (w<0). Kebanyakan
proses kimia bentuk kerja yang perlu adalah kerja yang berkaitan dengan perubahan volum sistem yang
disebut kerja-volum.
ΔV = A×Δh
F
PΔV = × A( Δh)
A
PΔV =F× Δh

Kakas (F) kali jarak (∆h) adalah kerja (w).


w=PΔV
a) Hukum ini diterapkan pada gas, khususnya gas ideal
PV = n R T
P ∆V =V ∆P = n R ∆T
b) Energi adalah kekal, jika diperhitungkan semua bentuk energi yang timbul.
c) Usaha tidak diperoleh jika tidak diberi energi dari luar.
d) Dalam suatu sistem berlaku persamaan termodinamika I:
∆Q = ∆U+ ∆W
∆Q = kalor yang diserap
∆U = perubanan energi dalam
∆W = usaha (kerja) luar yang dilakukan

1. Pada proses isobarik (tekanan tetap) ∆P = 0; sehingga,


∆W = P . ∆V = P (V2 - V1) P. ∆V = n .R ∆T
∆Q = n . Cp . ∆T
Maka Cp = 5/2 R (kalor jenis pada tekanan tetap)
∆U= 3/2 n . R . ∆T

2. Pada proses isokhorik (Volume tetap) ∆V =O; sehingga,


∆W = 0 ∆Q = ∆U
∆Q = n . Cv . ∆T
Maka Cv = 3/2 R (kalor jenis pada volume tetap)
∆U = 3/2 n . R. ∆T

3. Pada proses isotermik (temperatur tetap) ∆T = 0 ;sehingga,


∆U = 0 ∆Q = ∆W = nRT ln (V2/V1)

4. Pada proses adiabatik (tidak ada pertukaran kalor antara sistem dengan sekelilingnya) ∆Q = 0
Berlaku hubungan:

PV γ = konstan γ = Cp/Cv ,disebut konstanta Laplace

5. Cara lain untuk menghitung usaha adalah menghitung luas daerah di bawah garis proses.
Catatan:
1. Jika sistem menerima panas, maka sistem akan melakukan kerja dan energi akan naik. Sehingga ∆Q,
∆W  (+)
2. Jika sistem menerima kerja, maka sistem akan mengeluarkan panas dan energi dalam akan turun.
Sehingga ∆Q, ∆W  (-)
3. Untuk gas monoatomik (He, Ne, dll), energi dalam (U) gas adalah
U = Ek = 3/2 nRT γ = 1,67
4. Untuk gas diatomik (H2, N2, dll), energi dalam (U) gas adalah
Suhu rendah U =Ek = 3/2 nRT γ = 1,67
(T ≤ 100ºK)
Suhu sedang U = Ek =5/2 nRT γ = 1,67 Cp-CV=R
Suhu tinggi U =Ek = 7/2 nRT γ = 1,67  

(T > 5000ºK)

1.3 Entalpi
Entalpi adalah istilah dalam termodinamika yang menyatakan jumlah energi internal dari suatu
sistem termodinamika ditambah energi yang digunakan untuk melakukan kerja. Secara matematis,
entalpi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dimana:

H = entalpi sistem (joule)


U = energi internal (joule)
P = tekanan dari sistem (Pa)
V = volume sistem (m2)

Pada tekanan tetap berlaku,


∆U = qp - P∆V
U1 – U2 = qp – P ( V2 – V1 )
Persamaan ini dapat disusun ulang menjadi:
(U2 + PV2) – (U1 + PV1) = qp
(U + PV) 2 – (U + PV) 1 = qp

Dari hasil didapatkan kalor reaksi pada tekanan tetap (q p), adalah sama dengan selisih (U + PV). Besaran U +
PV ini merupakan suatu fungsi keadaan yang disebut entalpi (H).

 H = U + PV
 Jadi, H2 - H1 = qp
 ∆H = qp
Perubahan entalpi pada tekanan tetap dengan demikian dapat dinyatakan sebagai:
∆H = ∆U + P∆V
Pada beberapa hal perbedaan ∆H dan ∆U sangat kecil khususnya pada reaksi kimia dimana reaktan dan produk
semuanya berupa cairan atau padatan. pada kondisi ini ∆V sangat kecil, demikian pula P∆V, sehhingga ∆H =
∆U. Bagi reaksi yang menyangkut gas P∆V tidak dapat dibalikan. Apabila gas dianggap ideal, sehingga
memenuhi persamaan keadaan, PV = nRT, maka pada suhu yang sama,
P∆V =[∆n(gas)]RT
∆H =∆U+[∆n(gas)]RT
∆n = selisih mol gas hasil reaksi dan mol gas pereaksi
R = tetapan gas

Contoh:
Persamaan reaksi pembakaran etana:
2
CH3-CH3(g) + 2 O2 ⃗ 2CO2(g) + 3H2O(l)
Δ n = mol gas hasil = mol gas pereaksi = 2 – 4,5 = - 2,5 mol ΔΗ = ∆U + [∆n(gas)]RT
= (-1554 x 103 J mol-1) + (-2,5 mol)(8,31 mol-1 K-1)(298 K)
= -1560 x 103 J mol-1 atau -1560 k J mol-1

Dari contoh ini dapat dilihat perbedaan antara ∆H dan ∆U tidak sangat besar. `

1.4 Hukum Hess


Hukum Hess adalah sebuah hukum dalam kimia fisik untuk ekspansi Hess dalam siklus Hess. Hukum ini
digunakan untuk memprediksi perubahan entalpi dari hukum kekekalan energi (dinyatakan sebagai fungsi
keadaan ΔH).

Menurut hukum Hess, karena entalpi adalah fungsi keadaan, perubahan entalpi dari suatu reaksi kimia adalah
sama, walaupun langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh produk berbeda. Dengan kata lain, hanya
keadaan awal dan akhir yang berpengaruh terhadap perubahan entalpi, bukan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mencapainya.

Hal ini menyebabkan perubahan entalpi suatu reaksi dapat dihitung sekalipun tidak dapat diukur secara
langsung. Caranya adalah dengan melakukan operasi aritmatika pada beberapa persamaan reaksi yang
perubahan entalpinya diketahui. Persamaan-persamaan reaksi tersebut diatur sedemikian rupa sehingga
penjumlahan semua persamaan akan menghasilkan reaksi yang kita inginkan. Jika suatu persamaan reaksi
dikalikan (atau dibagi) dengan suatu angka, perubahan entalpinya harus dikali (dibagi) pula. Jika persamaan
itu dibalik, maka tanda perubahan entalpi harus dibalik pula (yaitu menjadi -ΔH).

Selain itu, dengan menggunakan hukum Hess, nilai ΔH juga dapat diketahui dengan pengurangan entalpi
pembentukan produk-produk dikurangi entalpi pembentukan reaktan. Secara matematis
Untuk reaksi-reaksi lainnya secara umum
Misalnya 1 mol H2O(l) diubah menjadi mol H2O(g) dengan menyerap panas 41 kJ. Persamaan termokimia
perubahan itu:

H2O(l) ⃗ H2O(g) ΔΗ =+ 41 kJ mol-1


ΔΗ proses itu dapat diketahui dengan pertama – tama menguraikan 1 mol H 2O(l) menjadi gas H2 dan O2 dan
kemudian menggabung kembali unsur – unsur itu menjadi H 2O(g)pada 100o C dan 1 atm, dan penjumlahan
kedua persamaan termokimia itu akan memberikan persamaan termokimia penguapan H 2O(l).
1
H2O(l) ⃗ H2(g) + 2 O2(g) ΔΗ = +283 kJ mol-1
1
H2(g) + 2 O2(g) ⃗ H2O(g) ΔΗ = -242 kJ mol-1

H2O(l) ⃗ H2O(g) ΔΗ = +41 kJ mol-1

Perubahan termokimia penguapan H2O(l) tersebut dapat dinyatakan secara grafik yang disebut diagram entalpi.

Hukum Hess ini penting untuk menghitung ΔΗ yang tidak dapat ditentukan secara langsung melalui
eksperimen seperti :
1
C(S) + 2 O2(g) ⃗ CO(g)

2 C(S) + 2H2(g) + C(S) ⃗ CH3CO2H(l)

1
2


Entalpi



H2O(l)



Contoh
Hitungan perubahan entalpi untuk reaksi :
2Al(s) + FeO3(s) ⃗ 2Fe(s) + Al2O3(s)

Dari perubahan entalpi pembakaran Al dan Fe :


2Al(s) + 3/2 O2(g) ⃗ Al2O3(s) ΔΗ = -1669,8 kJ
2Fe(s) + 3/2 O2(g) ⃗ FeO3(s) ΔΗ = -824,2 kJ

Penyelesaian.
2Al(s) + 3/2 O2(g) ⃗ Al2O3(s) ΔΗ = -1669,8 kJ

FeO3(s) ⃗ 2Fe(s) + 3/2 O2(g) ΔΗ = +824,2 kJ

2Al(s) + 3/2 O2(g) ⃗ 2Fe(s) + Al2O3(s) ΔΗ = -845,6 kJ

1.5 Energi Ikatan


Reaksi kimia terjadi karena pemutusan ikatan – ikatan lama dan pembentukan ikatan baru. Pada pemutusan
ikatan diperlukan energi sedangkan pada pembentukan dibebaskan.

Energi ikatan adalah energi yang diperlukan untuk memutuskan satu ikatan untuk menghadsilkan pecahan –
pecahan yang netral. Sebagai contoh, untuk memutuska ikatan 1 mol gas H 2 menjadi atom H bebas diperlukan
energi sebesar 104 kkal. Berarti energi ikatan H – H dalam molekul H 2 adalah 104 kkal.

Maka reaksi penguraian H2 dapat ditulis:

H2(g) ⃗ 2H(g) ; ΔΗ =+104 kkal atau H2(g) ⃗ 2H(g) – 104 kkal

Energi ikatan rata – rata ialah energi rata – rata yang diperlukan untuk memutuskan suatu ikatan dalam suatu
senyawa. Contoh, pada penguraian 1 mol gas CH4 menjadi atom – atomnya diperlukan 396 kkal.

Reaksinya : CH4 ⃗ C(g) + 4H(g) – 396 kkal


Dalam molekul CH4 ada 4 ikatan CH
−390
Jadi, energi ikatan rata – rata C – H = 4 kkal = - 99 kkal.
Energi yang diperlukan untuk memutuskan salah satu ikatan yang terdapat dalam molekul suatu senyawa
disebut Energi Ikatan Dissosiasi.

Contoh:

CH4 ⃗ CH3(g) + H(g) – 103 kkal


Pada contoh ini CH4 melepaskan 1 atom H. Ternyata energi yang diperlukan tidak sama dengan energi ikatan
rata – rata C – H (103 ¿ 99).
Untuk molekul kompleks, energi yang diperlukan untuk mengubah molekul –moleku gas menjadi atom –
atom gas netral disebut energi atomisasi (atomization energi) yaitu jumlah semua energi ikatan dalam
molekul. Untuk molekul diatomik seperti H2, O2, Cl2, atau HI mempunyai hanya satu ikatan sehingga energi
atomisasi sama dengan energi ikatan.Energi atomisasi merupakan jumlah dari seluruh energi ikatan yang
terdapat dalam 1 mol senyawa.
Contoh, Energi ikatan N – H sebesar 93 kkal/mol. Dalam molekul NH 3 energi atomisasinya ( ada 3 ikatan N –
H ) adalah 3 x 93 kkal/mol = 297 kkal/mol. Energi atomisasi suatu senyawa dapat ditentukan dengan cara
pertolongan entalpi pembentukan senyawa tersebut. Secara matematis hal tersebut dapat dijabarkan dengan
persamaan:

∆H reaksi = ∑ energi pemutusan ikatan - ∑ energi pembentukan ikatan


= ∑ energi ikatan di kiri - ∑ energi ikatan di kanan

Satuan untuk energi ikatan sama seperti satuan perubahan entalpi, yaitu dalam kalori atau joule, dalam satuan
yang lebih besar dinyatakan dalam kkal atau kilojoule. Bedanya pada energi ikatan besar satuan tidak disertai
tanda aljabar.

Penentuan energi ikatan dilakukan dengan cara menguraikan molekul senyawa dalam fase gas menjadi atom –
atomnya, mengukur berapa kalor yang diperlukan untuk pemutusan ikatan tersebut.
Contoh:
Diketahui: 
Energi ikatan
C - H = 414,5 kJ/Mol
C = C = 612,4 kJ/mol
C - C = 346,9 kJ/mol
H - H = 436,8 kJ/mol

Ditanya: 

∆H reaksi = C2H4(g) + H2(g)  C2H6(g)

∆H = Jumlah energi pemutusan ikatan - Jumlah energi


reaksi  pembentukan ikatan
= (4(C-H) + (C=C) + (H-H)) - (6(C-H) + (C-C))
= ((C=C) + (H-H)) - (2(C-H) + (C-C))
= (612.4 + 436.8) - (2 x 414.5 + 346.9)
= - 126,7 kJ

Tabel 6.1 Energi Ikatan


Ikata
En ( KJ mol-1) Ikatan En ( KJ mol-1)
n
H-C 415 H-I 299
H-O 463 C-O 356
  H-N 391 C=O 724
H-F 563 C-N 292
H-Br 366 C=N 619
C-C 348 CN 879
C=C 607 H-Cl 432
CC 833

1.6 Hukum Kedua Termodinamika


Hukum kedua termodinamika terkait dengan entropi. Hukum ini menyatakan bahwa total entropi dari suatu
sistem termodinamika terisolasi cenderung untuk meningkat seiring dengan meningkatnya waktu, mendekati
nilai maksimumnya.
Dasar Hukum Termodinamika 2, yaitu
 Proses Spontan
 Proses reversibel / irreversibel
Formulasi Kelvin-Planck atau Hukum Termodinamika Kedua menyebutkan bahwa adalah tidak
mungkin untuk membuat sebuah mesin kalor yang bekerja dalam suatu siklus yang semata-mata mengubah
energi panas yang diperoleh dari suatu reservoir pada suhu tertentu seluruhnya menjadi usaha mekanik.
Hukum kedua termodinamika mengatakan bahwa aliran kalor memiliki arah; dengan kata lain, tidak semua
proses di alam semesta adalah reversible (dapat dibalikkan arahnya). Sebagai contoh jika seekor beruang
kutub tertidur di atas salju, maka salju dibawah tubuh nya akan mencair karena kalor dari tubuh beruang
tersebut. Akan tetapi beruang tersebut tidak dapat mengambil kalor dari salju tersebut untuk menghangatkan
tubuhnya. Dengan demikian, aliran energi kalor memiliki arah, yaitu dari panas ke dingin. Satu aplikasi
penting dari hukum kedua adalah studi tentang mesin kalor.

Tidak mungkin membuat suatu mesin yang bekerja secara terus-menerus serta rnengubah semua kalor yang
diserap menjadi usaha mekanis.
T1 > T2, maka usaha mekanis:
W = Q1 - Q2
Ƞ= W/Q1 = 1 - Q2/Q1 = 1 - T2/T1
T1 = reservoir suhu tinggi
T2 = reservoir suhu rendah
Q1 = kalor yang masuk
Q2 =kalor yang dilepas
W = usaha yang dilakukan
Ƞ= efesiensi mesin

Untuk mesin pendingin:


Ƞ = W/Q2 = Q1/Q2 -1 = T1/T2 - 1
Koefisien Kinerja = 1/ Ƞ

 Entropi, yaitu derajat ketidakteraturan partikel dalam system merupakan besaran termodinamika dan diberi
lambing ( S )
S = q / T
qir = U + p(V2-V1) qir (kalor irreversibel)
qr = U + nRTln V2/V1 qr (kalor reversibel)

Peralihan wujud;
 Merupakan proses isothermal
 Contoh : penguapan air dan pencairan es
 Rumus
qr = n Hvap
Maka
S = n Hvap / Tb
S = perubahan entropi (JK-1)
Hvap = kalor penguapan (Jmol-1)
Tb = titik didih (°K)
n = jumlah mol zat (mol)

 Perubahan dari padat ke cair


S = n Hfus / Tfus
Hfus = kalor peleburan ( Jmol-1)
Tfus = titik lebur (°K)

1.7 Hukum Ketiga Termodinamika


Cara menentukan S suatu reaksi berbeda dari proses ekspansi dan peralihan wujud. Dalam reaksi terjadi
perubahan jenis dan jumlah partikel antara keadaan awal (pereaksi) dan akhir (reaksi). S reaksi dihitung dari
perbedaan entropi hasil reaksi dengan pereaksi, contoh:
AB + CD  AC + BD
S1 S2
S = Entropi hasil reaksi – Entropi pereaksi
= S2 - S1

Nilai Entropi zat yang terlibat dalam reaksi sangat penting untuk menghitung S reaksi. Oleh karena itu kita
kembali pada konsep entropi itu sendiri.

Entropi adalah derajat ketidakteraturan partikel materi. Nilainya bertambah jika diberi kalor dan diikuti
kenaikan suhu. Sebaliknya, nilai itu turun bila kalor yang keluar disertai dengan turunnya suhu. Dalam dunia
keilmuan suhu terendah adalah 0° K sehingga diasumsikan pada suhu ini zat murni tersusun paling teratur.
Berdasarkan asumsi itu disepekati suatu perjanjian yang disebut hukum ketiga termodinamika.
S0°K = 0
Atau suatu unsur/senyawa yang murni dalam bentuk kristal yang sempurna mempunyai entropi 0 pada suhu 0°
K.

Contoh soal:
Tentukan S° bila 15 g gas C2H6 bereaksi dengan oksigen.
Jawab:
15 C2H6 = 0,5 mol
2C2H6 (g) + 15 O2(g) 4 CO2(g) + 6H2O(l)
2(229,5) 15(205) 4( 213,6) 6(69,9)
S = 4(213,6) + 6(69,9) - 2(229,5) - 15(205)
= -2260 JK-1 (untuk 2 mol C2H6 )

1.7.1 Energi Bebas


Arah proses dapat diketahui dari nilai Sas (entropi alam semesta) , apakah positf atau negative. Namun untuk
menghitung Sas , harus dari S system dan S lingkungan, sedangkan S lingkungan sulit ditentukan.
Untuk memecahkan masalah ini, kita kembali melihat perbedaan proses irreversibel (q ir) dan reversibel (qr).
Perbedaan itu dapat dipakai sebagai acuan menentukan jenis proses, apakah irreversibel, reversibel, dan tidak
spontan, yakni;

qir - qr = - (proses irreversibel) ____terjadi


qir - qr = 0 (proses reversibel )_____terjadi
qir - qr = + ( proses spontan )______tidak terjadi
Jika proses berlangsung pada tekanan tetap
qir = H
Untuk proses reversibel
S = qr / T atau qr = TS
Dari rumus di atas didapat:
qir - qr = H - TS
= H2 – H1- T(S2-S1)
qir - qr = (H2- TS2)- (H1-TS1)

Telah diketahui bahwa H1 dan S1 adalah besaran termodinamika pada keadaan awal, sedangkan H 2 dan S2 pada
keadaan akhir. Akibatnya dalam proses isothermal, nilai H 1-TS1 dan H2-TS2 juga merupakan besaran
termodinamika yang dilambangkan masing-masing denagn G1 dan G2 yang disebut energi bebas Gibbs.
H1-TS1 = G1
H2-TS2 = G2

Harga energi bebas Gibbs secara umum adalah


G = H – TS

Dengan demikian, persamaan 4.2 menjadi


qir - qr = G2 – G1
= G
Sesuai dengan kriteria di atas, maka nilai G mempunyai arti
G = - proses irreversible = proses spontan
G = 0 proses reversible = proses kesetimbangan
G = + proses tidak spontan
Nilai G suatu proses pada suhu dan tekanan tetap dapat dihitung dengan hasil subsitusi persamaan 4.1 dan
4.3, yaitu

G = H - TS

Sesuai dengan criteria di atas, nilai G lebih praktis untuk menentukan arah proses pada suhu dan tekanan
tetap dibandingkan nilai Sas, karena G dapat dihitung dari H dan S system, bukan dari lingkungan.
Bila proses atau reaksi berlangsung pada keadaan standar maka

G° = H° - TS°


Selama reaksi berlangsung, G reaksi mengalami perubahan karena mol pereaksi berkurang dan mol hasil
reaksi bertambah. Menghitung G° reaksi dari nilai H dan S cukup panjang, maka harus dicari jalan
lebih pendek. Nilai G reaksi adalah selisih energi bebas hasil reaksi dengan pereaksi.

A + B  C +D G= G2 - G1
G1 G2

Masalahnya nilai mutlak GA, GB, GC, dan GD tidak diketahui karena nilai G bergantung pada nilai H (G = H-
TS). Jika diperhatikan hubungan G= H-TS, berlaku baik untuk reaksi maupun zat murni. Dengan
demikian, kita dapat menghitung energi bebas pembentukan relative (G°) unsure atau senyawa dalam
keadaan standar. Contohnya energi bebas pembentukkan relatif C(s), O 2(g), dan CO2(g),

G° = H° - TS°


= 0 – 298 x 0,0057 kJ
= -1, 67 kJ
G° O2(g) = H° - TS°
= 0 – 298 x 0,205 kJ
= -61,09 kJ

BAB VII
WUJUD ZAT

A. KOMPETENSI DASAR
Mahasiswa dapat memahami wujud zat

B. INDIKATOR
1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan sifat gas, cairan, dan padatan
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang hukum-hukum gas
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang reaksi kimia antara gas
4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang gas ideal
5. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang teori molekul kinetik gas
6. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang zat padat kristal
7. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang kristal cairan
8. Mahasiswa dapat mendeskripsikan diagram fase

C. PENGANTAR
Zat atau materi adalah sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa. Menempati ruang berarti benda
dapat ditempatkan dalam suatu ruang atau wadah tertentu sedangkan massa benda dapat diukur baik dengan
perkiraan atau dengan alat tertentu seperti neraca. Dua zat tidak dapat menempati ruang yang sama dalam
waktu bersamaan. Setiap zat / materi terdiri dari partikel-partikel / molekul-molekul yang menyusun zat
tersebut.

D. URAIAN MATERI
7.1 Wujud Zat
Berdasarkan wujudnya zat dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu padat, cair, dan gas. Masing-masing
wujud zat mempunyai ciri-ciri khusus baik dilihat dari bentuk fisiknya maupun partikel-partikel penyusunnya
sebagai berikut:
Gas , memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
 Letak molekulnya sangat berjauhan
 Jarak antar molekul sangat jauh bila dibandingkan dengan molekul itu sendiri.
 Molekul penyusunnya bergerak sangat bebas
 Gaya tarik menarik antar molekul hampir tidak ada
 Baik volume maupun bentuknya mudah berubah
 Dapat mengisi seluruh ruangan yang ada.
Contoh: Udara
Cair , memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
 Letak molekulnya relatif berdekatan bila dibandingkan dengan gas tetapi lebih jauh daripada zat padat.
 Gerakan molekulnya cukup bebas
 Molekul dapat berpindah tempat, tetapi tidak mudah meninggalkan kelompoknya karena masih terdapat
gaya tarik menarik.
 Bentuknya mudah berubah (menyesuaikan wadah/tempatnya) tetapi volumenya tetap.
Contoh: air, minyak , oli.

Padat, memiliki cirri – ciri sebagai berikut:


 Letak molekulnya sangat berdekatan dan teratur.
 Gaya tarik-menarik antar molekul sangat kuat sehingga gerakan molekulnya tidak bebas.
 Gerakan molekulnya terbatas, yaitu hanya bergetar dan berputar di tempat saja.
 Molekul-molekulnya sulit dipisahkan sehingga membuat bentuknya selalu tetap atau tidak berubah.
Contoh: kayu, batu, besi.

7.2 Gas
7.2.1 Teori Kinetika Gas
Berdasarkan hasil eksperimen, diketahui bahwa semua gas dengan komposisi kimia apapun pada temperatur
tinggi dan tekanan rendah cenderung memperlihatkan suatu hubungan sederhana tertentu di antara sifat-sifat
makroskopisnya, yaitu tekanan, volum, dan temperatur. Hal ini menganjurkan adanya konsep tentang gas ideal
yang memiliki sifat makroskopis yang sama pada kondisi yang sama. Dari sifat makroskopis suatu gas, yaitu
kelajuan, energi kinetik, momentum, dan massa setiap partikel penyusun gas kita dapat mendefinisikan gas
ideal dengan suatu asumsi (anggapan) tetapi tetap konsisten (sesuai) dengan definisi makroskopis.
Gas ideal adalah gas yang memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Suatu gas terdiri dari partikel-partikel yang disebut molekul dan setiap molekul adalah identik (sama)
sehingga tidak dapat dibedakan dengan molekul lainnya.
b. Partikel-partikel gas berbentuk bola padat yang bergerak secara acak, segala arah, berbagai kecepatan
dan memenuhi hukum gerak Newton.
c. Jumlah molekul gas sangat banyak tetapi tidak terjadi gaya interaksi antar molekul.
d. Ukuran molekul gas sangat kecil sehingga dapat diabaikan terhadap ukuran wadah.
e. Molekul gas terdistribusi merata pada seluruh ruangan dalam wadah.
f. Setiap tumbukan yang terjadi (antar molekul dengan molekul atau molekul dengan dinding wadah)
adalah elastis sempurna.

Teori kinetika merupakan suatu teori yang secara garis besar adalah hasil kerja dari Count Rumford (1753-
1814), James Joule (1818-1889), dan James Clerk Maxwell (1831-1875), yang menjelaskan sifat-sifat zat
berdasarkan gerak acak terus menerus dari molekul-molekulnya. Dalam gas misalnya, tekanan gas adalah
berkaitan dengan tumbukan yang tak henti-hentinya dari molekul-molekul gas terhadap dinding-dinding
wadahnya.

Dalam pembahasan ini gas yang akan dibahas adalah gas ideal yaitu gas yang secara tepat memenuhi hukum-
hukum gas. Dalam keadaan nyata tidak ada gas yang termasuk gas ideal tetapi gas-gas nyata pada tekanan
rendah (lebih kecil dari satu atmosfer) dan suhunya tidak dekat dengan titik cair gas, cukup akurat memenuhi
hukum-hukum gas ideal.

7.2.2 Persamaan Umum Gas Ideal


a. Hukum Boyle
Robert Boyle (1627 – 1691) melakukan percobaan untuk menyelidiki hubungan tekanan dengan volume gas
dalam suatu wadah tertutup pada suhu konstan. Hubungan tersebut pertama kali dinyatakan pada tahun 1666,
yang dikenal sebagai hukum Boyle, yang berbunyi: “Jika suhu gas yang berada dalam bejana tertutup dijaga
konstan, maka tekanan gas berbanding terbalik dengan volumenya”. Secara matematis, pernyataan di atas
dapat ditulis sebagai berikut:

PV = konstan

P1V1 = P2V2 (1)

Di mana

P = tekanan (N/m2 = Pa)

V = volume (m3)

Gambar 7.1 Grafik Hubungan P – V Pada T Konstan

b. Hukum Charles
Jacques Charles (1746–1823) menyelidiki hubungan volume dengan suhu dalam suatu wadah tertutup pada
tekanan konstan, yang berbunyi: “Jika tekanan gas yang berada dalam bejana tertutup (tidak bocor) dijaga
tetap, maka volume gas sebanding dengan suhu mutlaknya”. Secara matematis pernyataan di atas dapat ditulis
sebagai berikut:

V V1 V2
 
T Konstan T1 T2 …… (2)
Di mana:
V: Volume (m3) T : Suhu mutlak (K)
Gambar 7.2 Ilustrasi dan Grafik Hubungan V – T Pada P Konstan

c. Hukum Gay Lussac


Joseph Gay Lussac (1778–1805) menyelidiki hubungan suhu dengan tekanan dalam suatu wadah tertutup pada
volume konstan yang berbunyi: “Jika volume gas yang berada dalam bejana tertutup dijaga konstan, maka
tekanan gas sebanding dengan suhu mutlaknya”. Secara matematis pernyataan di atas dapat ditulis sebagai
berikut:

P P1 P2
 
T Konstan T1 T2 (3)

Gambar 7.3 Grafik dan Ilustrasi Hubungan P – T Pada V Konstan

d. Hukum Boyle-Gay Lussac


Persamaan gas ideal yang memenuhi hukum Boyle dan Charles Gay Lussac dengan menyatukan ketiga
persamaan, adalah:

PV P1V1 P2V2
 tetap 
T T1 T2 (4)
Persamaan ini dikenal dengan persamaan Boyle-Gay Lussac. Persamaan ini sebaiknya digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal suatu gas yang jumlahnya tetap (massanya tetap) yang mengalami dua keadaan
(keadaan 1 dan keadaan 2). Massa suatu gas adalah tetap jika ditaruh dalam wadah yang tidak bocor.

P
Jika suhu T tetap, dihasilkan Pv = tetap; jika tekanan P tetap, dihasilkan T tetap. Persamaan (4) berlaku
untuk percobaan gas ideal dalam bejana tertutup (tidak ada kebocoran) sehingga massa gas tetap selama
percobaan. Jika massa atau mol gas diubah, misal kita menggandakan mol gas n, dengan menjaga tekanan dan
suhu tetap, ternyata hasil volum V yang ganda (lipat dua) juga. karena itu, boleh ditulis bilangan tetap diruas
kanan persamaan (4) dengan nR, dengan R diperoleh dari percobaan, dan diperoleh persamaan umum gas ideal
:

pV  nRT (5)
Dengan
P : tekanan (Pa atau atm) dengan 1 atm = 1 x 105 Pa T : suhu (K)
-1 -1
R : konstanta umum gas : 8314 J kmol K V : volum (m3)
n : Jumlah mol (mol)

Gambar 7.4 Grafik Hubungan tekanan (P),suhu (T) dan volum (V)

e. Hukum Charles
Apabila ditinjau suatu gas yang ditempatkan dalam suatu bejana tertutup seperti ditunjukkan pada gambar
5.5.

Termometer Piston yang dapat bergerak bebas


Digital

Termometer
Digital
Sumber panas

Gambar 7.5 Perubahan suhu dan volum pada tekanan konstan


Beban piston yang dapat bergerak bebas yang terletak pada bagian bejana yang berpenampang kecil digunakan
untuk mempertahankan agar tekanan gas selama proses berlangsung bernilai konstan. Pada saat bejana
dipanaskan, mula-mula tekanan gas naik. Akan tetapi kenaikan tekanan gas akan mendorong piston ke atas
sampai tekanan gas dalam bejana sama dengan tekanan mula-mula. Kemudian dilakukan pengukuran volum
gas untuk tiap-tiap kenaikan suhu. Hasil percobaan ini menyatakan bahwa: “Apabila tekanan gas yang berada
dalam bejana tertutup dipertahankan konstan, maka volum gas sebanding dengan suhu mutlaknya”. Pernyatan
ini dituliskan:
V
=konstan
V~T , T
Untuk gas yang berada dalam dua keadaan kesetimbangan yang berbeda pada tekanan konstan, maka
diperoleh:
V1 V 2
=
T1 T2 (6.6)
Dimana:
V1 : volum gas pada keadaan 1 (m3)
V2 : volum gas pada keadaan 2 (m3)
T1 : suhu mutlak pada keadaan 1 (K)
T2 : suhu mutlak pada keadaan 2 (K)

Persamaan (2) selanjutnya disebut sebagai hukum Charles, sebagai penghargaan terhadap fisikawan perancis
bernama Jacques Charles (1746-1823). Apabila hubungan antara volum dengan suhu gas pada hukum Charles
dilukiskan dalam grafik, maka hasilnya tampak seperti Gambar 5.6 kurva yang terjadi disebut isobarik yang
artinya bertekanan sama.

T
P3 >P2 >P1

P
3
P
2
P
1
V

Gambar 7.6 Grafik hubungan volum dan suhu gas pada tekanan konstan (isobarik)

7.2.3 Tekanan Gas Ideal Menurut Teori Kinetika Gas


Digunakan teori kinetika gas untuk menunjukkan bahwa tekanan suatu gas yang dikerjakan pada suatu
dinding-dinding wadahnya merupakan kosekuensi dari tumbukan molekul-molekul gas dengan dinding-
dinding.

a. Anggapan Dasar Gas untuk gas ideal:


1) Gas terdiri dari molekul-molekul yang sangat banyak dan jarak pisah antar molekul jauh lebih
besar daripada ukurannya. Ini berarti bahwa molekul-molekul menempati volume yang dapat diabaikan
terhadap wadahnya.
2) Molekul-molekul memenuhi hukum gerak newton, tetapi secara keseluruhan mereka bergerak
lurus secara acak dengan kecepatan tetap.
3) Molekul-molekul mengalami tumbukan lenting sempurna satu sama lain dengan dinding
wadahnya. Jadi, dalam tumbukan energi kinetik adalah konstan.
4) Gaya-gaya antar molekul dapat diabaikan kecuali selama satu tumbukan yang berlangsung
sangat singkat.
5) Gas yang dipertimbangkan adalah suatu zat tunggal, sehingga semua molekul adalah identik.

b. Penurunan Rumus Tekanan Gas dalam Ruang Tertutup


Teori kinetik menggunakan asumsi bahwa gerak molekul-molekul dalam gas adalah penyebab timbulnya
tekanan. Beberapa asumsi dasar untuk gas ideal adalah sebagai berikut:
1) Gas terdiri dari partikel-partikel yang disebut atom.
2) Partikel-partikel gas bergerak dalam lintasan lurus dengan kelajuan tetap dan geraknya adalah acak.
3) Semua tumbukan partikel-partikel gas, baik antar partikel ataupun dengan dinding pembatasnya
bersifat lenting sempurna
4) Selang waktu tumbukan antara satu partikel dengan partikel yang lain berlangsung sangat singkat
5) Volum partike-partikel gas sangat kecil dibandingkan dengan ruang yang ditempatinya sehingga dapat
diabaikan
6) Untuk semua partikel-partikel gas berlaku hukum Newton tentang gerak

Untuk mempelajari keadaan molekul atau (partikel) gas, digunakan prinsip mekanika Newton dimana suatu
gas ideal terkurung di dalam sebuah ruang kubus dengan rusuk L.
Z

Y
dinding S dinding T

X L

Gambar 7.7 Kubus tertutup berisi gas ideal

Beberapa buah partikel gas terkurung dalam ruang yang berbentuk kubus dengan panjang rusuk L. Dengan
meninjau sebuah molekul gas bermassa mo yang bergerak menuju dinding X dengan kecepatan terhadap sumbu
X adalah v1x. Molekul ini mempunyai komponen momentum terhadap X sebesar mov1x kearah dinding. Karena
tumbukan bersifat lenting sempurna, maka setelah terjadi tumbukan kecepatan molekul menjadi –v1x dan
momentumnya –mov1x. Sehingga perubahan momentum gas:
Δp = momentum akhir – momentum awal
= (-m0v1x) – (m0v1x)
= -2mov1x (6)

Selang waktu untuk perjalanan bolak balik sebuah molekul tanpa bertumbukan dari X-Y-X adalah:
2L
t 
v1x …………………………………… (7)

Laju perubahan momentum molekul dituliskan sebagai:


p 2m0v1x

t 2 L / v1 x

m0v 21x

L …………. (8)
Dalam hukum II Newton, laju perubahan momentum molekul ini sama dengan gaya yang dikerjakan molekul
pada dinding sehingga
p
F
t
m0 v 21 x
F
L ……………………...…………… (9)

Jika luas dinding batas A adalah L2 maka tekanan gas P adalah gaya per satuan luas, sehingga:

F m0 v 2 1 x / L
P 
A L2
m0 v 2 1 x

L3 …… ….. (10)

Jika ada sejumlah N molekul gas dalam ruang tertutup dan komponen X nya adalah v1x, v2x, v3x, ……, vNx, maka
tekanan total gas pada dinding X menjadi

P
m0 2
3

v 1x  v 2 2 x  v 2 3 x  ......  v 2 Nx 
L .…. (11)

Dengan mengetahui bahwa nilai kuadrat rata-rata komponen X dari kecepatan diberikan oleh

v 21x  v 2 2 x  v 2 3 x  ......  v 2 Nx
v 2
x 
N … …….. (12)
Maka persamaan (10) menjadi
m0 2
P 3
N vx
L ……………… …………. (13)

Dalam gas, molekul-molekul bergerak ke segala arah dalam ruang tiga dimensi. Sesuai dengan asumsi gas
ideal, setiap molekul gas bergerak acak dengan kecepatan yang tetap, maka nilai kuadrat rata-rata kecepatan
pada arah X, Y, dan Z adalah sama besar, yaitu
2 2 2
v x  v y  vz
……………………………… (14)
2 2 2
2 v v ,v
Sehingga kuadrat rata-rata kecepatan v adalah resultan dari kuadrat rata-rata x , y z Yaitu;
2 2
v 2  v x  v y  vz
2

2
v 2  3vx

2 1
vx  v 2
3 ……………………….…………… (15)

Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke persamaan (15) diperoleh:

m0  1 2  1 m0 N v 2
p N v  
L3  3  3 L3 … ……..……… (16)

3
Jika L adalah volume gas V sehingga persamaan (16) menjadi:
1 N
P m0 v 2  
3  V … (17)
Keterangan:
P = tekanan gas (Pa) N = banyak molekul ( partikel )
m0 = masa sebuah molekul (kg) V = Volume gas (m 3)

v 2
= rata-rata kuadrat kecepatan
m s  2

CONTOH SOAL :
1. Berapakah volum 360 ml sampel gas pada tekanan 625 torr bila tekanan diubah menjadi 750 torr, pada
suhu tetap?

Penyelesaian:
P1 V1 = P2 V2
625 torr . 360 ml = 750 torr . V2
625 torr . 360 ml
= V2
750 torr
V2 = 300 ml.

2. Gas anaestetik (gas patirasa) diberikan kepada pasien, pada suhu kamar 20 ° C dan suhu tubuh pasien 37°
C. Bila 1, 6 L gas diberikan kepada pasien, bagaimanakah pengaruh suhu tubuhnya terhadap volu gas
tersebut?
Penyelesaian:
V1 V2
=
T1 T2
310 K
V2 = 1, 60 L x = 1, 69 L
293 K

3. Berapakah volum yang ditempati 10 gr gas CO pada 20°C dan 745 torr?
Penyelesaian:
1mol CO
- Jumlah mol CO = 10 gr x = 0, 357 mol CO
28 , 0CO
1 atm
- Tekanan (P) CO = 745 torr x = 0, 980 atm
760torr
- Penggunaan tetapan molar gas (R) sebagai faktor konversi, maka

0 , 0821 L atm 0 ,357 mol x 293 K


V= x = 8, 76 L
1 mol . K 0 , 980 atm

7.3 Zat Padat


Zat padat adalah sebuah objek yang cenderung mempertahankan bentuknya ketika gaya luar
mempengaruhinya. Karena kepadatannya itu, bahan padat digunakan dalam bangunan yang semua strukturnya
komplek yang berbentuk. Seorang ahli mempelajari alat-alat mekanik dari bahan material, seperti baja dan
beton, digunakan untuk struktur yang akan dia bangun, demikian pula, ini juga menarik minat ahli biologi
untuk mengetahui sesuatu tentang alat-alat material, seperti kayu dan tulang yang berasal dari komponen
tanaman dan binatang.

7.3.1 Kristal Padat


Kristal adalah suatu padatan yang atom, molekul, atau ion penyusunnya terkemas secara teratur dan polanya
berulang melebar secara tiga dimensi. Secara umum, zat cair membentuk kristal ketika mengalami proses
pemadatan. Pada kondisi ideal, hasilnya bisa berupa kristal tunggal, yang semua atom-atom dalam padatannya
"terpasang" pada kisi atau struktur kristal yang sama, tapi, secara umum, kebanyakan kristal terbentuk secara
simultan sehingga menghasilkan padatan polikristalin. Misalnya, kebanyakan logam yang kita temui sehari-
hari merupakan polikristal. Struktur kristal mana yang akan terbentuk dari suatu cairan tergantung pada kimia
cairannya sendiri, kondisi ketika terjadi pemadatan, dan tekanan ambien. Proses terbentuknya struktur kristalin
dikenal sebagai kristalisasi. Struktur kristal terjadi pada semua kelas material, dengan semua jenis ikatan
kimia. Hampir semua ikatan logam ada pada keadaan polikristalin; logam amorf atau kristal tunggal harus
diproduksi secara sintetis, dengan kesulitan besar. Kristal ikatan ion dapat terbentuk Biofisika 2 saat
pemadatan garam, baik dari lelehan cairan maupun kondensasi larutan. Kristal ikatan kovalen juga sangat
umum. Contohnya adalah intan, silika dan grafit. Material polimer umumnya akan membentuk bagian-bagian
kristalin, namun panjang molekulmolekulnya biasanya mencegah pengkristalan menyeluruh. Gaya Van der
Waals lemah juga dapat berperan dalam struktur kristal. Contohnya, jenis ikatan inilah yang menyatukan
lapisan-lapisan berpola heksagonal pada grafit. Kebanyakan material kristalin memiliki berbagai jenis cacat
kristalografis. Jenis dan struktur cacat-cacat tersebut dapat berefek besar pada sifat-sifat material tersebut.
Meskipun istilah "kristal" memiliki makna yang sudah ditentukan dalam ilmu material dan fisika zat padat,
dalam kehidupan sehari-hari "kristal" merujuk pada benda padat yang menunjukkan bentuk geometri tertentu,
dan kerap kali sedap di mata. Berbagai bentuk kristal tersebut dapat ditemukan di alam.

Bentuk-bentuk kristal ini bergantung pada jenis ikatan molekuler antara atom-atom untuk menentukan
strukturnya, dan juga keadaan terciptanya kristal tersebut. Bunga salju, intan, dan garam dapur adalah contoh-
contoh kristal. Beberapa material kristalin mungkin menunjukkan sifat-sifat elektrik khas, seperti efek
feroelektrik atau efek piezoelektrik. Kelakuan cahaya dalam kristal dijelaskan dalam optika kristal. Dalam
struktur dielektrik periodik serangkaian sifatsifat optis unik dapat ditemukan seperti yang dijelaskan dalam
kristal fotonik. Molekul dari zat padat, seperti liquid, yang menutup bersama itu mendesak kuat gaya-gaya
pada masing-masing zat. Walaupun, liquid dalah maloekul-molekul yang bebas untuk bergerak dan mengingat
dalam zat padat mempunyai posisi yang tetap. Posisi yang tetap dari molekul ini menjadikan bentuk yang
tetap.

7.3.2 Struktur Kristal


Susunan khas atom-atom dalam kristal disebut struktur kristal. Struktur kristal dibangunoleh sel satuan (unit
cell) yang merupakan sekumpulan atom yang tersusun secara khusus,secara periodik berulang dalam tiga
dimensi dalam suatu kisi kristal (crystal lattice). Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebuah
Kristal Ideal disusun olehsatuan-satuan struktur yang identik secara berulang-ulang yang tak hingga didalam
ruang.Untuk menggambarkan struktur kristal ini dapat digambarkan/dijelaskan dalam istilah –istilah Lattice
(kisi) dan sebuah Basis yang ditempelkan pada setiap titik lattice (titik kisi)

Kisi kristal : Kisi adalah sebuah susunan titik – titik yang teratur dan periodik di dalam ruang.
Basis : sekumpulan atom, dengan jumlah atom dalam ssebuah basis dapat berisi satuatom atau lebih.

Atau secara singkatnya adalah struktur kristal terdiri dari kisi dan basis, Struktur kristalakan terjadi bila
ditempatkan suatu basis pada setiap titik kisi sehingga struktur kristalmerupakan gabungan antara kisi dan
basis. Apabila dinyatakan dalam hubungan dua dimensiadalah sebagai berikut
Gambar 7.8 Kisi dan basis

Sehingga apabila atom atau sekumpulan atom tersebut menempati titik-titik kisi maka akan membentuk suatu
struktur kristal.
Jarak antar kisi dalam arah sumbu X = 1 a
Jarak antar kisi dalam arah sumbu Y = 2 a

Jarak dari titik yang satu ke titik yang lain boleh sama atau berbeda, jika sama (dalam kisi dua dimensi) akan
berbentuk bujur sangkar dan jika berbeda akan berbentuk 4 persegi panjang.
Contoh:
H2O = 1 basis (ada 3 atom)
H2SO4 = 1 basis (ada 7 atom)
Untuk kristal monoatomik dalam 1 basis hanya 1 atom.
Sebuah operasi translasi kisi didefinisikan sebagai perpindahan dari sebuah kristal olehsebuah vektor translasi
kristal (T)

Dimana:
u: bilagan bulat
ā: jarak antar kisi

Contoh

Gambar 7.9 Arah Vektor

Posisi dari sebuah pusat atom j dari sebuah basis relative terhadap titik lattice dimana basis diletakkan adalah
Dengan:

Contoh

Gambar 7.10 Basis

a. Cell Lattice Primitif


= Sebuah sel yang mempunyai luas atau volume terkecil
= Lawan dari sel konvensional, yaitu sel yang mempunyai luas atau volume Terbesar
= Sel yang mempunyai 1 titik kisi
= Sebuah pararelepipid yang dibentuk oleh sumbu-sumbu

b. Cara Menentukan sel primitif (Sumbu-sumbu primitif)


Cara lain untuk memilih sel perimitif: Metode Wigner Seitz.
1. Hubungkan sebuah titik lattice dengan titik lattice di sekitarnya.
2. Di tengah-tengah dan tegak lurus terhadap garis penghubung ini,
lukislah garis-garis atau bidang-bidang. Luas terkecil atau volume terkecil yang dilingkupi oleh garis-
garis atau bidang-bidang ini disebut dengan sel primitf Wigner seitz.
Contoh

c. Tipe – tipe lattice dasar


Lattice (kisi) dua dimensi: ada lima (5) jenis, yaitu
1. Kisi miring
2. Kisi bujur sangkar
3. Kisi heksagonal
4. Kisi segi panjang
5. Kisi segi panjang berpusat
Catatan:
Jenis kisi no 1: jenis kisi umum
Jenis kisi no 2, 3, 4 dan 5 merupakan jenis kisi khusus

7.4 Diagram Fase


Diagram fase yang paling sederhana adalah diagram tekanan-temperatur dari zat tunggal, seperti  air. Sumbu-
sumbu diagram berkoresponden dengan tekanan dan temperatur. Diagram fase pada ruang tekanan-temperatur
menunjukkan garis kesetimbangan atau sempadan fase antara tiga fase padat, cair, dan gas.

Gambar 7.11 Diagram Fase

Diagram fase yang umum. Garis titik-titik merupakan sifat anomali air. Garis berwarna hijau menandakan titik
beku dan garis biru menandakan titik didih yang berubah-ubah sesuai dengan tekanan. Penandaan diagram
fase menunjukkan titik-titik di mana energi bebas bersifat non-analitis. Fase-fase dipisahkan dengan sebuah
garis non-analisitas, di mana transisi fase terjadi, dan disebut sebagai sempadan fase. Pada diagaram sebelah
kiri, sempadan fase antara cair dan gas tidak berlanjut sampai tak terhingga. Ia akan berhenti pada sebuah titik
pada diagaram fase yang disebut sebagai titik kritis. Ini menunjukkan bahwa pada temperatur dan tekanan
yang sangat tinggi, fase cair dan gas menjadi tidak dapat dibedakan [1], yang dikenal sebagai fluida
superkritis. Pada air, titik kritis ada pada sekitar 647 K dan 22,064 MPa (3.200,1 psi) Keberadaan titik kritis
cair-gas menunjukkan ambiguitas pada definisi di atas. Ketika dari cair menjadi gas, biasanya akan melewati
sebuah sempadan fase, namun adalah mungkin untuk memilih lajur yang tidak melewati sempadan dengan
berjalan menuju fase superkritis. Oleh karena itu, fase cair dan gas dapat dicampur terus menerus. Sempadan
padat-cair pada diagram fase kebanyakan zat memiliki gradien yang positif. Hal ini dikarenakan fase padat
memilikidensitas yang lebih tinggi daripada fase cair, sehingga peningkatan tekanan akan meningkatkan titik
leleh. Pada beberapa bagian diagram fase air, sempadan fase padat-cair air memiliki gradien yang negatif,
menunjukkan bahwa es mempunyai densitas yang lebih kecil daripada air.

Selain temperatur dan tekanan, sifat-sifat termodinamika lainnya juga dapat digambarkan pada diagram fase.
Contohnya meliputi volume jenis, entalpi jenis, atau entropi jenis. Sebagai contoh, grafik komponen tunggal
Temperatur vs. Entropi jenis (T vs. s) untuk air/uap atau untuk refrigeran biasanya digunakan untuk
mengilustrasikan siklus termodinamika seperti siklus Carnot dan siklus Rankine. Pada grafik dua dimensi, dua
kuantitas termodinamika dapat ditunjukkan pada sumbu horizontal dan vertikal. Kuantitas termodinamika
lainnya dapat diilustrasikan dengan bertumpuk sebagai sebuah deret garis atau kurva. Garis-garis ini mewakili
kuantitas termodinamika pada nilai konstan tertentu.

E. EVALUASI
1. Untuk paduan dengan komposisi 74 wt% Zn – 26 wt% Cu,
sebutkanlah fase-fase yang dijumpai pada temperatur-temperatur berikut: 8000 C, 7500 C, 6800 C, 6000C,
dan 5000 C.
a. Jelaskan dengan rinkas fenomena dari pembentukan cored structured dan apa
penyebab terjadinya.
b. Sebutkanlah satu konsekuensi yang tidak diinginkan dari pembentukan struktur inti
(cored structured).
2. Misalkan 3,5 kg austenite mengandung 0,95 wt% C, didinginkan
ke suhu di bawah 7270 C.
a. Apakah fase dari proeutektoid?
b. Berapa kg berat ferit total dan sementit?
c. Berapa kg berat fase pearlite dan proeutektoid?
d. Buatlah sketsa sturktur mikro yang terjadi, dan beri nama.
DAFTAR PUSTAKA
1. J.E Bradydan E Humiston (Alih Bahasa), Kimia Universitas: Asas dan
Struktur, Binarupa Aksara, Jakarta
2. Petrucci. Suminar A (Alih Bahasa). 1990. Kimia Dasar: Prinsip Dan Terapan
Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga.
3. Syukri. Kimia Dasar. Bandung. Penerbit ITB Press

Anda mungkin juga menyukai