Representasi Film Hotel Rwanda Terhadap Perang Saudara Di Rwanda 1990
Representasi Film Hotel Rwanda Terhadap Perang Saudara Di Rwanda 1990
Oleh:
Penta Lavida (K4419069)
Pengertian Genosida
Sebelum terjadinya genosida, Rwanda sendiri dalam sejarah pada kurun waktu
kolonialisme dan imperialisme dikuasai oleh bangsa barat yakni Jerman setelah terjadi
kesepakatan pada Konferensi Berlin. Jerman menguasai wilayah yang dinamai German East
Africa yang sekarang menjadi negara Rwanda dan Burundi 4. Kemudian, setelah
berlangsungnya Perang Dunia I, Rwanda menjadi negara jajahan dari Belgia. Dalam
pelaksanaannya Belgia menerapkan sistem jajahan yakni Indirect Rule5. Disana belgia mulai
memperkenalkan politik identitas yang diskriminasi suku yakni Hutu, Tutsi dan Twa.
Hutu merupakan suku mayoritas Rwanda dengan populasi 85%, Tutsi 14% dan Twa
hanya sekitar 1%. Mereka dibedakan atas status sosial dan kelas sosial 6. Terdapat perbedaan
fisik antara Hutu dan Tutsi. Tutsi dideskripsikan memiliki badan yang tinggi, kurus, dan
ramping. Sedangkan, Hutu memiliki tubuh yang lebih pendek dan kuat. Hal tersebut yang
menyebabkan Belgia memilih suku Tutsi untuk diberikan kewenangan dalam pemerintahan
dan kekuasaan dan Hutu yang merupakan suku mayoritas tidak diberi hal yang sama oleh
Belgia. Hal ini tentu saja menyebabkan kecemburuan sosial pada masyarakat Rwanda yang
mayoritas diisi oleh bangsa Hutu yang mau tidak mau harus melakukan perlawanan agar
mendapat hak yang sama seperti Tutsi.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses https://kbbi.web.id/genosida
2
D. Turangan, Doortje. 2011. Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
Karya Ilmiah, Hlm. 1. Diakses:
https://repo.unsrat.ac.id/225/1/TINDAKAN_KEJAHATAN_GENOSIDA_DALAM_KETENTUAN_HUKUM_INTERNASIONAL_DAN
_HUKUM_NASIONAL
3
Ibid, (D. Turangan, Doortje, Hlm. 5)
4
J. Shaw, Eric. 2012. The Rwandan Genocide: A Case Study. Jurnal, Hlm. 12 Diakses:
https://www.researchgate.net/publication/264154954_The_Rwandan_Genocide_A_Case_Study
5
Ibid, (J. Shaw, Eric, Hlm. 13)
6
Hintjens, Helen. 2013. Chapter Thirteen: Genocide War and Peace in Rwanda. Jurnal. Hlm. 197. Diakses:
https://www.researchgate.net/publication/283669296_Genocide_War_and_Peace_in_Rwanda
Kemudian, dominasi suku Tutsi terhadap penguasaan di sejumlah sector
berlangsung hingga tahun 1950an. Belgia akan meninggalkan Rwanda atas desakan dari
PBB yang menyebabkan akan terjadinya kemerdekaan bangsa Rwanda dan Belgia malah
menyerahkan kekuasaan kepada suku Hutu7. Keputusan ini sangat mengejutkan bagi suku
Tutsi. Kedua suku mendirikan partai yang mengakodimir masalah politik mereka. Hutu
mendirikan Parti du movement de l’emancipation des Bahutu yang dikenal dengan Parmenhutu.
Dan Tutsi mendirikan partai Union Nationale Rwandese atau UNAR.8 Namun, hal tersebut
tidak meredam konlik, konflik terus bergejolak menyebabkan kedua suku tersebut bertikai
hingga menyebabkan korban jiwa terus meningkat.
Pada tahun 1960 terjadi Revolusi Hutu yang menyebabkan korban berjatuhan di
pihak Tutsi hingga membuat Tutsi terpinggirkan dari kekuasaan dan memilih untuk pergi
ke negara-negara tetangga, mayoritas pergi ke negara Uganda dan Zaire. Pada tahun 1964,
sebanyak 70% suku Tutsi menjadi pengungsi.9
Dominasi suku Hutu berlangsung hingga tahun 1990an. Pada tahun tersebut suku
Tutsi membuat RPF (Rwanda Patriotic Front) yang dipimpin oleh Paul Kagame yang
bertujuan untuk merebut kekuasaan dari suku Hutu 10. Siang hari pada tanggal 6 April 1994,
Presiden Habyarimana terbunuh saat pesawatnya ditembak jatuh. Habyarimana adalah
presiden dari kalangan Hutu. Diduga kelompok RPF dibalik pembunuhan tersebut.
Menurut Prunier (1995) diestimasikan bahwa 20.000 orang terbunuh pada minggu
pertama pelaksanaan Genosida12. Para korban hanya bergelimpangan di jalan-jalan tanpa
ada penguburan yang laya. Ada juga yang mengestimasikan bahwa 80.000 orang terbunuh
dan banyak orang yang menjadi pengungsi di negara lain. Yang dilakukan PBB untuk
meredam konflik tersebut adalah dengan mengirimkan sejumlah pasukan PBB yang
dipimpin oleh Jenderal Romeo Dallaire untuk menjaga perdamaian antara pasukan Hutu
dengan pasukan RPF. Namun, usaha tersebut nampaknya sia-sia pasukan penjaga
perdamaian hanya sebagai formalitas saja karena korban-korban sudah banyak yang
berjatuhan diakibatkan keadaan yang mengerikan pada saat itu.
7
Madam Philosophy. 2012. Tentang Konflik Rwanda. Diakses:
https://www.kompasiana.com/empire_earth/551734d4813311a4669de3e7/tentang-konflik-rwanda
8
Ibid. (J. Shaw, Eric. Hlm. 19)
9
Ibid. (J. Shaw, Eric. Hlm 20)
10
Melvern, L. (2006). Conspiracy to murder: The Rwandan genocide. London:Verso.. Hlm. 17
11
Ibid. (Hintjens, Helen. Hlm. 200)
12
Hotel Rwanda merupakan film bergenre drama sejarah yang dirilis pertama kali
pada tahun 2004 yang disutradai oleh Terry George. Film ini dibintangi sejumlah actor dan
aktris Hollywood seperti Don Cheadle, Nick Nolte, Sophie Okonedo, dan Joaquin Phoenix.
Film ini mengisahkan tentang konflik antara suku Hutu dan Tutsi yang mengakibatkan
korban sipil tewas tidak bersalah mencapai hampir satu juta orang.
Seorang pemimpin pasukan perdamaian PBB, Kolonel Oliver yang membantu Paul
mengungsikan para korban ke hotel tersebut. Namun, sang kolonel tidak bisa ikut campur
karena pasukan perdamaian PBB dilarang ikut campur masalah tersebut. Hotel tersebut
semakin sesak dan penuh ditambah pengungsi anak-anak yang diungsikan oleh Pat, sorang
petugas palang merah. Berbagai cara dilakukan Paul untuk mengevakuasi pengungsi
tersebut untuk keluar dari hotel. Namun, usaha itu sia-sia karena diluar banyak pasukan
Hutu ekstremis yang menghadang. Diluar hotel banyak suku-suku Tutsi yang dibantai oleh
kelompok ekstremis.
Film tersebut sangat menggambarkan apa yang terjadi di Rwanda pada kurun
waktu 1994. Dan film tersebut diangkat dari kisah nyata. Tokoh utamanya yakni Paul
Rusebagina merupakan tokoh nyata dan hotel tempat dijadikan pengungsian juga nyata.
Sang Colonel Oliver merupakan penokohan dari Jendral Romeo Dallaire yang merupakan
pemimpin pasukan perdamaian PBB. Penggambaran yang cukup jelas mengingatkan
kembali pada tragedi kemanusiaan di Rwanda yang sangatlah keji. Para produser dan
pembuat film ini bertujuan atau memberi pesan kepada dunia bahwa genosida adalah
tindakan yang merusak hak asasi manusia dan termasuk kejahatan perang dan memberi
pesan agar dimasa depan tragedi tersebut tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1. D. Turangan, Doortje. 2011. Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum
Internasional dan Hukum Nasional. Karya Ilmiah. Diakses:
https://repo.unsrat.ac.id/225/1/TINDAKAN_KEJAHATAN_GENOSIDA_DALAM
_KETENTUAN_HUKUM_INTERNASIONAL_DAN_HUKUM_NASIONAL
2. J. Shaw, Eric. 2012. The Rwandan Genocide: A Case Study. Jurnal. Diakses:
https://www.researchgate.net/publication/264154954_The_Rwandan_Genocide_A
_Case_Study
3. Hintjens, Helen. 2013. Chapter Thirteen: Genocide War and Peace in Rwanda. Jurnal.
Diakses:
https://www.researchgate.net/publication/283669296_Genocide_War_and_Peace_i
n_Rwanda
4. Madam Philosophy. 2012. Tentang Konflik Rwanda. Diakses:
https://www.kompasiana.com/empire_earth/551734d4813311a4669de3e7/tentang-
konflik-rwanda
5. Melvern, L. (2006). Conspiracy to murder: The Rwandan genocide. London: Verso.
Lampiran Foto/Gambar