Anda di halaman 1dari 44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Pengkajian
Kasus 1 (A1)
Klien bernama An.A berumur 12 tahun , lahir di cianjur pada
tanggal 25 November 2006 dan berjenis kelamin laki-laki.Klien
tinggal bersama ibu dan ayahnya di kp. Cimenteng girang kabupaten
cianjur. Klien masuk rumah sakit pada tanggal 23-03-2019 dengan
diagnosa medis Demam Typhoid dan peneliti melakukan pengkajian
pada klien tanggal 26-03-2019. Keluarga yang dapat dihubungi yaitu
Ny.R usia 29 tahun selaku ibu klien, beliau bekerja sebagai ibu rumah
tangga dan pendidikan terakhirnya SMA.
Pada saat dilakukan pengkajian ibu klien mengeluh anaknya
demam, demam yang klien rasakan naik turun. Demam di rasakan di
seluruh tubuh dengan suhu 38,80C. Demam sering meningkat pada
malam dan sore hari serta menurun pada pagi hari. Ibu klien
mengatakan bahwa sebelumnya klien belum pernah sakit parah/dirawat
di rumah sakit dan sekarang merupakan pengalaman pertama klien di
rawat di rumah sakit. Ibu klien mengatakan bahwa dikeluargannya
tidak ada penyakit turunan.
Ibu klien mengatakan sewaktu mengandung klien tidak ada
keluhan yang berarti cuma mengalami mual muntah di pagi hari pada
awal kehamila. Klien lahir di rumah dengan bantuan bidan, klien lahir
secara normal/pervagina dan spontan menangis sewaktu lahir. Ibu
klien mengatakan bahwa klien imunisasinya lengkap karena sewaktu
kecil mengikuti posyandu setiap bulan. Klien di berikan ASI dari lahir
sampai klien berusia 2 tahun dan diberikan makanan pendamping ASI
sejak usia 6 bulan.
Klien lahir dengan panjang badan 52 cm dan berat badan lahir
3500 gram. Sekarang klien bersusia 12 tahun dengan panjang badan
143 cm dan berat badan 38 kilogram. Ibu klien mengatakan klien bisa
berjalan lancar usia 1 tahun. Perkembangan psikoseksual klien bahwa
klien sudah memasuki fase laten dengan bukti ibu klien mengatakan
bahwa klien meminta ibunya untuk mengambil buku LKSnya untuk
melihat tata cara sholat selagi sakit, dengan begitu pemikiran dan
keterampilan klien mulai berkembang. Pernyataan tersebut dapat
membuktikan bahwa perkembangan kognitif klien sudah masuk ke
tahap operasional konkret. Klien telah memasuki perkembangan
psikososial mulai memasuki tahap industri vs inferios dengan bukti
klien mengeluh kepada ibunga bahwa ingin segera pulang karena tidak
mau ketinggalain pelajran di sekolah.
Ibu klien mengatakan bahwa beliau dan klien cemas karena ini
pengalaman pertama klien dirawat di rumah sakit. Ibu klien
mengatakan bahwa klien biasa berkomunikasi apabila berada di
lingkungan rumahnya/dengan orang yang dikenalnya dan pada saat di
rumah sakit jarang berkomunikasi karena klien kurang kenal dan
akrab. Ibu klien mengatakan bahwa klien sewaktu di rumah sakit tidak
tertimeninggalkan shalat, klien di rumah sakit beribadah dengan cara
toharah dan shalat dengan cara berbaring dan menghadap ke kiblat.
Pola kebiasaan sehari-hari (ADL) klien mengalami masalah pada
nutrisi karena di sebabkan nafsu makan menurun porsi makan hanya
menghabiskan ¼ porsi dan klien mengeluhkan nyeri menelan. Pada
eliminasi mengalami gangguan karena intake cairan yang di keluarkan
tidak sebanding dengan intake cairan yang masuk. Sedangkan untuk
personal hygine, pola istirahat tidur, aktivitas dan latihan serta
kebiasaan tidak ada gangguan.

Pemeriksaan fisik klien menunjukan keadaan umum klien lemas,


tampak cemas dan gelisah, kesadaran composmentis dengan GCS
(E4V5M6) tanda-tanda vital di dapatkan respirasi 18x/Menit, nadi
o
120x/menit dan suhu 38.8 C. Pemeriksaan kepala dan muka
didapatkan bentu kepala bulat, simetris, rambut berwarna hitam, muka
memerah, dan tidak ada nyeri tekan pada kepala dan muka. Pada mata
didapatkan kedua mata simetris konjungtiva anemis sclera tidak
ikterik, fungsi penglihatan baik klien bisa membaca nametag dalam
jarak 1 meter dan tidak ada nyeri tekan pada mata.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil hidung utuh, kedua
lubang hidung simetris fungsi penciuman baik dan tidak ada nyeri
tekan. Pada telinga tidak ada kotoran, kedua telinga simetris dan utuh,
fungsi pendengaran baik dan tidak ada nyeri tekan pada kedua telinga.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan mulut tampak kering, tidak ada
karies pada gigi, tidak ada karang gigi, lidah lotor/putih, kemerahan
pada tenggorokan dan tonsil serta tidak ada nyeri tekan pada area
bibir/mulut. Pada leher tidak ada pembesaran JVP, kulit leher bersih
merata, tidak ada pembesaran kelejar tyroid dan tidak ada nyeri tekan
pada leher.
Pada periksaan thorak warna kulit merata, tarikan dinding dada
simetris, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan pada thorak kanan dan
kiri, terdengar suara pekak perkusi area jantung dan suara sonor saat
perkusi area paru. Hasil auskultasi bunyi nafas vesikuler tidak ada
suara nafas tambahan. Abdomen ditemukan warna kulit merata, tidak
ada lesi, bising usus 12x/menit, tidak ada nyeri tekan di area abdomen
dan terdengar suara timpani pada saat di perkusi. Ektremitas atas
terpasang infus di tangan kanan, tidak ada lesi di kedua tangan, turgor
kulit >2 detik dan tidak ada nyeri tekan di kedua tangan. Esktremitas
bawah tidak terdapat lesi di kedua kaki, tidak ada edema dan tidak ada
nyeri tekan di kedua kaki. Klien mengatakan di genetalia tidak ada lesi
dan tidak ada nyeri tekan.
Terapi pengobatan yang diberikan pada klien yaitu infus ringer
lacta tmelalui intravena, ceptriaxon 2x1 gram pemeberian melaui
intravena pada pukul 05:00 dan 17:00 WIB. Omeprazole 1x20 mg
pemberian melalui intravena pada pukul 17:00 WIB dan paracetamol
syrup 1 sdt setiap 4 jam sekali.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 23-03-2019 hematologi
lengakap terdapat gangguan pada haemoglobin 12,4 (13,5-17,5 g/dL),
Hematrokrit 37,4 (42-52 %), eritrosit 4,59 (4,7-6,1 10^6/L), PDW
15,4 (9-14 fL), differntial limfosit % 8,5 (26-36 %), diferential
eosinofil% 0,3 (1-3 %), Absolut limfosit# 0,52 (1.00-1,4310^6/L).
Hasil pemeriksaan laboratorium elektrolit terdapat gangguan pada
cacium ion 0,98 (1,15-1,29 mmol/L). Hasil pemeriksaan
imunoserologi (widal) salmonella typhi-0 Negatif (Negatif) dan
Salmonella T yphi-H Positif 1/40 (Negatif).

Kasus II (A2)
Klien bernama An.A berumur 12 tahun , lahir di cianjur pada
tanggal 11 juni 2006 dan berjenis kelamin laki-laki. Klien tinggal
bersama ibu dan ayahnya di kp.Tanjung Sari kecamatan Kadupandak
Kabupaten Cianjur. Klien masuk rumah sakit pada tanggal 02-04-2019
dengan diagnosa medis Demam Typhoid dan peneliti melakukan
pengkajian pada klien tanggal 03-04-2019. Keluarga penanggung
jawab yaitu Tn.S usia 43 tahun selaku Ayah klien, beliau bekerja
sebagai wiraswasta dan pendidikan terakhirnya SMP.
Pada saat dilakukan pengkajian ibu klien mengeluh anaknya
demam, demam yang klien rasakan bersifat naik-turun. Demam
dirasakan di seluruh tubuh dengan suhu 37,90C. Demam sering
meningkat pada malam dan sore hari serta menurun pada pagi hari. Ibu
klien mengatakan bahwa seminggu yang lalu klien dirawat di rumah
sakit dengan penyakit atau diagnosa medis yang sama.

Di keluarga klien tidak ada penyakit turunan. Ibu klien mengatakan


sewaktu mengandung klien tidak ada keluhan yang berarti. Klien lahir
di rumah dengan bantuan dukun beranak, klien lahir secara
normal/pervagina dan spontan menangis sewaktu lahir. Ibu klien
mengatakan bahwa klien imunisasinya lengkap karena sewaktu kecil
mengikuti posyandu setiap bulan. Klien diberikan ASI dari lahir
sampai klien berusia 2 tahun dan di berikanan makanan pendamping
ASI sejak usia 7 bulan.
Klien lahir dengan panjang badan 52 cm dan berat badan lahir
3000 gram. Sekarang klien bersusia 12 tahun dengan panjang badan
140 cm dan berat badan 35 kilogram. Ibu klien mengatakan klien bisa
berjalan lancar usia 15 bulan. Perkembangan psikoseksual klien bahwa
klien sudah memasuki fase laten dengan begitu pemikiran dan
keterampilan klien mulai berkembang. Perkembangan kognitif klien
sudah masuk ke tahap operasional konkret artinya apa yang dipikirkan
sesuai dengan apa yang dilihat. Klien telah memasuki perkembangan
psikososial mulai memasuki tahap industri vs inferios dengan bukti
klien mengeluh kepada ibunya bahwa ingin segera pulang karena tidak
mau ketinggalan pelajran di sekolah.
Ibu klien mengatakan bahwa beliau dan klien tidak cemas karena
sebelumnya klien di rawat di rumah sakit. Ibu klien mengatakan bahwa
klien biasa berkomunikasi apabila berada di lingkungan
rumahnya/dengan orang yang di kelnalnya dan pada saat di rumah
sakit jarang berkomunikasi karena klien kurang kenal dan akrab. Ibu
klien mengatakan bahwa klien sewaktu di rumah sakit sekarang tidak
pernah mealukan ibadah.
Pola kebiasaan sehari-hari (ADL) klien mengalami masalah pada
nutrisi karena di sebabkan nafsu makan menurun porsi makan hanya
menghabiskan ¼ porsi dan klien mengeluhkan nyeri menelan dan mual
muntah.
Selain itu pada eliminasipun mengalami gangguan karena intake
cairan yang di keluarkan tidak sebanding dengan intake cairan yang
masuk. Sedangkan untuk personal hygine, pola istirahat tidur, aktivitas
dan latihan serta kebiasaan tidak ada gangguan. Pemeriksaan fisik
klien menunjukan keadaan umum klien lemas, tampak meringgis dan
gelisah, kesadaran composmentis dengan GCS (E4V5M6) tanda-tanda
vital di dapatkan respirasi 120x/Menit, nadi 120x/menit dan suhu 37.9
o
C. Pemeriksaan kepala dan muka didapatkan bentu kepala bulat,
simetris, rambut berwarna hitam, muka memerah, klien tampak
meringgis, tidak ada nyeri tekan pada kepala dan muka. Pada mata
didapatkan kedua mata simetris konjungtiva anemis sclera tidak
ikterik, fungsii penglihatan baik klien bisa membaca name tag dalam
jarak 1 meter dan tidak ada nyeri tekan pada mata.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil hidung utuh, kedua
lubang hidung simetris fungsi penciuman baik dan tidak ada nyeri
tekan. Pada telinga tidak ada kotoran, kedua telinga simetris dan utuh,
fungsi pendengaran baik dan tidak ada nyeri tekan pada kedua telinga.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan mulut tampak kering, tidak ada
karies pada gigi, tidak ada karang gigi, lidah lotor/putih, kemerahan
pada tenggorokan dan tonsil serta tidak ada nyeri tekan pada area
bibir/mulut. Pada leher tidak ada pembesaran JVP, kulit leher bersih
merata, tidak ada pembesaran kelejar tyroid dan tidak ada nyeri tekan
pada leher.
Pada periksaan thorak warna kulit merata, tarikan dinding dada
simetris, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan pada thorak kanan dan
kiri, terdengar suara pekek pada saat perkusi area jantung dan suara
sonor pada saat perkusi area paru. Hasil auskultasi bunyi nafas
vesikuler tidak ada suara nafas tambahan. Abdomen ditemukan warna
kulit merata, tidak ada lesi, bising usus 12x/menit, nyeri tekan di area
abdomen kuadran III dan terdengar suara timpani pada saat di perkusi.
Ektremitas atas terpasang infus di tangan kiri, tidak ada lesi di
kedua tangan, turgor kulit >2 detik dan tidak ada nyeri tekan di kedua
tangan. Ektremitas bawah tidak terdapat lesi di kedua kaki, tidak ada
edema dan tidak ada nyeri tekan di kedua kaki. Klien mengatakan di
genetalia tidak ada lesi dan tidak ada nyeri tekan.
Terapi pengobatan yang diberikan pada klien yaitu infus ringer
lactak melalui intravena, ceptriaxon 1x2 gram pemeberian melaui
intravena pada pukul 17:00 WIB. Dexsametason 2x1 gram pemberian
melalui intravena pada pukul 05:00 dan 17:00 WIB, Ondansetron
2x6gram melalui intravena 05:00 dan 17:00 WIB, Antasid 2x1 cth
melaui oral 05:00 dan 17:00 sebelum makan dan paracetamol 3x ½
tablet panas.
Hasi pemeriksaan laboratorium pada tanggal 02-04-2019
hematologi lengakap terdapat gangguan pada MCV 69,8 (80-90 fL),
MCH 22,7 (27-31 pg), MCHC 32,5 (33-37 %), PDW 15,6 (9-14
fL),MPV 7,2 (8-12 fL) differntial limfosit % 15,5 (26-36 %). Hasil
pemeriksaan laboratorium elektrolit terdapat gangguan pada cacium
ion 0,98 (1,15-1,29 mmol/L). Hasil pemeriksaan pada tanggal 02-04-
2019 imunoserologi (widal) salmonella typhi-0 Positif 1/80 (Negatif)
dan Salmonella T yphi-H Positif 1/80 (Negatif).

2. Diagnosa Keperawatan
Kasus 1 (A1)
Diagnosa yang muncul pada A1 Tanggal 26-03-2019 doantranya:
Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran endotoksin yang
merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga mempengaruhi
pusat termoregulasi. Hipertermi ini disebabkan karena bakteri
salmonella typhi yang menyebar melalui 5F (food, finggers, fly,
formita dan feses) sehingga masuk ke saluran pencernaan. Sebagian
bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung dan sebagian bakteri
yang tidak termusnahkan di lambung akan masuk ke halus dan
peredaran darah. Dari peredaran darah bakteri salmonella akan
menginvasi jaringan limfoid (hati dan limpa) setelah enginvasi di
jaringan limfoid bakteri salmonella ini akan mereinnfeksi diusus halus
(berkembang biak) sehingga akan mengelurakan endotoks yang
merangsan sintesis da pelepasan pirogen sehingga sampai ke
hipotalamus. Hipotalaus itu sendiri akan mempengaruhi pusat
termoregulasi sehingga muncullah diagnosa keprawatan hipertermi.
Data subjektifnya ibu klien mengeluh anaknya demam dan data
objektifnya tampak muka klien memerah, teraba panas di tubuh klin,
tanda-tanda vital respirasi 18x/menit, nadi 120 x/menit, suhu 38,8 0C,
dan hasil laboratorium imunoserologi (widal) salmonella typhi-0
Negatif (Negatif) dan Salmonella T yphi-H Positif 1/40 (Negatif).
Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Resiko tinggi nutrisi kurang
dari kebutuhan disebab oleh bakteri salmonella typhi yang menyebar
melalui 5F (food, finggers, fly, formita dan feses) sehingga masuk ke
saluran pencernaan. Sebagian bakteri ini ada yang dimusnahkan di
lambung dan sebagian bakteri yang tidak termusnahkan di lambung
akan masuk ke halus dan peredaran darah. Dari peredaran darah
bakteri salmonella akan menginvasi jaringan limfoid (hati dan limpa)
setelah enginvasi di jaringan limfoid bakteri salmonella ini akan
mereinnfeksi diusus halus (berkembang biak) sehingga akan
mengelurakan endotoksi yang merangsang sintesis dan pelepasan
pirogen.
Bakteri yang menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran
darah dapat menyebabkan terjadinya tukak mukosa sehingga intake
nutrisi tidak adekuat Data subjektif ibu klien mengeluh nafsu makan
anaknya menurun, klien mengeluh nyeri menelan. Data objektif lidah
tampak kotor, kemerahan pada tonsil dan tenggorokan, makan habis ¼
porsi cara makan di bantu, bising usus 12x/menit, tanda-tanda vital
respirasi 18x/menit, nadi 120 x/menit, suhu 38,8 0C.
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan proses evaporasi
dan intake cairan yang tidak adekuat. Resiko defisit volume cairan ini
disebabkan oleh bakteri salmonella typhi yang menyebar melalui 5F
(food, finggers, fly, formita dan feses) sehingga masuk ke saluran
pencernaan. Sebagian bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung
dan sebagian bakteri yang tidak termusnahkan di lambung akan masuk
ke halus dan peredaran darah. Dari peredaran darah bakteri salmonella
akan menginvasi jaringan limfoid (hati dan limpa) setelah menginvasi
di jaringan limfoid bakteri salmonella ini akan mereinnfeksi diusus
halus (berkembang biak) sehingga akan mengelurakan endotoksi yang
merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga sampai ke
hipotalamus.
Hipotalaus itu sendiri akan mempengaruhi pusat termoregulasi
sehingga terjadi evaporasi dan menimbulkan diagnosa keperawatan
resiko difisit volume cairan. Data subjektif ibu klien mengatakan
bahwa klien jarang minum karena nyeri menelan. Data Objektif lidah
tampak kotor, kemerahan pada tenggorokan dan tonsil, turgor kulit >2
detik, konjungtiva anemis, terpasang infus Ringer Lactat di tangan
kanan klien, tanda-tanda vital respirasi 18x/menit, nadi 120 x/menit,
suhu 38,8 0C, dan hasil laboratorium elektrolit natrium 126,4 (135-140
mq/L), Kalium 3,64 (3,50-5,30 mq/L), calcium ion 0,98 (1,15-1,29
mmol/L).
Ansietas berhubungan dengan stres psikologi dan proses
hospitalisasi. Ansietas ini disebabkan oleh bakteri salmonella typhi
yang menyebar melalui 5F (food, finggers, fly, formita dan feses)
sehingga masuk ke saluran pencernaan. Sebagian bakteri ini ada yang
dimusnahkan di lambung dan sebagian bakteri yang tidak
termusnahkan di lambung akan masuk ke halus dan peredaran darah.
Dari peredaran darah bakteri salmonella akan menginvasi jaringan
limfoid (hati dan limpa) .
Setelah menginvasi di jaringan limfoid bakteri salmonella ini akan
mereinnfeksi diusus halus (berkembang biak) sehingga terjadi proses
hospitalisasi yang menyebabkan stres psikologi bagi klien dan
keluarga dan munculah diagnosa keperawatan asnietas. Data subjektif
keluarga sering bertanya mengenai keadaan klien, ibu klien
mengatakan ini pengealaman perta bagi keluarga dan anaknya di rawat
di rumah sakit. Data Objektif klien dan kelurga tampak cemas dan
gelisah, ibu klien sering bertanya mengenai keadaan klien dan ibu
klien sering bertanya mengeani tindakan yang akan dilakukan pada
anaknya.

Kasus II (A2)
Diagnosa yang muncul pada A1 Tanggal 03-04-2019 doantranya:
Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran endotoksin yang
merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga mempengaruhi
pusat termoregulasi. Hipertermi ini disebabkan karena bakteri
salmonella typhi yang menyebar melalui 5F (food, finggers, fly,
formita dan feses) sehingga masuk ke saluran pencernaan. Sebagian
bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung dan sebagian bakteri
yang tidak termusnahkan di lambung akan masuk ke halus dan
peredaran darah.
Dari peredaran darah bakteri salmonella akan menginvasi jaringan
limfoid (hati dan limpa) setelah enginvasi di jaringan limfoid bakteri
salmonella ini akan mereinnfeksi diusus halus (berkembang biak)
sehingga akan mengelurakan endotoks yang merangsan sintesis da
pelepasan pirogen sehingga sampai ke hipotalamus. Hipotalaus itu
sendiri akan mempengaruhi pusat termoregulasi sehingga muncullah
diagnosa keprawatan hipertermi. Data subjektifnya ibu klien mengeluh
anaknya demam dan data objektifnya tampak muka klien memerah,
teraba panas di tubuh klin, tanda-tanda vital respirasi 20x/menit, nadi
120 x/menit, suhu 37,9 0C, .
Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan asam lambung.
Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat. Nyeri akut disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi yang menyebar melalui 5F (food, finggers, fly,
formita dan feses) sehingga masuk ke saluran pencernaan. Sebagian
bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung sehingga menyebabkan
asam lambung meningkat dan muncullah diagnosa keperawatan nyeri
akut. Data subjektif klien mengeluh nyeri pada abdomen kuadran III.
Data Objektif klien tampak meringgis, skala nyeri 6, nyeri tekan saat
di palapasi abdomen kuadran III, tanda-tanda vital respirasi 20x/menit,
nadi 120 x/menit, suhu 37,9 0C.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat. Resiko tinggi nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak
adekuat. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan disebab oleh
bakteri salmonella typhi yang menyebar melalui 5F (food, finggers,
fly, formita dan feses) sehingga masuk ke saluran pencernaan.
Sebagian bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung sehingga
menyebabkan peningkatan asam lambung yang menimbulkan mual
dan muntah mengakibatka intake nutrisi tidak adekuat dan muncullah
diagnosa keperawatan resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh.
Data subjektif ibu klien mengeluh nafsu makan anaknya menurun,
klien mengeluh nyeri menelan. Data objektif lidah tampak kotor,
kemerahan pada tonsil dan tenggorokan, mual, muntah, makan habis ¼
porsi cara makan di bantu, bising usus 12x/menit, tanda-tanda vital
0
respirasi 20x/menit, nadi 120 x/menit, suhu 37,9 C, dan hasil
laboratorium imunoserologi (widal) salmonella typhi-0 positif 1/80
(Negatif) dan Salmonella T yphi-H Positif 1/80 (Negatif).

Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan proses evaporasi


dan intake cairan yang tidak adekuat. Resiko defisit volume cairan ini
disebabkan oleh bakteri salmonella typhi yang menyebar melalui 5F
(food, finggers, fly, formita dan feses) sehingga masuk ke saluran
pencernaan. Sebagian bakteri ini ada yang dimusnahkan di lambung
dan sebagian bakteri yang tidak termusnahkan di lambung akan masuk
ke halus dan peredaran darah. Dari peredaran darah bakteri salmonella
akan menginvasi jaringan limfoid (hati dan limpa) setelah menginvasi
di jaringan limfoid bakteri salmonella ini akan mereinnfeksi diusus
halus (berkembang biak) sehingga akan mengelurakan endotoksi yang
merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga sampai ke
hipotalamus.
Hipotalaus itu sendiri akan mempengaruhi pusat termoregulasi
sehingga terjadi evaporasi dan menimbulkan diagnosa keperawatan
resiko difisit volume cairan. Data subjektif ibu klien mengatakan
bahwa klien jarang minum karena nyeri menelan. Data Objektif lidah
tampak kotor, kemerahan pada tenggorokan dan tonsil, turgor kulit >2
detik, konjungtiva anemis, terpasang infus Ringer Lactat di tangan
kanan klien, tanda-tanda vital respirasi 20x/menit, nadi 120 x/menit,
suhu 37,9 0C.

3. Intervensi
Kasus 1 (A1)
Berdasarkan diagnosa pertama Hipertermi berhubungan dengan
pengeluaran endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan
pirogen sehingga mempengaruhi pusat termoregulasi. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
dyindakan 3x24 jam diharapkan suhu tubuh anak dalam kisaran
normal (36,5oC- 37,5 oC) nursing outcome classification (NOC) dari
diagnosa hipertermi ini yaitu Hidration, Adherence behavior dan
immune status dengan kriteria hasil keseimbangan antara produksi
panas, panas yang di terima dan kehilangan panas serta suhu tubuh
stabil 36,5oC- 37,5 oC selama proses infeksi berlangsung. Peneliti
menyusun perencanaan keperawatan diantaranya: Observasi TTV
setiap 2-4 jam selama periode demam (khususnya HR dan Suhu),
observasi tingkat kesadaran klien, berikan kompres hangat basah pada
daerah axilla, berikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat dan
kolaborasi untuk pemberian antipiretik.
Diagnosa yang kedua resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
dyindakan 3x24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan nutrisi.
Nursing outcome classification (NOC) dari diagnosa resiko
kekurangan nutrisi ini yaitu nutritional status, nutritional status:food
and fluid intake, nutritional stayus:nutrien intake dan weigh control.
Kriteria hasilnya adalah adanya peningkatan berat badan sesuai dengan
tujuan, mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-
tanda malnutrisi dan tidak terjadi penurunan barat badan yang berarti.
Peneliti menyusun perencanaan keperawatan diantaranya: Kaji keluhan
mual dan muntah, beri makanan dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering dan hidangkan selagi hangat, beri makanan yang tidak
merangsang lambung, ciptakan lingkungan yang bersih dan tidak
baudan kolaborasi untuk pemberian: Obat-obatan: antiemetik, vit.
Diagnosa yang ketiga resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
tindakan 3x24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Nursing outcome classification (NOC) dari diagnosa resiko defisit
volume cairan yaitu fluid balance, hydration, nutritional status: food
and fluid intake. Kriteria hasilnya mempertahannkan urine output
sesuai dengan usia dan berat badan, berat jenis urine normal, tekanan
darah, nadi dan suhu tubuh dalam batas normalmdan tidak ada tanda-
tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab
dan tidak ada rasa haus yang berlebih. Peneliti menyusun perencanaan
keperawatan diantaranya: Berikan penjelasan tentang pentingnya
kebutuhan cairan klien dan keluarga observasi intake dan output,
anjurkan klien untuk minum 2,5 liter/24 jam, observasi kelancaran
tetesan infus dan kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral
/parenteral).
Diagnosa yang keempat ansietas berhubungan dengan stres
psikologi dan proses hospitalisasi.Tujuan dibuatnnya perencanaan
keparawatan ini yaitu setelah dilakukan dyindakan 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi kecemasan baik pada klien ataupun keluarga
klien. Nursing outcome classification (NOC) dari diagnosa ansietas
yaitu klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas, mengidentifikasi mengungkapkan dan menunjukan teknik
untuk mengontrol cemas, postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan. Peneliti
menyusun perencanaan keperawatan diantaranya: Kaji tingkat
kecemasan anak, berikan perawatan dengan lembut dan rasa sayang,
lakukan komunikasi terapeutik, dorong keluarga untuk menemani anak
selama diruang perawatan, berikan penjelasan tentang setiap prosedur
yang akan dilaksanakan sesuai dengan usia

Kasus II (A2)
Berdasarkan diagnosa pertama Hipertermi berhubungan dengan
pengeluaran endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan
pirogen sehingga mempengaruhi pusat termoregulasi. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
dyindakan 3x24 jam diharapkan suhu tubuh anak dalam kisaran
normal (36,5oC- 37,5 oC) nursing outcome classification (NOC) dari
diagnosa hipertermi ini yaitu Hidration, Adherence behavior dan
immune status dengan kriteria hasil keseimbangan antara produksi
panas, panas yang di terima dan kehilangan panas serta suhu tubuh
stabil 36,5oC- 37,5 oC selama proses infeksi berlangsung. Peneliti
menyusun perencanaan keperawatan diantaranya: Observasi TTV
setiap 2-4 jam selama periode demam (khususnya HR dan Suhu),
observasi tingkat kesadaran klien, berikan kompres hangat basah pada
daerah axilla, berikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat dan
kolaborasi untuk pemberian antipiretik.
Diagnosa yang kedua nyeri akut berhubungan dengan peningkatan
asam lambung dan proses infeksi. Tujuan dibuatnnya perencanaan
keparawatan ini yaitu setelah dilakukan tindakan 3x24 jam diharapkan
nyeri berkurang/ hilang. Nursing outcome classification (NOC) dari
diagnosa nyeri akut pain level, pain control dan comfort level. Kriteria
hasil mampe mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mencari
bantuan), melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri dan menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang. Peneliti menyusun perencanaan keperawatan diantaranya:
Observasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter dan intensitas
skala nyeri (0-5), ajarkan tehnik relaksasi progresif, nafas dalam
guided imagery, berikan tindakan kenyamanan : melibatkan orang tua,
suara halus, ketenangan dan kolaborasi: berikan obat analgetik sesuai
indikasi
Diagnosa yang ketiga resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
dyindakan 3x24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan nutrisi.
Nursing outcome classification (NOC) dari diagnosa resiko
kekurangan nutrisi ini yaitu nutritional status, nutritional status:food
and fluid intake, nutritional stayus:nutrien intake dan weigh control.
Kriteria hasilnya adalah adanya peningkatan berat badan sesuai dengan
tujuan, mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-
tanda malnutrisi dan tidak terjadi penurunan barat badan yang berarti.
Peneliti menyusun perencanaan keperawatan diantaranya: Kaji keluhan
mual dan muntah, beri makanan dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering dan hidangkan selagi hangat, beri makanan yang tidak
merangsang lambung, ciptakan lingkungan yang bersih dan tidak
baudan kolaborasi untuk pemberian: Obat-obatan: antiemetik, vit.
Diagnosa yang keempat resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat. Tujuan
dibuatnnya perencanaan keparawatan ini yaitu setelah dilakukan
tindakan 3x24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Nursing outcome classification (NOC) dari diagnosa resiko defisit
volume cairan yaitu fluid balance, hydration, nutritional status: food
and fluid intake. Kriteria hasilnya mempertahannkan urine output
sesuai dengan usia dan berat badan, berat jenis urine normal, tekanan
darah, nadi dan suhu tubuh dalam batas normalmdan tidak ada tanda-
tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab
dan tidak ada rasa haus yang berlebih.Peneliti menyusun perencanaan
keperawatan diantaranya: Berikan penjelasan tentang pentingnya
kebutuhan cairan klien dan keluarga observasi intake dan output,
anjurkan klien untuk minum 2,5 liter/24 jam, observasi kelancaran
tetesan infus dan kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral
/parenteral).

4. Implementasi
Kasus I (A1)
Diagnosa pertama hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi. Implementasi yang dilakukan
adalah mengobservasi TTV setiap 4 jam sekali dengan hasil suhu 38.8
o
C, Nadi 120 x/menit, respirasi 18x/menit (26-03-2019 pukul 17:00
WIB). Memberikan kompres hangat basah di axila dengan
menggunakan air bersuhu 38oC, setelah 20 menit di dapatkan hasil
penurunan suhu menjadi 37,4 oC (26-03-2019, 17:15-17:35 Wib) dan
melakukan kolaborasi pemberian obat antiperitik berupa Parasetamol
Syirup 1 sdm (26-03-2019, 17:00WIB).
Diagnosa yang kedua resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Implementasi
yang dilakukan yaitu menciptakan lingkungan yang bersih dan tidak
bau (26-03-2019, 17:00 WiB), memberikan makan yang lembek atau
berair seperti sayur selama nyeri menelan masih berlangsung (26-03-
2019, 17:00 WiB), dan memberikan makanan yang tidak merangsang
lambung (26-03-2019, 17:00 WiB).
Diagnosa yang ketiga resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat.
Implementasi yang dilakukan yaitu mengobservasi intake dan output
(26-03-2019, 17:00 WiB), menganjurkan klien banyak minum (26-03-
2019, 17:00 WiB), dan kolaborasi pemberian terapi cairan lewat
intravena (infus) Ringger Lactat di tangan kanan klien (26-03-2019,
17:00 WiB).
Diagnosa yang keempat ansietas berhubungan dengan stres
psikologi dan proses hospitalisasi. Implementasi yang dilakukan yaitu
membina hubungan saling percaya antara perawat dengan
anak/keluaga dengan di lakukannya komunikasi terapetik (26-03-2019,
17:00 WiB), Memberikan penjelasan setiap prosedure yang akan
dilaksanakan sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak dan
keluarga (26-03-2019, 17:00 WiB), memberikan lingkungan yang
aman nyaman dan tenang (26-03-2019, 17:00 WiB).

Kasus II (A2)
Diagnosa pertama hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi. Implementasi yang dilakukan
adalah Mengobservasi TTV setiap 4 jam sekali dengan hasil suhu 37.9
o
C, Nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit (03-04-2019 pukul 18:20
WIB). Memberikan kompres hangat basah di axila dengan
menggunakan air bersuhu 38oC dan setelah 20 menit di dapatkan hasil
penurunan suhu menjadi 36,6 oC (03-04-2019, 18:20-18:40 Wib) dan
melakukan kolaborasi pemberian obat antiperitik berupa Parasetamol
½ tablet setiap panas (03-04-2019, 18:20WIB).
Diagnosa yang kedua nyeri akut berhubungan dengan peningkatan
asam lambung dan proses infeksi. Implementasi yang dilakukan yaitu
mengkaji nyeri yang dirasakan klien dengan hasil nyeri dirasakan di
abdomen kuadran III nyeri terasa di tusuk-tusuk jarum, nyeri
bertambah pada saat beraktivitas dan berkurang saat relaksasi atau
istirahat skala nyeri 6 dari 1-10 (03-04-2019, 18:20WIB), mengajarkan
teknik relaksasi berupa nafas dalam (03-04-2019, 18:20WIB),
kolaborasi pemberian obat analgetik berupa Dexametason 2x1 gram
dan ceptriaxon 1x2 gram melaui intravena (03-04-2019, 17:00WIB).
Diagnosa yang ketiga resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Implementasi
yang dilakukan yaitu menciptakan lingkungan yang bersih dan tidak
bau (03-04-2019, 18:20WIB), memberikan makanan yang tidak
merangsang lambung (03-04-2019, 18:20WIB), memberikan makanan
dengan porsi sedikit tetapi dengan frekuensi pemberian sering (03-04-
2019, 18:20WIB), dan kolaborasi pemberian antasid 2x1 cth sebelum
makan melalui oral, dan ondansetron 2x6gram melalui intravena (03-
04-2019, 18:20WIB).

Diagnosa yang ketiga resiko defisit volume cairan berhubungan


dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat.
Implementasi yang dilakukan yaitu mengobservasi intake dan output
(03-04-2019, 18:20WIB), menganjurkan klien banyak minum (03-04-
2019, 18:20WIB), dan kolaborasi pemberian terapi cairan lewat
intravena (infus) Ringger Lactat di tangan kiri klien (03-04-2019,
18:20WIB).

5. Evaluasi
Kasus I (A1)
Diagnosa pertama hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi. Pada saat dilakukan evaluasi pada
tanggal 26-03-2019 pukul 18:30 data subjektif ibu klien mengatakan
merasa tenang karena suhu tubuh anaknya menurun tidak panas seperti
sebelumnya. Data objektif muka klien tampak tidak memerah, tanda
o
vital suhu 37.4 C, nadi 120 x/menit, respirasi 18x/menit.
Asessmentnya masalah teratasi sebagian. Planning intervensi
dilanjutkan observasi tanada-tanda vital dan berikan kompres hangat
basah ketika suhu tubuh klien lebih dari normal.
Observasi hari kedua (27-03-2019 pukul 17:00) untuk diagnosa
pertama data subjektif ibu klien mengatakan anaknya demam tetapi
tidak seperti hari kemarin, data objektif muka klien tampak
memeraah, tanda tanda vital suhu 37.8 oC, nadi 120 x/menit, respirasi
20x/menit. Assesment hipertemi planing anjurkan klien banyak
minum, kompres hangat basah di axila, kolaborasi pemeberian obat
antipiretik. Peneliti melakukan implementasi kompres hangat basah di
axila selama 20 menit dan didapatkan penurunan suhu tubuh klien
menjadi 36,8oC. Peneliti melakukan evaluasi (27-03-2019 pukul 20:00)
o
suhu 36.8 C, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Planing
selanjutnya observasi tanda-tanda vital.
Observasi hari ketiga (28-03-2019 pukul 17:10) untuk diagnosa
pertama data subjektif ibu klien mengatakan anaknya sudah membaik,
data objektif muka klien tampak segar, tanda tanda vital suhu 36.8 oC,
nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment hipertemi teratasi
planing anjurkan klin banyak minum, Peneliti melakukan
implementasi menganjurkan klien banyak minum. Peneliti melakukan
evaluasi (27-03-2019 pukul 20:00) dan di tanda vital suhu 36.8 oC, nadi
120 x/menit, respirasi 20x/menit. Planing selanjutnya observasi tanda-
tanda vital, lakukan tindakan kompres hangat basah bila terjadi demam
ulang.
Diagnosa yang kedua resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Pada saat
dilakukan evaluasi pada tanggal 26-03-2019 pukul 18:30 data subjektif
ibu klien mengatakan nafsu makan anaknya menurun. Data objektif
porsi makan hanya habis ¼ porsi, kemerahan pada tonsil dan
tenggorokan, tanda vital suhu 37.4 oC, nadi 120 x/menit, respirasi
18x/menit. Asessmentnya masalah belum teratasi. Planning intervensi
dilanjutkan.
Evaluasi hari kedua (27-03-2019 pukul 20:00) untuk diagnosa yang
kedua data subjektif ibu klien mengatakan klien sudah mulai mau
makan meskipun hanya setengahnya dari porsi makannya, data
objektif tenggorokan dan tonsil tampak tidak kemerahan lagi, lidah
kotor, bibir kering tanda-tanda vital suhu 36.8 oC, nadi 120 x/menit,
respirasi 20x/menit. Assesment masalah nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh teratasi sebagian. Planing intervensi di lanjutkan.
Evaluasi hari ketiga (28-03-2019 pukul 17:10) untuk diagnosa
yang kedua data subjektif ibu klien mengatakan klien sudah mulai mau
makan dan habis,data objektif tenggorokan dan tonsil tampak tidak
kemerahan lagi, tanda-tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120 x/menit,
respirasi 20x/menit. Assesment masalah nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh teratasi. Planing intervensi di lanjutkan.
Diagnosa yang ketiga resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat. Pada
saat dilakukan evaluasi pada tanggal 26-03-2019 pukul 18:30.
Subjektifnya ibu klien mengatakan bahwa klien sering berkeringat
setelah panaas, objektifnya klien tampak berkeringat, turgor kulit >2
detik mukosa bibir kering tanda vital suhu 37.4 oC, Nadi 120 x/menit,
respirasi 18x/menit. Assesment masalah belum teratasi. Planing
intervensi dilanjutkan.
Evaluasi hari kedua (27-03-2019 pukul 17:00) untuk diagnosa
ketiga subjektifnya ibu klien mengatakan bahwa klien sering
berkeringat setelah panaas, objektifnya klien tampak berkeringat,
turgor kulit >2 detik mukosa bibir kering tanda-tanda vital suhu 36.8
o
C, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment masalah teratasi
sebagian. Planing intervensi di lanjutkan.
Evaluasi hari ketiga(28-03-2019 pukul 17:10) untuk diagnosa
ketiga data subjektif ibu klien mengatakan klien sudah mulai membaik,
data objektif tenggorokan dan tonsil tampak tidak kemerahan lagi,
turgor kulit <2 detik, klien tampak segar, bibir tampak lembab, tanda-
tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit.
Assesment masalah teratasi. Planing intervensi di lanjutkan.
Diagnosa yang keempat ansietas berhubungan dengan stres
psikologi dan proses hospitalisasi. Pada saat dilakukan evaluasi pada
tanggal 26-03-2019 pukul 18:30. Subjektifnya klien tampak tenang
suhu tubuh menurun, objektifnya klien dan keluarga tampak tenang,
tanda vital suhu 37.4 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 18x/menit.
Assesment masalah teratasi sebagian. Planing intervensi dilanjutkan.
Evaluasi hari kedua (27-03-2019 pukul 17:00) untuk diagnosa
keempat subjektifnya ibu klien mengatakan bahwa sekarang sudah
tidak secemas kemarin, objektifnya klien tampak dan keluarga tampak
tenang, klien dan keluarga dalam berkomunikasi lebih terbuka tanda-
tanda vital suhu 36.8 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit.
Assesment masalah teratasi sebagian. Planing intervensi di lanjutkan.
Evaluasi hari ketiga(28-03-2019 pukul 17:10) untuk diagnosa
ketiga data subjektif ibu klien mengatakan klien sudah mulai membaik,
data objektif klien dan keluarga tampak tenang dan dalam berbicara
atau berkomunikasi dengan perawat lebih terbuka. Assesment Masalah
teratasi. Planing intervensi di lanjutkan.

Kasus II (A2)
Diagnosa pertama hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi. Pada saat dilakukan evaluasi pada
tanggal 03-04-2019 pukul 20:00 data subjektif ibu klien mengatakan
suhu tubuh anaknya menurun tidak panas seperti sebelumnya. Data
Objektif muka klien tampak tidak memerah, klien tampak tenang,
tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit.
Asessmentnya masalah teratasi sebagian. Planning intervensi
dilanjutkan observasi tanada-tanda vital dan berikan kompres hangat
basah ketika suhu tubuh klien lebih dari normal.
Pada saat dilakukan observasi hari kedua(04-04-2019 pukul 17:00)
untuk diagnosa pertama data subjektif ibu klien mengatakan anaknya
demam, data objektif muka klien tampak memeraah, tanda tanda vital
suhu 37.8 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment
hipertemi planing anjurkan klin banyak minum, kompres hangat basah
di axila, kolaborasi pemeberian obat antipiretik. Peneliti melakukan
implementasi kompres hangat basah di axila selama 20 menit dan
didapatkan penurunan suhu tubuh klien menjadi 36,6oC. Peneliti
melakukan evaluasi (04-04-2019 pukul 20:00) suhu 36.6 oC, nadi 120
x/menit, respirasi 20x/menit. Planing selanjutnya observasi tanda-tanda
vital, lakukan tindakan kompres hangat basah, kolaborasi pemberian
obat antipiretik
Pada saat dilakukan observasi hari ketiga(05-04-2019 pukul 17:00)
untuk diagnosa pertama data subjektif ibu klien mengatakan anaknya
sudah membaik, data objektif muka klien tampak segar, tanda tanda
vital suhu 36.7 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment
hipertemi teratasi planing anjurkan klin banyak minum, Peneliti
melakukan implementasi menganjurkan klien banyak minum. Peneliti
melakukan evaluasi (05-04-2019 pukul 18:00) suhu 36.7 oC, Nadi 120
x/menit, respirasi 20x/menit. Planing selanjutnya observasi tanda-tanda
vital, lakukan tindakan kompres hangat basah bila terjadi demam
ulang.
Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan asam lambung. Pada
saat dilakukan evaluasi pada tanggal 03-04-2019 pukul 20:00.
Subjektifnya klien mengatakan nyeri berkurang setelah dilakukan
teknik relaksasi nafas dalam. Objektifnya klien tampak sedikit
meringgis, nyeri dirasakan di abdomen kuadran III, nyeri terasa di
tusuk-tusuk, skala nyeri 4 dari rentang 1-10, tanda vital suhu 36.6 oC,
nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Asessmentnya masalah belum
teratasi. Planning intervensi dilanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari kedua (04-04-2019 pukul 20:00)
untuk diagnosa yang kedua. Subjektifnya klien mengatakan nyeri
masih sering di rasakan. Objektifnya klien tampak meringgis, nyeri
dirasakan di abdomen kuadran III, nyeri terasa di tusuk-tusuk, skala
nyeri 5 dari rentang 1-10tanda-tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120
x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment masalah teratasi sebagian.
Planing intervensi di lanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari ketiga (05-05-2019 pukul 18:00)
untuk diagnosa yang kedua. Subjektifnya klien mengatakan nyeri
masih di rasakan tapi tidak seperti hari kemarin, objektifnya nyeri
dirasakan di abdomen kuadran III, nyeri terasa di tusuk-tusuk, skala
nyeri 3 dari rentang 1-10, tanda-tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120
x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment masalah nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi. Planing intervensi di lanjutkan.
Diagnosa yang ketiga resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Pada saat
dilakukan evaluasi pada tanggal 03-04-2019 pukul 20:00. Subjektifnya
ibu klien mengatakan nafsu makan anaknya menurun. Data objektif
porsi makan hanya habis ¼ porsi, kemerahan pada tonsil dan
tenggorokan,mual, muntah, nyeri tekan pada abdomen kuadran III,
nyeri menelan, tanda vital suhu 36.6 oC, Nadi 120 x/menit, respirasi
20x/menit. Asessmentnya masalah belum teratasi. Planning intervensi
dilanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari kedua (04-034-2019 pukul 20:00)
untuk diagnosa yang ketija data subjektif ibu klien mengatakan klien
sudah mulai mau makan, objektifnya tenggorokan dan tonsil tampak
kemerahan, lidah kotor, bibir kering, nyeri tekan pada abdomen
kuadran III, porsi makan habis 1/3 porsi, mual muntah berkurang,
tanda-tanda vital suhu 36.6 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit.
Assesment masalah nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi
sebagian. Planing intervensi di lanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari ketiga(05-04-2019 pukul 18:00)
untuk diagnosa yang ketiga. Subjektifnya klien mengatakan klien
sudah mulai mau makan dan habis ½ porsi. Objektifnya tenggorokan
dan tonsil tampak tidak kemerahan lagi, mual muntah berkurang,
makan habis ½ porsi, tanda-tanda vital suhu 36.7 oC, Nadi 120 x/menit,
respirasi 20x/menit. Assesment masalah nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh teratasi. Planing intervensi di lanjutkan.
Diagnosa yang keempat resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat. Pada
saat dilakukan evaluasi pada tanggal 03-04-2019 pukul 20:00.
Sbjektifnya klien mengeluh mukosa bibir klien pecah-pecah.
Objektifnya klien tampak berkeringat, turgor kulit >2 detik mukosa
bibir kering. Assesment masalah belum teratasi. Planing intervensi
dilanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari kedua (04-04-2019 pukul 20:00)
untuk diagnosa keempat Subjektifnya ibu klien mengatakan bahwa
klien sering berkeringat setelah panaas, objektifnya klien tampak
berkeringat, turgor kulit >2 detik mukosa bibir kering tanda-tanda vital
suhu 36.6 oC, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment
masalah teratasi sebagian. Planing intervensi di lanjutkan.
Pada saat dilakukan evaluasi hari keempat(05-04-2019 pukul
18:00) untuk diagnosa keempat data subjektif ibu klien mengatakan
klien sudah mulai membaik, data objektif tenggorokan dan tonsil
tampak tidak kemerahan lagi, turgor kulit <2 detik, klien tampak segar,
bibir tampak tidak sekering hari kemarin, tanda-tanda vital suhu 36.7
o
C, nadi 120 x/menit, respirasi 20x/menit. Assesment masalah teratasi.
Planing intervensi di lanjutkan.

6. Aplikasi Tindakan Utama


Kasus I (A1)
Aplikasi kompres hangat basah dilakukan yang pertama pada An.A
usia 12 Tahun Kp.Cimenteng Girang. Sebelum dilakuakn intervensi
terlebih dahulu peneliti melakukan pengakajian dan meminta
persetujuan ibu klien untuk meminta persetujuan berupa Informed
Consent dan menjelaskan mengenai tindakan kompres hangat basah ini
tujuannya untuk apa, setelah ibu klien menyetujui kemudian peneliti
mempersiapkan untuk melakukan tindakan kompres hangat basah
karena pada tanggal 26-03-2019 klien sedang panas tinggi suhu
tubhnya yaitu 38,8oC. Setelah perlengkapan untuk kompres hangat
basah siap, peneliti menjumpai klien teptnya pukul 17:15 WIB.
Pertama-tama peneliti melakukan komunikasi terapeutik pada klien
dan keluarga klien, peneliti mengukur suhu tubuh klien kembali dan
hasilnya 38,8oC setelah itu membantu klien membuka baju klien,
menberikan pengalas/ perlak di bawah klien, mengatur posisi klien
sennyaman mungkin dan menjaga privasi klien. Masukan waslap ke
dalam kom yang berisi air hangat yang besuhu 38 oC, lalu peras dan
letakan waslap dikedua ketiak/axila klien, apabila waslap mulai dingin
masukan kembali kedalam kom dan peras lalu letakan di ketiak
kembali, mengulangi tindakan tersebut apabila waslap sudah tidak
hangat lagi samapi dengan 20 menit, Setelah 20 menit pengompresan
dilakuakn pengecekan suhu akhir, dan hasilnnya suhu menjadi 37,4oC.
Pengompresan selesai pukul 17:35 WIB.
Pada hari kedua yaitu tanggal 27-03-2019 pukul 17:00 dilakukan
observasi keabali dan suhu tubuh klien 37,8oC. Peneliti dengan
meminta ijin kepada klien dan keluarga melakukan kompres hangat
basah kembali dan setelah 20 menit pengompresan suhu tubuh klien
turun menjadi 36,8oC.
Pada hari ketiga yaitu tanggal 28-03-2019 pukul 17:00 dilakukan
observasi kembali dan suhu tubuh klien 36,8oC (Normal) peneliti tidak
melakukan kompres hangat basah.

Kasus II (A2)
Aplikasi kompres hangat basah dilakukan yang pertama pada An.A
usia 12 Tahun Kp.Tanjungsari Kadupandak. Sebelum dilakuakn
intervensi terlebih dahulu peneliti melakukan pengakajian dan
meminta persetujuan bapa klien untuk meminta persetujuan berupa
Informed Counsent dan menjelaskan mengenai tindakan kompres
hangat basah ini tujuannya untuk apa, setelah ibu klien menyetujui
kemudian peneliti mempersiapkan untuk melakukan tindakan kompres
hangat basah karena pada tanggal 03-04-2019 klien sedang demam
tinggi suhu tubhnya yaitu 37,9oC. Setelah perlengkapan untuk kompres
hangat basah siap, peneliti menjumpai klien teptnya pukul 18:20 WIB.
Pertama-tama peneliti melakukan komunikasi terapeutik pada klien
dan keluarga klien, peneliti mengukur suhu tubuh klien kembali dan
hasilnya 37,9oC setelah itu membantu klien membuka baju klien,
memberikan pengalas/perlak di bawah klien, mengatur posisi klien
sennyaman mungkin dan menjaga privasi klien. Masukan waslap ke
dalam kom yang berisi air hangat yang besuhu 38 oC, lalu peras dan
letakan waslap di kedua ketiak/axila klien, apabila waslap mulai
dingin masukan kembali kedalam kom dan peras lalu letakan di ketiak
kembali, mengulangi tindakan tersebut apabila waslap sudah tidak
hangat lagi samapi dengan 20 menit. Setelah 20 menit pengompresan
dilakuakn pengecekan suhu akhir, dan hasilnnya suhu menjadi 36,6oC.
Pengompresan selesai pukul 18:40 WIB.
Pada hari kedua yaitu tanggal 04-04-2019 pukul 17:00 dilakukan
observasi klien kembali dan didapatkan suhu tubuh klien 37,8 oC.
Peneliti dengan meminta ijin kepada klien dan keluarga melakukan
kompres hangat basah kembali dan setelah 20 menit pengompresan di
dapatkan suhu tubuh klien turun menjadi 36,6oC.
Pada hari ketiga yaitu tanggal 05-04-2019 pukul 17:00 dilakukan
observasi kembali dan suhu tubuh klien 36,7oC (Normal) peneliti tidak
melakukan kompres hangat basah.

B. Pembahasan
Pada BAB ini peneliti membahasproses telaah yang terjadi antara
teori dan kenyataan A1 dan A2. A1 dn A2 dilakukan pada tanggal 26-28
Maret 2019 dan pada A2 dilakukan pada tanggal 3-5 April 2019. Penelitian
yang dilakukan meliputi:
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari
berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (lyer et.al 1998 dalam Nursalam,2013 p:119)
Pengkajian pada anak usia sekolah yang mengalami demam
typhoid dapat di lihat dari tanda dan gejala sebagai berikut demam
tinggi yang bersifat febris remiten (naik turun), nyeri kepala dan perut,
kembung, mual, muntah, lidah kotor, lemas dan nafsu makan menurun.
Selain itu pada anak harus di kaji mengenai tahap pertumbuhan dan
perkemabnganya mulai dari psikoseksual, psikososial, dan kognitif
(Sudoyp Aru dalam Nuratif, 2015 halaman:178)
Metode pengumpulan data yang dapat digunakan yaitu yang
pertama wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang
salah satunya bertujuan untuk mengali dan mendapatkan informasi
untuk suatu tujuan tertentu. Observasi merupakan suatu proses melihat,
mengamati, dan mencermati serta “merekam” prilaku secara
sistemastis untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mengambil data yang berasal dari dokumen asli. Dokumen asli
tersebut dapat berupa gambar, tabel atau daftar periksa, dan film
dokumenter (Gorden dalam Herdiansyah 2010:p118, Herdiansyah,
2010:p131, Hidayat, 2010:p100).
Peneliti melakukan pengkajian kepada A1 dan A2 dengan
menggunakan metode wawancara berupa menanyakan kepada klien
dan keluarga klien mengeanai keluhan utama, riwayat kesehatan baik
riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu riwayat
pertumbuhan dan perkembangan riwayat pemberian makan, riwayat
imunisasi dan sebagainya. Peneliti juga melakukan observasi pada A1
dan A2 untuk mengumpulkan data berupa mengobservasi/mengukur
tanda-tanda vital klien khusunya suhu, mengobservasi/menginpeksi
keadaan tubuh klien mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Selain
itu, peneliti juga mengumpulkan atau mengambil data dengan izin dari
hasil laboratorium.
Dari hasil pengkajian pada A1 dapat disimpulkan bahwa klien
tampak lemas,cemas, gelisah, kesadaran compos mentis, tanda-tanda
vital di dapatkan respirasi 20x/Menit, nadi 120x/menit dan suhu 38.8
o
C, mukosa bibir kering, lidah kotor, mukosa mulut kering, kemerahan
pada tenggoroka dan tonsil, turgor kulit >2detik, pengalaman pertama
klien di rawat di rumah sakit, hasil pengkajian perkembangan
psikoseksualnya sudah memasuki fase laten, tahap perkembangangan
psikososialnya sudah memasuki tahap industri vs inferios sedangakan
tahap perkembangan kognitifnya sudah memasuki tahap operasional
konkret hasil laboratorium imunoserologi (widal) salmonella typhi-0
Negatif (Negatif) dan Salmonella T yphi-H Positif 1/40 (Negatif).
Dari hasil pengkajian pada A2 dapat disimpulkan bahwa klien
tampak lemas, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital di dapatkan
respirasi 20x/Menit, nadi 120x/menit dan suhu 37.9 oC, mukosa bibir
kering, lidah kotor,mukosa mulut kering,mual muntah, kemerahan
pada tenggoroka dan tonsil, turgor kulit >2detik, nyeri pada abdomen
kuadran III, nyeri seperti di tusuk-tusuk, sebelumnya seminggu yang
lalu klien di rawat dirumah sakit dengan diagnosa medis yang sama,
hasil pengkajian perkembangan psikoseksualnya sudah memasuki fase
laten, tahap perkembangangan psikososialnya sudah memasuki tahap
industri vs inferios sedangakan tahap perkembangan kognitifnya sudah
memasuki tahap operasional konkret hasil laboratorium
imunoserologi (widal) salmonella typhi-0 Positif 1/80 (Negatif) dan
Salmonella T yphi-H Positif 1/80 (Negatif).

Pada A1 dan A2 terdapat kesenjangan pada pengkajian kehamilan


dan persalinan pada A1 ibu klien mengatakan bahwa pada saat
mengandung klien mengalami mual muntah di pagi hari pada awal
kehamilan sedangkan pada A2 ibu klien mengatakan tidak mengalami
mual muntah saat hamil. Keadaan tersebut dibisa terjadi karena ibu A1
mengalami kehamilan anak pertamanya sehingga belum terbiasa
dengan perubahan-perubhan yang terjadi saat hamil sedangakan A 2
merupakan anak kedua sehingga ibunya A2 sudah mengalami
kehamilan dan terbiasa dengan perubahan-perubahan yang terjadi saat
hamil. Kondisi saat hamil tidak mempengaruhi seorang anak dapat
terkena penyakit demam typhoid karena menurut Marni 2016 p: 15,
Suriardi dalam Marious 2015 p:6 demam typhoid itu disebabkan oleh
bakteri salmonella typhi yang ditularkan melalui 5F (Food, Fly,
Fingger, Feses dan Formitus) bukan karena gen atau kelainan pada
saat hamil.
Saat pengkajian A1 dan keluarganya mengalami kecemasan dan
gelisah sedangkan A2 tidak ditemukannya tanda-tanda kecemasan. Hal
tersebut diakibatkan karena A1 dan keluarganya belum pernah di rawat
di rumah sakit dan sekarang merupakan pengalamanya pertamanya
sedangkan A2 baru-baru ini di rawat di rumah sakit yang sama diruang
yang sama pula sehingga A2 dan kelurganya sudah terbiasa dengan
suasana rumah sakit karena bukan pengalamanya pertama di rawat
dirumah sakit maka dari itu tidak ditemukan tanda-tanda kecemasan
pada A2.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Rofiqoh, Siti dan
Istiaroh (2016) dalam jurnalnya mengatakan bahwa faktor yang
berhubungan secara signifikan kecemasan anak usia sekolah
disebabkan karena kelemahan pada fisiknya sehingga anak akan
mengalami ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, rasa isolasi
dan takut sekarat. A1 mengalami kelemahan kelemahan pada tubuhnya
sehingga dapat mempengaruhi aktivitas dan hubungan sosialnya,
kondisi tubuh yang lemas inilah yang menyebabkan anak tidak bisa
melakukan kegiatan kesehariannya seperti belajar dan bermain
sehingga kelamahan dapat menambah kecemasan pada anak dan
keluarga.
A1 dan A2 pada pengkajian tanda-tanda vital didapatkan perbedaan
suhu yang sangat spesifik yaitu A1 38,8oC dan A2 37,9oC. Nuratif
(2015) halaman 178 mengatakan bahwa pada demam typhoid terdapat
periode infeksi yang diantranya: pada periode pertama (minggu ke-1)
keluhan yang dirasakan klien biasanya panas yang berlangsung
insidious, tipe panas stepladder yang mencapai 39-40oC mengigil dan
nyeri kepala. Gejala yang ditemukan biasanya gangguan sistem
pencernaan dan patologinya yaitu bakterimia. Pada minggu ke-2
keluhan yang dirasakan klien biasanya rash, nyeri abdomen, diare atau
konstipasi, delirium. Gejala yang ditemukan rose sport, plenomegali,
hepatomegali patologi yang terjadi vaskulitis, hiperplasi pada payer’s
patches, nodul typhoid pada hati dan limpa.
Di minggu ke-3 biasanya terjadi komplikasi berupa pendarahan
saluran cerna, perforasi dan syok. Gejala yang muncul biasanya
melena, ilius, ketegangan abdomen dan koma. Patologi yang terjadi
ulserasi pada payer’s patches, nodul typhoid pada hati dan limpa. Pada
minggu terakhir (minggu ke-4) biasanya keluhan menurun, relaps,
penurunan berat badan gejala yang di timbulkan tampak sakit berat dan
kakeksia. Patologinya kolelitiasis dan carier kronik. hal ini bisa
dipengaruhi oleh lamanya klien mengalami demam typhoid.
A1 berada pada periode infeksi minggu pertama sehingga
demamnya akan tinggi berbeda dengan A2 karena patologinya pada
minggu pertama yaitu bakterimia atau baru ditemukannya bakteri
salmonella typhi di dalam darah dan belum menyebar ke organ lain hal
ini bisa dibuktikan dengan hasil laboratorium imunoserologi (widal)
yang masih rendah yaitu salmonella typhi-0 Negatif (Negatif) dan
Salmonella T yphi-H Positif 1/40 (Negatif). Maka dari itu A 1
mengalami panas stepladder suhu mencapai 38,9oC dan bersifat
Febris Remiten (naik turun) naik pada sore dan malam hari turun pada
pagi dan siang hari.
Sedangkan A2 seminggu sebelumnya dirawat di rumah sakit
dengan diagnosa demam typhoid maka A2 ini bukan lagi fase awal
infeksi demam typhoid tetapi sudah memasuki periode infeksi minggu
kedua sehingga demamnyapun tidak akan setinggi minggu pertama.
Hal ini bisa terjadi karena pada minggu ke-2 patologinya bukan lagi
bakterimia melainkan sudah vaskulitis atau yang disebut dengan
peradangan pada pembuluh darah karena bakteri salmonella typhi yang
tidak termusnahkan di lambung akan masuk ke usus halus dan
terjadilah proses absorbsi di usus halus sehingga bakteri salmonella
typhi ini masuk kedalam pembuluh.
Pada A1 dan A2 ditemukan lidah putih/kotor kemerahan pada tonsil
dan tenggorokan hal ini bisa terjadi karena pada proses penyakit
demam typhoid terjadi proses reinfeksi (berkembang biaknya bakteri)
sehingga akan mengeluarkan endotoksin. Melalui peredaran darah
endotoksin itu akan menyebar ke seluruh tubuh dan salah satunya yaitu
mulut dan tenggorokan sehingga tubuh akan mengirimkan imflus dan
memberikan tanda bahwa tubuh sedang tidak baik dengan adanya
tanda infeksi/peradangan seperti nyeri menelan dan kemerahan pada
tenggorokan sesuai dengan yang diungkapkan oleh Marni 2016 p: 15,
Suriardi dalam Marious 2015 p:6.
A2 ditemukan nyeri pada abdomen kuadran III sedangakan pada A1
tidak di temukan nyeri hal ini bisa dipengaruhi oleh tingginya hasil
laboratorium imunoserologi (widal) dan proses infeksi yang dialami.
Nuratif (2015) halaman 178 mengatakan bahwa pada demam typhoid
terdapat periode infeksi yang diantranya: pada periode pertama
(minggu ke-1) keluhan yang dirasakan klien biasanya panas yang
berlangsung insidious, tipe panas stepladder yang mencapai 39-40 oC
mengigil dan nyeri kepala. Gejala yang ditemukan biasanya gangguan
sistem pencernaan dan patologinya yaitu bakterimia. Pada minggu ke-
2 keluhan yang dirasakan klien biasanya rash, nyeri abdomen, diare
atau konstipasi, delirium. Gejala yang ditemukan rose sport,
plenomegali, hepatomegali patologi yang terjadi vaskulitis, hiperplasi
pada payer’s patches, nodul typhoid pada hati dan limpa. Di minggu
ke-3 biasanya terjadi komplikasi berupa pendarahan saluran cerna,
perforasi dan syok. Gejala yang muncul biasanya melena, ilius,
ketegangan abdomen dan koma. Patologi yang terjadi ulserasi pada
payer’s patches, nodul typhoid pada hati dan limpa. Pada minggu
terakhir (minggu ke-4) biasanya keluhan menurun, relaps, penurunan
berat badan gejala yang di timbulkan tampak sakit berat dan kakeksia.
Patologinya kolelitiasis dan carier kronik.
Jika dikaitkan dengan teori yang dikemukanan Nuratif (2015)
halaman 178 A1 merupakan hal yang wajar/sesuai teori jika tidak
terjadi nyeri karena patologinya pada minggu pertama yaitu bakterimia
atau baru ditemukannya bakteri salmonella typhi di dalam darah dan
belum menyebar ke organ lain hal ini bisa dibuktikan dengan hasil
laboratorium imunoserologi (widal) yang masih rendah yaitu
salmonella typhi-0 Negatif (Negatif) dan Salmonella T yphi-H Positif
1/40 (Negatif). Maka dari itu keluhan yang paling dominan pada A 1
panas stepladder suhu mencapai 38,9oC dan bersifat Febris Remiten
(naik turun) naik pada sore dan malam hari turun pada pagi dan siang
hari.
Sedangkan Nyeri yang diraskan A2 jika melihat teori yang di
kemukakan Nuratif (2015) halaman 178 disebabkan karena A2
memasuki periode minggu ke-2 terjadi vaskulitis atau yang disebut
dengan peradangan pada pembuluh darah karena bakteri salmonella
typhi yang tidak termusnahkan di lambung akan masuk ke usus halus
dan terjadilah proses absorbsi di usus halus sehingga bakteri
salmonella typhi ini masuk kedalam pembuluh dan hasil laboratorium
imunoserologi (widal) salmonella typhi-0 positif 1/80 (Negatif) dan
Salmonella Typhi-H Positif 1/80 (Negatif) karena jumlah bakteri yang
ada di tubuh A1 dengan A2 lebih banyak pada A2 sehingga proses
pemusnahan bakteri di lambung lebih banyak sehingga peningkatan
asam lambungnya akan lebih tinggi dari A1 dan menimbulkan nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pathway demam
Typhoid menurut Marni (2016 p:14 dan 16), Nursalam (2008), Suriardi
dalam Marious (2015 p:6) diantaranya: Hipertermi berhubungan
dengan proses penyakit, Nyeri Akut berhubungan dengan proses
peradangan, Nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat, tukak mukosa, Resiko defisit volume cairan
berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh dan intake yang tidak
adekuat, Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot,
Ansietas berhubungan dengan stres psikologi dan Kurang pengetahuan
berhubungan dengan hospitalisasi.
Diagnosa yang muncul pada A1 diantaranya: Hipertermi
berhubungan dengan pengeluaran endotoksin yang merangsang
sintesis dan pelepasan pirogen sehingga mempengaruhi pusat
termoregulasi, resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat, resiko defisit
volume cairan berhubungan dengan proses evaporasi dan intake cairan
yang tidak adekuat dan ansietas berhubungan dengan stres psikologi
dan proses hospitalisasi.
Diagnosa yang muncul pada A2 yaitu: Hipertermi berhubungan
dengan pengeluaran endotoksin yang merangsang sintesis dan
pelepasan pirogen sehingga mempengaruhi pusat termoregulasi, nyeri
akut berhubungan dengan peningkatan asam lambung, resiko tinggi
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat dan resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan proses evaporasi dan intake cairan yang tidak adekuat.
Kesenjangan antara A1 dan A2 yaitu jika pada A1 terdapat 4
diagnosa dengan ansietas, sedangkan di A2 sama terdapat 4 diagnosa
tetapi pada kasus II terdapat diagnosa nyeri dan tidak disertai atau
tidak adanya diagnosa ansietas hal ini dapat terjadi karena pada kasus
II merupakan periode infeksi minggu ke2 dan juga hasil laboratorium
imunoserologi (widal) bakteri salmonella typhi dalam darah banyak
ditemukan yaitu ST-O positif 1/80 dan ST-H positif 1/80 sehingga
pemusnahan bakteri di lambung terjadi sangat banyak yang
menyebabkan peningktan asam lambung yang mengakibatkan nyeri
akut pada abdomen kuadran III.
Sedangakn pada A1 imunoserologi (widal) ST-O negatif80 dan ST-
H positif 1/40 menujukan lebih rendah dari A2 sehingga peningkatan
asam lambung tidak terlalu tinggi. Pada A 1 timbul diagnosa ansietas
akibat proses hospitalisasi dan penyesuaian dengan situasi rumah sakit
karena sebelumnya klien atau keluarga belum pernah di rawat dirumah
sakit, sedangkan pada A2 karena sebelumnya pernah di rawat sehingga
telah terpapar dengan suasana rumah sakit sehingga tidak muncul
tanda-tanda kecemasan.
Jika dihubungkan dengan teori antra A1 dan A2 tidak ada
kesenjangan karena diagnosa-diagnosa tersebut masuk kedalam
diagnosa keperawatan yang muncul pada pathway dengan demam
Typhoid menurut Marni (2016 p:14 dan 16), Nursalam (2008), Suriardi
dalam Marious (2015 p:6) yaitu hipertermi berhubungan dengan proses
penyakit, nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan, resiko
nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat, tukak mukosa, resiko defisit volume cairan berhubungan
dengan peningkatan suhu tubuh dan intake yang tidak adekuat,
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, ansietas
berhubungan dengan stres psikologi dan kurang pengetahuan
berhubungan dengan hospitalisasi.

3. Intervensi
Pada A1 dan A2 tidak ada kesenjangan karena pada A1 dan A2
memiliki diagnosa yang sama yaitu: Hipertermi berhubungan dengan
pengeluaran endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan
pirogen sehingga mempengaruhi pusat termoregulasi. Dengan
intervensinya observasi TTV setiap 2-4 jam selama periode demam
(khususnya HR dan Suhu), observasi tingkat kesadaran klien, berikan
kompres hangat basah pada daerah axilla, berikan pakaian yang tipis
dan menyerap keringat dan kolaborasi untuk pemberian antipiretik.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak adekuat. Dengan intervensinya kaji keluhan mual
dan muntah, beri makanan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering
dan hidangkan selagi hangat, beri makanan yang tidak merangsang
lambung, ciptakan lingkungan yang bersih dan tidak baudan kolaborasi
untuk pemberian: Obat-obatan: antiemetik, vit. Resiko defisit volume
cairan berhubungan dengan proses evaporasi dan intake cairan yang
tidak adekuat. Dengan intervensinya berikan penjelasan tentang
pentingnya kebutuhan cairan klien dan keluarga observasi intake dan
output, anjurkan klien untuk minum 2,5 liter/24 jam, observasi
kelancaran tetesan infus dan kolaborasi dengan dokter untuk terapi
cairan (oral //parenteral).
Kesenjangan terjadi antra A1 dan A2 teletak pada diagnosa yang
satunya lagi yaitu pada A1 terdapat diagnosa yang keempat ansietas
berhubungan dengan stres psikologi dan proses hospitalisasi.Dengan
intervensinya Kaji tingkat kecemasan anak, berikan perawatan dengan
lembut dan rasa sayang, lakukan komunikasi terapeutik, dorong
keluarga untuk menemani anak selama diruang perawatan, berikan
penjelasan tentang setiap prosedur yang akan dilaksanakan sesuai
dengan usia.

Sedangkan pada A2 terdapat diagnosa nyeri akut berhubungan


dengan peningkatan asam lambung dan proses infeksi. Dengan
intervensinya: Observasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter
dan intensitas skala nyeri (0-5), ajarkan tehnik relaksasi progresif,
nafas dalam guided imagery, berikan tindakan kenyamanan :
menggendong, suara halus, ketenangan dan kolaborasi: berikan obat
analgetik sesuai indikasi. Jika dihubungkan dengan teori antra A1 dan
A2 tidak ada kesenjangan meskipun diagnosa yang di dapatkan anatara
A1 dan A2 ada kesenjangan tetapi dengan teori tidak karena diagnosa-
diagnosa tersebut masuk kedalam diagnosa keperawatan yang muncul
pada pathway anak usia sekolah dengan demam Typhoid dan
intervensi-intervensinya pun sesuai dengan teori menurut Marni (2016
p:14 dan 16), Nursalam (2008), Suriardi dalam Marious (2015 p:6).

4. Implementasi
Nursalam (2013) halaman 127 menyatakan bahwa implementasi
adalah pelaksanan dari rencana intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahapan implementasi dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan di tujukan pada nursing orders untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan. Perencanaan suhan
keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika klien
mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi asuhan
keperawatan.
Tidak ada kesenjangan antara kasus A1 dan A2 pada implementasi
untuk diagnosa hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi. Implementasi yang dilakukan
adalah mengobservasi TTV setiap 4 jam sekali, memberikan kompres
hangat basah di axila dengan menggunakan air bersuhu 38oC dilkukan
selama 20 menit, dan melakukan kolaborasi pemberian obat antiperitik
Untuk diagnosa resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Implementasi
yang dilakukan yaitu menciptakan lingkungan yang bersih dan tidak
bau, memberikan makan yang lembek atau berair seperti sayur selama
nyeri menelan masih berlangsung, dan memberikan makanan yang
tidak merangsang lambung. Sedangkan untuk diagnosa resiko defisit
volume cairan berhubungan dengan proses evaporasi dan intake cairan
yang tidak adekuat. Implementasi yang dilakukan yaitu mengobservasi
intake dan output, menganjurkan klien banyak minum, dan kolaborasi
pemberian terapi cairan lewat intravena (infus) Ringger Lactat.
Terjadi kesenjangan implementasi antara A1 dan A2 karena
perbedanaan diagnosa, pada A1 dengan diagnosa ansietas berhubungan
dengan stres psikologi dan proses hospitalisasi. Implementasi yang
dilakukan yaitu membina hubungan saling percaya antara perawat
dengan anak/keluaga dengan di lakukannya komunikasi terapetik,
Memberikan penjelasan setiap prosedure yang akan dilaksanakan
sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak dan keluarga,
memberikan lingkungan yang aman nyaman dan tenang. Sedangkan
pada A2 diganosa nyeri akut berhubungan dengan peningkatan asam
lambung dan proses infeksi. Implementasi yang dilakukan yaitu
mengkaji nyeri yang dirasakan klien, mengajarkan teknik relaksasi
berupa nafas dalamkolaborasi pemberian obat analgetik.

5. Evaluasi
Lyer et.al (1998) dalam nursalam (2013) halam 135
mengemukakan tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat kemampuan
klien dalam mencapai tujuan . hal ini dapat dilakukan dengan melihat
respon klien terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga
perawat dapat mengambil keputusan. Jenis evaluasi yang akan peneliti
lakukan yaitu SOAP. Adapun S (Subjektif) ini di ambil dari hasil dan
atau respon yang di ungkapkan oleh klien. O (Objektif) ini diambil dari
hasil yang telah kita implementasikan dan hasil dari apa yang telah kita
observasi. A (Assesment) masalah yang terjadi apakah teratasi atau
tidak dan yang terakhir P (planning) apa rencana yang akan kita
lakukan.
Pada A1 dan A2 tidak ada kesenjengan dengan teori karena jenis
evaluasi yang digunakannya pun sama yaitu SOAP Adapun S
(Subjektif), O (Objektif), A (Assesment) dan P (planning). Pada kasus
I dan kasus II pun tidak ada kesenjangan pada diagnosa yang sama.
Pada diagnosa hipertermi pada hari prtama dan hari kedua setelah
dilakuakan tindakan kompres hangat basah kedua klien mengalami
penurunan suhu. Menurut Sartika (2013 halaman 18) menjelaskan
bahwa hukum termodinamika perpindahan energi termal (panas) yang
terjadi pada saat terjadi pengompresan yaitu melalui mekanisme
konduksi. perpindahan panas melalui mekanisme konduksi ini dapat
terjadi karena adanya kontak dengan molekul padat. Kompres hangat
basah ini prosesnya dengan melakukan kontak antara kulit (Axila)
dengan waslap sehingga disinilah terjadi perpindahan panas dan terjadi
proses vasodilatasi sehingga saraf-saraf yang berada di sekitar tempat
pengompresan menyampaikan implus ke sumsum tulang belakng yang
merangsang hipotalamus sehingga terjadilah penurunan suhu tubuh.
A1 di hari pertama setelah dilakukan kompres hangat basah terjadi
penurunan suhu 1,4oC dan di hari kedua 1oC sedangkan A2 di hari
pertama mengalami penurunan suhu sebesar 1,3oC dan di hari kedua
sebesar 1,2oC. Didalam jurnal yang di kemukakan oleh Pratiwi D.
Gilang dan Ningrum C.Nirmala dijelaskan bahwa perbedaan
penurunan suhu tubuh yang berbeda terjadi karena pada kedua axila
selain terdapat pembuluh darah yang besar terdapat juga kelenjar
apokrin. Pada setiap orang tiap harinya produksi kelenjar keringat
apokrin berbeda-beda tergantung metabolisme yang berlangsung
dalam tubuh. Dengan begitu perbedaan penurunan suhu ini bisa
dikatakan normal selagi perbedaan penurunan suhu tidak terlalu jauh.
Selain produksi kelenjar keringat perbedaan penurunan suhu juga
bisa di akibatkan oleh suhu ruangan saat pengompresan sedang
berlangsung. Sartika (2013 halaman:18) dan Beka (2014) menjelaskan
bahwa perpindahan kalor antara sistem dengan lingkungan sekitar
dapat terjadi bila sistem tersebut terbuka. Pada berlangsung penelitian
A1 dan A2 dilakukan di ruangan terbuka sehingga proses evaporasi
terjadi lebih cepat. Proses evaporasi ini keefektipannya tergantung
kelembaban udara artinya semakin tinggi kandungan air (udara dingin)
maka semakin sulit evaporasi bekerja.
Diagnosa resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada A1
dan A2 dari hari pertama sampai hari ketiga mengalami perbaikan
cuman hasilnnya yang berbeda karena di tunjang oleh penyebab
terjadinya diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh itu di angkat.
Diagnosa resiko defisit volume cairan A1 dan A2 mengalami perbaikan
dari hari-kehari dan tidak terjadi dehidrasi.
Sedangkan untuk diagnosa yang berbeda pada kasus I dengan
diagnosa ansietas mengalami perbaikan pada hari kedua dan tidak
terjadi kecemasan yang berlanjut. Untuk diagnosa nyeri pada kasus II
mengalami perbaikan namun nyeri masih sering di rasakan cuma skala
nyerinya saja yang berkurang dari hari-kehari hal ini dipengaruhi oleh
bakteri yang ada di dalam tubuh belum musnah semuanya.
Dari keempat diagnosa yang diangkat baik pada A1 maupun A2
keduanya telah mencapai tujuan dan kriteria hasil yang telah di
rencanakan pada tahapan intervensi.

6. Analisa PICOT
Unsur Pembahasan
Problem/Pasien Kasus I
A1 usia 12 Tahun Berjenis kelamin laki-laki
Alamat Kp.Cimenteng Girang, Kecamatan
Muka Kabupaten Cianjur. Mengalami demam
semenjak 22-03-2019 dan demamnya bersifat
naik turun. Dengan diagnosa medis demam
typhoid dan di rawat di ruang samlo III RSUD
Sayang Cianjur.
Kasus II
A2 usia 12 Tahun Berjenis kelamin laki-laki
Alamat Kp.Tanjungsari, Kecamatan
Kadupandak, Kabupaten Cianjur. Mengalami
demam semenjak seminggu yang lalu dan
demamnya bersifat naik turun. Sebelumnya
An.A dirawat dirumah sakit seminggu yang lalu
dengan penyakit yang sama yaitu Demam
Typhoid dan di rawat di ruang samlo III RSUD
Sayang Cianjur.
Intervensi Pada kasus I dan Kasus II dilakukan tindakan
kompres hangat basah pada axila selama 20
menit.
Comparasi Kasus I
Pada hari pertama 26-03-2019 dilakukan
tindakan kompres hangat basah di axila selama
20 menit suhu tubuh klien yang awalnya 38,8 oC
menjadi 37,4oC (terjadi penurunan 1,4oC)

Unsur Pembahasan
Pada hari kedua 27-03-2019 dilakukan tindakan
kompres hangat basah di axila selama 20 menit
suhu tubuh klien yang awalnya 37,8oC menjadi
36,8oC (terjadi penurunan 1oC)
Kasus II
Pada hari pertama 03-04-2019 dilakukan
tindakan kompres hangat basah di axila selama
20 menit suhu tubuh klien yang awalnya 37,9 oC
menjadi 36,6oC (terjadi penurunan 1,3oC)Pada
hari kedua 04-04-2019 dilakukan tindakan
kompres hangat basah di axila selama 20 menit
suhu tubuh klien yang awalnya 37,8oC menjadi
36,6oC (terjadi penurunan 1,2oC)
Outcome Kasus I
Melihat dari hasil setelah dilakukan tindakan
kompres hangat basah A1 pada hari pertama
suhu tubuh yang di produksi 38,9oC , di kompres
dengan suhu air (panas yang diterima) 38,0oC,
kehilangan suhu /penurunan suhu 1,4oC dan
suhu tubuh setelah pengompresan 37,4oC. Di
hari kedua suhu tubuh yang di produksi 37,8oC,
di kompres dengan suhu air (panas yang
diterima) 38,0oC, kehilangan suhu /penurunan
suhu 1,0oC dan suhu tubuh setelah
pengompresan 36,8oC. Di hari ketiga suhu tubuh
klien stabil yaitu 36,6oC. Melihat dari hasil
tersebut aplikasi kompres hangat basah pada
axila selama 20 menit pengompresan efektif
dalam menurunkan suhu tubuh A1 karena telah
Unsur Pembahasan
mencapai kriteria atau hasil yang diharapkan
yaitu keseimbangan antara produksi panas,
panas yang diterima, dan kehilangan panas serta
suhu tubuh stabil 36,5-37,50C.
Kasus II
Melihat dari hasil setelah dilakukan tindakan
kompres hangat basah A2 pada hari pertama
suhu tubuh yang di produksi 37,9oC , di kompres
dengan suhu air (panas yang diterima) 38,0oC,
kehilangan suhu /penurunan suhu 1,3oC dan
suhu tubuh setelah pengompresan 36,6oC. Di
hari kedua suhu tubuh yang di produksi 37,8oC,
di kompres dengan suhu air (panas yang
diterima) 38,0oC, kehilangan suhu /penurunan
suhu 1,2oC dan suhu tubuh setelah
pengompresan 36,6oC. Di hari ketiga suhu tubuh
klien stabil yaitu 36,7oC. Melihat dari hasil
tersebut aplikasi kompres hangat basah pada
axila selama 20 menit pengompresan efektif
dalam menurunkan suhu tubuh A2 karena telah
mencapai kriteria atau hasil yang diharapkan
yaitu keseimbangan antara produksi panas,
panas yang diterima, dan kehilangan panas serta
suhu tubuh stabil 36,5-37,50C.
Time/Teori Selama beberapa hari penelitian dapat
disimpulkan bahwa kompres hangat basah
efektif dalam menurunkan suhu tubuh. Sesuai
dengan penelitian Mahdiyah (2015)
menyebutkan bahwa kompres hangat basah
Unsur Pembahasan
efektif dalam penurunan Hipertermi Pada tubuh
anak demam Typhoid yang di lakukan
pengompresan pada area axila dalam selang
waktu 20 menit. Hal ini dikarena pengompresan
pada area axila yang tedapat pembuluh-
pembuluh darah besar dapat mempercepat
proses vasodilatasi pembuluh darah perifer
diseluruh tubuh sehingga pengeluaran panas dari
tubuh melalui kulit lebih cepat. Teknik
Kompres. hangat basah ini lebih cepat
memberikan rangsangan atau sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.
Penelitian ini didukung oleh penelitian
Mohamad, Fatmawati bahwa kompres hangat
dapat menurunkan demam pada klien Typhoid
Abdominalis

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pada pengkajian A1 dan A2 terdapat beberapa kesenjangan dan kedua
kasus tersebut terjadi pada anak usia sekolah (6-12 tahun) yang
didiagnosis secara medis demam typhoid serta di rawat di ruang samolo III
RSUD Sayang Cianjur. Data subjektif dan objektif yang di dapatkan pada
pengkajian peneliti menemukan 4 masalah keperawatan pada A1 dan 4
masalah keperawatan pada A2. Dari ke 4 diagnosa tersebut terdapat 3
diagnosa yang sama yaitu hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
endotoksin yang merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga
mempengaruhi pusat termoregulasi, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat, resiko defisit
volume cairan berhubungan dengan proses evaporasi dan intake cairan
yang tidak adekuat.
Dan diagnosa yang berbeda yaitu pada A1 terdapat diagnosa
ansietas berhubungan dengan stres psikologi dan proses hospitalisasi.
Sedangakn pada A2 peneliti menemukan maslah/diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan peningkatan asam lambung. Pada perencanaan
keperawatan/intervensi tidak ada kesenjangan antara A1 dan A2 dengan
teori. Namun ditemukan kesenjangan antara A1 dan A2 pada diagnosa
yang berbeda.
Implementasi pada penelitian tidak ditemukan kesenjangan antar
kasus A1 dan A2 . Begitu pula pada saat evaluasi tidak ditemukan
kesenjangan antara kasus A1 dan A2 dengan teori karena dari hari pertama
sampai ketiga antara kasus A1 dan A2 mengalami
perkembangan/perbaikan setelah dilakukan implementasi oleh peneliti.
Meskipun pada A2 diagnosa kedua tidak teratasi namun dari hari ke hari
nyeri yang dirasakan klien berkurang.
A1 dan A2 telah dilakukan aplikasi kompres hangat basah di axila
dengan durasi pengompresan 20 menit selama 2 hari berturut-turut. Dari
penelitian atau aplikasi kompres hangat basah ini dapat di tarik kesimpulan
bahwa kompres hangat basah pada anak usia sekolah (6-12 tahun) yang
mengalami hipertermi dengan demam typhoid efektif dalam menurunkan
suhu tubuh (hipertermi) sesuai dengan penelitian Mahdiyah (2015) yang
menyebutkan bahwa kompres hangat basah efektif dalam penurunan
Hipertermi Pada tubuh anak demam Typhoid yang di lakukan
pengompresan pada area axila dalam selang waktu 20 menit. Penelitian ini
didukung oleh penelitian Mohamad, Fatmawati bahwa kompres hangat
dapat menurunkan demam pada klien Typhoid Abdominalis.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebaiknya lebih ditingkatkan lagi dalam fasilitas sumber pustaka yang
disediakan di institusi pendidikan sehingga akan lebih memudahkan
bagi mahasiswa dalam penelitian.
2. Bagi Rumah Sakit
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan sebaiknya pihak rumah
sakit lebih meningkatkan fasilitas pelayanan dan kualitas asuhan
keperawatan anak.
3. Bagi Perawat
Sebaiknya perawat tidak melupakan tugas dan kewajiban perawat
seperti dalam melakukan tindakn keperawatan lebih mengutamakan
sikap careing dan membantu memenuhi kebutuhan dasar klien.
4. Bagi Klien dan Keluarga
Sebaiknya keluarga dapat mengaplikasikan tindakan kompres hangat
basah dirumah pada anggota keluarga yang mengalami hipertermi.

Anda mungkin juga menyukai